MUTIARA / PANJI NO. 05 TH IV - 24 MEI 2000
A. Suryana Sudrajat
Tragedi Sultan Haji
Kebijaksanaan politik yang tidak konsisten acap menimbulkan petaka.
Sultan Ageng Tirtayasa tidak hanya kehilangan kekuasaan.
Di belakang punggungnya, negerinya tidak lagi berdaulat.
Dari Gowa mampir ke Banten, terus ke Gujarat, Yaman, kemudian Mekah dan Madinah. Dari dua kota suci (haramain) itu, ia masih terus ke Damaskus, lalu Istambul, sebelum akhirnya tiba kembali di Nusantara tahun 1664 atau 1672 (tak pasti). Dari situ setidak-tidaknya diketahui bahwa Muhammad Yusuf bin Abdullah Abul Mahasin Tajulkhalwati, alias Syekh Yusuf, menghabiskan 20 atau (hingga) 28 tahun untuk menuntut ilmu. Berapa tahun Anda perlukan untuk meraih Ph.D. di Amerika, Australia, atau di universitas lokal? Memang, barangkali ada juga masalah metode pengajaran.
Sekembali dari langlang buana, Syekh Yusuf hinggap lagi di Banten. Perkembangan politik di Kesultanan sangat boleh jadi mengurungkan niat Syekh pulang mudik. Ketika pertama kali datang ke Banten, Yusuf sudah menjalin kontak dengan elite setempat, khasnya Pangeran Surya, putra Sultan Abul Mufakhir (gelar yang diberikan Syarif Mekah). Mufakhir punya minat besar pada masalah keagamaan: ia mengirim berbagai pertanyaan ke Ar-Raniri di Aceh dan para ulama di Tanah Suci. Waktu itu Pangeran Surya memang sudah naik takhta (1651), dengan nama resmi Sultan Abdul Fattah, yang kemudian lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.
Nah, Syekh kawin dengan putri Abdul Fattah. Ia diberi jabatan anggota Dewan Penasihat Sultan, dan terbukti paling berpengaruh. Bisa dipahami bila dia menolak permintaan Sultan Gowa agar kembali ke Sulawesi untuk mengajar Islam di kerajaan yang lebih kecil itu. Toh dia mengirimkan muridnya, Abdul Basyir Ad-Dharir (Si Buta), yang telah menyertainya dari Mekah ke Banten, dan kelak terkenal dengan sebutan "Tuan Rappang".
Menurut penyelidikan Azyumardi Azra, ada dua murid terpenting Syekh Yusuf di Banten. Pertama, Abdul Muhyi, yang oleh Belanda disebut "Hadjee Karang". Murid Abdurrauf As-Sinkili (Singkel, Aceh) dan penyebar tarekat Syatariah ini memang tinggal di Desa Karang, Pamijahan, setelah belajar di Mekah dan mengunjungi kuburan Syekh Abdul Qadir Jailani di Bagdad. Kepada Syekh Yusuf, Muhyi banyak bertanya soal "ayat-ayat tasawuf" dan silsilah tarekat-tarekat yang dulu pernah diterimanya di Mekah.
Yang kedua--ini dia--Abdul Qahhar. Putra mahkota ini konon ingin menjadi wali dan belajar Quran dari wali Makasar yang baru pulang dari Mekah ini. Atas saran Syekh pula, Putra mahkota melakukan perjalanan diplomatik ke Istambul, usai menunaikan haji. Sementara Abdul Qahhar di Timur Tengah, Sultan Ageng mengangkat Pangeran Purbaya, adik Dulqahhar, menjadi putra mahkota pula. Ini sebenarnya buntut pertentangan politik: Dulqahhar cenderung akomodatif kepada Belanda, sementara si ayah justru sebaliknya.
Pulang dari Turki, sultan muda itu langsung menggebrak: melarang orang Banten minum madat, dan memerintahkan orang berpakaian Arab sebagai pakaian nasional.... Hubungan Sultan Muda, yang sekarang sudah disebut Sultan Haji, semakin tegang dengan Ayah. Akhirnya Sultan Tua mengalah: Abdul Qahhar dikembalikan ke posisinya, diserahi tugas pemerintahan di Ibu Kota, sementara dia sendiri menyingkir ke Tirtayasa. Kesempatan ini digunakan Sultan Haji untuk mempererat hubungannya dengan Belanda. Sultan Ageng marah, dan berusaha mengkonsolidasikan kekuasaan. Tapi peringatan kerasnya kepada Kompeni dianggap kecerobohan politik oleh Sultan Haji. Maka pada 1 Mei 1680, Sultan Ageng dimakzulkan putranya sendiri.
Banten pun bergolak: Sultan Ageng menolak mundur. Dan perang saudara tak terhindari. Dalam situasi pelik begini, ke mana Syekh Yusuf berpihak? Ke Sultan Ageng. Maka Ibu Kota diserbu. Sultan Haji terdesak--terkurung di istananya. Tetapi ia segera minta bantuan Batavia, dengan imbalan akan memberi hak monopoli dagang kepada mereka, hal yang memang ditunggu-tunggu Kompeni. Tahun 1683 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil digulung. Setelah tertangkap, Sultan dibuang ke (dekat saja) Batavia, sampai wafatnya pada 1692. Sementara itu Syekh Yusuf, yang bersama Pangeran Purbaya mencoba melanjutkan perjuangan beliau, diasingkan ke Srilangka, kemudian ke Capetown (Panji, 1 Desember 1999).
Para penulis nasionalis seperti Buya Hamka mengatakan, Sultan Haji tidak berani menampakkan mukanya kepada rakyat--yang tidak pernah mengakuinya sebagai sultan. Ia orang asing di negeri sendiri: duduk di istana dikawal tentara Belanda. Tujuh tahun memakai gelar "sultan", kata Hamka, tetapi yang sebenar-benar sultan adalah Kompeni. "Bersemayam, tetapi sama dengan ditahan."
Sepeninggal Sultan Ageng, Banten memang tidak berdaulat lagi. Semua budak kepunyaan Belanda, yang dulu mencari perlindungan ke Banten, harus dikembalikan. Orang Belanda yang mengabdi kepada Kesultanan wajib diserahkan. Termasuk Cordeel, yang sudah masuk Islam dan membangun istana di Tirtayasa. Segala kerugian Kompeni akibat ulah bajak laut dan rampok darat harus diganti.
Tetapi, beredar juga cerita yang kelihatan sekali tumbuh dari rasa pahit, dan karena itu berusaha menghibur. Yakni bahwa Sultan Haji, yang berperang melawan ayahnya dan bersekutu dengan Kompeni itu, sebenarnya bukan murid Syekh Yusuf yang berangkat ke Mekah itu. Abdul Qahhar yang sesungguhnya sudah mangkat di Tanah Suci. Yang datang belakangan itu tak lain "tokoh rekayasa Belanda", yang wajahnya mirip Sultan Haji, eh, Dulqahhar.