NASIONAL / PANJI NO. 06 TH IV - 31 MEI 2000
Antara Nazi dan PKI
Partai Komunis:
Presiden sudah menjelaskan usulannya untuk mencabut Ketetapan MPRS tentang PKI. Tinggal menunggu bagaimana MPR bersikap.Akhirnya Presiden KH Abdurrahman Wahid memilih diam. Ia tak mau lagi bicara tentang Ketetapan MPRS No. 25 Tahun 1966, meski ada yang bertanya. Cuma, di balik diamnya itu, terselip satu tekanan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). "Kalau sampai menolak usulan saya, silakan. Itu tanggung jawab MPR, bukan tanggung jawab saya lagi," kata Presiden dalam forum dialog yang disiarkan TVRI, Sabtu, pekan lalu.
Diam bukan berarti polemik dihentikan. Bola sekarang ada di tangan MPR. Apakah majelis yang terhormat ini akan mengagendakan dan mencabut Ketetapan MPRS tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), yang menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan melarang setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunis/Marxisme-Leninisme.
Sejak usulan itu dilontarkan Gus Dur dua bulan lalu, polemik terus berkembang di tengah masyarakat. Ada yang setuju, tetapi tak sedikit juga yang menolak. Namun, Akbar Tandjung, ketua DPR, menyayangkan pernyataan presiden bahwa sikap kontra terhadap usulan tersebut sebagai permainan elite politik. "Saya pikir itu terlalu menyederhanakan masalah saja. Dia (presiden) tidak melihat reaksi di jalanan," kata Akbar. Menurut ketua umum Partai Golkar ini, sah-sah saja masyarakat dan pemerintah melarang PKI. Negara-negara di Eropa pun hingga kini masih menolak hidupnya kembali Nazi atau Neo-Nazi.
Diskusi digelar di mana-mana. Pun aksi unjuk rasa. Salah satunya rapat akbar yang digelar Front Anti-Komunis Surakarta (FAKS) di GOR Manahan, Surakarta, Ahad lalu. Sekitar 5.000 umat Islam hadir mendengarkan orasi Amien Rais. Tokoh Poros Tengah yang kini menjabat ketua MPR ini sangat yakin bahwa siapa pun yang usul pada sidang umum MPR untuk mencabut Tap itu, mereka akan menjadi bahan tertawaan dan dagelan bangsa Indonesia. "PKB pun, menurut KH Ma’ruf Amin belum tentu akan ikut mengompori pencabutan Tap tersebut," kata Amien.
Memang, seperti diungkapkan Taufikurrahman Saleh, ketua Fraksi DPR dari PKB, pembahasan untuk mengusulkan agar pencabutan ketetapan tentang larangan PKI itu masih berlangsung. Pembahasannya tidak lagi di tingkat Fraksi PKB di DPR, tetapi di MPR. "Itu pun di antara sesama anggata PKB masih terjadi pro dan kontra. Artinya belum tentu usul pencabutan itu diajukan dalam agenda SU MPR," kata Taufikurrahman. Tentu saja, PKB juga mendengar aspirasi masyarakat yang berkembang selama polemik berlangsung.
Masyarakat masih merasakan stigma dari ulah PKI pada masa lalu. Peristiwa Madiun 1948 atau Peristiwa G-30-S PKI 1965 begitu membekas. Itu baru di Indonesia, yang diperkirakan ada 500.000 orang dibantai komunis. Di seluruh dunia, sekitar 100 juta jiwa manusia melayang demi tegaknya komunisme. "Jadi, kalau Tap itu dicabut, maka kita menjadi bangsa keledai yang dungu," kata Taufik Ismail, penyair. Dalam kondisi ekonomi yang sedang terpuruk, pengangguran yang merakyat, ketidakadilan dan kriminalitas merajalela seperti sekarang, amat mudah bagi paham komunisme untuk berkembang di tengah masyarakat.
Itu secara hak asasi manusia (HAM). Lalu Taufik mengeluarkan buku sakunya dan membacakan data-data sepak terjang komunisme di seluruh dunia ditinjau dari sudut demokratisasi. Dari 24 negara yang menganut Marxisme, ternyata para pemimpinnya berkuasa dalam rentang waktu 12 hingga 42 tahun. Josip Broz Tito berkuasa 32 tahun di Yugoslavia. Josef Stalin menjadi penguasa Uni Soviet selama 24 tahun. Kim Il-Sung sudah berkuasa selama 42 tahun di Korea Utara. Pun begitu dengan Fidel Castro, sudah 41 tahun berkuasa dan hingga kini masih berkuasa di Kuba. "Jadi, tertolak mereka secara demokrasi," kata Taufik.
Akan tetapi, pendapat yang pro pun tidak kurang juga. Budi Santoso, aktivis Liga Muslim Indonesia berpendapat, kenapa harus takut jika komunisme diperbolehkan hidup di Tanah Air. Bukankah kapitalisme--seperti halnya komunisme--memang tidak pernah akur dengan Islam. Dalam alam yang serba terbuka seperti sekarang ini tidak elok lagi main larang. Apalagi kapitalisme kini telah merajalela di seantero jagat. "Jadi silakan saja. Kita fight secara fair saja," katanya.
Itulah agaknya yang sebenarnya diinginkan Gus Dur. Bahwa yang dilarang adalah PKI sebagai organisasi, sedangkan pahamnya tidak. Dan itu tercantum dalam Tap yang dikeluarkan pada 5 Juli 1966. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa paham komunisme, Marxisme-Leninisme boleh dipelajari secara ilmiah di perguruan tinggi. Tapi dalam prakteknya menjadi salah kaprah, seolah-olah paham komunisme sama sekali tidak boleh hadir di negeri ini. "Itu kan bertentangan dengan HAM," kata Gus Dur.
Rizagana
Laporan: Ridwan Pangkapi