PANJUT / PANJI NO. 06 TH IV - 31 MEI 2000
Sebuah Gudang Bernama Bulog
Korupsi di Bulog:
Berkali-kali Badan Urusan Logistik diterpa skandal korupsi. Tapi, penyelesaiannya tidak pernah tuntas. Entah kali ini.Badan Urusan Logistik (Bulog) tidak hanya kaya akan timbunan sembako. Ia juga salah satu gudang praktek KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Entah berapa pejabat Bulog dan pejabat pemerintah yang sudah dibuat kaya raya lembaga ini. Ya simak saja hasil temuan audit dari auditor internasional Arthur Andersen yang disewa Departemen Keuangan untuk menguliti praktek kotor di Bulog.
Tidak tanggung-tanggung, uang sekitar Rp7 triliun lenyap tanpa sisa hanya dalam tempo lima tahun (1993-1998). Ini terutama terjadi akibat inefisiensi. Ada tiga sumber masalah yang menyebabkan Bulog menjadi gudang kerugian negara. Pertama, akibat persyaratan dagang yang tidak menguntungkan Bulog. Nilai kerugian mencapai Rp2,6 triliun. Ini terjadi, misalnya, karena pemakaian harga dalam kontrak yang lebih tinggi dari tolok ukur pasar yang layak. Jadi, praktek mark up menjadi langganan di lembaga ini.
Kedua, kerugian akibat praktek yang tidak diperkenankan. Angkanya juga tidak kecil, Rp1,8 triliun. Ini terjadi misalnya dalam operasi pasar yang tidak konsisten dengan kebijakan, prosedur, dan peraturan yang ditetapkan Bulog sendiri. Ketiga, sistem pengawasan yang sangat lemah yang berakibat pada pemborosan. Nilainya Rp2,3 triliun. Kerugian ini timbul akibat penundaan pembayaran pinjaman kredit likuiditas Bank Indonesia dan juga karena kerugian nilai tukar.
Selain itu, auditor itu juga mencatat dua jenis ketidakbenaran dalam setiap transaksi. Pertama, transaksi dalam operasi Bulog, meliputi pembelian, pergudangan, transportasi, pengolahan, distribusi dan penjualan, serta sistem pendukung yang mencapai kerugian sampai Rp6,7 triliun. Kedua, transaksi dalam pengelolaan dana Bulog yang tembus angka Rp309 miliar.
Kerugian-kerugian tersebut bisa lama bermukim karena Bulog sudah lama berubah menjadi semacam wilayah yang tidak tersentuh hukum. Bulog tak ubahnya lahan mencari keuntungan bagi segelintir elite kekuasaan, para pejabatnya, serta pengusaha yang "mendompleng" di lembaga itu.
Perhatikan saja, sudah lama Bulog menetapkan pengadaan komoditas impor dengan cara amat tertutup (silent operation). Alasan yang dilontarkan, Indonesia merupakan negara pengimpor beras terbesar di dunia--setelah pemerintah menggembar-gemborkan sebagai negara yang berswasembada beras--sehingga bila dilakukan secara terbuka harga yang ditawarkan akan tinggi. Pembenaran yang kedengarannya dicari-cari. Dengan sistem tertutup itu, maka tidak dikenal tender, semua dilakukan dengan penunjukan. Akibatnya, pelaksanaannya menjadi sulit dikoreksi. Permainan angka, mark up harga, dan juga praktek-praktek kotor ikut pula menjadi pasangan serasi.
Hasil Audit. Kebobrokan Bulog mungkin akan terkubur bila tidak ada pemeriksaan dari BPKP. Sebuah laporan internal pun dibuat oleh Tim Pemeriksaan Khusus (Riksus) BPKP. Salah satu isinya, terungkap keluhan tim Riksus dari BPKP terhadap Bulog yang tidak koperatif terhadap usaha audit BPKP. Rupanya, sikap itu memang dijalankan untuk menutupi gunungan korupsi dan kolusi di Bulog.
Ada satu kas yang sampai sekarang tampaknya dibiarkan terus misterius. Yakni, pos dana di luar neraca pembukuan. Dari pos anggaran yang berjumlah miliaran rupiah itu terungkap penggunaan dana dilakukan untuk kepentingan di luar urusan beras.
Seorang pejabat Bulog berkisah, dana yang ada di luar neraca itu jumlahnya sekarang triliunan rupiah. Dana ini sudah biasa dipakai untuk kepentingan orang-orang luar Bulog. Terutama elite pemerintahan.
Dana taktis itu dikelola oleh deputi keuangan, kepala biro pembiayaan, dan kepala bagian administrasi keuangan. Untuk setiap pengeluaran, secara teknis mesti mendapat persetujuan kepala Bulog. Di zaman Habibie, setiap bulan kepala Bulog wajib memberikan laporan rutin dana yang ada di dana "tak bertuan" itu. Dana ini dikumpulkan selama bertahun-tahun sebelumnya yang diperoleh dari keuntungan pemerintah dalam setiap transaksi. Yang sebenarnya ini merupakan pungutan pemerintah. Setahun lebih dari Rp200 miliar terkumpul.
Riksus dari BPK juga pernah menemukan kejanggalan yang teramat merugikan negara. Misalnya, Bulog meminjam kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada 1997. KLBI sebesar Rp55,6 miliar itu dipakai untuk membeli 35 juta kilogram minyak goreng secara tunai. Namun, minyak yang dibeli itu tidak pernah masuk ke gudang Bulog. Nyatanya, ini hanyalah proyek akal-akalan. Akibatnya, negara dirugikan Rp3,9 miliar untuk membayar bunga pinjaman. Kemungkinan besar bunga bank itulah yang dijarah orang Bulog dan perusahaan minyak tersebut.
Ada pula penggelapan dana Rp47 miliar di balik proses likuidasi Yayasan Pensiunan Pegawai Logistik (Yapenslog) yang dilakukan pada September 1997. Kejadian berawal dari Keppres No. 51 Tahun 1995 yang menggariskan pegawai Bulog menjadi pegawai negeri sipil. Konsekuensinya adalah pengurusan pensiunan pegawai Bulog menjadi tanggung jawab Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Karena itu pula, kekayaan yayasan pun harus dibagikan kepada pegawai dan para pensiunan. Dan, dari dana Rp205 miliar lebih, dana itu tak semua dibagi, melainkan ada yang mampir ke pos nonneraca tadi. Jumlahnya mencapai Rp45 miliar. Selama dua tahun dana itu "menghilang" dan baru belakangan dibagikan kepada anggota tanpa ditambahi bunga. Nah, siapa yang menilap bunga bank Rp45 miliar itu selama dua tahun? Sampai sekarang tidak terungkap.
Tukar Guling Aneh. Mungkin kisah lain yang tak kalah spektakuler adalah kasus tukar guling (ruilslag) gedung Dolog Jaya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dengan luas sekitar 30 hektare. Lahan Dolog itu dipakai untuk pusat perkulakan PT Goro Batara Sakti yang sahamnya kala itu mayoritas dikuasai Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael.
Beddu Amang yang baru saja menjadi kepala Bulog pada 1995 langsung menyetujui tukar guling itu dengan lahan seluas 60 hektare yang rencananya di Cilincing, Jakarta Utara. Saat teken kontrak, tanah yang dijanjikan itu belum tersedia. Dalam formulasi tukar guling yang normal, mestinya bangunan pengganti yang permanen berdiri lebih dulu sebelum bangunan yang lama dihancurkan. Tapi, tidak demikian halnya dalam kasus Dolog Jaya ini.
Anehnya, justru Bulog yang berusaha mencarikan tanah untuk pengganti. Ia minta bantuan taipan Hokiarto (pemilik Hokindo Bank yang sudah dilikuidasi). Berkat Hokiarto itu, tanah didapatkan di daerah Marunda, Jakarta Utara. Selama dalam proses ini, Bulog harus menyewa ke pihak Goro untuk setiap penitipan barang di gudang Dolog Jaya yang masih belum dirobohkan. Beddu pula yang aktif melobi kepada pihak Bank Bukopin untuk mencairkan kredit Rp20 miliar guna keperluan pembebasan tanah. Sebagai jaminan, Beddu menyerahkan deposito Rp23 miliar yang sebenarnya milik Departemen Keuangan yang berasal dari penjualan gandum. Bulog masih juga mentransfer dana Rp27 miliar sehingga total yang dikeluarkan untuk mengatasi penyimpangan ada Rp50 miliar. Sampai sekarang pembangunan gudang itu belum terlaksana semuanya karena ada persoalan dalam pembebasan tanah. Beddu, Tommy, dan Ricardo sudah diadili, dan ketiganya akhirnya bebas.
Untuk kasus Rp35 miliar yang lagi ingar-bingar ini pun agaknya akan menguap juga. "Tekanan ke dalam sangat kuat sekali. Mungkin hanya sampai kelas terinya saja yang menjadi korban," kata sumber Panji di Bulog yang sudah kesal terhadap perilaku para pejabatnya. Ia menyebut semua pengadaan beras di Bulog sekarang ini sudah penuh dengan kolusi, korupsi pun jalan terus. "Hanya sekali ada tender di Bulog, yakni ketika IMF mengawasinya. Selebihnya, you tahu sendirilah," ujarnya.
Dari sekian kebobrokan Bulog itu, menurut hasil audit Arthur Andersen, efektivitas Bulog dalam menjalankan pengadaan pangan tidak mudah untuk dialihkan ke lembaga swasta. Tetapi, untuk menuju era persaingan global, adakah praktek semacam itu harus dipertahankan?
Pracoyo Wiryoutomo