PANJUT / PANJI NO. 06 TH IV - 31 MEI 2000

 

 

Jejak-Jejak Raibnya Duit Bulog

Skandal Bulog: Sejumlah bukti menguatkan pengucuran dana Rp35 miliar dari Yayasan Bina Sejahtera Warga Bulog. Empat lembar cek keluar dalam dua tahap pada Januari. Sebuah rekayasa pun disiapkan. Tiga nama disebut-sebut sebagai penerima kucuran duit itu.

Tanda terima itu bentuknya biasa saja. Isinya, berupa pernyataan telah menerima dari Yayasan Bina Sejahtera Warga Bulog, sebesar Rp35 miliar, sebagai pinjaman pemerintah untuk dana Aceh. Di bawahnya tertera daftar cek dari uang itu. Rinciannya, ada empat cek Bank Bukopin, lengkap dengan nomornya. Dua di antaranya dikeluarkan pada tanggal 13 Januari 2000, masing-masing nilainya Rp5 miliar. Sedangkan dua lainnya tertanggal 20 Januari 2000, masing-masing "lima belas miliar saja" dan "sepuluh miliar saja". Di bawahnya lagi tertera nama penerima, bernama Soewondo, aspri presiden RI, lengkap dengan tanda tangan.

Selain data-data yang tertera dalam selembar tanda terima ini, juga ada kuitansi dengan nilai yang sama, juga dari Yayasan Bina Sejahtera Warga Bulog dan diterima oleh Soewondo. Juga lengkap dengan tanda tangan dan materai. Adapun ceknya, diteken dua orang dengan cap yayasan.

Clear sudah. Skandal Bulog yang telah menjadi gunjingan dalam sebulan terakhir, makin kasat mata. Paling tidak, dari berkas yang diperoleh atas investigasi Panji, benar Soewondo-lah yang menerima empat lembar cek senilai "tiga puluh lima miliar rupiah saja" itu. Tokoh misterius yang dikenal sebagai tukang pijit Gus Dur itu sukses besar mengeruk duit yayasan di lingkungan Bulog itu.

Sampai di sini, berita yang beredar sebenarnya sudah cukup gamblang. Sapuan, wakil kepala Bulog, suatu hari di sekitar awal tahun, didatangi pria bernama Soewondo. Tionghoa beragama Islam ini mengaku punya hubungan khusus dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Ia bilang, Istana sedang perlu dana sekitar Rp20 miliar. Untuk itu Soewondo minta tolong dicarikan dari dana taktis Bulog. Sapuan segera melapor ke kepala Bulog, ketika itu masih dijabat Jusuf Kalla. Namun, menteri yang pengusaha ini tak langsung percaya. Ia meminta surat tertulis langsung dari presiden. Nyatanya, surat yang diminta tak pernah sampai.

Mentok di Jusuf, tak membuat Sapuan bersurut langkah. Ketika Jusuf berangkat ke luar negeri, Sapuan meminta Mulyono, deputi penyaluran Bulog, segera mencairkan dana. Rupanya, tak jadi dari dana taktis, beralih ke dana yayasan. Jumlahnya pun sudah meningkat, menjadi Rp35 miliar. Tindakan itu diduga kuat dilakukan Sapuan karena ia diiming-imingi janji naik pangkat sebagai kepala Bulog. Alih-alih sukses dipromosi, keburu terbongkar.

Skenario. Begitu muncul berita tentang skandal ini, tepatnya sehari setelah pencairan kedua senilai Rp25 miliar, sempat dibuatkan skenario. Sebuah konsep perjanjian peminjaman uang antara Bulog dan pemerintah pun disiapkan. Sapuan, mewakili Bulog di pihak pertama, dan pemerintah yang diwakili Soewondo di pihak kedua. Pinjaman ini ditulis untuk keperluan dana bantuan kemanusiaan Daerah Istimewa Aceh. Konsep itu memang masih kosong. Untuk pihak kedua misalnya, malah tertulis PT…. Lho kok PT padahal yang meminjam pemerintah. Ini yang mengherankan.

Sementara pinjaman diberikan hanya dengan mengeluarkan cek tunai dengan dilampiri kuitansi dan salinan perjanjian. Padahal ketika perjanjian ini dikonsep, duit sudah mengucur. Yang aneh lagi, pada pasal lain disebutkan bahwa Soewondo harus menyerahkan bank garansi dari bank pemerintah atau lainnya. Berapa nilainya masih belum diisi.

Tak dicantumkan pula, berapa lama jangka waktu pinjaman. Hanya disebutkan, terhitung mulai tanggal 21 Januari 2000 sampai dengan tanggal... titik-titik, alias masih dikosongkan. Besarnya jasa pinjaman, atau bunga, tak juga diisi. Hanya disebutkan, pengembalian dana plus uang jasanya, disetorkan ke rekening Yanatera No.1.008.100.019 pada Bank Bukopin Capem Bulog II. Surat perjanjian itu sedianya ditandatangani Sapuan dan Soewondo. Tapi belum ditandatangani.

Belakangan, konon, draf perjanjian ini tak pernah diwujudkan. Beritanya keburu ramai, dan orang-orang yang terkait raib. Baik Soewondo maupun Sapuan tak jelas ke mana. Artinya, cek-cek itu kini entah sudah berada di tangan siapa, atau mungkin juga sudah berubah bentuk. Namun, sebagai jaminan, akhirnya disepakati berupa 309 sertifikat tanah. Nyatanya, tak mencapai jumlah itu, melainkan hanya 210 sertifikat, dengan luas yang tidak jelas.

Di mana persisnya tanah yang dijadikan agunan itu juga tak disebutkan. Ada yang bilang, tanah yang jadi agunan itu terletak di daerah Cidaun, Cianjur. Daerah itu terletak di ujung selatan Cianjur. Lewat perjalanan darat, bisa menghabiskan waktu setengah hari dari Kota Cianjur. Harga pasaran tanah di daerah yang masih terhitung belum terjamah itu masih terbilang amat murah. Jadi, kalau nilai pinjaman Rp35 miliar, agunan yang mesti disediakan bisa mencapai ribuan hektare.

Yang jelas, draf perjanjian itu dan adanya jaminan sertifikat tanah di Cianjur, terkesan sengaja dibuat untuk menutupi skandal pencairan dana yayasan yang tak jelas juntrungannya itu. Ketika skandal itu mulai terbongkar, maka dibuatlah segala rekayasa untuk mengesankan pencairan dana tersebut merupakan pinjam-meminjam resmi.

Dana Politik? Yang jelas, duit sudah kadung mengalir dari kas yayasan. Sapuan sendiri pernah mengatakan, dia percaya saja dengan omongan Soewondo yang membawa-bawa nama Presiden Wahid. "Ya saya percaya saja itu permintaan Gus Dur. Makanya saya keluarkan," ujarnya suatu ketika. Kok, lugu betul Sapuan ini yang percaya begitu saja dengan secarik memo yang dibawa Suwondo. Atau, ia tergiur iming-iming jabatan Kabulog, seperti yang dijanjikan Suwondo?

Saat ini, sangat susah mencari Sapuan. Lelaki yang sudah berumur, berperawakan kecil, dan suka merokok itu tak bisa ditemui di kantornya. Sosok tokoh kunci skandal Bulog ini seperti menghilang, setelah kasus ini merebak hangat.

Jadi, menurut Sapuan, dan juga berdasarkan dokumen tanda terima, dana itu mengalir ke kocek Soewondo. Nah, dari sini pertanyaannya, ke mana uang sebanyak itu? Apakah seluruhnya dimakan Soewondo? Atau, disawer ke orang-orang tertentu?

Dari kabar yang beredar ada dua nama yang disebut-sebut menerima cek-cek itu. Yakni Alwi Shihab dan Bondan Gunawan. Alwi menerima Rp25 miliar dan Bondan Rp5 miliar. Dana yang masuk ke Alwi sebenarnya untuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sayap politik Gus Dur. Sedangkan yang masuk ke Bondan, kabarnya disediakan untuk mendukung pencalonan Bondan sebagai salah seorang calon sekjen PDI Perjuangan. Orang tahu, pencalonan Bondan mendapat restu dari Gus Dur. Toh, ia gagal.

Lalu ke mana sisanya yang Rp5 miliar. Ini yang belakangan mulai digunjingkan. Penerimanya adalah Suko Sudarso, anggota Litbang PDI Perjuangan. Tak jelas, kenapa Suko disebut-sebut menikmati duit itu.

Akan halnya Alwi, yang namanya disebut-sebut ikut menerima dana dari yayasan karyawan Bulog, cuma tertawa terbahak-bahak ketika dimintai konfirmasi. Ia mengatakan, dana yang ia terima sebesar Rp15 miliar. "Tapi itu saya terima saat saya tidur, saat saya mimpi," ujarnya sembari tergelak. Tapi Alwi mengaku memang tahu siapa Soewondo. "Orang yang dekat dengan Gus Dur, pasti kenal dengan orang (lain) yang dekat dengan Gus Dur pula," kata Alwi lagi, sembari menambahkan, "Eh, kalau saya dapat, Anda saya bagi," lagi-lagi dengan ketawa ngakak.

Bondan juga membantah. "Saya tegaskan, saya tak menerima uang itu," ucap Bondan ketika ditemui Panji di kantornya, Selasa (23 Mei) lalu. Bondan mengaku tak merasa perlu meributkan hal itu. Soalnya, kata sekretaris Yayasan Fase Baru Indonesia itu, ia bukan berada pada pihak yang salah. "Ngapain sih saya mesti cari perkara. Kerjaan saya banyak banget kok," kata Bondan lagi.

Adapun Suko, sempat mengangkat telepon genggamnya ketika dihubungi Panji. Sempat pula berbasa-basi sedikit. Namun ketika disinggung soal namanya yang ikut disebut sebagai penerima dana Bulog, telepon langsung ditutup tanpa ba-bi-bu lagi. Setelah itu, telepon genggam Suko tak bisa dihubungi. Tak diaktifkan lagi.

Sang tokoh kunci, Soewondo, juga seperti lenyap di telan bumi. Semenjak kasus itu merebak, juru pijat yang mengaku sebagai asisten pribadi presiden tersebut langsung raib. Panji yang mencoba menelusuri ke kediaman Soewondo di Villa Gading Mas, Jakarta, cuma disambut seorang pria. "Ini bukan rumah Soewondo. Ini rumah orangtuanya," kata lelaki itu. Jadi, di mana Soewondo? "Saya tidak tahu," katanya galak.

Ketua RT di lingkungan rumah Soewondo juga memasang sikap hati-hati, kalau tak boleh dibilang sama galaknya dengan laki-laki di rumah (orangtua) Soewondo. "Siapa bilang Soewondo tukang pijit? Dia memang dekat dengan Gus Dur. Gus Dur dulu sering ke sini," kata si ketua RT, yang terus memasang wajah curiga kepada wartawan Panji.

Namun, picingan mata atas borok di Bulog ini, tak urung tertuju ke presiden. Maklum, nama presiden yang kiai ini yang dipakai Soewondo tatkala menghubungi Sapuan. Penggunaannya pun, disebut-sebut untuk kepentingan orang-orang lingkaran satu Istana, istilah untuk menyebutkan kalangan dekat Gus Dur.

Tetapi, Lisa Abdurrahman Wahid, tegas-tegas membantah cerita itu. Putri Gus Dur itu sampai merasa perlu melayangkan surat ke mana-mana, yang isinya memberi peringatan, ada pihak-pihak tertentu yang sering mencatut nama bapaknya. Tentang skandal Bulog, Lisa bilang, "Buat saya, absurd itu. Bapak sendiri bilang, biar diurus oleh departemen yang bersangkutan," kata Lisa. Gus Dur sendiri sempat mangkel. Sampai-sampai keluar ucapan dari mulutnya, salah sendiri, kenapa mau ditakut-takuti. Tentang Soewondo, Lisa memang mengakui dia kadang bertemu. "Ya, dia memang sebatas tukang mijat. Itu pun tak begitu sering," kata Lisa.

Harus Diusut. Ke mana uang Rp35 miliar itu mengalir, memang baru sebatas kabar-kabar yang beredar. Bulog sendiri, kata Rizal, sudah membentuk tim audit internal. Selain menyelidiki pengeluaran dana, tim itu juga ditugasi melacak ke mana aliran tersebut bermuara. Tetapi Rizal juga susah ditemui. Menurut sekretarisnya, Rizal belakangan ini jarang lama di kantor. Paling mampir sebentar di pagi hari, untuk kemudian keluar, dan tak kembali lagi. Terkadang malah tak kekantor sama sekali. "Kalau soal dana Bulog, nanti saja deh, Mas. Bapak pesan, tunggu saja penjelasannya di DPR, Kamis (25 Mei) nanti," ucap Dini, sekretaris Rizal.

Sebelumnya Rizal mengungkapkan, ia sudah meminta agar uang yayasan yang diributkan itu dikembalikan berikut bunganya. Permintaan itu ditujukan kepada Wakabulog Sapuan. Orang inilah, yang disebut-sebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas pengeluaran dana tanpa prosedur dan keperluan yang jelas tersebut. "Sudah ada permintaan agar uang itu dikembalikan berikut bunganya," kata Rizal.

Hanya saja, skandal yang mencoreng-moreng niatan menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN itu, ikut membuat banyak kalangan tersentak. Suara-suara yang menghendaki kasus ini diusut tuntas, tak kurang gencar. Fraksi PKB langsung membentuk sebuah tim yang dinamakan Tim 7. Anggotanya, tujuh orang anggota fraksi. Menurut Abdul Chaliq Ahmad, ketua Tim 7, tim ini bertugas mengusut orang-orang yang menjual nama presiden. "Sebab, di sekitar presiden banyak orang mengaku PKB. Tugas tim, mencari siapa-siapa saja orang tersebut," ungkap Abdul Chaliq.

Sementara itu, Didi Supriyanto, anggota Komisi IX DPR-RI, mengatakan, semestinya kasus ini sudah mendapat penanganan dari kepolisian. "Semestinya Mabes Polri dan Kejaksaan Agung cepat tanggap. Jangan tunggu orang yang melapor," katanya. Sayangnya, dalam hal ini, dua lembaga penegak hukum itu masih terkesan adem ayem saja. Mabes Polri, kabarnya, masih menunggu laporan dari pihak Bulog. Sementara Kejaksaan Agung, masih terlihat repot mengurusi kasus Soeharto.

Jadi pertanyaan juga, kenapa dua lembaga itu terkesan enggan menanggapi skandal Bulog? Padahal di situ jelas-jelas ada bau KKN. Paling tidak, ada unsur penipuan dengan mencatut nama presiden. Atau, apakah memang ada tangan-tangan ‘sakti’ yang membuat kasus ini tampak temaram? Wallahu a’lam.

Tim Panji