AGAMA / PANJI NO. 30 TH III. 10 NOVEMBER 1999

 

Heboh Tas Berlogo Gereja

 

Kristenisasi: Upaya ke arah kristenisasi kembali muncul di Sumatera Barat. Kali ini berkedok beasiswa untuk murid-murid SD dan SLTP. Masyarakat Pesisir Selatan pun heboh.

 

Belum tuntas penyelesaian kasus pengkristenan Khairiyah Enniswah alias Wawah, pelajar MAN 2 Padang, kasus bergelagat serupa kembali terjadi. Kali ini, upaya ke arah kristenisasi itu berkedok pada pemberian beasiswa, baik berupa uang maupun alat-alat sekolah seperti tas. Anehnya, di dalam tas itu terdapat logo gereja. Kegiatan ini terjadi di Painan, ibu kota Kabupaten Pesisir Selatan, yang terletak di ujung selatan Provinsi Sumatera Barat. Masyarakat setempat pun dibuat heboh bercampur resah.

Heboh beasiswa “berbau” kristenisasi ini bermula dari tindakan Tpbl, 57, pensiunan polisi berpangkat serma. Awal Oktober lalu, dia mendatangi sejumlah sekolah untuk menawarkan bantuan beasiswa bagi pelajar yang pintar namun tak mampu. Besar bantuan itu masing-masing untuk  SD Rp10.000, SLTP Rp15.000, dan SMU Rp20.000. Meski jumlah tersebut tak terlalu besar, itu sangat berarti terutama bagi keluarga yang tak mampu.

Menurut  sumber Panji di kantor Dikbud setempat, ada enam sekolah yang pernah ditawari bantuan semacam itu oleh Tpbl. Namun dari keenam sekolah itu hanya SLTP Negeri I dan SD Negeri 10 Painan yang menerima. Untuk SLTP, bantuan diberikan kepada lima anak, sedangkan untuk SD 10 anak yang masing-masing diberikan bantuan berupa tas dan uang Rp10.000. Yang aneh, pada waktu yang ditentukan, bantuan yang datang ke SDN 10  itu ternyata tak sesuai dengan yang dijanjikan. Misalnya tas yang dikirim hanya empat, sementara uangnya akan menyusul belakangan.

Yang lebih mengagetkan pihak SDN 10 adalah ini: pada bagian punggung tas berwarna hijau-merah itu tertempel sebuah logo bersimbolkan Gereja Benhetten Padang. Kontan saja guru yang melihat logo itu tersentak, dan tas itu pun, yang diantarkan oleh seorang utusan Tpbl, urung diserahkan pada anak-anak. Sementara di SLTP I Painan, Tpbl, juga lewat utusannya, hanya memberi uang sebesar Rp75.000, yang kemudian oleh pihak sekolah diberikan langsung kepada anak-anak penerima beasiswa.

Celakanya, setelah uang itu sampai ke tangan mereka, kabar tentang tas berlogo gereja untuk anak-anak SDN 10 itu sudah kepalang tersebar di masyarakat Painan, termasuk lingkungan SLTP I. Langsung saja pihak sekolah geram dan berjanji akan mengembalikan seluruh uang tersebut. “Kami merasa ditipu. Semula kami mengganggap Tpbl benar-benar tulus. Tapi kemudian ketika masyarakat heboh dan kejadian di SDN itu dipersoalkan, kami merasa dibohongi,” tutur Armaini, kepala SLTP I Painan.

Sayang, sampai sekarang Tpbl masih tutup mulut. Beberapa kali  Panji menghubungi rumahnya, dia selalu menolak ditemui. Hanya salah seorang putrinya, yang juga enggan menyebutkan nama, yang mau menjawab. Menurut dia, kalau mau tanya soal kasus itu, bapaknya tidak mau berkomentar. “Tanya saja ke Polres. Bapak kan mantan polisi, jadi tahu ke mana mesti melapor. Bapak mau berbuat baik dibilang macam-macam. Lagi pula tasnya cuma empat, kok beritanya dibesar-besarkan,” ujarnya rada ketus.

Untuk mengantisipasi kasus tersebut, pihak kepolisian sudah menyelidiki dan memanggil Tpbl. Kapolres Pesisir Selatan Letkol Zakirwan Marza pernah juga mengundang kepala-kepala sekolah yang pernah ditawari beasiswa serupa, dan dihadiri pihak-pihak terkait seperti Depag, Depdikbud, dan Kejaksaan. Menurut Kapolres, bila terbukti Tpbl memberikan beasiswa dengan maksud mempengaruhi anak-anak sekolah ke arah kristenisasi, kapolres akan memintanya keluar dari Pesisir Selatan.

Dalam pertemuan itu, Kapolres juga membacakan surat pernyataan tertulis Tpbl, yang antara lain menjelaskan bahwa ia memberikan beasiswa lantaran belas kasihan dan berniat tulus membantu pelajar yang tidak mampu. Jika niatnya dinilai punya maksud-maksud tertentu, ia merasa menyesal. Dan kini, kopian surat pernyataan Tpbl itu  banyak beredar di Kota Painan.

Hingga kini belum jelas benar bagaimana nasib Tpbl selanjutnya.  Namun, pihak Kandepdikbud Pesisir Selatan sudah mengundang kepala-kepala sekolah setempat untuk mengantisipasi terjadinya kasus-kasus serupa. Kepada mereka, Kakandepdikbud Hasni Siat meminta seluruh jajaran di instansinya dan pengurus sekolah untuk menyalakan lampu lebih besar, sehingga dapat langsung melihat segala sinyal atau isyarat jika ada maksud lain yang terkandung dari niat seseorang.

Memang, kasus ini seharusnya membuka mata semua pihak agar lebih hati-hati. Jangan-jangan, kasus serupa bisa muncul lagi dalam skup yang lebih besar, seperti kasus Wawah yang hingga kini masih terus diproses di Pengadilan Negeri Padang.

 

Nasrullah Ali-Fauzi

Laporan: NI (Padang)