Pelajaran Ukhuwah dari Indonesia
Timur
Ummat Islam yang tinggal di Kawasan Barat
Indonesia, barangkali tidak ada salahnya mencontoh apa yang telah
dilakukan saudaranya, yakni kaum Muslim yang berdomisili di Wilayah
Timur Indonesia, khususnya di Irian Jaya.
Jauh sebelum pengajian bersama oleh pemuda
Muhammadiyah dan Pemuda Anshar Nahdhatul Ulama yang mempertemukan para
sesepuh sekaligus pucuk pimpinan kedua organisasi terbesar di Nusantara
itu, tanggal 15 Desember 1968 atau bertepatan dengan 24 Ramadhan 1388
Hijriyah.
Sejak hengkangnya pemerintah kolonial Belanda
(Protestan) dari wilayah Tanah Air khususnya Irian Jaya, kaum muslimin
yang tinggal di kawasan ini sangat bersyukur sekaligus cemas menyangkut
dakwah Islam dan pendidikan anak-anak mereka. Pasalnya, sudah sejak
dahulu keadaan mereka senantiasa ditekan oleh Pemerintah Kolonial.
Pendidikan di seluruh Irian Jaya pada masa
penjajahan itu diserahkan seluruhnya kepada Zending dan Misi yang diatur
dengan Lagere Onderwijs Subsidie Ordonantie (LOSO) untuk tingkat
pendidikan dasar dan Melderbaar Onderwijs Ordonantie (MOSO) untuk
sekolah tingkat lanjutan.
Pada saat itu, semua sekolah diurus oleh yayasan
yang didirikan oleh Zending yaitu Yayasan Pesekolahan Kristen (YPK),
Yayasan Pendidikan Persekolahan Gereja Injili (YPPGI) dan yang didirikan
oleh Misi Yayasan Pendidikan Persekolahan Kristen (YPPK) serta yayasan
Advent yang didirikan Advent. Ke mana anak-anak Islam sekolah? Tidak ada
alternatif lain, selian harus memasuki sekolah Kristen.
Di tengah kegalauan itu, muncul keinginan dari
salah seorang putra daerah muslim yang dihormati masyarakat untuk
mendirikan sekolah Islam pada tahun 1930. Orang yang dihormati dan
disegani itu adalah Raja Rumbati, Ibrahim Bauw, yang kemudian dikenal
sebagai salah seorang yang tergolong gigih berdakwah. Setelah mendapat
pendidikan keislaman dari seorang muballigh dari Makassar yakni Daeng
Umar, Raja Ibrahim Bauw bermaksud mendirikan sekolah Muhammadiyah. Akan
tetapi langkah Ibrahim Bauw ini dianggap tindakan subversif oleh
Belanda. Ibrahim pun dijebloskan ke penjara selama kurun satu tahun.
Sekeluar dari penjara, semangat dakwah Ibrahim
tidak surut. Ia kemudian mendirikan Kesatuan Islam New Guinea (KING).
Karena memiliki pengikut yang terus berkembang, organisasi ini
belakangan menggugah Pemerintah Belanda yang kemudian mendukung
didirikannya Internat Islam di Fakfak. Gedung Internat Islam ini
selanjutnya digunakan untuk sekolah guru, kemudian dirubah menjadi
Madrasah Aliah Negeri (MAN)—sekarang disini berdiri cabang Yapis.
Di Merauke yayasan Al-Ma'arif (NU) mendirikan SD
Islam sedang Muhammadiyah mendirikan Pendidikan Guru Agama Islam (PGA).
Namun atas inisiatif Bupati Merauke waktu itu, Drs.Anwar Ilmar, dan
dibantu tokoh-tokoh Islam dikawasan paling timur Indonesia tersebut
didirikanlah Yayasan Pendidikan Islam (YPI).
Karena sifatnya masih lokal, pemerintah belum
menanggapi proposal pengajuan bantuan pengembangan pendidikan kepada
LOSO dan MOSO sebagai koordinator pendidikan bentukan Belanda.
Angin cerah terbentuknya lembaga pendidikan Islam
baru benar-benar berhembus setelah Anwat Ilmar dipindahkan ke Jayapura
untuk menjadi Bupati di sana. Bersama Salikhin Soewardaya, kepada Dinas
P dan K Propinsi masa itu, Anwar menggandeng tangan tokoh-tokoh
masyarakat dari berbagai organisasi untuk membentuk wadah pendidikan
Islam. Selain alasan itu, Pemerintah Daerah pada saat itu memang tidak
mengizinkan banyak wadah untuk sekolah-sekolah Islam.
Tahun 1968 barangkali merupakan tahun yang paling
menyenangkan bagi ummat Islam di wilayah ini. Tahun itu bergabunglah
sekolah-sekolah Al-Ma'arif, sekolah-sekolah Muhammadiyah dan sekolah
sekolah di bawah yayasan Islam lainnya bernaung di bawah bendera Yayasan
Pendidikan Islam (Yapis).
Sejak saat itu hubungan berbagai organisasi Islam
di Irian Jaya menjadi bertambah mesra. Bukan hanya mereka dapat
membaurkan anak-anak mereka dalam kemajemukan organisasi, para
pengurusnya juga bisa saling bertukar pikiran. Mencurahkan pengabdian
dakwah ke wadah bersamanya ini. “Saat ini komposisi kepengurusan Yapis
fifty-fifty antara Nu dan Muhammadiyah.” kata Ahmad Rofi'i SE,
Sekretaris I Yapis yang juga sekretaris Syuriyah di Nadhatul Ulama.
Sementara itu yang menjabat sebagai ketua Umum Yapis adalah Drs Samsu
Suriaatmadja dari Muhammadiyah.
Boleh jadi karena kebersamaannya itu, hingga
yayasan yang kerap mendapat kunjungan dari tokoh-tokoh kedua organisasi
dari tingkat pusat itu, mengalami perkembangannya yang relatif cepat.
“Kebanyakan mereka kagum, mengapa di Irian
kerjasama ini dapat diwujudkan.” jelas Ahmad Rofi'i kepada Sahid.
Sampai saat ini yayasan yang berkantor pusat di
Jalan DR. Sam Ratulangi No.11 Dok V atas Jayapura ini memiliki 158
sekolah dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Sekolah-sekolah
tersebut tersebar di 12 Kabupaten dari 13 Kapupaten yang ada di Irian
Jaya sekarang.
Semetara itu jumlah guru dan pengurus yayasan
sebanyak 1080 orang dengan jumlah murid dan mahasiswa sebanyak 19.236
orang.
Yang menarik, kendatipun ada Yapis, jatidiri
masing-masing organisasi Islam itu tetap terjaga secara baik. Secara
otonomi mereka mengelola organisasinya masing masing itu. Untuk
Muhammadiyah beralamatkan di Abepura sedang Al-Ma'arif di jalan
Percetakan Jayapura.
“Menindaklanjuti pertemuan NU-Muhammadiyah di
Jakarta, kami sudah bincang-bincang dengan teman-teman untuk
menyelenggarakan pengajian bersama pada Bulan Ramadhan.” tambah
Ahmad.