Suara Hidayatullah : Desember 1999 / Sya'ban-Ramadhan 1420  

Pelajaran Ukhuwah dari Indonesia Timur

Ummat Islam yang tinggal di Kawasan Barat Indonesia, barangkali tidak ada salahnya mencontoh apa yang telah dilakukan saudaranya, yakni kaum Muslim yang berdomisili di Wilayah Timur Indonesia, khususnya di Irian Jaya.

Jauh sebelum pengajian bersama oleh pemuda Muhammadiyah dan Pemuda Anshar Nahdhatul Ulama yang mempertemukan para sesepuh sekaligus pucuk pimpinan kedua organisasi terbesar di Nusantara itu, tanggal 15 Desember 1968 atau bertepatan dengan 24 Ramadhan 1388 Hijriyah.

Sejak hengkangnya pemerintah kolonial Belanda (Protestan) dari wilayah Tanah Air khususnya Irian Jaya, kaum muslimin yang tinggal di kawasan ini sangat bersyukur sekaligus cemas menyangkut dakwah Islam dan pendidikan anak-anak mereka. Pasalnya, sudah sejak dahulu keadaan mereka senantiasa ditekan oleh Pemerintah Kolonial.

Pendidikan di seluruh Irian Jaya pada masa penjajahan itu diserahkan seluruhnya kepada Zending dan Misi yang diatur dengan Lagere Onderwijs Subsidie Ordonantie (LOSO) untuk tingkat pendidikan dasar dan Melderbaar Onderwijs Ordonantie (MOSO) untuk sekolah tingkat lanjutan.

Pada saat itu, semua sekolah diurus oleh yayasan yang didirikan oleh Zending yaitu Yayasan Pesekolahan Kristen (YPK), Yayasan Pendidikan Persekolahan Gereja Injili (YPPGI) dan yang didirikan oleh Misi Yayasan Pendidikan Persekolahan Kristen (YPPK) serta yayasan Advent yang didirikan Advent. Ke mana anak-anak Islam sekolah? Tidak ada alternatif lain, selian harus memasuki sekolah Kristen.

Di tengah kegalauan itu, muncul keinginan dari salah seorang putra daerah muslim yang dihormati masyarakat untuk mendirikan sekolah Islam pada tahun 1930. Orang yang dihormati dan disegani itu adalah Raja Rumbati, Ibrahim Bauw, yang kemudian dikenal sebagai salah seorang yang tergolong gigih berdakwah. Setelah mendapat pendidikan keislaman dari seorang muballigh dari Makassar yakni Daeng Umar, Raja Ibrahim Bauw bermaksud mendirikan sekolah Muhammadiyah. Akan tetapi langkah Ibrahim Bauw ini dianggap tindakan subversif oleh Belanda. Ibrahim pun dijebloskan ke penjara selama kurun satu tahun.

Sekeluar dari penjara, semangat dakwah Ibrahim tidak surut. Ia kemudian mendirikan Kesatuan Islam New Guinea (KING). Karena memiliki pengikut yang terus berkembang, organisasi ini belakangan menggugah Pemerintah Belanda yang kemudian mendukung didirikannya Internat Islam di Fakfak. Gedung Internat Islam ini selanjutnya digunakan untuk sekolah guru, kemudian dirubah menjadi Madrasah Aliah Negeri (MAN)—sekarang disini berdiri cabang Yapis.

Di Merauke yayasan Al-Ma'arif (NU) mendirikan SD Islam sedang Muhammadiyah mendirikan Pendidikan Guru Agama Islam (PGA). Namun atas inisiatif Bupati Merauke waktu itu, Drs.Anwar Ilmar, dan dibantu tokoh-tokoh Islam dikawasan paling timur Indonesia tersebut didirikanlah Yayasan Pendidikan Islam (YPI).

Karena sifatnya masih lokal, pemerintah belum menanggapi proposal pengajuan bantuan pengembangan pendidikan kepada LOSO dan MOSO sebagai koordinator pendidikan bentukan Belanda.

Angin cerah terbentuknya lembaga pendidikan Islam baru benar-benar berhembus setelah Anwat Ilmar dipindahkan ke Jayapura untuk menjadi Bupati di sana. Bersama Salikhin Soewardaya, kepada Dinas P dan K Propinsi masa itu, Anwar menggandeng tangan tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai organisasi untuk membentuk wadah pendidikan Islam. Selain alasan itu, Pemerintah Daerah pada saat itu memang tidak mengizinkan banyak wadah untuk sekolah-sekolah Islam.

Tahun 1968 barangkali merupakan tahun yang paling menyenangkan bagi ummat Islam di wilayah ini. Tahun itu bergabunglah sekolah-sekolah Al-Ma'arif, sekolah-sekolah Muhammadiyah dan sekolah sekolah di bawah yayasan Islam lainnya bernaung di bawah bendera Yayasan Pendidikan Islam (Yapis).

Sejak saat itu hubungan berbagai organisasi Islam di Irian Jaya menjadi bertambah mesra. Bukan hanya mereka dapat membaurkan anak-anak mereka dalam kemajemukan organisasi, para pengurusnya juga bisa saling bertukar pikiran. Mencurahkan pengabdian dakwah ke wadah bersamanya ini. “Saat ini komposisi kepengurusan Yapis fifty-fifty antara Nu dan Muhammadiyah.” kata Ahmad Rofi'i SE, Sekretaris I Yapis yang juga sekretaris Syuriyah di Nadhatul Ulama. Sementara itu yang menjabat sebagai ketua Umum Yapis adalah Drs Samsu Suriaatmadja dari Muhammadiyah.

Boleh jadi karena kebersamaannya itu, hingga yayasan yang kerap mendapat kunjungan dari tokoh-tokoh kedua organisasi dari tingkat pusat itu, mengalami perkembangannya yang relatif cepat.

“Kebanyakan mereka kagum, mengapa di Irian kerjasama ini dapat diwujudkan.” jelas Ahmad Rofi'i kepada Sahid.

Sampai saat ini yayasan yang berkantor pusat di Jalan DR. Sam Ratulangi No.11 Dok V atas Jayapura ini memiliki 158 sekolah dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di 12 Kabupaten dari 13 Kapupaten yang ada di Irian Jaya sekarang.

Semetara itu jumlah guru dan pengurus yayasan sebanyak 1080 orang dengan jumlah murid dan mahasiswa sebanyak 19.236 orang.

Yang menarik, kendatipun ada Yapis, jatidiri masing-masing organisasi Islam itu tetap terjaga secara baik. Secara otonomi mereka mengelola organisasinya masing masing itu. Untuk Muhammadiyah beralamatkan di Abepura sedang Al-Ma'arif di jalan Percetakan Jayapura.

“Menindaklanjuti pertemuan NU-Muhammadiyah di Jakarta, kami sudah bincang-bincang dengan teman-teman untuk menyelenggarakan pengajian bersama pada Bulan Ramadhan.” tambah Ahmad.