Pemilu DI Aceh Tidak Demokratis Dan Jurdil

CONTENTS

Date: Sat, 19 Jun 1999 10:57:39 +0700
From: KOALISI NGO HAM Aceh [koalisi-ham@aceh.wasantara.net.id]


PEMILU DI ACEH TIDAK DEMOKRATIS DAN JURDIL

Masyarakat Pemantau Pemilu Independen (MPPI) Aceh, Jumat (18/6) siang mengeluarkan pernyataan resmi setelah tuntasnya penghitungan suara di Aceh dengan mengambil kesimpulan bahwa, Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 di daerah ini berlangsung tidak demokratis Luber dan Jurdil, sebagai standard hukum yang harus dipenuhi untuk menentukan bahwa pelaksanaan Pemilu di Aceh bisa dianggap sukses. "Pelaksanaan Pemilu di Aceh mengabaikan aspirasi rakyat akibat intervensi pihak militer, sehingga prosesnya tidak memenuhi azas Luber dan Jurdil," demikian antara lain bunyi pernyataan tersebut. Surat pernyataan itu ditandatangani oleh Otto Syamsuddin Ishak (Koordinator MPPI Aceh ), Afrizal Tjoetra (Forum L:SM Aceh), Iqbal Farabi (KIPP Aceh), Saiful Mahdi (Forum Rektor Simpul Aceh), Zulfikar MS (Yapda Aceh Utara), Mohammad Ibrahim (Walhi Aceh) dan Irwan (KPPI HMI Aceh). Sementara itu, Otto Syansuddin Ishak, mengatakan, hasil akhir dari proses penyelenggaraan Pemilu di Aceh sangat mengecewakan. Apa yang terjadi sangat tidak memenuhi standard hukum yang dapat melegitimasikan bahwa Pemilu di Aceh telah berjalan sebagaimana mestinya.

Karena suasana yang sangat tidak demokratis tidak mungkin dapat menghasilkan suatu pemilu yang dapat diharapkan sebagai wujud partisipasi rakyat yang sebenarnya. Beberapa waktu lalu, secara khusus Otto yang juga ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Aceh dan Ketua Yayasan Cordova, menyatakan bahwa Pemilu di Aceh sangat tidak memenuhi standard Hukum. Intervensi militer, katanya, sangat menonjol terjadi di Aceh Utara, Pidie, dan di Aceh Timur. "Pada dua TPS di Aceh Utara, aparat mengambil alih tugas Panitia Pemungutan Suara (PPS), karena tidak ada orang yang bersedia menjadi PPS," ulas Otto. Selain itu, di Aceh Utara juga terjadi, kotak suara diarak keliling desa dengan truk oleh aparat militer sambil mengimbau warga agar jangan takut dan bersedia untuk mencoblos. Bahkan di Lhokseumawe, penghitungan suara tidak dilakukan di TPS, tetapi di kantor PPD II dan saksinya hanya dua wakil Parpol saja, yakni Golkar dan PKP.

Sementara itu pihak Forum Rektor melaporkan kasus intervensi militer di Sabang. "Aparat kepolisian mengalami ketakutan yang berlebihan, sehingga pada setiap TPS terdapat sampai lima orang petugas keamanan. Di Desa Keuneukai, Kecamatan Suka Jaya, aparat keamanan, segera meminta KPPS untuk membawa kotak suara ke Kecamatan,"kata Saiful, Sekretaris Forum Rektor Simpul Aceh. Selain itu, bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi selama masa Pemilu yang dilaporkan pihak MPPI adalah adanya bilik suara yang dimasuki sampai lima pemilih sekaligus. Hal ini terjadi di Aceh Tengah. Sedangkan penilaian-penilaian atas kerja pihak panitia, MPPI melihat, tidak siapnya jajaran kepanititan mulai dari tingkat PPD I sampai KPPS, Panwaslu dan Panwascam. Banyak diantara mereka yang masih tidak menguasai prosedur, pemberian sampai penghitungan suara, bahkan sampai proses pengiriman hasil. Informasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, jadwal yang tidak tepat, Panwaslu yang tidak berfungsi, juga menjadi catratan penting MPPI.

Hal yang paling memprihatinkan adalah, sampai saat ini pun tidak ada perubahan sikap dari elit politik di Aceh. Mereka masih cenderung untuk memaksakan diadakannya Pemilu di tengah situasi perangkat pelaksana yang tidak siap. Mereka masih melihat Pemilu sebagai alat legitimasi politik dan bukan sebagai wahana perwujudan kedaulatan rakyat. MPPI juga menolak diadakannya pelaksanaan Pemilu di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. "Bila tetap diadakan, MPPI tidak lagi akan melakukan pemantauan, dan Pemilu ulangan itu akan lebih cacat lagi," ujar Otto.


DIVISI KAMPANYE KOALISI NGO HAM ACEH