Date: Thu, 17 Jun 1999 18:50:08 +0700
From: KOALISI NGO HAM Aceh [koalisi-ham@aceh.wasantara.net.id]
Pengungsi Aceh, Kehilangan Pemimpin Dan Terasing Di Tanah Leluhur
Ibu muda itu Umi Kalsum (25) masih terbaring lemah pada lantai semen di
ruangan kelas yang merupakan kamp pengungsian belasan ribu penduduk dari
Kecamatan Peudada, Aceh Utara. Padatnya manusia dan tidak nyamannya ruangan
tanpa AC pada jam 12.00 siang itu membuat wajahnya meringis gerah. Tetapi
disampingnya, seorang bayi yang dilahirkan beberapa jam sebelum ia
mengungsi pada hari Rabu 26 Mei 1999 lalu tertidur lelap, tak memahami apa
yang terjadi di luar dirinya.
Anak itu, Karuna Syahputra (umur 12 hari) diberi nama dalam pengungsian
oleh warga lain yang juga ikut mengungsi. Karuna adalah sebuah kata dalam
bahasa Aceh yang maksudnya (ada kekacauan), Syah artinya Raja, jadi Karuna
Syahputra dapat diartikan "seorang raja yang lahir dalam keadaan yang
kacau" . Begitulah Umi Kalsum yang jauh nampak lebih tua dari usia aslinya
bercerita tentang sang "putra raja"-nya itu. Sementara itu, suaminya masih
berada di Bireuen, untuk suatu keperluan.
Boleh jadi Karuna, si jabang bayi itu adalah salah seorang anak yang
beruntung dibanding 150 anak di camp pengungsian Ulee Glee yang diserang
penyakit, dan bahkan ada yang meninggal dunia. Tidak hanya para bayi, orang
tua dan anak-anak juga mulai terjangkit berbagai penyakit, termasuk tekanan
psikis yang membuat salah seorang pengungsi pernah mencoba bunuh diri.
Bahkan dalam pekan kedua bulan juni ini saja, tidak kurang 8000 pengungsi
harus mendapat perawatan kesehatan akibat berbagai gangguan kesehatannya
lainnya di kamp Ulee Glee, Pidie.
Menurut Umi, yang bercerita kepada wartawan, ia terpaksa harus
meninggalkan desanya, Cot Kruet, untuk ikut dengan warga lainnya mengungsi
ke ibukota Kecamatan, karena takut pada tentara yang melakukan operasi
militer di sana setelah peristiwa Cot Kruet hari Selasa, 25 Mei 1999 yang
turut menewaskan seorang dokter dan para medis lainnya. Ketika Rabu siang
itu penduduk mulai bergerak untuk mengungsi, ia baru saja melahirkan
Karuna, dan dengan angkutan mobil tua seorang tetangga ia pun eksodus ke
camp Peudada.
Saat ini tidak kurang dari 10 ribu pengungsi masih bertahan di camp
Peudada, meskipun ada beberapa ratus yang "dipaksa" pulang oleh pihak
keamanan beberapa waktu lalu. Namun sebagian besar masih bertahan sampai
pekan kedua bulan Juni ini. Sadangkan di camp Ulee Glee dikabarkan ada 30
ribu pengungsi yang juga masih tetap belum berani pulang, pengungsi di
Masjid Teupin Mane sebanyak 6000 jiwa, Sementara itu, ribuan pengungsi
lainnya menyebar di daerah-daerah yang "rusuh" sekitar daerah pengungsian
utama.
Selain dari Kecamatan Bandar Dua Pidie, arus pengungsian juga datang dari
Kecamatan Ulim dan Meurreudu yang berdekatan dengan Peudada, Aceh Utara.
Sekitar 22 ribu jiwa lebih warga dari 40 desa mengungsi ke Ibukota
Kecamatan masing-masing. Jika ditotal jumlah pengungsi lokal sepnajang Aceh
Utara dan Pidie,(internal refugee) tidak kurang dari 60.000 jiwa. Belum
lagi pengungsian dalam jumlah kecil di Aceh Barat dan Aceh Timur.
Menurut Ifdhal Kasim, SH, staf ahli Elsam, Jakarta, dalam pelatihan
pemantauan HAM yang diselenggarakan oleh Koalisi NGO HAM Aceh di
Lhokseumawe beberapa waktu lalu, situasi pengungsi lokal ini memang sangat
memprihatinkan karena tidak ada komponen pemerintahan yang berinisiatif
menyelesaikan masalah ini. Mereka hanya teriak-teriak, "sebaiknya
masyarakat pulang saja, karena situasi sudah membaik," tanpa pernah secara
serius memahami akar masalahnya. Selain itu, pihak UNHCR (United Nation
High Commisioner Of Refugee) tampaknya tidak bisa turun tangan dalam
konteks ini. Karena, mereka menganggap masalah internal refugee atau
internal displaced ini diluar kriteria mereka.
Berdasarkan pengamatan para aktivis, ketidakpedulian pemerintah setempat
terhadap fenomena pengungsian yang berkembang membuat masyarakat Aceh
semakin merasa kehilangan pemimpin dan tidak memiliki perlindungan.
Sehingga saat ini warga yang mengungsi mencoba mengelola sendiri hidup
mereka. Persediaan logistik, khususnya di camp Peudada ketika dikunjungi
aktivis NGO dan wartawan pekan lalu, ternyata lebih dari cukup. Seluruhnya
praktis merupakan sumbangan dari masyarakat lain yang terpanggil rasa
solidaritas. Tekanan-tekanan yang terjadi atas masyarakat di Pidie, Aceh
Utara dan Aceh Timur, nampaknya semakin mengentalkan tingkat solidaritas
sesama mereka.
Berdasarkan pengamatan para aktivis dan wartawan di lokasi pengungsian
Ulee Glee dan Peudada, pandangan yang menyolok di setiap camp pengungsian
adalah berkibarnya bendera-bendera Aceh Merdeka serta spanduk-spanduk dalam
Bahasa Inggris dan Bahasa Aceh. Di lokasi pengungsian Ulee Glee terdapat
spanduk, "No gun, no war, no Army Action, but freedom", "We want UNO to
come to Acheh" , "Good bye_Indonesia". Mereka juga meneriakkan yel-yel
kemerdekaan untuk Aceh. Sedangkan di Peudada, spanduk-spanduk senada juga
bertebaran di dalam lokasi pengungsian.
Ada indikasi pengungsi itu kini diorganisir oleh kelompok Aceh Merdeka.
Tetapi menurut Vanessa Johanson jurubicara ACFOA (Australian council For
Overseas Aid) Australia, yang berbicara dengan Koalisi NGO HAM Aceh, di
Banda Aceh, Sabtu lalu, tetapi mereka juga sepakat bahwa hal itu wajar
terjadi, karena saat ini yang mau perduli dan menolong masyarakat hanyalah
kelompok dari Aceh Merdeka. Menurut J. Kamal Farza, aktivis HAM dari
Yayasan Anak Bangsa, kelompok Aceh Merdeka inilah yang membantu para
pengungsi mengatasi persoalan-persoalannya ketika Pemda TK I ataupun
pemerintah Habibie tidak mau peduli atas penderitaan mereka.
Terlepas dari latarbelakang dan tujuan penduduk melakukan pengungsian
besar-besaran di Aceh Utara dan Pidie, tampaknya penanganan serius dari
pihak pemerintah diperlukan sangat segera. Karena apapun juga, kondisi di
pengungsian akan menurunkan kualitas hidup masyarakat dan memuncakkan
kondisi tidak stabil. Tetapi hal ini tidak terlepas dari peranan pemerintah
dan political will dari TNI untuk segera menarik pasukannya dari Aceh,
karena faktanya, rakyat samasekali tidak ingin berurusan dengan TNI, dan
mereka merasa lebih aman apabila semakin jauh dari tentara.
Seperti yang diinginkan oleh Umi Kalsum yang masih harus merawat Karuna,
bayinya yang sudah ikut menderita karena kekacauan di Aceh. "Kami tidak
berani lagi ke kampung kalau Pak tentara itu masih ada di sana," katanya
dalam bahasa Aceh yang kental. Tetapi apa yang bisa dilakukaannya, ketika
semua orang telah pergi, tidak mungkin ia akan tinggal sendiri. Maka
seperti Umi dan Karuna, ketidakpastian menggayuti nasib 60.000 warga Aceh
yang telah kehilangan tempat berpijak dan menjadi perantau di negeri
sendiri. Mereka kehiilangan pemimpin yang mengayomi, sekaligus tanah
leluhur yang tak lagi bisa dimiliki dalam arti sebenarnya.
Divisi Kampanye
Koalisi N.G.O. HAM Aceh
|