TELAAH UTAMA

 

Awas!
Pertarungan Belum Selesai
Siapa punya peluang, Gus Dur, Mega atau Habibie?
Bagi kelompok Islam, Gus Dur dan Amien
lebih bisa “dijual”. Bagaimana kalau Gus Dur
mundur? Gawat!

 


wpe26.jpg (19861 bytes)


Pekik Allahu Akbar di kubu   Fraksi Reformasi —gabungan PAN dengan Partai Keadilan— dan sebagian wartawan menandai kemenangan Amien Rais yang terpilih secara demokratis sebagai Ketua MPR, Ahad (3/10) malam lalu. Setelah menerima ucapan selamat, Amien, yang juga mantan Ketua PP Muhammadiyah, menyalami Gus Dur dan mencium kedua pipi Ketua Umum PB NU itu. Hampir semua yang hadir larut dalam kegembiraan atas kemenangan lokomotif reformasi itu.
          Berikutnya, Akbar Tandjung menyusul sukses Amien, terpilih menjadi Ketua DPR, Selasa (5/10) malamnya. Jelas, naiknya Amien dan Akbar sebagai orang pertama di MPR dan DPR, merupakan keberhasilan lobi kubu Poros Tengah. Memang, harus diakui, lobi-lobi yang dimainkan Poros Tengah —dimotori PPP, PAN, PBB, PK— untuk sementara berhasil merontokkan kekuatan PDIP yang didukung PKB. Hal ini, setidaknya, diakui oleh salah seorang anggota DPR/MPR dari PDIP yang juga berprofesi sebagai pengacara. “Mereka, kelompok Poros Tengah itu, umumnya jago lobi dan pintar dalam bermanuver. Jadi, kita harus keras menolaknya,” katanya.
          Tapi betapa pun, pertarungan ini belum usai. Agenda terpokok dan terpenting, yang kini tengah jadi sorotan semua pihak, adalah pemilihan presiden dan wakil presiden. Kekalahan demi kekalahan yang dialami PDIP dalam SU MPR tahap I, tentu membuat partai pimpinan Megawati ini jadi mawas diri. Itu misalnya diungkapkan Sophan Sophian, anggota DPR/MPR dari PDIP. Bentuk dari mawas diri atau introspeksi itu, menurut Jakob Tobing, dari fraksi PDIP, adalah dengan lebih menyempurnakan lobi, perhitungan, dan sebagainya. Walau begitu, Jakob mengakui, “Tidak setiap janji dan komitmen itu ditepati begitu saja oleh mereka yang di lapangan.” Jadi, jelas di sini, rasa pede PDIP yang berlebihan, sehingga membuatnya ogah membuka diri atau membangun aliansi dengan kekuatan lain, sudah disadari sebagian anggotanya. Menurut Sophan, solidnya suara TNI dengan tidak memberikan suaranya ke mana-mana merupakan isyarat dari TNI, bahwa mereka perlu dilirik.
          Lantas, akankah PDIP melirik fraksi TNI? Tak mustahil. Segala cara akan mereka tempuh untuk memenangkan kursi RI-1. Di atas kertas, andai Gus Dur, Habibie dan Mega jadi naik sebagai capres, jelas kurang menguntungkan kelompok Islam lantaran suara akan terpecah. Ketika suara Habibie dan Gus Dur terbagi-bagi, Mega akan diuntungkan. Adalah sangat mungkin, seperti dikatakan Eep Saefulloh Fatah, kalau Gus Dur dihadapkan dengan Habibie, suara Poros Tengah akan lari ke Habibie. Atau, mungkin juga sebaliknya.
          “Kalau nanti yang maju Habibie dan Megawati, lalu Poros Tengah lari ke Habibie, bagaimana mereka mempertanggungjawabkan problem yang dimiliki Habibie, seperti yang selama ini dipahami masyarakat,” ujar pengamat politik dari Fisip UI ini.
Kalau ternyata yang maju adalah Gus Dur dan Mega, lanjut Eep, lain lagi konsekuensinya. Konsekuensinya, di balik itu telah menunggu Jenderal Wiranto, karena, “Gus Dur, Mega atau Habibie juga melirik Pangab ini untuk jadi wapres,” tuturnya. Koalisi PDIP dengan TNI sangat mungkin terjadi, kata Zarkasih Nur, anggota DPR/MPR dari PPP. Toh, menurutnya, itu sangat bergantung pada lobi yang telah dibangun. “Kita juga mencoba melobi dan mendekatinya. Tetapi, kita harap TNI netral saja,” tambahnya.
          Nah, bila skenario PDIP dan TNI berkoalisi benar-benar terjadi, innalillahi ..., maka kekhawatiran banyak pihak bahwa TNI kemungkinan manggung lagi, jadi kenyataan. Demo, boleh jadi, akan tetap marak. Lalu? Seyogyanya skenario yang membuat potensi TNI bisa manggung lagi, harus dicegah. Lantas?
         Marilah kita coba skenario lain. Beberapa figur yang kini berkembang di permukaan adalah Gus Dur, Amien Rais, Megawati, Akbar Tandjung dan Habibie. Meski Amien dan Akbar sekarang resmi memimpin MPR dan DPR, tapi tak menutup kemungkinan keduanya dicalonkan masing-masing fraksinya sebagai presiden atau wakil presiden.
         Bagi kelompok Islam, tentu yang ideal memimpin bangsa ini adalah figur yang selama ini dikenal sebagai bapak reformasi, siapa lagi kalau bukan Amien Rais. Karena, Amienlah —bersama mahasiswa— yang berperan besar menembus kebekuan dan kejumudan bangsa ini. Gelar sebagai “bapak reformasi” atau “lokomotif reformasi”, tentu dengan alasan yang sangat logis, yang tak bisa dibantah oleh pihak mana pun, suka atau tidak suka. Mantan orang Orde Baru macam Akbar Tandjung sekalipun mengakui akan ketokohan Amien sebagai tokoh reformasi. “Pak Amien Rais, jelas dia tokoh reformasi. Dialah yang memonopoli reformasi. Maka, dengan beliau memimpin lembaga tertinggi negara ini, kita harapkan betul produk-produk reformasi akan dihasilkan lembaga ini,” aku Akbar.
         Selain itu, di antara calon yang ada, Amien relatif bersih, memiliki masa lalu yang baik, sehingga lebih punya nilai jual. Keberhasilannya meraih kepemimpinan di MPR menunjukkan, bahwa banyak pihak yang suka pada figur Amien. Artinya, siapa pun, termasuk para mahasiswa yang suka demo, sukar menolak bila Amien yang terpilih jadi presiden. Toh, kalaupun nanti yang maju adalah Gus Dur, dan Deklarator PKB itu terpilih jadi presiden, adalah tidak berlebihan jika kemudian umat berharap Amien mengambil posisi wapres.
          “Kalau dua tokoh ini bersatu, itu juga menjadi bagian penting dari penyatuan Indonesia..., dan ini akan sangat sinergis,” kata Dr. Fuad Bawazier, anggota MPR Utusan Daerah dari unsur PAN Yogyakarta. Jelas, memang, dampak positifnya akan besar bagi perjalanan ke depan bangsa ini. Betapa tidak. Menurut mantan Menkeu ini, kelak pembangunan SDM akan banyak diisi oleh kader-kader Islam. “Sepuluh tahun ke depan kita akan membangun SDM bersama. Dan tadi malam (Senin, 4/10 malam lalu, red), di Muara Angke, Gus Dur juga menyinggung hal ini. Nilai ini bahkan jauh lebih penting daripada sekadar kursi,” lanjutnya.
          Masalahnya, kata Eep, Amien tak begitu disukai militer. Bagi militer, termasuk orang-orang yang anti Habibie, Amien adalah seorang figur yang belum selesai mereka definisikan. Jika benar analisa itu, apapun jadinya, ujian bagi Amien adalah perlunya wong Solo ini meyakinkan semua pihak akan kekonsistenannya berada dalam jalur reformasi. Sehingga, siapapun pihak atau kelompok yang tak menyukainya, akan sulit menjegalnya. Maka, kepemimpinan Amien di MPR jadi ujian pertama baginya untuk memuluskan langkahnya menuju tangga istana.
          Amien sendiri mengakui, majunya dia sebagai Ketua MPR adalah untuk memuluskan Gus Dur meraih kursi presiden. “Bisa dirasakan seperti itu,” katanya pada SABILI. Pertanyaannya kemudian, bila Gus Dur berhasil didudukkan di kursi presiden, akankah cucu pendiri NU itu, sreg didampingi Amien? Jika melihat hubungan Gus Dur-Amien belakangan ini, apalagi dalam konteks ukhuwah Islamiyah, seperti disinggung Fuad Bawazier, mestinya Gus Dur akan lebih oke kalau Amien jadi wapres. Dan, dalam sejarah republik, itu jelas sebagai suatu peristiwa besar. Akan tercatat dalam tinta emas sejarah bangsa ini, bahwa dua kekuatan besar ormas Islam pernah menjadi dwi tunggal, menyatu, memimpin bangsa yang mayoritas penduduknya muslim.
Itu idealnya. Yang gawatnya, kalau tiba-tiba Gus Dur mundur dari pencalonan. Andai calonnya tiga —Gus Dur, Habibie, Mega— dan di tengah jalan Gus Dur mundur, di atas kertas suara akan lebih ke Mega ketimbang Habibie. Apalagi, bila mengingat, di tubuh Golkar sendiri pecah dua, antara yang mendukung dan menolak putra Pare-Pare itu.    Demo pun akan lebih marak lagi —terutama dilakukan oleh barisan kiri— jika dia yang terpilih. Meski kelompok kiri boleh dibilang kecil, tapi dengan dukungan media massa, seakan mereka besar. Belum lagi, pasar, yang jelas akan bereaksi negatif, krisis politik dan ekonomi makin menajam, dan sederet kemudharatan lainnya.
          Kalau pun kemudian Habibie yang mundur atau diminta mundur, taruhlah Gus Dur yang jadi, setelah Mega mengalah, maka tak mustahil PDIP minta konsesi. Bisik-bisik tentang cerita ini pun mampir ke telinga para wartawan yang sedang meliput jalannya SU di Gedung MPR. Oke, Gus Dur jadi presiden, tapi PDIP minta wapresnya Mega. Jelas, kemungkinan besar PKB akan mendukungnya. Kalau ini terjadi, tentu ke depannya sangat berbahaya. Jelas, peluang Mega untuk meraih R-1 tinggal selangkah lagi. Itu, bila mengingat, kondisi fisik Gus Dur yang, suatu saat bisa saja tak memungkinkan lebih maksimal memimpin negeri ini. Sebagaimana Habibie yang ditolak oleh sebagian kelompok negeri ini, begitu pula dengan Mega. Kelompok Islam akan bereaksi negatif. “Kalau Mega menang apa juga (dijamin) tak ada gerakan massa?” kata Yusril setengah bertanya. Negeri ini bukannya stabil, tapi tetap saja mengalami krisis, utamanya krisis politik. Jangan tanya lagi krisis ekonomi atau krisis lainnya. Jadi?
Seyogyanya Gus Dur tak boleh mundur dari pencalonan itu. Sebab, kalau dia mundur, bukan saja putra almarhum KH Wahid Hasyim ini mengkhianati amanat yang telah diberikan kepadanya, tapi lebih dari itu akan berdampak pada ukhuwah yang kini telah mulai terbangun, dan akan makin memperparah keretakan bangsa, yang saat ini memang sudah retak. Di sinilah bertemunya alasan Amien Rais, mengapa ia menjagokan Gus Dur? Menurut Amien, untuk saat ini, relatif Gus Durlah yang lebih bisa diterima berbagai kelompok negeri ini. “Gus Dur adalah figur yang punya daya jual, sehingga layak jadi calon presiden. Poros Tengah akan memperjuangkannya,” katanya.
          Baiklah, kalaupun akhirnya Gus Dur harus mundur juga, dengan alasan tertentu, misalnya, mengapa Poros Tengah —mungkin dimulai dari fraksi Reformasi— tidak mencalonkan Amien saja? Kalau boleh berterus terang, kata Zarkasih Nur, presiden yang menguntungkan dari sudut pandang umat Islam adalah Amien Rais.
“Adapun Pak Amien menjadi Ketua MPR, karena saya ngotot. Tadinya, ia maunya Hamzah Haz, makanya saya berusaha betul tetap harus Amien Rais. Sekarang saya sudah tidak berpikir fraksi lagi, tetapi keumatan,” akunya. Maka, menurutnya, duet yang paling baik adalah antara Amien dan Akbar. “Duet keduanya sudah manis. Tetapi, itu tergantung dari Poros Tengah,” tuturnya lagi.
          Di samping Amien, di luaran juga berkembang isu: Nurcholis Madjid, sebagai calon alternatif bila Gus Dur mundur. Benarkah? Namanya juga isu. Bisa benar, bisa pula tidak.
          Agar lebih realistis, dan tidak bermain dengan isu, ada baiknya kita menghitung-hitung. Andai tiga orang ini —Gus Dur, Mega, Habibie— maju. Jika Gus Dur jadi maju, sebagaimana isyarat Alwi Shihab, Ketua PKB, maka PKB akan mendukungnya. Selain itu, yang sudah jelas berdiri di belakang Gus Dur adalah Poros Tengah yang terdiri dari fraksi PPP (59 kursi), fraksi Reformasi (41), fraksi PBB (13), ditambah partai-partai Islam lainnya, taruhlah ada 10 kursi. Plus fraksi PKB (51). Total dukungan untuk Gus Dur ada 174 suara. Ini belum lagi suara dari fraksi Utusan Golongan dan Utusan Daerah, atau mungkin ada anggota fraksi PDIP yang membelot?
Bagaimana suara dukungan untuk Habibie? Katakanlah Golkar plus TNI solid mendukung Habibie, maka di atas kertas pakar pesawat terbang ini akan mendapatkan 158 suara, terdiri dari fraksi partai Golkar (120) dan fraksi TNI (38). Ini belum termasuk dukungan dari utusan Golongan dan Utusan Daerah.
          Akan halnya dukungan untuk Mega, yang sudah jelas adalah dari fraksi PDIP sendiri (153). Belum termasuk fraksi Utusan Golongan dan Utusan Daerah. Seperti diketahui, PDIP menang di 14 daerah, sehingga berhasil menempatkan kadernya sebanyak 28 orang, mewakili Utusan Daerah. Hitungan di atas kertas, Mega sudah didukung 181 suara. Ini yang riil, belum lagi sumbangan suara lainnya.
          Meski Dewi Fortuna Anwar, dari kubu Habibie, melihat ketiganya akan berkompetisi dengan sangat menegangkan, toh di atas kertas peluang Habibie jadi mengecil. Karena, sesuai mekanisme pemilihan presiden mendatang, menurut Yusril Ihza Mahendra, kalau ada 10 calon, akan dipilih menjadi 3. “Dari tiga, dipilih lagi menjadi dua, kemudian dipilih lagi menjadi satu. Tetapi, kalau salah seorang telah mendapatkan lebih dari 50%, ya selesai, walau calonnya ada 100 orang,” ujar pakar Hukum Tata Negara ini.
          Nah, jika kita lihat hitung-hitungan di atas, berdasarkan mekanisme pemilihan presiden, di antara ketiga calon itu, Habibie-lah yang mesti mundur atau ditarik pencalonannya oleh Golkar. Karena, suara dukungannya masih di bawah Mega dan Gus Dur. Tapi, ini baru hitungan di atas kertas. Jika skenario hitung-hitungan di atas berjalan sebagaimana adanya, berarti tinggal dua nama, yakni Mega dan Gus Dur yang maju.
           Nah, siapakah di antara keduanya yang berhasil menggapai tangga istana? Pertarungan tampaknya akan makin seru. Kubu mana yang menang akan kembali pada sejauh mana masing-masing kelompok berhasil memainkan lobinya. Di samping itu, figur capres yang disodorkan juga akan sangat menentukan. Figur tersebut, tentu harus yang bisa “dijual”.
          Gus Dur dan Amien Rais, termasuk figur yang punya nilai jual, dan layak berhadapan dengan Mega. Dengan majunya Gus Dur, dan bila berhasil, diharapkan kubu Mega tidak mengerahkan massanya. Karena, berkembang isu, andai Mega gagal meraih kursi presiden, massanya akan bergerak. “Diterjunkan sih tidak,” kata Jakob Tobing. Kalau mereka tetap ngotot? “Kita mengimbau, tetapi..., mereka kan punya hati nurani,” serunya. Toh, ia berharap, semua permasalahan diselesaikan di gedung (MPR). Caranya?
         Untuk meredam ketidakpuasan pendukung Mega, di Senayan beredar pula kabar,  kemungkinan dimunculkannya bentuk kompromi, dengan menaikkan duet Akbar-Mega. Mungkinkah? Slamet Effendy Yusuf dari fraksi Golkar menepis kemungkinan ini. “Kita tetap konsisten dengan calon yang sudah ada,” katanya. “Tak ada perubahan, kecuali kalau di rapim muncul pemikiran lain.” Bahwa alternatif Akbar-Mega dimaksudkan sebagai bentuk kompromi, boleh-boleh saja, tapi ini alternatif terpahit. Duet Akbar-Mega saja disebut yang terpahit, apalagi kalau di balik: Mega-Akbar, sebagaimana diusulkan pendukung Mega. Dapat dipastikan kelompok Islam, sebagai kaum mayoritas negeri ini menolaknya.
          Bagi kaum muslimin, khususnya yang tergabung dalam Poros Tengah, duet Gus Dur dan Amien, mungkin akan mampu meredam gejolak yang selama ini terus berlangsung. Jadi, demi kemaslahatan umat dan bangsa ini, Gus Dur jangan mundur! Kalau pun, dengan alasan syar’i tentunya, terpaksa harus mundur, siap-siaplah Amien dan Akbar maju, menggantikan Gus Dur. “Saya kira Gus Dur tidak akan mengundurkan diri. Karena, saya lihat, beliau serius sekali,” kata Amien pada SABILI. “Pencalonan Gus Dur akan segera diumumkan oleh fraksi reformasi,” ujarnya menambahkan.
         Amien menepati janjinya. Rabu (6/10) lalu, fraksi Reformasi (PAN dan PK) secara resmi mencalonkan Gus Dur sebagai presiden mendatang. Tanggapan PKB? KH Nur Iskandar dan KH Yusuf Muhammad, dari fraksi PKB, menyatakan, bahwa PKB segera menyatakan dukungannya terhadap pencalonan itu. Jadi, ini sungguh serius.
         Nah, andai pun Gus Dur pada saatnya nanti tetap mundur, maka untuk saat ini belum ada lagi calon layak, yang bisa “dijual”, selain Amien. Kiranya Amien mencermati suara nurani umat ini. Amin.
n
M.U. Salman
Laporan: Alim, Eman, Mia, Rivai, Wasilah