Amien Rais: Waspada Demonstran Bayaran
JAKARTA -- Ketua MPR-RI, Amien Rais, menyangsikan aksi unjuk rasa --
yang menggoncang Jakarta sejak tiga hari ini -- murni dilakukan
mahasiswa. Berkaitan dengan hal tersebut, ia menyerukan agar mewaspadai
pendemo bayaran yang mendapat dukungan dana, dari pihak tertentu.
Amien mengungkapkan hal tersebut, di sela acara Sidang Umum (SU) MPR,
kemarin. ''Memang kebanyakan yang turun ke jalan itu jelas ada otak dan
ada pendukung keuangannya. Terutama apa yang kelihatannya sangat
agresif. Sebab, kalau benar-benar itu murni aksi mahasiswa saya kira
sulit dibayangkan untuk membuat bom molotov kemudian pasang badan ketika
berhadapan dengan aparat,'' katanya.
Amien mengatakan, saat ini pihaknya sudah bisa membedakan antara
demonstrasi yang murni, penuh idealisme untuk betul-betul berorientasi
kepada kepetingan rakyat banyak, dengan demontrasi yang memakai bayaran.
''Dalam hal ini memang saya tidak punya bukti. Tapi ketika saya melihat
di televisi ada demonstran yang ditangkap ternyata mengaku bahwa
tindakannya itu memang untuk bayaran.''
Sementara itu ratusan massa yang hingga Sabtu petang masih memadati
jalanan di depan Kampus Universitas Katolik (Unika) Atmajaya, dikepung
petugas keamanan. Massa berlarian memasuki kampus Atmajaya.
Aparat keamanan yang dipimpin Kapuskodalops Polda Metro Jaya Kol.
Sunarko pun mensweeping. Kadispen Polda Metro Jaya, Letkol Pol
Zainuri Lubis mengakui, petugas keamanan masuk ke kampus. Namun,
menurutnya, tujuannya untuk menjaga mahasiswa yang disusupi massa.
''Kita lakukan persuasif dengan meminta mahasiswa dan keluarga besar
Unika Atmajaya, memisahkan diri dari massa. Akhirnya didapat ratusan
warga yang memanfaatkan kampus untuk bersembunyi,'' jelasnya.
Lubis pun mengungkapkan, sejumlah mahasiswa dan Satpam turut membantu
aparat keamanan. Mereka memeriksa sejumlah tempat dan gedung di dalam
kampus. Hasilnya, puluhan massa yang bukan mahasiswa, diciduk.
Berdasarkan pemantauan Republika, unjuk rasa sepanjang
kemarin, tidak sebrutal dua hari sebelumnya. Hujan deras yang tercurah
dari langit Jakarta, kemarin petang, membuat massa bubar.
Hingga kemarin, Republika mengamati, massa pendukung Megawati
yang berasal dari berbagai daerah, masih mengalir ke Ibukota.
Sedikitnya, dua ribu massa pendukung PDI-P dari Surabaya, sejak kemarin
telah bergabung dengan massa lainnya yang terlebih dulu berada di
Jakarta dan berunjukrasa.
Massa PDI-P ini berangkat ke Jakarta dengan menggunakan puluhan bus
secara gratis. ''Kami berangkat ke sini (Jakarta) semuanya ditanggung
partai. Pokoknya, tinggal ikut, soal makan dan kebutuhan lain sudah ada
yang mengatur,'' aku Didik, simpatisan PDI-P asal Kecamatan Sawahan,
Surabaya.
Dugaan Amien tentang tak murni mahasiswa yang berunjuk rasa
beralasan. Kadispen Polri, Brigjen Togar M. Sianipar pada jumpa pers di
gedung MPR, kemarin, mengungkapkan, unjuk rasa itu telah tidak murni.
Tapi kelompok-kelompok tertentu telah menungganginya. Sianipar
menegaskan, hal tersebut terungkap dari keterangan beberapa pendemo yang
ditangkap aparat keamanan.
Sianipar merinci: dari 73 orang yang ditangkap dan diperiksa,
ternyata 80 persen adalah preman. Sisanya memang mahasiswa. Menurut
Sianipar, ke-73 orang yang ditangkap, mengaku mendapat imbalan untuk
unjuk rasa. ''Tarif bayarannya sekitar Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu,''
jelasnya.
Sianipar pun mengungkapkan ada pelajar SLA yang dipaksa berdemo.
Pelajar yang hendak praktek di BPPT itu mengaku, sejumlah anak muda yang
mengenakan jaket almamater memaksanya berdemo. Bila tidak bersedia,
mereka mengancam memukulinya.
Sianipar pun menyesalkan dilibatkannya anak kecil pada unjuk rasa
tersebut. Ia mengisahkan, pihak kepolisian menemukan dua bocah yang
dibayar untuk melemparkan bom molotov. Menilai berbahaya melibatkan anak
kecil, Sianipar pun menyayangkan tindakan itu, karena dapat merusak masa
depan si anak.
Unjuk rasa yang -- sebagian pelakunya mengenakan kaos PDI-P --
mendorong agar Megawati menjadi Presiden RI itu bermandikan darah.
Akibat ulah perusuh tersebut, unjuk rasa yang rusuh itu telah menelan
200 orang korban. Sianipar menyebutkan, sebagian besar korban yang jatuh
yaitu 170 orang, berasal dari massa. Korban dari kalangan aparat
keamanan, menurutnya, sekitar 30 orang dan satu di antaranya tewas.
Sianipar mengungkapkan, pihak kepolisian telah menemukan indikasi
sebagai petunjuk yang menyingkap sponsor unjuk rasa. Sianipar
mengungkapkan, sponsor unjuk rasa tersebut menginginkan kondisi kacau
selama SU-MPR 1999 berlangsung. ''Setelah proses penyelidikan dan
penyidikan selesai, barulah diungkap sponsornya,'' janjinya sembari
mengimbau masyarakat tidak terhasut.
Sumber Republika di SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia
untuk Demokrasi) mengungkapkan, keinginan revolusi telah menjadi
grand skenario yang digunakan PDI-P. Alasannya, parpol berlambang
banteng ini, merasa dipecundangi pada SU-MPR yaitu dengan kekalahan pada
voting-voting. Bila kekalahan voting ini dibiarkan, demikian sumber itu
mengisahkan, rencana membawa Megawati ke tampuk presiden kandas.
Agar rencana tersebut tak buyar, menurutnya, pengerahan massa pun
dihalalkan. Bahkan, sumber tersebut menegaskan, tokoh berpengaruh di
PDI-P Theo Syafii, mengungkapkan hal tersebut di hadapan sejumlah tokoh
LSM. ''PDI-P memang berkeinginan mengajak para tokoh gerakan mahasiswa
dan LSM untuk melakukan revolusi, agar Megawati lolos sebagai
presiden,'' kisahnya.
Sumber Republika itu pun mengisahkan, pada pertemuan antara
tokoh mahasiswa dan LSM itu, Theo sempat diingatkan agar tak menggunakan
langkah revolusioner. ''Namun, Theo dengan nada keras mengatakan, bagi
warga PDI-P korban berdarah-darah sudah biasa. Seribu atau dua ribu
warga PDI-P menjadi korban tidak masalah, yang penting revolusi
berjalan,'' paparnya mengutip pernyataan Theo.
Hingga berita ini ditulis, Republika masih berusaha
mengkonfirmasikannya.
Berkaitan dengan semua itu, Amien Rais mengharapkan, semua komponen
masyarakat menjaga kelancaran SU-MPR. Dengan demikian, menurut tokoh
reformis ini, bila sidang selesai dengan lancar dan tanpa gangguan, maka
siapapun yang menjadi presiden, dapat diterima dengan sikap
legowo. ''Biarkan semua calon presiden bertanding sportif,''
pintanya.
Pengamat politik LIPI, Indria Samego, sependapat dengan Amien perihal
adanya pihak tertentu yang mengerahkan massa untuk menteror pendirian
anggota MPR. ''Saya kuatir bila aksi massa yang berada di luar gedung
MPR mampu menteror pikiran orang yang ada di dalam. Apalagi saya juga
mendengar adanya kabar bahwa wakil ketua MPR RI, Mathori Abdul Djalil,
ikut menyerukan pemogokan massal,'' kata Indria Samego, kepada
Republika, kemarin.
Indria yang mencermati gerakan massa di Ibukota menilai, telah tidak
jelas friksinya. ''Sederhananya begini. Kalau dilakukan oleh mahasiswa
itu bisanya dilakukan oleh Forkot, Famred, Forbes, dan berbagai kelompok
gerakan radikal mahasiswa lainnya. Dan bila diteliti lagi, yakni dengan
melihat universitasnya, mereka itu berasal dari universitas kurang
dikenal,'' paparnya sembari menolak anggapan bahwa aksi unjuk rasa itu
digerakkan mahasiswa.
Ia menyayangkan sikap kritis pihak yang menolak Habibie. Alasannya,
menurutnya, tujuan mereka hanya ingin mengganti kedudukan Habibie
sebagai presiden. ''Mereka itu hanya ingin mengganti figur, bukan
melakukan transformasi,'' nilainya.
Indria pun mengimbau agar media massa bersikap fair dalam
pemberitaan. Ia menilai bila wartawan menyingkapkan motif sebenarnya
kelompok tertentu itu, maka masyarakat akan mengetahuinya, sehingga tak
perlu terpengaruh. ''Mereka itu kan punya agenda tersendiri,'' tegasnya.
Menanggapi pengerahan massa dari kelompok tertentu -- bahkan dengan
ancaman para pendukung Megawati menduduki gedung DPR/MPR bila capres
dari PDI-P itu tak terpilih -- Ketua DPR Akbar Tanjung menilainya
sebagai sikap sangat memalukan.
Ketua Umum Partai Golkar itu mengingatkan, kalau massa pendukung
Megawati itu, benar-benar ingin menduduki Gedung DPR/MPR, maka berarti
tidak menghormati lembaga konstitusional yakni MPR. ''Jadi kalau rakyat
sudah tidak menghormati lembaga terhormat tersebut, berarti kita akan
dibuat malu. Bukan malu hanya pada diri kita sendiri, tapi pada dunia
internasional,'' tegas Akbar di sela Sidang Umum (SU) MPR, di Gedung
DPR/MPR Senayan, Jakarta, kemarin.
Akbar mengungkapkan, bila hal tersebut terjadi, mengakibatkan
persidangan terrhenti. ''Semuanya akan menjadi kacau. Dan yang
menanggung akibatnya kita semua,'' ujarnya. Ia mengakui, meskipun ada
elite politik yang memiliki prinsip bahwa massa itu sangat dibutuhkan,
namun mereka seharusnya bisa menahan diri dan tidak memanfaatkannya demi
kepentingan politiknya.
Ulama berpengaruh asal Sampang, Madura, KH Alawy Muhammad pun
mengingatkan kelompok yang mengerahkan massa, demi mencapai tujuan
politiknya. ''Jangan berbuat brutal seperti itulah. Kalau Umat Islam
marah, akibatnya akan semakin parah. Masak kita-kita ini disuruh
marah dan memukul mereka (para pendemo --red) yang juga saudara kita
sendiri itu. Kita ini tak mau diadu domba,'' tegas Kiai Alawy di
Jakarta, kemarin.
Tokoh PPP ini mengimbau, para elite politik segera mengakhiri
'permainan' politik yang ujung-ujungnya bisa menelan korban banyak dari
kalangan rakyat kecil. Ia pun menegaskan, massa PDI-P yang mengancam
melakukan revolusi, akan berhadapan dengan umat Islam. ''Umat Islam
tidak ingin revolusi, yang diinginkan adalah reformasi,'' tegasnya
sembari mengungkapkan sejumlah ulama Madura dan Jawa Timur telah
mendukung sikap tegasnya atas ancaman revolusi itu.
Pengerahan massa pendukung PDI-P itu, bahkan mengusik sesepuh TNI
Jenderal Besar Abd. Haris Nasution. Menurutnya, SU-MPR itu merupakan
agenda yang disetujui rakyat Indonesia, melalui Pemilu. Dengan demikian,
ia mendukung agar aparat keamanan bertindak tegas, terhadap yang
berusaha mengganggu kelancaran SU-MPR.
Pak Nas di sela peluncuran buku 'Melangkah di Tengah Badai, Pokok
Pokok Pikiran Jenderal Wiranto', di Masjid Cut Meutiah Jakarta kemarin,
berkisah saat ia memimpin sidang MPRS. Ia melukiskan, saat itu
demonstrasi pun terjadi, di luar gedung. Menurutnya, ia mengundang
demonstran berdialog. Namun, mahasiswa menolak undangan itu. ''Saya
perintahkan Polisi Militer untuk menangkapnya,'' kisahnya sembari
menegaskan mendukung pencalonan Wiranto sebagai wapres yang mendampingi
BJ Habibie sebagai presiden.