Republika Online edisi:
17 Oct 1999

Polisi Grebek Massa di Kampus Unika Atma Jaya

Amien Rais: Waspada Demonstran Bayaran

JAKARTA -- Ketua MPR-RI, Amien Rais, menyangsikan aksi unjuk rasa -- yang menggoncang Jakarta sejak tiga hari ini -- murni dilakukan mahasiswa. Berkaitan dengan hal tersebut, ia menyerukan agar mewaspadai pendemo bayaran yang mendapat dukungan dana, dari pihak tertentu.

Amien mengungkapkan hal tersebut, di sela acara Sidang Umum (SU) MPR, kemarin. ''Memang kebanyakan yang turun ke jalan itu jelas ada otak dan ada pendukung keuangannya. Terutama apa yang kelihatannya sangat agresif. Sebab, kalau benar-benar itu murni aksi mahasiswa saya kira sulit dibayangkan untuk membuat bom molotov kemudian pasang badan ketika berhadapan dengan aparat,'' katanya.

Amien mengatakan, saat ini pihaknya sudah bisa membedakan antara demonstrasi yang murni, penuh idealisme untuk betul-betul berorientasi kepada kepetingan rakyat banyak, dengan demontrasi yang memakai bayaran. ''Dalam hal ini memang saya tidak punya bukti. Tapi ketika saya melihat di televisi ada demonstran yang ditangkap ternyata mengaku bahwa tindakannya itu memang untuk bayaran.''

Sementara itu ratusan massa yang hingga Sabtu petang masih memadati jalanan di depan Kampus Universitas Katolik (Unika) Atmajaya, dikepung petugas keamanan. Massa berlarian memasuki kampus Atmajaya.

Aparat keamanan yang dipimpin Kapuskodalops Polda Metro Jaya Kol. Sunarko pun mensweeping. Kadispen Polda Metro Jaya, Letkol Pol Zainuri Lubis mengakui, petugas keamanan masuk ke kampus. Namun, menurutnya, tujuannya untuk menjaga mahasiswa yang disusupi massa. ''Kita lakukan persuasif dengan meminta mahasiswa dan keluarga besar Unika Atmajaya, memisahkan diri dari massa. Akhirnya didapat ratusan warga yang memanfaatkan kampus untuk bersembunyi,'' jelasnya.

Lubis pun mengungkapkan, sejumlah mahasiswa dan Satpam turut membantu aparat keamanan. Mereka memeriksa sejumlah tempat dan gedung di dalam kampus. Hasilnya, puluhan massa yang bukan mahasiswa, diciduk.

Berdasarkan pemantauan Republika, unjuk rasa sepanjang kemarin, tidak sebrutal dua hari sebelumnya. Hujan deras yang tercurah dari langit Jakarta, kemarin petang, membuat massa bubar.

Hingga kemarin, Republika mengamati, massa pendukung Megawati yang berasal dari berbagai daerah, masih mengalir ke Ibukota. Sedikitnya, dua ribu massa pendukung PDI-P dari Surabaya, sejak kemarin telah bergabung dengan massa lainnya yang terlebih dulu berada di Jakarta dan berunjukrasa.

Massa PDI-P ini berangkat ke Jakarta dengan menggunakan puluhan bus secara gratis. ''Kami berangkat ke sini (Jakarta) semuanya ditanggung partai. Pokoknya, tinggal ikut, soal makan dan kebutuhan lain sudah ada yang mengatur,'' aku Didik, simpatisan PDI-P asal Kecamatan Sawahan, Surabaya.

Dugaan Amien tentang tak murni mahasiswa yang berunjuk rasa beralasan. Kadispen Polri, Brigjen Togar M. Sianipar pada jumpa pers di gedung MPR, kemarin, mengungkapkan, unjuk rasa itu telah tidak murni. Tapi kelompok-kelompok tertentu telah menungganginya. Sianipar menegaskan, hal tersebut terungkap dari keterangan beberapa pendemo yang ditangkap aparat keamanan.

Sianipar merinci: dari 73 orang yang ditangkap dan diperiksa, ternyata 80 persen adalah preman. Sisanya memang mahasiswa. Menurut Sianipar, ke-73 orang yang ditangkap, mengaku mendapat imbalan untuk unjuk rasa. ''Tarif bayarannya sekitar Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu,'' jelasnya.

Sianipar pun mengungkapkan ada pelajar SLA yang dipaksa berdemo. Pelajar yang hendak praktek di BPPT itu mengaku, sejumlah anak muda yang mengenakan jaket almamater memaksanya berdemo. Bila tidak bersedia, mereka mengancam memukulinya.

Sianipar pun menyesalkan dilibatkannya anak kecil pada unjuk rasa tersebut. Ia mengisahkan, pihak kepolisian menemukan dua bocah yang dibayar untuk melemparkan bom molotov. Menilai berbahaya melibatkan anak kecil, Sianipar pun menyayangkan tindakan itu, karena dapat merusak masa depan si anak.

Unjuk rasa yang -- sebagian pelakunya mengenakan kaos PDI-P -- mendorong agar Megawati menjadi Presiden RI itu bermandikan darah. Akibat ulah perusuh tersebut, unjuk rasa yang rusuh itu telah menelan 200 orang korban. Sianipar menyebutkan, sebagian besar korban yang jatuh yaitu 170 orang, berasal dari massa. Korban dari kalangan aparat keamanan, menurutnya, sekitar 30 orang dan satu di antaranya tewas.

Sianipar mengungkapkan, pihak kepolisian telah menemukan indikasi sebagai petunjuk yang menyingkap sponsor unjuk rasa. Sianipar mengungkapkan, sponsor unjuk rasa tersebut menginginkan kondisi kacau selama SU-MPR 1999 berlangsung. ''Setelah proses penyelidikan dan penyidikan selesai, barulah diungkap sponsornya,'' janjinya sembari mengimbau masyarakat tidak terhasut.

Sumber Republika di SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) mengungkapkan, keinginan revolusi telah menjadi grand skenario yang digunakan PDI-P. Alasannya, parpol berlambang banteng ini, merasa dipecundangi pada SU-MPR yaitu dengan kekalahan pada voting-voting. Bila kekalahan voting ini dibiarkan, demikian sumber itu mengisahkan, rencana membawa Megawati ke tampuk presiden kandas.

Agar rencana tersebut tak buyar, menurutnya, pengerahan massa pun dihalalkan. Bahkan, sumber tersebut menegaskan, tokoh berpengaruh di PDI-P Theo Syafii, mengungkapkan hal tersebut di hadapan sejumlah tokoh LSM. ''PDI-P memang berkeinginan mengajak para tokoh gerakan mahasiswa dan LSM untuk melakukan revolusi, agar Megawati lolos sebagai presiden,'' kisahnya.

Sumber Republika itu pun mengisahkan, pada pertemuan antara tokoh mahasiswa dan LSM itu, Theo sempat diingatkan agar tak menggunakan langkah revolusioner. ''Namun, Theo dengan nada keras mengatakan, bagi warga PDI-P korban berdarah-darah sudah biasa. Seribu atau dua ribu warga PDI-P menjadi korban tidak masalah, yang penting revolusi berjalan,'' paparnya mengutip pernyataan Theo.

Hingga berita ini ditulis, Republika masih berusaha mengkonfirmasikannya.

Berkaitan dengan semua itu, Amien Rais mengharapkan, semua komponen masyarakat menjaga kelancaran SU-MPR. Dengan demikian, menurut tokoh reformis ini, bila sidang selesai dengan lancar dan tanpa gangguan, maka siapapun yang menjadi presiden, dapat diterima dengan sikap legowo. ''Biarkan semua calon presiden bertanding sportif,'' pintanya.

Pengamat politik LIPI, Indria Samego, sependapat dengan Amien perihal adanya pihak tertentu yang mengerahkan massa untuk menteror pendirian anggota MPR. ''Saya kuatir bila aksi massa yang berada di luar gedung MPR mampu menteror pikiran orang yang ada di dalam. Apalagi saya juga mendengar adanya kabar bahwa wakil ketua MPR RI, Mathori Abdul Djalil, ikut menyerukan pemogokan massal,'' kata Indria Samego, kepada Republika, kemarin.

Indria yang mencermati gerakan massa di Ibukota menilai, telah tidak jelas friksinya. ''Sederhananya begini. Kalau dilakukan oleh mahasiswa itu bisanya dilakukan oleh Forkot, Famred, Forbes, dan berbagai kelompok gerakan radikal mahasiswa lainnya. Dan bila diteliti lagi, yakni dengan melihat universitasnya, mereka itu berasal dari universitas kurang dikenal,'' paparnya sembari menolak anggapan bahwa aksi unjuk rasa itu digerakkan mahasiswa.

Ia menyayangkan sikap kritis pihak yang menolak Habibie. Alasannya, menurutnya, tujuan mereka hanya ingin mengganti kedudukan Habibie sebagai presiden. ''Mereka itu hanya ingin mengganti figur, bukan melakukan transformasi,'' nilainya.

Indria pun mengimbau agar media massa bersikap fair dalam pemberitaan. Ia menilai bila wartawan menyingkapkan motif sebenarnya kelompok tertentu itu, maka masyarakat akan mengetahuinya, sehingga tak perlu terpengaruh. ''Mereka itu kan punya agenda tersendiri,'' tegasnya.

Menanggapi pengerahan massa dari kelompok tertentu -- bahkan dengan ancaman para pendukung Megawati menduduki gedung DPR/MPR bila capres dari PDI-P itu tak terpilih -- Ketua DPR Akbar Tanjung menilainya sebagai sikap sangat memalukan.

Ketua Umum Partai Golkar itu mengingatkan, kalau massa pendukung Megawati itu, benar-benar ingin menduduki Gedung DPR/MPR, maka berarti tidak menghormati lembaga konstitusional yakni MPR. ''Jadi kalau rakyat sudah tidak menghormati lembaga terhormat tersebut, berarti kita akan dibuat malu. Bukan malu hanya pada diri kita sendiri, tapi pada dunia internasional,'' tegas Akbar di sela Sidang Umum (SU) MPR, di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, kemarin.

Akbar mengungkapkan, bila hal tersebut terjadi, mengakibatkan persidangan terrhenti. ''Semuanya akan menjadi kacau. Dan yang menanggung akibatnya kita semua,'' ujarnya. Ia mengakui, meskipun ada elite politik yang memiliki prinsip bahwa massa itu sangat dibutuhkan, namun mereka seharusnya bisa menahan diri dan tidak memanfaatkannya demi kepentingan politiknya.

Ulama berpengaruh asal Sampang, Madura, KH Alawy Muhammad pun mengingatkan kelompok yang mengerahkan massa, demi mencapai tujuan politiknya. ''Jangan berbuat brutal seperti itulah. Kalau Umat Islam marah, akibatnya akan semakin parah. Masak kita-kita ini disuruh marah dan memukul mereka (para pendemo --red) yang juga saudara kita sendiri itu. Kita ini tak mau diadu domba,'' tegas Kiai Alawy di Jakarta, kemarin.

Tokoh PPP ini mengimbau, para elite politik segera mengakhiri 'permainan' politik yang ujung-ujungnya bisa menelan korban banyak dari kalangan rakyat kecil. Ia pun menegaskan, massa PDI-P yang mengancam melakukan revolusi, akan berhadapan dengan umat Islam. ''Umat Islam tidak ingin revolusi, yang diinginkan adalah reformasi,'' tegasnya sembari mengungkapkan sejumlah ulama Madura dan Jawa Timur telah mendukung sikap tegasnya atas ancaman revolusi itu.

Pengerahan massa pendukung PDI-P itu, bahkan mengusik sesepuh TNI Jenderal Besar Abd. Haris Nasution. Menurutnya, SU-MPR itu merupakan agenda yang disetujui rakyat Indonesia, melalui Pemilu. Dengan demikian, ia mendukung agar aparat keamanan bertindak tegas, terhadap yang berusaha mengganggu kelancaran SU-MPR.

Pak Nas di sela peluncuran buku 'Melangkah di Tengah Badai, Pokok Pokok Pikiran Jenderal Wiranto', di Masjid Cut Meutiah Jakarta kemarin, berkisah saat ia memimpin sidang MPRS. Ia melukiskan, saat itu demonstrasi pun terjadi, di luar gedung. Menurutnya, ia mengundang demonstran berdialog. Namun, mahasiswa menolak undangan itu. ''Saya perintahkan Polisi Militer untuk menangkapnya,'' kisahnya sembari menegaskan mendukung pencalonan Wiranto sebagai wapres yang mendampingi BJ Habibie sebagai presiden.

 

   

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999