Kekerasan di Maluku: Produk Sejarah Kolonial
Maluku adalah kawasan konflik SARA paling awal, paling lama dan paling berdarah sepanjang sejarah kolonial di tanah air. Tapi banyak pakar menjadikan Orde Baru sebagai biang keladi timbulnya kerusuhan sosial di kawasan itu. Orde Baru memang represif, yang meminggirkan mekanisme adat sebagai instrumen problem solving bagi komunitas setempat. Bisa jadi juga, provokator dengan motif politik tertentu ikut bermain di sana. Namun, tanpa ketegangan SARA yang terpendam jauh dalam jiwa orang Maluku, kerusuhan akan bisa dikendalikan sebagaimana di Sambas.
Perselisihan antarkomunitas di Maluku memang sudah berlangsung lama, terutama antara empat kerajaan Islam (Moloku Kie Raha) -- yakni Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo -- yang sering melibatkan kimalaha (vazal) mereka di belahan selatan: pulau Ambon (Hitu di utara dan Leitimor di selatan), Haruku, Seram, Saparua, Manipa, Nusalaut, Boano, Tual, Buru dan sebagainya. Namun, skala perang, intensitas dan nuansanya berubah setelah pengkristenan orang Maluku oleh para padri Portugis, dan tentunya monopoli rempah-rempah.
Era Portugis
Pada abad pertengahan, cengkih dan pala adalah komoditas paling dicari di dunia. Tak heran, kendati harus menempuh berbagai marabahaya, Conquistadores berspekulasi datang ke Maluku -- dari kata Jazirata al-Mulk -- pusat rempah-rempah dunia. Mereka tiba pada 1512 di Ternate, yang merupakan primus enterpares empat kerajaan di atas. Ada dua misi yang dibebankan Raja Portugis -- yang ketika itu memegang otoritas agama dan mereka merambah negeri-negeri baru di Timur. Yakni, menguasai jalur perdagangan rempah-rempah dengan memerangi para pedagang Muslim di mana saja ditemukan dan menyiarkan agama Katolik. Dengan demikian, Portugis memindahkan cita-cita Perang Salib ke Asia (I.O. Nanulaitta, 1966). Memang ketika itu Perang Salib masih berlangsung di Eropa. Dua puluh tahun sebelum Portugis tiba di Maluku, Khilafat Islam di Cordova dihancurkan tentara Salib Spanyol (1492). Ini seperti pembalasan atas kejatuhan Konstantinopel, pusat Kekaisaran Kristen Timur, di tangan Kesultanan Turki 40 tahun sebelumnya.
Demi kelancaran usaha, Portugis mengikat perjanjian dengan Sultan Khairun dari Ternate (1538-1570) yang masih belia. Salah satu poin perjanjian adalah kampanye misi penginjilan. Dan di luar dugaan, mereka mendapat banyak pengikut di Halmahera dan Leitimor yang kebanyakan masih kafir. Tapi akibatnya cukup fatal. Orang Islam Ternate dan Tidore memerangi pengikut baru Kristen tersebut. Ini insiden saling bunuh pertama antara Islam dan Kristen di Maluku (Willard A. Hanna & Des Alwi, 1996).
Peristiwa ini bukannya menciutkan semangat dakwah Portugis, malah usaha Kristenisasi bertambah luas dan intens. Tokoh paling bertanggungjawab dalam penginjilan ini adalah Gubernur Antonio Galvao (1536-1539) dan pastor Fransiskus Xaverius (1546) dari Ordo Jesuit. Galvao dikenal karena dorongan yang diberikan kepada misi-misi Kristen, khususnya di kepulauan selatan. Di sana dengan kecepatan bagai mukjizat mereka mulai membaptis orang Kristen baru dalam jumlah puluhan, kemudian ratusan, dan bahkan ribuan. Fenomena ini mungkin merupakan ekspresi permusuhan rakyat Leitimor terhadap penguasa Muslim di belahan utara. Leitimor adalah kawasan di mana kota Ambon sekarang berada. Suksesnya Kristenisasi memicu golongan Islam untuk melakukan tekanan (idem). Toh, perpindahan agama ketika itu dipandang sebagai pergeseran loyalitas politik.
Maka, seiring dengan gencarnya pengabaran Injil dan monopoli rempah-rempah, permusuhan Islam-Kristen makin menjadi-jadi. Pada 1564, rakyat Muslim mengepung dan membakar kampung-kampung Kristen. Nusaniwe, kampung di Leitimor, dihancurkan rata dengan tanah. Sedangkan pusat Kristen di Hatiwe jatuh ke tangan pasukan Islam. Seratus orang Kristen dibunuh, sisanya lari-lari ke gunung-gunung dan Uliase. Tetapi di sana pun perang sedang berkecamuk. Kaum Muslim di Sirisori (Saparua) menyerang kampung Ulat. Panglima Portugis yang baru, Pareira Maramaque, dengan kekuatan besar mengepung pasukan Muslim Jawa dan Hitu di Teluk Ambon. Portugis menang dan rakyat Muslim dihukum berat. Di Sirisori mereka malah dibantai pasukan Kristen dan Portugis. Pada 1570, akibat pengkhianatan dan pembunuhan terhadap Sultan Khairun, seluruh Maluku terbakar. Sultan Baabullah (1570-1583), putera Khairun, mengirim pasukan ke selatan. Dengan bantuan rakyat Hitu, Jawa dan Makassar, kedudukan Portugis di Hitu bagian selatan dihancurkan. Yang selamat lari ke Leitimor di bawah pimpinan Sancho de Vasconcellos. Di sana mereka mendirikan benteng, yang di kemudian hari menjadi kota Ambon.
Bagaimanapun, permusuhan terus berlanjut di seluruh kawasan. Artikel ini tak memungkinkan membahas seluruh pertempuran kejam yang melibatkan umat Islam maupun Nasrani. Cukup kiranya mengatakan penggal sejarah Maluku ini sebagai, ''Lembaran sejarah terhitam dalam sejarah perkembangan agama Kristen dan Islam di Maluku.... Kemungkinan besar pela gandong (aliansi persaudaraan) yang dikenal sekarang timbul di kemudian hari sebagai hari kesadaran akan masa gelap itu'' (I.O. Nanulaitta).
Era Belanda
Kebencian rakyat Muslim Maluku terhadap Portugis-lah yang membuat mereka menyambut kedatangan orang Belanda yang memasuki Maluku pada akhir abad ke-16. Orang Belanda yang belum lama memeluk Protestan, karena itu memusuhi Katolik, memang tidak berniat menyiarkan agama Kristen kepada penduduk setempat, mesti di kemudian hari LSM-LSM Kristen masuk melakukan Kristenisasi dengan izin penguasa. Misi VOC ketika itu hanya satu: memonopoli perdagangan rempah-rempah. Kenyataannya, monopoli tak mudah dilakukan di kawasan ribuan pulau itu. Maka, VOC memaksakan perjanjian-perjanjian berat sebelah dengan penguasa-penguasa Muslim yang tercerai berai guna membatasi produk cengkih dan pala. Melalui kebijakan hongi tochten (pelayaran razia), VOC menghancurkan tanaman rempah-rempah di berbagai tempat dan memusatkan penanamannya di Leitimor yang mayoritasnya beragama Kristen. Dengan begitu, kemakmuran yang pernah dinikmati rakyat Muslim dulu lenyap seketika.
Hal ini memicu pemberontakan-pemberontakan rakyat melawan VOC secara berkepanjangan. Perang Ambon yang terkenal adalah Perang Hitu I (1634-1643), Perang Hitu II (1643-1646) dan Perang Hoamoal (1651-1656). Pembunuhan pemimpin Muslim Kapitan Hitu bernama Kakiali dan kemudian Tulukabessi, pemimpin Perang Hitu I dan II, yang sangat dihormati penduduk meninggalkan kesan yang sangat buruk sampai sekarang. Tak heran, orang Hitu bereaksi amat emosional dengan menyerang kampung-kampung Kristen di Hitu Selatan sehari setelah serangan orang Kristen terhadap pihak Muslim Ambon di hari raya Idul Fitri, 19 Januari lalu.
Kendati kontrol diperketat, orang Muslim masih sering melanggar perjanjian monopoli dengan melego hasil cengkih mereka ke pedagang Makassar, Melayu dan Jawa. Bahkan penduduk Muslim juga masih menanam cengkih di wilayah terlarang. Di tangan Gubernur Ambon Arnold de Vlaming van Qudshorn, VOC mendapat inspirasi untuk menghentikan semua kegiatan ''ilegal'' itu. Banyak sekali kisah detail mengenai de Vlaming, tetapi di sini hanya akan disebutkan kisah penaklukan penduduk Islam di Pulau Martina dan benteng Muslim Asahoedi di Hoamoal yang dramatis. Benteng kecil Manipa yang cantik seharusnya tak perlu diserang, tapi de Vlaming memilih sebagai sasaran kebenciannya terhadap orang Islam (?). Ia menghancurkan benteng pertahanannya yang tak terlalu kuat, dan membakar desa-desa, hewan ternak, pepohonan cengkih, pohon kelapa, pohon pisang, dan hampir apa saja yang hidup dan bergerak. Ia menggiring penduduk yang telah menyerah dan memaksa sekitar 5.000 orang untuk bunuh diri, diperbudak atau dikirim ke pulau lain. Pembantu dekat de Vlaming, Kapten Verheiden, menerapkan strategi bumi hangus itu di Pulau Amplau dan Buru. Dan akhirnya setelah menemui kegagalan berulang kali, de Vlaming berhasil menaklukkan Assahoedi (1655), benteng persembunyian para pejuang Muslim paling akhir dan paling kuat (idem). M.C. Ricklefs mengatakan, sebagian pejuang Muslim yang tertangkap dibuang ke Ambon (Sejarah Indonesia Modern, 1991).
Ambon
Nama Ambon diberikan oleh orang Portugis. Namanya yang sebenarnya adalah Nusa Yapoono yang berarti pulau embun (Ambon). Memang bila mendekati dari laut, pulau itu tak nampak karena ditutupi kabut (Nanulaitta), cocok untuk dijadikan tempat berteduh atau berlindung karena letaknya di Teluk Ambon. Namun, kenyataannya kota ini menjadi simbol perseteruan antargolongan sosial di tingkat lokal dan perselisihan politik di tingkat nasional. Mulanya Conquistadores mendirikan benteng di Batu Merah, kampung Islam yang paling gigih mempertahankan diri dari serangan umat Nasrani sejak pecah kerusuhan sosial belakangan ini. Tetangga Batu Merah adalah kampung Mardika. Menurut C.P.F. Luhulima dalam ''Bunga Rampai Sejarah Maluku'' (1971), Mardika - kampung Kristen yang paling gigih menentang Muslim saat ini - didirikan Portugis untuk dihuni orang Portugis hitam, bekas budak India (keling) yang telah dibebaskan. Kalau penduduk Hoamoal yang dipindahkan de Vlaming ke Ambon itu adalah mereka yang kini menetap di Batu Merah, berarti ada kesengajaan pihak kolonial untuk melestarikan permusuhan Islam-Kristen ke Ambon guna memudahkan mereka mengontrolnya.
Dibanding wilayah lain, usaha Portugis maupun Belanda menggarap Ambon di bidang sosial-budaya jauh lebih serius. Ini dapat dilihat pada tingkat melek huruf dan mental orang Nasrani Ambon. Ketika Indonesia merdeka, jumlah penduduk Ambon yang mengecap pendidikan formal sebesar 37 persen, jauh di atas Jawa yang hanya mencapai 0,2 persen (Ricklefs). Kondisi ini, ditambah agama yang mereka anut, membuat posisi sosial mereka di zaman penjajahan jauh lebih baik ketimbang komunitas agama lain. Ini menimbulkan krisis di Ambon ketika terjadi penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada pemerintah Indonesia. Mereka, di antaranya, tak mudah menerima kenyataan hilangnya hak-hak istimewa yang mereka nikmati selama masa penjajahan. Tak heran, tentara Ambon yang merupakan bagian dari KNIL pada awal 1950 memberontak terhadap pemerintah pusat. Tapi harapan mereka mendirikan Republik Maluku Selatan, ternyata mudah dipatahkan tentara pusat karena tak didukung penduduk Muslim di seluruh Maluku, khususnya kampung Batu Merah dan penduduk Hitu. Faktor-faktor inilah yang rasanya ikut melanggengkan ''permusuhan'' Islam-Kristen di sana.
''Runtuhnya'' Orde Baru juga menciptakan krisis di Ambon. Dalam kondisi begini, orang tak lagi bisa berpikir rasional. Dengan demikian, isu yang paling tidak masuk akal pun dapat dengan segera memicu frustrasi penduduk. Mudah-mudahan orang-orang di Maluku segera menyadari apa yang sedang terjadi pada diri mereka, dan segera menghentikan kerusuhan yang sia-sia. Bila dulu komunitas Muslim-Kristen bisa meneguhkan pela gandong, kini rasanya mereka juga mampu membuat pela gandong jilid II.
Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999
|