Republika Online edisi:
02 Jun 2000

Muslim Sri Lanka Ketika Perang Menjadi Pekerjaan

Sepuluh tahun telah berlalu sejak peristiwa pada Oktober 1990 silam. Namun Ismath Indon masih tinggal di kamp pengungsi yang terbuka di Puttalam, sebuah kota pantai di Sri Lanka yang mayoritas penduduknya umat Islam.

Pada penghujung malam itu, sepuluh tahun lalu, ketenangan hidup Indon terkoyak. Ia tiba-tiba dihadapkan pada pilihan antara hidup dan mati. Kepala keluarga ini hanya memiliki waktu dua jam untuk berkemas-kemas meninggalkan kampung halamannya bersama istri dan kelima anak mereka.

''Mereka (Macan Pembebasan Tamil Eelam atau LTTE) datang pada pukul tujuh dan menyatakan bahwa seluruh kaum Muslim harus keluar pada pukul sembilan malam atau mereka akan membunuh orang-orang. Mereka memiliki senjata dan kami semua amat ketakutan,'' papar Indon.

Malam itu juga ia dan keluarganya eksodus bersama sekitar 110 ribu umat Islam dari wilayah Sri Lanka yang menjadi ajang pertempuran tersebut.

Sayangnya, hingga kini, dengan status sebagai ''orang telantar akibat masalah dalam negeri,'' Indon dan saudara-saudaranya sesama umat Islam dinilai tidak memenuhi syarat untuk mendapat bantuan dari badan pengungsi PBB. Program Pangan Dunia bahkan dikhawatirkan akan menghentikan bantuan yang selama ini menjadi andalan banyak warga.

Kondisi yang mengenaskan ini disoroti oleh Wakil Menteri Luar Negeri AS, Thomas Pickering. Ia menyatakan keprihatinannya atas ancaman bencana kemanusiaan besar-besaran di wilayah utara Sri Lanka, tempat tentara pemerintah memerangi pemberontak separatis Macan Tamil. Orang ketiga dalam departemen luar negeri AS ini tiba di Sri Lanka dalam misi yang disebutnya tim pencari fakta.

''Kami amat prihatin bahwa ada ancaman bencana kemanusiaan di bagian utara negeri. Kami ingin melihat perdamaian terwujud di belahan dunia ini,'' ungkap Pickering.

Kekhawatiran ini bersumber pada keselamatan 500 ribu warga sipil yang hidup di Semenanjung Jaffna yang sedang menghadapi ancaman. Terutama sejak dua bulan lalu, ketika Macan Tamil kembali getol melancarkan serangannya untuk merebut lagi daerah kekuatan yang terlepas pada 1996.

Umat Islam, golongan yang terabaikan

Tiga per empat penduduk Sri Lanka adalah suku Sinhala. Suku Tamil berjumlah sekitar 18 persen, dan umat Islam menjadi minoritas dengan porsi 7,5 persen dari jumlah populasi. Umat Islam ini adalah keturunan para pedagang Arab yang datang ke Sri Lanka pada abad ke-8 silam.

Umat Islam kerap menjadi sasaran bidik pemberontak Macan Tamil. Pada 1990, sekitar 140 umat Islam tewas dibantai ketika tengah shalat di sebuah masjid di Batticaloa.

Kini, umat Islam yang berhasil menyelamatkan diri dan hidup di pengungsian, hidup di tengah kesulitan. Ketiadaan air bersih, perawatan medis yang memadai, dan lapangan pekerjaan, adalah masalah sehari-hari yang dihadapi mereka. Ironisnya, pemerintah Sri Lanka pun tak terlalu ambil peduli pada kebutuhan dasar yang tak terpenuhi tersebut.

Dan, karena mereka tak memiliki hak pilih, partai-partai politik pun enggan melirik mereka. Tak pelak, rasa harga diri dan percaya diri mereka pun tercabik-cabik karena keberadaan mereka seakan tidak diakui negara.

Tak jarang, Macan Tamil menahan warga secara sewenang-wenang hanya atas dasar perbedaan etnis mereka, termasuk perbedaan agama (baca: Islam). Baik di wilayah barat maupun timur Sri Lanka, warga kerap mengeluhkan tindakan diskriminasi di banyak tempat.

Pemukulan, penyiksaan, mempermalukan orang yang ditahan, bukan hal yang jarang terjadi. Banyak pula di antara mereka yang ditahan Macan Tamil, menjadi tenaga kerja paksa angkatan militer dan satuan gugus tugas mereka.

Tak hanya itu. Bocah-bocah tanggung pun menjadi sasaran untuk dipaksa menjadi tentara Macan Tamil. Di sejumlah tempat di kawasan utara, Macan Tamil bahkan mendata seluruh warganya agar mengikuti latihan militer untuk dijadikan ''pasukan pertahanan sipil.'' Mereka dikirim ke garis depan pertempuran. Sementara orang-orang yang lebih tua diperintahkan untuk menjaga desa masing-masing.

Menurut badan-badan kemanusiaan di Sri Lanka, kini semakin banyak warga sipil yang meninggalkan Jaffna. Mereka terjepit di tengah pertempuran antara militer dan para pemberontak Macan Tamil. Orang-orang yang sebelumnya enggan mengungsi pun kini mulai berubah pikiran.

Perang, kesengsaraan semua umat

Pada Senin lalu, misalnya, pertempuran sengit kembali berkobar di Jaffna. Menurut Menteri Luar Negeri Sri Lanka, Lakshman Kadirgamar, militer akan mempertahankan wilayah tersebut agar tidak jatuh ke tangan Macan Tamil.

Kadirgamar menyebutkan, militer Sri Lanka akan dibantu oleh berbagai negara lain, termasuk Israel. Israel akan membantu di bidang perlengkapan militer -- termasuk dengan mengirimkan ahli-ahli tekniknya -- untuk memerangi Macan Tamil.

Laporan Medecins Sans Frontieres (MSF), sebuah kelompok dokter yang memberi bantuan lintas batas negara, menyebutkan bahwa serangan terakhir di Jaffna telah membuat korban sipil berjatuhan. Mereka juga menyatakan bahwa lokasi sasaran militer yang terletak di dekat sejumlah rumah sakit adalah membahayakan para pasien.

Korban yang berjatuhan pun tak hanya dari pihak sipil. Ratusan tentara tewas dalam pertempuran melawan para pemberontak. Ribuan lainnya terluka. Ironisnya, mereka hanyalah bidak catur yang tak memiliki kekuatan untuk ''menolak'' perang.

Setiap hari, banyak sekali anggota keluarga tentara yang berkerumun di dekat rumah sakit atau markas besar militer. Mereka mencari tahu nasib saudara, putra atau putri mereka yang bergabung dalam militer.

Besarnya penderitaan dan tragedi yang menimpa warga biasa yang anggota keluarganya terpaksa bergabung dengan tentara, termasuk karena tekanan ekonomi, membuat besarnya hasrat mereka untuk menghentikan perang yang telah berlangsung selama 17 tahun ini.

Seorang janda asal Kadawatha bertutur tentang suaminya. Sang suami tewas 10 Mei lalu di Chavakachcheri, Semenanjung Jaffna.

''Suami saya bergabung dalam dinas ketentaraan karena ia tidak memiliki pekerjaan lain. Ia terpaksa menghabiskan waktu hidupnya yang terbaik untuk perang yang sia-sia ini. Ia telah mengabdi selama 11 tahun dan memperoleh sejumlah lencana, namun tak kunjung mendapat kenaikan pangkat. Ia berencana untuk keluar dalam waktu 1,5 tahun lagi, saat dinasnya genap 12 tahun. Tapi kini ia pergi untuk selamanya,'' paparnya pilu.

Ibu seorang anak ini bahkan tengah mengandung anak kedua. Ia mengaku tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depannya.

Kisah sedih juga dituturkan seorang wanita asal Ratgama, mengenai nasib saudara-saudaranya yang berada di tengah perang. Kakak tertuanya terbunuh di Pallai, dekat markas tentara di Elephant Pass, 1 Mei lalu.

Sekitar 18 bulan sebelumnya, sang kakak berusaha keluar dari ketentaraannya. Namun ia kemudian dibujuk untuk kembali ke kesatuannya. Sedangkan adik prianya juga seorang tentara dan kini berada di zona pertempuran Jaffna.

''Ayah kami adalah seorang pegawai di departemen survey pemerintah. Ia meninggal sebelas tahun yang lalu. Padahal ada lima orang anak dalam keluarga ini. Kakak tertua kami menderita epilepsi dan ibu kami terpaksa bekerja di penambangan batu kapur,'' ungkapnya. Suaminya juga seorang tentara yang aktif di dinas militer. Mereka memiliki tiga orang anak.

''Saya selalu meminta suami dan saudara-saudara saya agar tidak kembali ke dinasnya ... Tapi jika satu demi satu berhenti, bagaimana mungkin kami bisa mempertahankan hidup kami?'' tutur si wanita.

Ia pun menyalahkan para politisi atas bencana peperangan yang dialami Sri Lanka. Menurutnya, ''PA (pemerintah Aliansi Rakyat) berjanji akan menghentikan peperangan pada 1994. Kami pun memberikan suara kami. Namun semua itu cuma janji kosong. Sekarang, saya tidak lagi percaya kepada siapa pun. Orang-orang ikut berperang bukan karena ingin menyelamatkan negara, tapi karena tidak punya jalan lain untuk bertahan.''

Hal tersebut ternyata diakui oleh seorang komandan perang sebuah kesatuan kecil. Ia bercerita, ''Mengapa mereka (Macan Tamil) punya semangat sementara kami tidak? Karena sebagian besar tentara bergabung dengan militer demi mencari sumber penghidupan, jadi hanya untuk mendapat pekerjaan ... Kami tidak merasa bahwa perang ini adalah pertempuran kami. Kami merasa dibunuh dan dikebiri dalam sebuah perang yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan kami.''

Sementara itu penderitaan rakyat tampaknya semakin bertambah dengan diberlakukannya undang-undang darurat di seluruh Sri Lanka. Kini ketakutan rakyat tidak hanya pada para pemberontak, namun juga pada pemerintah.

''Kami harus tunduk pada aturan pemerintah ... Baru-baru ini militer mengancam kami. Mereka tidak mengijinkan tiga atau empat orang berkumpul di depan pabrik. Kami tidak ingin berperang. Kami juga tidak ingin negara terpecah-belah. Yang kami inginkan adalah hak untuk bekerja,'' tutur sekelompok pekerja di perkebunan Kurukude, 200 km dari Colombo.

Warga tampaknya sudah muak dengan perang. Seorang guru Muslim di sekolah Tamil menyatakan, ''Kami mengutuk komunalisme dan perang di negeri ini. Perdamaian itu amatlah manis, sedangkan perang membuat sengsara.''

Situasi terakhir di negeri mereka, kata sang guru, tidak menentu. Bahkan Menurutnya, undang-undang darurat yang ditetapkan pemerintah hanyalah untuk menutup-nutupi kebenaran yang terjadi di medan perang.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000