Sepuluh tahun telah berlalu sejak peristiwa pada Oktober 1990
silam. Namun Ismath Indon masih tinggal di kamp pengungsi yang terbuka
di Puttalam, sebuah kota pantai di Sri Lanka yang mayoritas penduduknya
umat Islam.
Pada penghujung malam itu, sepuluh tahun lalu, ketenangan hidup Indon
terkoyak. Ia tiba-tiba dihadapkan pada pilihan antara hidup dan mati.
Kepala keluarga ini hanya memiliki waktu dua jam untuk berkemas-kemas
meninggalkan kampung halamannya bersama istri dan kelima anak mereka.
''Mereka (Macan Pembebasan Tamil Eelam atau LTTE) datang pada pukul
tujuh dan menyatakan bahwa seluruh kaum Muslim harus keluar pada pukul
sembilan malam atau mereka akan membunuh orang-orang. Mereka memiliki
senjata dan kami semua amat ketakutan,'' papar Indon.
Malam itu juga ia dan keluarganya eksodus bersama sekitar 110 ribu
umat Islam dari wilayah Sri Lanka yang menjadi ajang pertempuran
tersebut.
Sayangnya, hingga kini, dengan status sebagai ''orang telantar akibat
masalah dalam negeri,'' Indon dan saudara-saudaranya sesama umat Islam
dinilai tidak memenuhi syarat untuk mendapat bantuan dari badan
pengungsi PBB. Program Pangan Dunia bahkan dikhawatirkan akan
menghentikan bantuan yang selama ini menjadi andalan banyak warga.
Kondisi yang mengenaskan ini disoroti oleh Wakil Menteri Luar Negeri
AS, Thomas Pickering. Ia menyatakan keprihatinannya atas ancaman bencana
kemanusiaan besar-besaran di wilayah utara Sri Lanka, tempat tentara
pemerintah memerangi pemberontak separatis Macan Tamil. Orang ketiga
dalam departemen luar negeri AS ini tiba di Sri Lanka dalam misi yang
disebutnya tim pencari fakta.
''Kami amat prihatin bahwa ada ancaman bencana kemanusiaan di bagian
utara negeri. Kami ingin melihat perdamaian terwujud di belahan dunia
ini,'' ungkap Pickering.
Kekhawatiran ini bersumber pada keselamatan 500 ribu warga sipil yang
hidup di Semenanjung Jaffna yang sedang menghadapi ancaman. Terutama
sejak dua bulan lalu, ketika Macan Tamil kembali getol melancarkan
serangannya untuk merebut lagi daerah kekuatan yang terlepas pada 1996.
Umat Islam, golongan yang terabaikan
Tiga per empat penduduk Sri Lanka adalah suku Sinhala. Suku Tamil
berjumlah sekitar 18 persen, dan umat Islam menjadi minoritas dengan
porsi 7,5 persen dari jumlah populasi. Umat Islam ini adalah keturunan
para pedagang Arab yang datang ke Sri Lanka pada abad ke-8 silam.
Umat Islam kerap menjadi sasaran bidik pemberontak Macan Tamil. Pada
1990, sekitar 140 umat Islam tewas dibantai ketika tengah shalat di
sebuah masjid di Batticaloa.
Kini, umat Islam yang berhasil menyelamatkan diri dan hidup di
pengungsian, hidup di tengah kesulitan. Ketiadaan air bersih, perawatan
medis yang memadai, dan lapangan pekerjaan, adalah masalah sehari-hari
yang dihadapi mereka. Ironisnya, pemerintah Sri Lanka pun tak terlalu
ambil peduli pada kebutuhan dasar yang tak terpenuhi tersebut.
Dan, karena mereka tak memiliki hak pilih, partai-partai politik pun
enggan melirik mereka. Tak pelak, rasa harga diri dan percaya diri
mereka pun tercabik-cabik karena keberadaan mereka seakan tidak diakui
negara.
Tak jarang, Macan Tamil menahan warga secara sewenang-wenang hanya
atas dasar perbedaan etnis mereka, termasuk perbedaan agama (baca:
Islam). Baik di wilayah barat maupun timur Sri Lanka, warga kerap
mengeluhkan tindakan diskriminasi di banyak tempat.
Pemukulan, penyiksaan, mempermalukan orang yang ditahan, bukan hal
yang jarang terjadi. Banyak pula di antara mereka yang ditahan Macan
Tamil, menjadi tenaga kerja paksa angkatan militer dan satuan gugus
tugas mereka.
Tak hanya itu. Bocah-bocah tanggung pun menjadi sasaran untuk dipaksa
menjadi tentara Macan Tamil. Di sejumlah tempat di kawasan utara, Macan
Tamil bahkan mendata seluruh warganya agar mengikuti latihan militer
untuk dijadikan ''pasukan pertahanan sipil.'' Mereka dikirim ke garis
depan pertempuran. Sementara orang-orang yang lebih tua diperintahkan
untuk menjaga desa masing-masing.
Menurut badan-badan kemanusiaan di Sri Lanka, kini semakin banyak
warga sipil yang meninggalkan Jaffna. Mereka terjepit di tengah
pertempuran antara militer dan para pemberontak Macan Tamil. Orang-orang
yang sebelumnya enggan mengungsi pun kini mulai berubah pikiran.
Perang, kesengsaraan semua umat
Pada Senin lalu, misalnya, pertempuran sengit kembali berkobar di
Jaffna. Menurut Menteri Luar Negeri Sri Lanka, Lakshman Kadirgamar,
militer akan mempertahankan wilayah tersebut agar tidak jatuh ke tangan
Macan Tamil.
Kadirgamar menyebutkan, militer Sri Lanka akan dibantu oleh berbagai
negara lain, termasuk Israel. Israel akan membantu di bidang
perlengkapan militer -- termasuk dengan mengirimkan ahli-ahli tekniknya
-- untuk memerangi Macan Tamil.
Laporan Medecins Sans Frontieres (MSF), sebuah kelompok dokter yang
memberi bantuan lintas batas negara, menyebutkan bahwa serangan terakhir
di Jaffna telah membuat korban sipil berjatuhan. Mereka juga menyatakan
bahwa lokasi sasaran militer yang terletak di dekat sejumlah rumah sakit
adalah membahayakan para pasien.
Korban yang berjatuhan pun tak hanya dari pihak sipil. Ratusan
tentara tewas dalam pertempuran melawan para pemberontak. Ribuan lainnya
terluka. Ironisnya, mereka hanyalah bidak catur yang tak memiliki
kekuatan untuk ''menolak'' perang.
Setiap hari, banyak sekali anggota keluarga tentara yang berkerumun
di dekat rumah sakit atau markas besar militer. Mereka mencari tahu
nasib saudara, putra atau putri mereka yang bergabung dalam militer.
Besarnya penderitaan dan tragedi yang menimpa warga biasa yang
anggota keluarganya terpaksa bergabung dengan tentara, termasuk karena
tekanan ekonomi, membuat besarnya hasrat mereka untuk menghentikan
perang yang telah berlangsung selama 17 tahun ini.
Seorang janda asal Kadawatha bertutur tentang suaminya. Sang suami
tewas 10 Mei lalu di Chavakachcheri, Semenanjung Jaffna.
''Suami saya bergabung dalam dinas ketentaraan karena ia tidak
memiliki pekerjaan lain. Ia terpaksa menghabiskan waktu hidupnya yang
terbaik untuk perang yang sia-sia ini. Ia telah mengabdi selama 11 tahun
dan memperoleh sejumlah lencana, namun tak kunjung mendapat kenaikan
pangkat. Ia berencana untuk keluar dalam waktu 1,5 tahun lagi, saat
dinasnya genap 12 tahun. Tapi kini ia pergi untuk selamanya,'' paparnya
pilu.
Ibu seorang anak ini bahkan tengah mengandung anak kedua. Ia mengaku
tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depannya.
Kisah sedih juga dituturkan seorang wanita asal Ratgama, mengenai
nasib saudara-saudaranya yang berada di tengah perang. Kakak tertuanya
terbunuh di Pallai, dekat markas tentara di Elephant Pass, 1 Mei lalu.
Sekitar 18 bulan sebelumnya, sang kakak berusaha keluar dari
ketentaraannya. Namun ia kemudian dibujuk untuk kembali ke kesatuannya.
Sedangkan adik prianya juga seorang tentara dan kini berada di zona
pertempuran Jaffna.
''Ayah kami adalah seorang pegawai di departemen survey pemerintah.
Ia meninggal sebelas tahun yang lalu. Padahal ada lima orang anak dalam
keluarga ini. Kakak tertua kami menderita epilepsi dan ibu kami terpaksa
bekerja di penambangan batu kapur,'' ungkapnya. Suaminya juga seorang
tentara yang aktif di dinas militer. Mereka memiliki tiga orang anak.
''Saya selalu meminta suami dan saudara-saudara saya agar tidak
kembali ke dinasnya ... Tapi jika satu demi satu berhenti, bagaimana
mungkin kami bisa mempertahankan hidup kami?'' tutur si wanita.
Ia pun menyalahkan para politisi atas bencana peperangan yang dialami
Sri Lanka. Menurutnya, ''PA (pemerintah Aliansi Rakyat) berjanji akan
menghentikan peperangan pada 1994. Kami pun memberikan suara kami. Namun
semua itu cuma janji kosong. Sekarang, saya tidak lagi percaya kepada
siapa pun. Orang-orang ikut berperang bukan karena ingin menyelamatkan
negara, tapi karena tidak punya jalan lain untuk bertahan.''
Hal tersebut ternyata diakui oleh seorang komandan perang sebuah
kesatuan kecil. Ia bercerita, ''Mengapa mereka (Macan Tamil) punya
semangat sementara kami tidak? Karena sebagian besar tentara bergabung
dengan militer demi mencari sumber penghidupan, jadi hanya untuk
mendapat pekerjaan ... Kami tidak merasa bahwa perang ini adalah
pertempuran kami. Kami merasa dibunuh dan dikebiri dalam sebuah perang
yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan kami.''
Sementara itu penderitaan rakyat tampaknya semakin bertambah dengan
diberlakukannya undang-undang darurat di seluruh Sri Lanka. Kini
ketakutan rakyat tidak hanya pada para pemberontak, namun juga pada
pemerintah.
''Kami harus tunduk pada aturan pemerintah ... Baru-baru ini militer
mengancam kami. Mereka tidak mengijinkan tiga atau empat orang berkumpul
di depan pabrik. Kami tidak ingin berperang. Kami juga tidak ingin
negara terpecah-belah. Yang kami inginkan adalah hak untuk bekerja,''
tutur sekelompok pekerja di perkebunan Kurukude, 200 km dari Colombo.
Warga tampaknya sudah muak dengan perang. Seorang guru Muslim di
sekolah Tamil menyatakan, ''Kami mengutuk komunalisme dan perang di
negeri ini. Perdamaian itu amatlah manis, sedangkan perang membuat
sengsara.''
Situasi terakhir di negeri mereka, kata sang guru, tidak menentu.
Bahkan Menurutnya, undang-undang darurat yang ditetapkan pemerintah
hanyalah untuk menutup-nutupi kebenaran yang terjadi di medan perang.