Setelah pemberontakan Madiun, mungkin sejarah Komunisme (PKI)
segera tamat, kalau saja pimpinan kabinet -- Bung Hatta -- mau
mendengarkan saran Gubernur Militer Jen. Gatot Subroto. Pemberontakan
Madiun, suatu perbuatan makar, bahkan menikam dari belakang, ketika
pemerintah sedang sibuk-sibuknya membenahi negara yang masih kusut masai
sambil menghadapi berbagai trick Belanda yang akan come
back! Pada saat itu pulalah kaum Komunis mengadakan aksi dengan
melakukan pembunuhan massal terhadap para ulama dan orang-orang Islam
serta mengumumkan perang terhadap Pemerintah RI.
Melihat pengkhianatan dan kekejaman yang luar biasa itu, pihak TNI
sangat geram. Gatot Subroto bertanya kepada Bung Hatta, ''Mau diapakan
mereka ini, Bung Hatta?'' Tapi Hatta menjawab dengan tenang, supaya para
pemimpin yang tertangkap, Alimin dan Amir Syarifuddin cs, jangan
dibunuh, tapi akan diajukan ke pengadilan. Sebab, katanya, Indonesia
adalah negara hukum yang demokratis. Saran untuk melarang PKI pun
ditolaknya. ''Tunggu putusan pengadilan dulu,'' begitu pendapat Hatta
dalam buku Bung Hatta Menjawab, ''baru terbuka jalan ke arah
itu.''
Pengadilan yang direncanakan Hatta itu nyatanya tak pernah terjadi.
Keburu timbul Clash II dan berbagai peristiwa susul-menyusul.
Para pemimpin -- termasuk Bung Hatta, dibuang ke Bangka, pembentukan
pemerintah darurat di Sumatra, persetujuan Roem-Royan, dan KMB, sampai
pengakuan kedaulatan dengan terbentuknya RIS, dengan Bung Hatta sebagai
PM merangkap Menlu, akhir 1949. Saat itu, memang Hatta kembali hendak
membuka masalah pemberontakan Madiun itu, dan telah meminta Jaksa Agung
Mr Tirtawinata membuat tuntutan. Namun PM negara bagian RI Dr Halim
menahannya, dengan alasan bahwa masalah Madiun adalah urusan RI, bukan
urusan RIS.
Memang, saat Clash II itu, Gatot Subroto memerintahkan
menghabisi para pemimpin Komunis yang tertangkap itu. Sebagai Gubernur
Militer, dia mengambil sikap bahwa dalam keadaan perang maka musuh baik
Komunis maupun Belanda sama saja, sama-sama menyerang Republik. Lagi
pula ketika itu telah ada indikasi bahwa mereka akan menyeberang ke
pihak Belanda. Namun kehendak yang substansial yaitu melarang dan
membubarkan PKI tetap tak terlaksana.
Setelah itu PKI dengan ketuanya yang baru, DN Aidit, mulai mengadakan
pendekatan yang intensif kepada pemerintah dan berbagai bujukan kepada
rakyat, terutama kaum buruh dan tani. Usaha ini sangat berhasil, bahkan
secara mengejutkan PKI menempati urutan keempat pada Pemilu 1955 yang
dikenal jurdil itu. Peluang PKI bertambah luas ketika Hatta mundur
disusul kemudian Soekarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945.
Apalagi ketika Soekarno membuat gagasan Nasakom, di mana Komunis sebagai
salah satu sokoguru negara.
Awal tahun 1960-an, PKI mulai mengadakan intrik secara terencana,
mencari lawan dari kalangan TNI dan Islam. Serta mulai cuci tangan. DN
Aidit dalam berbagai kesempatan, misalnya pada kursus indoktrinasi
Nasakom, berkali-kali mengatakan bahwa peristiwa Madiun adalah akibat
provokasi Hatta. Istilah sekarang, Bung Hatta-lah provokatornya, sudah
digunakan PKI 40 tahun yang lalu.
Terasa sekali suhu politik pada waktu itu meningkat dan panas.
'Politik pecah belah' antara TNI dan rakyat dikabarkan.
Ganyang-mengganyang digalakkan: Ganyang nekolim, ganyang kapbir
(kapitalis birokrat), setan desa, HMI, Manikebu, dan lain-lain. PKI juga
minta dipersenjatai buruh dan tani untuk membentuk Angkatan V. Karena
usul ini ditolak keras oleh Men/Pangad Jend A Yani, berbagai intrik dan
adu domba dilakukan menghadapkan Bung Karno dengan TNI.
Berbagai pelecehan terhadap Islam, penangkapan terhadap ulama dan
intelektual, pagelaran ketoprak dan ludruk yang memuat misi hinaan dan
hujatan terhadap Islam, bahkan provokasi terhadap TNI, semuanya sebagai
aksiomatik menuju muara pemberontakan 30 September 1965. Bagaimanapun
skenarionya, Komunis tak dapat mengelak dan melepaskan tanggung jawab
terhadap peristiwa itu.
Kalaupun mereka sekarang tampaknya mendapat angin dengan runtuhnya
Orde Baru serta adanya keinginan KH Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden,
untuk mengusulkan mencabut TAP MPRS No XXV/1966, mereka tak bisa begitu
saja cuci tangan sebagaimana yang telah sukses mereka lakukan terhadap
peristiwa Madiun.
Indikasi ke arah itu tampaknya mulai terasa keras. Misalnya upaya
memperjuangkan rehabilitasi dan kompensasi terhadap para korban G30S,
pengusulan pembentukan KPP HAM, kemudian upaya 'pelurusan sejarah' bahwa
peristiwa berdarah itu adalah konflik intern AD, lalu sasaran tembak
kepada Soeharto sebagai dalang.
Berbagai trick mereka lakukan untuk cuci tangan itu. Pramoedya
Ananta Toer, sastrawan dan tokoh Lekra, ketika baru dibebaskan tahun
1978, mati-matian mengatakan mengingkari keterlibatannya terhadap PKI.
Kini dia mengubah tak-tik membongkar pelanggaran HAM terhadap dirinya
dan kawan-kawannya, bahkan secara sinis dia menanggapi permintaan maaf
Gus Dur, seolah dia minta 'di-sungkem' sebagai pahlawan. Satu hal
dia 'konsisten', yaitu dia tak pernah mau mengaku bersalah!
Begitu juga dengan Kolonel A Latief -- gembong Dewan Revolusi, yang
katanya mau 'meluruskan sejarah' dalam wawancaranya dengan Tempo
baru-baru ini, justru tampak malah mengaburkan sejarah. Dia tampak
berusaha sekali meniadakan peran PKI dalam peristiwa G30S itu. Tampak
sekali banyak kejanggalan dalam keterangannya pada malam kejadian
penculikan para jenderal itu.
Katanya, ide untuk menghadapkan para jenderal pada malam 30 September
1965 itu kepada Presiden Soekarno datang dari mereka -- yaitu Kol A
Latief, Brigjen Soepardjo, Letkol Untung, dan Suyono. Bukan dari PKI.
Bahkan katanya dia tak kenal adanya PKI. Ide itu katanya hanya sebatas
pemanggilan untuk menghadapkan para jenderal kepada Presiden, sebab
mereka dicurigai akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965. Bukan untuk
menculik dan menghabisi mereka sebagaimana yang terjadi.
Pernyataan itu banyak yang kabur dan tak transparan. Pertama,
bagaimana mereka mau menghadapkan para jenderal itu kepada Presiden
Soekarno, sementara mereka sendiri tidak memberitahukannya kepada
presiden, atau presiden sendiri tidak memerintahkan, mengingat pada
malam itu pula Soekarno tidak berada di istana. Sehabis menghadiri
Musyawarah Nasional Teknisi di Istora hingga pukul 23.00, presiden
kembali sebentar ke istana, kemudian ke Hotel Indonesia menjemput Ny
Dewi, isterinya, dan bermalam di sana (rumah Ny Dewi).
Kedua, tindakan pemanggilan para jenderal oleh 'bawahan' tanpa
perintah, apalagi dilakukan larut malam, tentulah suatu tindakan ilegal.
Mengapa tindakan ilegal ini dilaporkan pada larut malam itu juga kepada
seorang pejabat resmi, yaitu Pangkostrad Mayjen Soeharto, kalau tidak
mereka punya konspirasi dan rencana yang matang, padahal dia mengaku ini
'ide dari kami' para bawahan itu?
Ketiga, Latief katanya terkaget-kaget mengetahui para jenderal
itu dibunuh, seolah itu suatu kebetulan. Dengan logika semacam ini,
kasihan sekali, sebagai perwira menengah, dia telah dipakai sebagai
bidak tanpa menyadarinya. Bagaimana seorang 'bidak' mau meluruskan
sejarah? Dengan begitu, pengingkaran seorang 'bidak' atas keterlibatan
PKI pada malam peristiwa 30 September itu tidak dapat diketengahkan.
Hal ini tentulah salah satu mata rantai dari rencana besar PKI hendak
melakukan cuci tangan dalam peristiwa biadab itu. Kalau usul Presiden
Abdurrahman Wahid untuk mencabut Tap MPRS No XXV/1966 itu terlaksana,
kemungkinan besar akan terjadi masalah besar yang kompleks terhadap
bangsa dan negara ini. Akan terbuka peluang bahwa kaum Komunis/PKI
memang tidak bersalah dan dengan begitu hak-hak mereka harus dipulihkan
serta berbagai rentetan tuntutan lainnya. Lalu bagaimana dengan
keabsahan vonis pengalihan dan Mahmilub yang dijatuhkan kepada sekian
banyak tokoh-tokoh mereka?
Komunisme sudah ambruk dan tidak lagi berbahaya dengan hancurnya Uni
Soviet dan Yugoslavia, kata sebagian pengamat kita, jadi mengapa harus
ditakutkan? Mereka barangkali lupa melihat bahwa Cina sebagai negara
raksasa masih berdiri dengan sistem komunisme. Demikian juga Vietnam,
Cuba, dan lainnya. Lagi pula, faham komunis di Rusia itu tidaklah turut
mati dan kelihatan masih subur.
Ada pula yang berkilah bahwa dalam negara demokrasi, aliran setan dan
iblis sekalipun berhak hidup. Ini terlalu berlebih-lebihan. Negara
Indonesia, yang mengaku berdiri 'atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa', tentulah berkewajiban untuk membuat aturan, hukum, dan
undang-undang yang akan melindungi warga negaranya dari tindakan dan
perbuatan yang keji dan mungkar. Atau, adakah jenis setan dan iblis yang
mau mengelola kehidupan manusia dengan baik dan terpuji?
Ahli komunisme yang lain pula, sekarang tampaknya banyak bermunculan,
menolak bahwa komunisme adalah ateis. ''Dalam sejarah, kita mengenal
Haji Misbach dari Surakarta dan Datuk Batuah dari Padang yang Islam
sekaligus komunis. Pelajarilah Marxisme, maka akan ketahuan bahwa
concern utamanya bukanlah agama, melainkan soal-soal pembelaan
terhadap yang tertindas dalam kapitalisme'' (Tempo, 16 April).
Namun, apakah dia tidak memahami demi concern utamanya
terhadap yang tertindas itu, komunisme melihat bahwa agama adalah salah
satu penghalang utama yang harus dilenyapkan. Frederick Engels, sang
dwitunggal pencetus Manifesto Komunis, berkata, ''A socialitarian
system, rightly conceived, has therefore... to abolish all the
paraphernalia of religious magic, and therewith all the essential
elements of religious worship.'' Selanjutnya dikatakannya,
''Religion is being prohibited''. Dan telah kita persaksikan
bersama-sama, di negara tempat komunisme berkuasa, agama dengan segala
perangkatnya yang esensial -- seperti ulama dan rumah ibadah -- menjadi
sasaran pembasmian dan penghancuran tanpa alasan. Cara seperti inilah
yang dikatakan ''The end justifies the Means'' (Tujuan
menghalalkan cara) sebagai ciri laten komunisme.