Republika Online edisi:
03 Jun 2000

Cuci Tangan Komunis

Setelah pemberontakan Madiun, mungkin sejarah Komunisme (PKI) segera tamat, kalau saja pimpinan kabinet -- Bung Hatta -- mau mendengarkan saran Gubernur Militer Jen. Gatot Subroto. Pemberontakan Madiun, suatu perbuatan makar, bahkan menikam dari belakang, ketika pemerintah sedang sibuk-sibuknya membenahi negara yang masih kusut masai sambil menghadapi berbagai trick Belanda yang akan come back! Pada saat itu pulalah kaum Komunis mengadakan aksi dengan melakukan pembunuhan massal terhadap para ulama dan orang-orang Islam serta mengumumkan perang terhadap Pemerintah RI.

Melihat pengkhianatan dan kekejaman yang luar biasa itu, pihak TNI sangat geram. Gatot Subroto bertanya kepada Bung Hatta, ''Mau diapakan mereka ini, Bung Hatta?'' Tapi Hatta menjawab dengan tenang, supaya para pemimpin yang tertangkap, Alimin dan Amir Syarifuddin cs, jangan dibunuh, tapi akan diajukan ke pengadilan. Sebab, katanya, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Saran untuk melarang PKI pun ditolaknya. ''Tunggu putusan pengadilan dulu,'' begitu pendapat Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab, ''baru terbuka jalan ke arah itu.''

Pengadilan yang direncanakan Hatta itu nyatanya tak pernah terjadi. Keburu timbul Clash II dan berbagai peristiwa susul-menyusul. Para pemimpin -- termasuk Bung Hatta, dibuang ke Bangka, pembentukan pemerintah darurat di Sumatra, persetujuan Roem-Royan, dan KMB, sampai pengakuan kedaulatan dengan terbentuknya RIS, dengan Bung Hatta sebagai PM merangkap Menlu, akhir 1949. Saat itu, memang Hatta kembali hendak membuka masalah pemberontakan Madiun itu, dan telah meminta Jaksa Agung Mr Tirtawinata membuat tuntutan. Namun PM negara bagian RI Dr Halim menahannya, dengan alasan bahwa masalah Madiun adalah urusan RI, bukan urusan RIS.

Memang, saat Clash II itu, Gatot Subroto memerintahkan menghabisi para pemimpin Komunis yang tertangkap itu. Sebagai Gubernur Militer, dia mengambil sikap bahwa dalam keadaan perang maka musuh baik Komunis maupun Belanda sama saja, sama-sama menyerang Republik. Lagi pula ketika itu telah ada indikasi bahwa mereka akan menyeberang ke pihak Belanda. Namun kehendak yang substansial yaitu melarang dan membubarkan PKI tetap tak terlaksana.

Setelah itu PKI dengan ketuanya yang baru, DN Aidit, mulai mengadakan pendekatan yang intensif kepada pemerintah dan berbagai bujukan kepada rakyat, terutama kaum buruh dan tani. Usaha ini sangat berhasil, bahkan secara mengejutkan PKI menempati urutan keempat pada Pemilu 1955 yang dikenal jurdil itu. Peluang PKI bertambah luas ketika Hatta mundur disusul kemudian Soekarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945. Apalagi ketika Soekarno membuat gagasan Nasakom, di mana Komunis sebagai salah satu sokoguru negara.

Awal tahun 1960-an, PKI mulai mengadakan intrik secara terencana, mencari lawan dari kalangan TNI dan Islam. Serta mulai cuci tangan. DN Aidit dalam berbagai kesempatan, misalnya pada kursus indoktrinasi Nasakom, berkali-kali mengatakan bahwa peristiwa Madiun adalah akibat provokasi Hatta. Istilah sekarang, Bung Hatta-lah provokatornya, sudah digunakan PKI 40 tahun yang lalu.

Terasa sekali suhu politik pada waktu itu meningkat dan panas. 'Politik pecah belah' antara TNI dan rakyat dikabarkan. Ganyang-mengganyang digalakkan: Ganyang nekolim, ganyang kapbir (kapitalis birokrat), setan desa, HMI, Manikebu, dan lain-lain. PKI juga minta dipersenjatai buruh dan tani untuk membentuk Angkatan V. Karena usul ini ditolak keras oleh Men/Pangad Jend A Yani, berbagai intrik dan adu domba dilakukan menghadapkan Bung Karno dengan TNI.

Berbagai pelecehan terhadap Islam, penangkapan terhadap ulama dan intelektual, pagelaran ketoprak dan ludruk yang memuat misi hinaan dan hujatan terhadap Islam, bahkan provokasi terhadap TNI, semuanya sebagai aksiomatik menuju muara pemberontakan 30 September 1965. Bagaimanapun skenarionya, Komunis tak dapat mengelak dan melepaskan tanggung jawab terhadap peristiwa itu.

Kalaupun mereka sekarang tampaknya mendapat angin dengan runtuhnya Orde Baru serta adanya keinginan KH Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden, untuk mengusulkan mencabut TAP MPRS No XXV/1966, mereka tak bisa begitu saja cuci tangan sebagaimana yang telah sukses mereka lakukan terhadap peristiwa Madiun.

Indikasi ke arah itu tampaknya mulai terasa keras. Misalnya upaya memperjuangkan rehabilitasi dan kompensasi terhadap para korban G30S, pengusulan pembentukan KPP HAM, kemudian upaya 'pelurusan sejarah' bahwa peristiwa berdarah itu adalah konflik intern AD, lalu sasaran tembak kepada Soeharto sebagai dalang.

Berbagai trick mereka lakukan untuk cuci tangan itu. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan tokoh Lekra, ketika baru dibebaskan tahun 1978, mati-matian mengatakan mengingkari keterlibatannya terhadap PKI. Kini dia mengubah tak-tik membongkar pelanggaran HAM terhadap dirinya dan kawan-kawannya, bahkan secara sinis dia menanggapi permintaan maaf Gus Dur, seolah dia minta 'di-sungkem' sebagai pahlawan. Satu hal dia 'konsisten', yaitu dia tak pernah mau mengaku bersalah!

Begitu juga dengan Kolonel A Latief -- gembong Dewan Revolusi, yang katanya mau 'meluruskan sejarah' dalam wawancaranya dengan Tempo baru-baru ini, justru tampak malah mengaburkan sejarah. Dia tampak berusaha sekali meniadakan peran PKI dalam peristiwa G30S itu. Tampak sekali banyak kejanggalan dalam keterangannya pada malam kejadian penculikan para jenderal itu.

Katanya, ide untuk menghadapkan para jenderal pada malam 30 September 1965 itu kepada Presiden Soekarno datang dari mereka -- yaitu Kol A Latief, Brigjen Soepardjo, Letkol Untung, dan Suyono. Bukan dari PKI. Bahkan katanya dia tak kenal adanya PKI. Ide itu katanya hanya sebatas pemanggilan untuk menghadapkan para jenderal kepada Presiden, sebab mereka dicurigai akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965. Bukan untuk menculik dan menghabisi mereka sebagaimana yang terjadi.

Pernyataan itu banyak yang kabur dan tak transparan. Pertama, bagaimana mereka mau menghadapkan para jenderal itu kepada Presiden Soekarno, sementara mereka sendiri tidak memberitahukannya kepada presiden, atau presiden sendiri tidak memerintahkan, mengingat pada malam itu pula Soekarno tidak berada di istana. Sehabis menghadiri Musyawarah Nasional Teknisi di Istora hingga pukul 23.00, presiden kembali sebentar ke istana, kemudian ke Hotel Indonesia menjemput Ny Dewi, isterinya, dan bermalam di sana (rumah Ny Dewi).

Kedua, tindakan pemanggilan para jenderal oleh 'bawahan' tanpa perintah, apalagi dilakukan larut malam, tentulah suatu tindakan ilegal. Mengapa tindakan ilegal ini dilaporkan pada larut malam itu juga kepada seorang pejabat resmi, yaitu Pangkostrad Mayjen Soeharto, kalau tidak mereka punya konspirasi dan rencana yang matang, padahal dia mengaku ini 'ide dari kami' para bawahan itu?

Ketiga, Latief katanya terkaget-kaget mengetahui para jenderal itu dibunuh, seolah itu suatu kebetulan. Dengan logika semacam ini, kasihan sekali, sebagai perwira menengah, dia telah dipakai sebagai bidak tanpa menyadarinya. Bagaimana seorang 'bidak' mau meluruskan sejarah? Dengan begitu, pengingkaran seorang 'bidak' atas keterlibatan PKI pada malam peristiwa 30 September itu tidak dapat diketengahkan.

Hal ini tentulah salah satu mata rantai dari rencana besar PKI hendak melakukan cuci tangan dalam peristiwa biadab itu. Kalau usul Presiden Abdurrahman Wahid untuk mencabut Tap MPRS No XXV/1966 itu terlaksana, kemungkinan besar akan terjadi masalah besar yang kompleks terhadap bangsa dan negara ini. Akan terbuka peluang bahwa kaum Komunis/PKI memang tidak bersalah dan dengan begitu hak-hak mereka harus dipulihkan serta berbagai rentetan tuntutan lainnya. Lalu bagaimana dengan keabsahan vonis pengalihan dan Mahmilub yang dijatuhkan kepada sekian banyak tokoh-tokoh mereka?

Komunisme sudah ambruk dan tidak lagi berbahaya dengan hancurnya Uni Soviet dan Yugoslavia, kata sebagian pengamat kita, jadi mengapa harus ditakutkan? Mereka barangkali lupa melihat bahwa Cina sebagai negara raksasa masih berdiri dengan sistem komunisme. Demikian juga Vietnam, Cuba, dan lainnya. Lagi pula, faham komunis di Rusia itu tidaklah turut mati dan kelihatan masih subur.

Ada pula yang berkilah bahwa dalam negara demokrasi, aliran setan dan iblis sekalipun berhak hidup. Ini terlalu berlebih-lebihan. Negara Indonesia, yang mengaku berdiri 'atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa', tentulah berkewajiban untuk membuat aturan, hukum, dan undang-undang yang akan melindungi warga negaranya dari tindakan dan perbuatan yang keji dan mungkar. Atau, adakah jenis setan dan iblis yang mau mengelola kehidupan manusia dengan baik dan terpuji?

Ahli komunisme yang lain pula, sekarang tampaknya banyak bermunculan, menolak bahwa komunisme adalah ateis. ''Dalam sejarah, kita mengenal Haji Misbach dari Surakarta dan Datuk Batuah dari Padang yang Islam sekaligus komunis. Pelajarilah Marxisme, maka akan ketahuan bahwa concern utamanya bukanlah agama, melainkan soal-soal pembelaan terhadap yang tertindas dalam kapitalisme'' (Tempo, 16 April).

Namun, apakah dia tidak memahami demi concern utamanya terhadap yang tertindas itu, komunisme melihat bahwa agama adalah salah satu penghalang utama yang harus dilenyapkan. Frederick Engels, sang dwitunggal pencetus Manifesto Komunis, berkata, ''A socialitarian system, rightly conceived, has therefore... to abolish all the paraphernalia of religious magic, and therewith all the essential elements of religious worship.'' Selanjutnya dikatakannya, ''Religion is being prohibited''. Dan telah kita persaksikan bersama-sama, di negara tempat komunisme berkuasa, agama dengan segala perangkatnya yang esensial -- seperti ulama dan rumah ibadah -- menjadi sasaran pembasmian dan penghancuran tanpa alasan. Cara seperti inilah yang dikatakan ''The end justifies the Means'' (Tujuan menghalalkan cara) sebagai ciri laten komunisme.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000