PALU -- Pertikaian antara umat Islam dan Kristen di Poso -- 225
km dari Palu, Ibukota Sulawesi Tengah -- yang berlangsung sejak Kamis
pekan lalu hingga kemarin terus berlangsung. Informasi yang didapat dari
Poso kemarin, 11 nyawa kembali melayang akibat pertikaian itu, sementara
ribuan warga mengungsi.
''Adik saya Syamsuddin menelepon dari Poso, hari ini (2/6) ditemukan
empat mayat di dekat rumahnya dan tujuh mayat yang mengambang di
kuala [sungai] Poso,'' ujar Abbas, warga Poso yang kini tinggal
di Palu kepada wartawan.
Ia menambahkan adiknya itu meminta agar dia segera menjemputnya di
wilayah Tambarana, sekitar 120 dari Palu. ''Karena kondisinya semakin
mencekam dan sudah tak terkendali, keluarga saya berusaha untuk
mengungsi dari Poso menggunakan rakit. Melalui darat sudah tidak mungkin
lagi karena jalan diblokir dengan pohon-pohon yang sengaja
ditumbangkan,'' lanjut Abbas dengan wajah berkaca-kaca.
Dari Poso dilaporkan, kemarin pagi kota itu diserang perusuh dari
empat penjuru: dari Tegal Redjo, Kayamanya, Moengko, dan Sayo. Mereka
menyerang dengan taktik hit and run serta membakar rumah yang
ditinggal penduduk.
''Yang jelas, jembatan Toyado dan Tokorondo masih dikuasai perusuh,
bahkan dua buah jembatan telah diputus, sehingga hubungan lalu lintas
dari dan ke Poso putus total,'' ungkap H Hasyim, mantan anggota DPRD Tk
I Poso yang kini berada di Palu. Dikatakan, hubungan dari dan ke Poso
hanya bisa dilakukan lewat jalur laut.
Sementara itu, ribuan pengungsi telah dan sedang berupaya
meninggalkan Poso karena merasa tidak aman. Menurut Abdul Julil G Bua,
Sekretaris Pengurus Al-Khairat Pantai Timur, Kabupaten Donggala, sekitar
3.000 pengungsi berada di Parigi, kota kecamatan berjarak sekitar 100 km
dari Poso. Sekitar 2 ribu pengungsi berada di Sausu, 90 km dari Poso.
Untuk membantu penderitaan para pengungsi itu, menurut Sri Handono,
seorang relawan yang mengurusi para pengungsi, kemarin petang telah tiba
satu tim medis yang terdiri dari lima orang dokter dan bantuan
obat-obatan serta makanan sebanyak satu truk. Seluruh bantuan ini
berasal LSM yang bergerak di bidang kesehatan. Ia menambahkan, dalam
waktu dekat juga akan datang bantuan berupa makanan yang diperuntukkan
bagi 7.500 pengungsi untuk masa tujuh hari.
Informasi terus berkecamuknya pertikaian antara umat Islam dan
Kristen di Poso, juga diungkapkan Fadel Muhammad, ketua umum Yayasan
Al-Khairat -- sebuah lembaga Islam tertua dan terbesar di Indonesia
Timur. Ia menyatakan kemarin pagi menerima informasi melalui telepon
dari pengurus Al-Khairat di Poso. ''Menurut berita yang saya terima itu,
seorang guru kesayangan KH Saggaf Al-Jufrie yang bernama Ustadz
Sirajuddin meninggal dibunuh oleh orang-orang Nashara
(Kristen),'' tutur Fadel, yang sejak Kamis lalu berada di Palu, kepada
wartawan kemarin. KH Saggaf adalah ketua utama Al-Khairat.
Fadel yang juga dikenal sebagai pengusaha nasional itu mengharapkan
pemerintah jangan menganggap sepele kasus Poso. Ia mendesak Pemda
Sulteng segera mengatasi kemelut yang telah menelan korban puluhan orang
itu. ''Tadi pagi saya menelepon Gubernur Sulteng agar segera
berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk segera mengatasi kerusuhan di
Poso.''
Harapan senada disampaikan tokoh Al-Khairat lainnya, Yahya Al-Amrie.
Ia menyatakan bila pemerintah tidak segera mengatasi kerusuhan di Poso,
dikhawatirkan setelah pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) yang
dibuka Presiden Abdurrahman Wahid tadi malam, akan terjadi aksi balasan
dari umat Islam secara besar-besaran. ''Kita di sini masih menghormati
kegiatan MTQ,'' tandas Yahya.
Yahya menduga pertikaian di Poso tidak seimbang karena pihak Kristen
dilengkapi peralatan modern. Selain itu, katanya, kelompok perusuh yang
sebagian berpakaian ala ninja itu didukung tentara bayaran yang
didatangkan dari Flores. ''Jumlah personel tersebut diperkirakan
mencapai 7.000 orang yang dilengkapi dengan 300-400 pucuk senjata
terdiri dari M-1 dan AK,'' ujar Yahya.
Sri Handono, seorang relawan yang mengaku pernah ke Poso,
mengungkapkan indikasi keterlibatan tentara bayaran itu bisa dilihat
dari cara penembakan yang dilakukan para perusuh. ''Tembakannya pas di
dahi, jantung, dan di kedua lutut. Ini bukan sembarang tembakan.
Penembaknya pasti orang-orang yang terlatih,'' ujar Handono yang mengaku
heran dalam pertikaian di Poso juga ditemukan martir.
Hasan Ambon yang sempat bertempur melawan perusuh di Poso juga
mengaku menyaksikan para agresor itu mendapat dukungan senjata modern.
''Kalau mereka menggunakan senjata tradisional seperti yang kami miliki
berupa tombak, batu, dan panah, kami tidak akan meninggalkan arena
pertempuran,'' tutur Hasan.
Fadel menduga kerusuhan Poso merupakan sebuah rekayasa yang
skenarionya diatur oleh kelompok tertentu untuk memecah belah bangsa. Ia
menjelaskan kerusuhan berkembang karena kelompok itu gagal menguasai
wilayah Indonesia Timur.
Dari berbagai informasi yang didapatnya dari sumber-sumber tepercaya,
menurut Fadel, aksi pertikaian ini memang disengaja diletuskan persis
bersamaan dengan pelaksanaan MTQ. ''MTQ di Palu merupakan kesempatan
yang ditunggu-tunggu dan paling tepat untuk melakukan serangan, karena
semua pejabat dan aparat keamanan serta umat Islam terkonsentrasi pada
hajat akbar ini,'' ungkapnya.
Yahya Al-Amrie menyatakan dua hari sebelum terjadi kerusuhan 'jilid
III' di Poso, para pendeta dan tokoh Kristiani bertemu dengan pimpinan
Yayasan Al-Khairat di Palu. ''Mereka meminta perlindungan dan menyatakan
tidak tahu menahu soal kerusuhan Poso tersebut. Tapi begitu terjadi
penyerangan, ketika dihubungi mereka justru menghilang, sehingga
menimbulkan kecurigaan,'' ungkap Yahya.
Gubernur Sulteng HB Paliudju mengakui kerusuhan yang terjadi Poso
untuk ketiga kalinya ini bermuatan balas dendam, sebab pada kerusuhan
kedua bulan April lalu kelompok Islam tak mampu mengendalikan diri.
''Kelompok Kristen saat itu sudah mengangkat bendera putih tetapi terus
juga diburu oleh kelompok Islam,'' kata Gubernur Paliudju seperti
dikutip Antara kemarin.
Menteri Agama KH Tolchah Hasan yang berada di Palu untuk menghadiri
MTQ menyatakan keprihatinannya terhadap kerusuhan Poso. ''Semestinya hal
itu tak perlu terjadi kalau masing-masing umat beragama menyadari
sebagai hamba Tuhan,'' tandas Menag dalam acara ta'aruf
(perkenalan) Kamis (1/6) malam. Dalam kesempatan tersebut Menag
menyerahkan dana bantuan sebesar Rp 100 juta untuk korban kerusuhan Poso
dan gempa di Banggai.