Republika Online edisi:
03 Jun 2000

Poso Masih Rusuh, Ribuan Mengungsi

PALU -- Pertikaian antara umat Islam dan Kristen di Poso -- 225 km dari Palu, Ibukota Sulawesi Tengah -- yang berlangsung sejak Kamis pekan lalu hingga kemarin terus berlangsung. Informasi yang didapat dari Poso kemarin, 11 nyawa kembali melayang akibat pertikaian itu, sementara ribuan warga mengungsi.

''Adik saya Syamsuddin menelepon dari Poso, hari ini (2/6) ditemukan empat mayat di dekat rumahnya dan tujuh mayat yang mengambang di kuala [sungai] Poso,'' ujar Abbas, warga Poso yang kini tinggal di Palu kepada wartawan.

Ia menambahkan adiknya itu meminta agar dia segera menjemputnya di wilayah Tambarana, sekitar 120 dari Palu. ''Karena kondisinya semakin mencekam dan sudah tak terkendali, keluarga saya berusaha untuk mengungsi dari Poso menggunakan rakit. Melalui darat sudah tidak mungkin lagi karena jalan diblokir dengan pohon-pohon yang sengaja ditumbangkan,'' lanjut Abbas dengan wajah berkaca-kaca.

Dari Poso dilaporkan, kemarin pagi kota itu diserang perusuh dari empat penjuru: dari Tegal Redjo, Kayamanya, Moengko, dan Sayo. Mereka menyerang dengan taktik hit and run serta membakar rumah yang ditinggal penduduk.

''Yang jelas, jembatan Toyado dan Tokorondo masih dikuasai perusuh, bahkan dua buah jembatan telah diputus, sehingga hubungan lalu lintas dari dan ke Poso putus total,'' ungkap H Hasyim, mantan anggota DPRD Tk I Poso yang kini berada di Palu. Dikatakan, hubungan dari dan ke Poso hanya bisa dilakukan lewat jalur laut.

Sementara itu, ribuan pengungsi telah dan sedang berupaya meninggalkan Poso karena merasa tidak aman. Menurut Abdul Julil G Bua, Sekretaris Pengurus Al-Khairat Pantai Timur, Kabupaten Donggala, sekitar 3.000 pengungsi berada di Parigi, kota kecamatan berjarak sekitar 100 km dari Poso. Sekitar 2 ribu pengungsi berada di Sausu, 90 km dari Poso.

Untuk membantu penderitaan para pengungsi itu, menurut Sri Handono, seorang relawan yang mengurusi para pengungsi, kemarin petang telah tiba satu tim medis yang terdiri dari lima orang dokter dan bantuan obat-obatan serta makanan sebanyak satu truk. Seluruh bantuan ini berasal LSM yang bergerak di bidang kesehatan. Ia menambahkan, dalam waktu dekat juga akan datang bantuan berupa makanan yang diperuntukkan bagi 7.500 pengungsi untuk masa tujuh hari.

Informasi terus berkecamuknya pertikaian antara umat Islam dan Kristen di Poso, juga diungkapkan Fadel Muhammad, ketua umum Yayasan Al-Khairat -- sebuah lembaga Islam tertua dan terbesar di Indonesia Timur. Ia menyatakan kemarin pagi menerima informasi melalui telepon dari pengurus Al-Khairat di Poso. ''Menurut berita yang saya terima itu, seorang guru kesayangan KH Saggaf Al-Jufrie yang bernama Ustadz Sirajuddin meninggal dibunuh oleh orang-orang Nashara (Kristen),'' tutur Fadel, yang sejak Kamis lalu berada di Palu, kepada wartawan kemarin. KH Saggaf adalah ketua utama Al-Khairat.

Fadel yang juga dikenal sebagai pengusaha nasional itu mengharapkan pemerintah jangan menganggap sepele kasus Poso. Ia mendesak Pemda Sulteng segera mengatasi kemelut yang telah menelan korban puluhan orang itu. ''Tadi pagi saya menelepon Gubernur Sulteng agar segera berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk segera mengatasi kerusuhan di Poso.''

Harapan senada disampaikan tokoh Al-Khairat lainnya, Yahya Al-Amrie. Ia menyatakan bila pemerintah tidak segera mengatasi kerusuhan di Poso, dikhawatirkan setelah pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) yang dibuka Presiden Abdurrahman Wahid tadi malam, akan terjadi aksi balasan dari umat Islam secara besar-besaran. ''Kita di sini masih menghormati kegiatan MTQ,'' tandas Yahya.

Yahya menduga pertikaian di Poso tidak seimbang karena pihak Kristen dilengkapi peralatan modern. Selain itu, katanya, kelompok perusuh yang sebagian berpakaian ala ninja itu didukung tentara bayaran yang didatangkan dari Flores. ''Jumlah personel tersebut diperkirakan mencapai 7.000 orang yang dilengkapi dengan 300-400 pucuk senjata terdiri dari M-1 dan AK,'' ujar Yahya.

Sri Handono, seorang relawan yang mengaku pernah ke Poso, mengungkapkan indikasi keterlibatan tentara bayaran itu bisa dilihat dari cara penembakan yang dilakukan para perusuh. ''Tembakannya pas di dahi, jantung, dan di kedua lutut. Ini bukan sembarang tembakan. Penembaknya pasti orang-orang yang terlatih,'' ujar Handono yang mengaku heran dalam pertikaian di Poso juga ditemukan martir.

Hasan Ambon yang sempat bertempur melawan perusuh di Poso juga mengaku menyaksikan para agresor itu mendapat dukungan senjata modern. ''Kalau mereka menggunakan senjata tradisional seperti yang kami miliki berupa tombak, batu, dan panah, kami tidak akan meninggalkan arena pertempuran,'' tutur Hasan.

Fadel menduga kerusuhan Poso merupakan sebuah rekayasa yang skenarionya diatur oleh kelompok tertentu untuk memecah belah bangsa. Ia menjelaskan kerusuhan berkembang karena kelompok itu gagal menguasai wilayah Indonesia Timur.

Dari berbagai informasi yang didapatnya dari sumber-sumber tepercaya, menurut Fadel, aksi pertikaian ini memang disengaja diletuskan persis bersamaan dengan pelaksanaan MTQ. ''MTQ di Palu merupakan kesempatan yang ditunggu-tunggu dan paling tepat untuk melakukan serangan, karena semua pejabat dan aparat keamanan serta umat Islam terkonsentrasi pada hajat akbar ini,'' ungkapnya.

Yahya Al-Amrie menyatakan dua hari sebelum terjadi kerusuhan 'jilid III' di Poso, para pendeta dan tokoh Kristiani bertemu dengan pimpinan Yayasan Al-Khairat di Palu. ''Mereka meminta perlindungan dan menyatakan tidak tahu menahu soal kerusuhan Poso tersebut. Tapi begitu terjadi penyerangan, ketika dihubungi mereka justru menghilang, sehingga menimbulkan kecurigaan,'' ungkap Yahya.

Gubernur Sulteng HB Paliudju mengakui kerusuhan yang terjadi Poso untuk ketiga kalinya ini bermuatan balas dendam, sebab pada kerusuhan kedua bulan April lalu kelompok Islam tak mampu mengendalikan diri. ''Kelompok Kristen saat itu sudah mengangkat bendera putih tetapi terus juga diburu oleh kelompok Islam,'' kata Gubernur Paliudju seperti dikutip Antara kemarin.

Menteri Agama KH Tolchah Hasan yang berada di Palu untuk menghadiri MTQ menyatakan keprihatinannya terhadap kerusuhan Poso. ''Semestinya hal itu tak perlu terjadi kalau masing-masing umat beragama menyadari sebagai hamba Tuhan,'' tandas Menag dalam acara ta'aruf (perkenalan) Kamis (1/6) malam. Dalam kesempatan tersebut Menag menyerahkan dana bantuan sebesar Rp 100 juta untuk korban kerusuhan Poso dan gempa di Banggai.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000