Republika Online edisi:
04 Jan 2000

KISDI: Mengapa Komnas HAM Diam atas Pembantaian di Halmahera?

JAKARTA -- Konflik berbau SARA di Maluku tak kunjung reda, bahkan terus memanas. Banyak kalangan berharap ada langkah adil dan tegas dari pemerintah untuk mengatasi konflik tersebut. Tapi, pemerintah tidak kunjung melakukannya. ''Langkah pemerintah sangat lamban,'' kata Hussein Umar, salah satu Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), kemarin.

Bahkan, pekan lalu terjadi tragedi kemanusiaan yang menyedihkan di Tobelo, Halmahera. Sekitar 800 warga Muslim di tiga desa dibantai dalam satu malam. ''Sementara para wanitanya dikabarkan diperkosa di jalan-jalan,'' kata H Adjit bin Taher, wakil ketua MUI Maluku Utara. Terhadap tragedi pembantaian ini, reaksi pemerintah pun sangat lamban.

Hussein Umar mengatakan sangat menyesalkan langkah Pemerintah yang tidak tanggap atas tragedi kemanusiaan di Halmahera Utara itu. Sikap Presiden dan Wapres Megawati dalam mensikapi konflik ini, menurut Hussein, jauh dari memadai dan tidak responsif. ''Pemerintah seharusnya menjadi inisiator untuk menjembatani kedua kelompok yang bertikai. Sampai saat ini mereka belum memiliki sense of crisis,'' urainya.

Hussein juga menyesalkan langkah Komnas HAM yang nampaknya tetap memilah-milah isu mana saja yang akan menjadi perhatian lembaga ini. Kecurigaan Hussein bahwa Komnas HAM memang dikendalikan oleh kelompok tertentu semakin nyata ketika melihat lambannya lembaga ini menyikapi konflik di Halmahera. ''Pembakaran Doulos cepat mereka antisipasi. Tapi, terhadap tragedi pembantaian umat Muslim di Halmahera, mereka tidak peka. Ini makin mempertebal kecurigaan saya,'' ujarnya.

Mendekati hari raya Idul Fitri tahun 2000 ini, kerusuhan SARA yang terjadi di Maluku, terutama Ambon, sebenarnya telah genap berlangsung selama satu tahun. Beribu nyawa telah melayang, beribu tubuh tersungkur penuh darah dan luka. Namun, sejauh ini belum ada langkah nyata dari pemerintahan KH Abdurrahman Wahid untuk mengatasi konflik tersebut.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Dinas Penerangan Mabes Polri, kemarin, hingga melewati pergantian tahun ini, terhitung 1.152 jiwa telah melayang dan 2.412 orang mengalami luka berat dan ringan akibat konflik berbau SARA di Maluku.

Korban yang tewas tidak hanya dari kalangan warga yang saling bertikai. Dari pihak keamanan pun tak sedikit jatuh korban. Dari angka yang tewas, 1.134 berasal dari masyarakat. Sedang dari aparat keamanan, dilaporkan 18 orang tewas -- 5 anggota polisi dan 13 lainnya anggota TNI. Korban yang luka, tercatat dari pihak polisi 22 orang luka berat dan 11 orang luka ringan. Dari TNI, sebanyak 21 orang luka berat dan 23 lainnya luka ringan. Dari masyarakat, 1473 luka berat dan 862 orang luka ringan.

Sejauh ini, polisi telah menangkap dan memeriksa orang-orang yang diduga terlibat dalam bentrokan itu. Sebanyak 246 orang telah ditangkap 216 orang sedang diproses di pengadilan dan 30 lainnya masih menjalani pemeriksaan. Polisi juga berhasil menyita aneka rupa barang bukti. Tercatat 79 pucuk senjata api telah dirampas. Barang bukti lainnya berupa 769 pucuk panah, 10 batang ketapel, 267 bilah senjata tajam. Juga 119 butir peluru kaliber 38 dan 151 kaliber 56, 4 peluru kaliber 88, dan peluru lain-lain berjumlah 261 butir.

Berhasil disita pula 32 buah bom rakitan dan 2 pucuk senapan angin. Ada pun untuk kerugian material, tercatat 7.046 rumah, 35 gedung pemerintah, 20 gedung sekolah, 4 kantor bank, 719 toko, 45 masjid, 47 gereja, 128 kendaraan roda dua dan 198 roda empat. Semuanya luluh lantak, hancur jadi arang dan rata dengan tanah.

Kemarin, Ambon juga kembali dilanda isu penyerangan. Meskipun komando pengendalian (Kodal) sudah beralih ke Kodam Pattimura, namun rencana pertempuran antara kelompok merah dan putih akan berlangsung tadi malam. Menurut informasi dari Kapolres Ambon, ada 6 lokasi pemukiman Islam yang disusupi oleh kelompok Kristen. Di dua tempat terpisah -- di pemukiman Pamen TNI AD di Talaake dan Valentyn -- para Pamen TNI AD dipaksa keluar dari rumah mereka tanpa membawa apa-apa.

Menurut isu, juga akan muncul gerakan radikal sebagai pernyataan ketidakpercayaan pada Pemerintah RI. Pola gerakan mereka yang sistematis sudah tercium. Bulan lalu, mereka mulai membakar asrama polisi dan menembak anggota Polri Islam, kemudian membakar asrama tentara, dan mengancam pejabat teras Kodam, Pemda Tk I. Pada saat vakum, kabarnya, mereka akan membentuk Pemerintahan Sementara seperti yang diinginkan oleh RMS (Republik Maluku Selatan).

Beberapa bukti telah ditemukan, misalnya dengan adanya surat dari Menlu Belanda Van Aarsten yang ditujukan kepada Alwi Shihab untuk membantu Indonesia menyelesaikan masalah Ambon. Dari bukti-bukti itu, beberapa pihak di Ambon meyakini, masalah di Ambon saat ini bukan lagi orang Islam berhadapan dengan Kristen, tetapi orang Islam 'perang' dengan RMS.

Namun, apakah hal itu ada kaitannya dengan RMS atau tidak, masih tanda tanya. Sosiolog asal Maluku Thamrin Amal Tomagola menepis dugaan tersebut. ''Pemerintah Indonesia saja tak mampu menyelesaikan soal Maluku dan Ambon, apalagi RMS,'' kata Thamrin dalam wawancara Buletin Siang SCTV.

 

   

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000