JAKARTA -- Konflik berbau SARA di Maluku tak kunjung reda,
bahkan terus memanas. Banyak kalangan berharap ada langkah adil dan
tegas dari pemerintah untuk mengatasi konflik tersebut. Tapi, pemerintah
tidak kunjung melakukannya. ''Langkah pemerintah sangat lamban,'' kata
Hussein Umar, salah satu Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia
Islam (KISDI), kemarin.
Bahkan, pekan lalu terjadi tragedi kemanusiaan yang menyedihkan di
Tobelo, Halmahera. Sekitar 800 warga Muslim di tiga desa dibantai dalam
satu malam. ''Sementara para wanitanya dikabarkan diperkosa di
jalan-jalan,'' kata H Adjit bin Taher, wakil ketua MUI Maluku Utara.
Terhadap tragedi pembantaian ini, reaksi pemerintah pun sangat lamban.
Hussein Umar mengatakan sangat menyesalkan langkah Pemerintah yang
tidak tanggap atas tragedi kemanusiaan di Halmahera Utara itu. Sikap
Presiden dan Wapres Megawati dalam mensikapi konflik ini, menurut
Hussein, jauh dari memadai dan tidak responsif. ''Pemerintah seharusnya
menjadi inisiator untuk menjembatani kedua kelompok yang bertikai.
Sampai saat ini mereka belum memiliki sense of crisis,'' urainya.
Hussein juga menyesalkan langkah Komnas HAM yang nampaknya tetap
memilah-milah isu mana saja yang akan menjadi perhatian lembaga ini.
Kecurigaan Hussein bahwa Komnas HAM memang dikendalikan oleh kelompok
tertentu semakin nyata ketika melihat lambannya lembaga ini menyikapi
konflik di Halmahera. ''Pembakaran Doulos cepat mereka antisipasi. Tapi,
terhadap tragedi pembantaian umat Muslim di Halmahera, mereka tidak
peka. Ini makin mempertebal kecurigaan saya,'' ujarnya.
Mendekati hari raya Idul Fitri tahun 2000 ini, kerusuhan SARA yang
terjadi di Maluku, terutama Ambon, sebenarnya telah genap berlangsung
selama satu tahun. Beribu nyawa telah melayang, beribu tubuh tersungkur
penuh darah dan luka. Namun, sejauh ini belum ada langkah nyata dari
pemerintahan KH Abdurrahman Wahid untuk mengatasi konflik tersebut.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Dinas Penerangan Mabes Polri,
kemarin, hingga melewati pergantian tahun ini, terhitung 1.152 jiwa
telah melayang dan 2.412 orang mengalami luka berat dan ringan akibat
konflik berbau SARA di Maluku.
Korban yang tewas tidak hanya dari kalangan warga yang saling
bertikai. Dari pihak keamanan pun tak sedikit jatuh korban. Dari angka
yang tewas, 1.134 berasal dari masyarakat. Sedang dari aparat keamanan,
dilaporkan 18 orang tewas -- 5 anggota polisi dan 13 lainnya anggota
TNI. Korban yang luka, tercatat dari pihak polisi 22 orang luka berat
dan 11 orang luka ringan. Dari TNI, sebanyak 21 orang luka berat dan 23
lainnya luka ringan. Dari masyarakat, 1473 luka berat dan 862 orang luka
ringan.
Sejauh ini, polisi telah menangkap dan memeriksa orang-orang yang
diduga terlibat dalam bentrokan itu. Sebanyak 246 orang telah ditangkap
216 orang sedang diproses di pengadilan dan 30 lainnya masih menjalani
pemeriksaan. Polisi juga berhasil menyita aneka rupa barang bukti.
Tercatat 79 pucuk senjata api telah dirampas. Barang bukti lainnya
berupa 769 pucuk panah, 10 batang ketapel, 267 bilah senjata tajam. Juga
119 butir peluru kaliber 38 dan 151 kaliber 56, 4 peluru kaliber 88, dan
peluru lain-lain berjumlah 261 butir.
Berhasil disita pula 32 buah bom rakitan dan 2 pucuk senapan angin.
Ada pun untuk kerugian material, tercatat 7.046 rumah, 35 gedung
pemerintah, 20 gedung sekolah, 4 kantor bank, 719 toko, 45 masjid, 47
gereja, 128 kendaraan roda dua dan 198 roda empat. Semuanya luluh
lantak, hancur jadi arang dan rata dengan tanah.
Kemarin, Ambon juga kembali dilanda isu penyerangan. Meskipun komando
pengendalian (Kodal) sudah beralih ke Kodam Pattimura, namun rencana
pertempuran antara kelompok merah dan putih akan berlangsung tadi malam.
Menurut informasi dari Kapolres Ambon, ada 6 lokasi pemukiman Islam yang
disusupi oleh kelompok Kristen. Di dua tempat terpisah -- di pemukiman
Pamen TNI AD di Talaake dan Valentyn -- para Pamen TNI AD dipaksa keluar
dari rumah mereka tanpa membawa apa-apa.
Menurut isu, juga akan muncul gerakan radikal sebagai pernyataan
ketidakpercayaan pada Pemerintah RI. Pola gerakan mereka yang sistematis
sudah tercium. Bulan lalu, mereka mulai membakar asrama polisi dan
menembak anggota Polri Islam, kemudian membakar asrama tentara, dan
mengancam pejabat teras Kodam, Pemda Tk I. Pada saat vakum, kabarnya,
mereka akan membentuk Pemerintahan Sementara seperti yang diinginkan
oleh RMS (Republik Maluku Selatan).
Beberapa bukti telah ditemukan, misalnya dengan adanya surat dari
Menlu Belanda Van Aarsten yang ditujukan kepada Alwi Shihab untuk
membantu Indonesia menyelesaikan masalah Ambon. Dari bukti-bukti itu,
beberapa pihak di Ambon meyakini, masalah di Ambon saat ini bukan lagi
orang Islam berhadapan dengan Kristen, tetapi orang Islam 'perang'
dengan RMS.
Namun, apakah hal itu ada kaitannya dengan RMS atau tidak, masih
tanda tanya. Sosiolog asal Maluku Thamrin Amal Tomagola menepis dugaan
tersebut. ''Pemerintah Indonesia saja tak mampu menyelesaikan soal
Maluku dan Ambon, apalagi RMS,'' kata Thamrin dalam wawancara Buletin
Siang SCTV.