Republika Online edisi:
05 Feb 2000

Sebanyak 20 Parpol Dukung Pemecatan Sultan Ternate

TERNATE -- Partai-partai politik di Provinsi Maluku Utara mendukung sepenuhnya tuntutan masyarakat untuk memberhentikan Sultan Ternate Drs Madaffar Syah selaku ketua dan anggota DPRD Kabupaten Maluku Utara.

''Sebanyak 20 dari 22 Parpol di Maluku Utara telah mengajukan pernyataan sikap melalui DPRD agar Madaffar Syah diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua dan anggota dewan,'' kata wakil ketua dewan Abdulrahim Fabanyo BSc, di Ternate, kemarin.

Pernyataan sikap itu juga disampaikan Abdulrahim ketika menerima ribuan warga Kelurahan Kampung Pisang, Tanah Tinggi, dan Maliaro Kotamadya Ternate, yang melakukan aksi demo di Gedung DPRD di Ternate, Kamis lalu.

Menurut Fabanyo, dewan memutuskan Drs Mudaffar Syah telah dipecat dan diturunkan dari jabatan ketua DPRD Maluku Utara. Keputusan tersebut melalui rapat pimpinan dewan dengan ketua-ketua fraksi pada 25 Januari lalu di Ternate.

''Langkah yang ditempuh DPRD itu, sesuai gencarnya tuntutan masyarakat, terutama ribuan korban pembakaran rumah dan bangunan di ketiga tempat kerusuhan tersebut. Di samping tenggang waktu yang diberikan dewan selama seminggu tidak diindahkan Sultan Ternate,'' katanya.

Mekanismenya, kata dia, semua keputusan itu harus melalui rapat paripurna. Maka, pada Kamis (3/2), rapat paripurna dewan yang dipimpin Wakil Ketua Drs Salim A Chalik telah mengesahkan keputusan pemberhentian Mudaffar Syah dari jabatannya selaku ketua DPRD.

''Kalau saudara-saudara melihat dari luar halaman gedung, ada dialog antarfraksi dalam ruang sidang paripurna. Itu bukan berarti karena anggota dewan tidak setuju,'' kata Abdulrahim. ''Tetapi di antara anggota mengusulkan agar konsideran keputusan tersebut perlu dilengkapi dan ditambahkan, maka timbullah dialog antara pimpinan dengan anggota DPRD.''

Menurut ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Maluku Utara itu, pada prinsipnya semua anggota DPRD yang hadir pada rapat paripurna menyatakan setuju untuk memberhentikan Mudaffar Syah. Kalaupun ada dialog anggota dewan yang menegangkan, itu hanya karena persoalan bahasa dalam konsideran keputusan itu dan bukan persoalan tidak setuju dan setuju.

Status Sultan sebagai anggota DPRD, menurutnya, diatur dalam UU tentang Susunan Kedudukan MPR/DPR dan DPRD, kemudian UU tentang pemerintahan daerah. ''Jadi kita (dewan) tidak seenaknya memberhentikan begitu saja, karena ada prosedurnya, dan ini yang harus ditempuh,'' tambahnya.

Menurut Abdulrahim, warga korban kekerasan masyarakat adat di Kesultanan Ternate sejak 19 Januari lalu sudah tidak lagi mengakui Sultan Mudaffar Syah sebagai ketua DPRD dan ketua Partai Golkar di Maluku Utara.

Tindakan dewan/masyarakat adat, Generasi Muda Sultan Babullah (Gemusba), kroni-kroni Sultan, dan balah (tentara --Red) bekas Kerajaan Kesultanan Ternate mengakibatkan puluhan rumah penduduk dibakar dan 18 orang warga tewas.

Darurat militer

Sementara itu, ratusan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) -- dulu bernama IKIP -- Bandung, kemarin, menggelar aksi keprihatinan kasus Maluku yang tak pernah kunjung usai. Mereka yang tergabung dalam Front Mahasiswa Islam Menuntut (FMIM) melakukan aksi turun ke jalan dan berjalan kaki dari kampus UPI menuju Gedung DPRD I Jabar, Jumat.

Dalam aksi tersebut mereka menuntut agar pemerintah memberlakukan darurat militer di Maluku untuk dua bulan ke depan. Ini, menurut mereka, perlu dilakukan karena aksi pembantaian terhadap umat Islam masih terus berlangsung. ''Langkah itu diperlukan karena kondisi di lapangan sudah sangat memprihatinkan,'' kata Fachruz Zaman Fadli, juru bicara FMIM.

Umat Islam, kata Fadli, terus-menerus dibantai oleh kelompok merah (massa Kristen). Karena itu, perlu ketegasan pemerintah, dalam hal ini TNI, untuk melakukan langkah-langkah nyata dalam menyelesaikan kasus tersebut. ''Kita menyesalkan sikap lamban pemerintah dan aparat keamanan serta menuntut pemerintah untuk menyelesaikan pembantaian Muslim Maluku secara sungguh-sungguh, dengan cara memberlakukan keadaan darurat militer di Maluku untuk dua bulan ke depan,'' tandasnya.

Selain itu, mereka juga menuntut Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mundur dari jabatannya jika dalam waktu yang telah ditentukan tak mampu menyelesaikan konflik Maluku. Sebab, Megawati adalah pejabat yang diberi tugas khusus menyelesaikan kasus Maluku itu. Karena itu, kata Fadli, tugas yang diberikan pemerintah kepadanya harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

''Megawati harusnya melakukan tindakan nyata dalam penyelesaian konflik Maluku. Jangan hanya diam atau berkunjung ke daerah lain. Maluku yang harus mendapat perhatian serius, bukan daerah lain yang justru aman dan tertib,'' tutur Fadli yang juga staf Ketua Bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Kepemudaan HMI Badko Jawa Barat.

Dalam aksi unjuk rasa itu, para mahasiswa mengusung keranda berisikan bungkusan kain putih mirip sebuah mayat dibalut kain kafan. Mereka juga membawa foto-foto umat Islam yang menjadi korban pembantaian kelompok merah. Foto-foto yang berada dalam bingkai itu menunjukkan sejumlah korban yang tewas secara mengenaskan. n jok/ant

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000