Republika Online edisi:
09 Jun 2000

Antara Jabal Nur dan Poso

Panas dingin. Itulah Kota Palu. Kalau siang, panasnya menyengat hingga mencapai lebih dari 30 derajat Celcius. Malam hari, udara dingin seakan menembus tulang. Kota seluas 68.033 km2 itu tiba-tiba bertambah sibuk. Penduduk Sulawesi Tengah yang mencapai 2.089.633 jiwa itu seakan berpusat di Ibukota propinsi, Palu untuk menyaksikan MTQN (Musabaqah Tilawatil Quran) ke-19 sejak 2 Juni hingga 9 Juni 2000 di perbukitan Jabal Nur.

Nama Jabal Nur mengingatkan kita pada nama sebuah gunung di Arab Saudi. Tepatnya, enam km sebelah utara Masjidil Haram, Mekkah. Di kawasan tersebut terdapat sebuah gua Hira' yang menjadi tempat turunnya wahyu pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk mengenang peristiwa menomumental bagi umat Islam itulah, Pemda Palu lalu menetapkan kawasan perbukitan yang ditempati MTQN ke-19 itu sebagai Jabal Nur. Dengan kata lain, ada semangat (ghirah) untuk menghidupkan kembali Quran.

Perbukitan seluas 20 hektar itu juga berada enam km di sebelah utara Kota Palu. Areal kebanggaan warga Palu itu juga ikut berbenah karena menjadi 'tuan rumah' bagi 1.210 kafilah (peserta MTQ) dari 26 provinsi di Indonesia. Malam hari, kawasan perbukitan itu seakan menjadi Hollywood-nya Palu. Lantunan ayat-ayat Alquran yang sesekali terdengar bersaing dengan syair-syair kasidah dan gambus dari stand pameran.

Sekilas, Kota Palu seakan bergembira ria menyambut meriahnya MTQN. Namun dibalik keceriaan itu, ternyata tersimpan duka yang amat dalam karena api kerusuhan baru saja menerpa salah satu kabupaten di Sulawesi Tengah yakni Poso. Kesedihan itu terasa kian mendalam, karena bibit kerusuhan masih tertanam dalam benak mayoritas warga Palu. Beruntung, hingga detik terakhir, api kerusuhan itu tak mencemari Palu yang tengah menjadi tuan rumah MTQN.

Untuk menjaga rasa aman warga Palu dan khususnya peserta MTQN bersama rombongannya, Muspida I Palu bekerja ekstra keras. Sedikitnya 1.200 personil aparat keamanan disiagakan dan ditambah dengan partisipasi Satgas, seperti Banser. Tapi kehadiran aparat yang terkesan menyolok itu tak mengurangi minat masyarakat untuk menikmati keindahan arena MTQ yang telah menghabiskan dana sekitar Rp 20 miliar itu.

Sisa-sisa potongan perbukitan menyiratkan relief tanah yang menggores bak kaligrafi. Sekilas, suasana alam di sekitarnya terasa serasi dengan alunan ayat-ayat suci Alquran yang tengah dikumandangkan para qori/qoriah. Bak di kawasan Jabal Nur, Mekkah, kawasan perbukitan itu juga terasa indah oleh berbagai stand pameran yang dihiasi berbagai variasi kekhasan daerah asal.

Selain menjadi pusat kegiatan pendukung MTQN seperti pameran pembangunan dan arena hiburan, areal Jabal Nur juga menjadi ajang adu kepiawaian para qori/qoriah pada Cabang Tilawatil Quran dan Tartil.

Setidaknya tiga golongan yang beradu suara di arena tersebut yakni golongan anak-anak dan remaja, golongan cacat netra, dan golongan dewasa.

Sedangkan Cabang Tafsir dan sebagian Cabang Hafdzil Quran 30 juz ditempatkan di Gedung STAIN Datokarama Palu. Gedung RRI menjadi pusat lomba untuk Cabang Hifdzil Quran dan Tilawah untuk golongan 1 juz dan 5 juz.

Sedangkan Gedung BPG untuk Hifdzil Quran 10 juz dan 20 juz. Cabang Fahmil Quran dan Sarhil Quran berlangsung di Gedung Al-Muhsinin, dan lantai dasar Masjid Agung Darussalam menjadi arena lomba Cabang Khattil Quran.

Selain lomba, momentum MTQN ke-19 juga didukung kegiatan lain seperti Dialog Kesenian Islam MABIMS (Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Singapura), Musyawarah Nasional P2A (Pembinaan, Pengamalan Agama), Kongres Alquran III, dan Munas LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran). ''Kalau segi substansi, sebetulnya MTQN kali ini relatif progresif, tapi tampaknya hal itu kurang memperoleh dukungan serta kesiapan panitia. Akibatnya apa? Kualitas MTQN yang bagus itu juga kurang tersosialisasikan dengan baik,'' ujar Prof Dr Said Aqil Husen Munawar, salah seorang Ketua Majelis Hakim MTQN.

Meningkat

Meski berlangsung di bawah bayang-bayang kerusuhan Poso, tapi MTQN ke-19 kali ini dinilai menunjukkan adanya kemajuan cukup pesat. Khususnya peningkatan kualitas para peserta. Oleh karena itu, Prof Dr Said Aqil Husen Al-Munawar kurang setuju jika dikatakan bahwa MTQN hanya rutinitas seremonial yang tak banyak maknanya. ''Jangan salah menilai, kalau belum melihat dari dalam. Saya justru gembira, karena banyak sekali peningkatan yang bersifat kualitatif,'' ujarnya.

Sebaliknya, Ahmad Bagja yang nota bene juga kolega Said Aqil sendiri justru berpendapat, ''Jika tak ada skala prioritas pemahaman, penghayatan, serta pengamalan terhadap nilai-nilai Alquran, saya kira MTQ perlu dikaji ulang,'' katanya kepada Republika.

Tampaknya, Bagja senada dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Saat pembukaan, Abdurrahman mengakui bahwa dirinya tergolong orang yang pernah menentang MTQ.

Agar MTQN tidak sekadar acara seremonial belaka, Presiden berharap agar dilakukan peningkatan, bukan sekadar perlombaan, tapi juga menyangkut kajian-kajian ilmiah mengenai Alquran. Jika hal itu dilakukan, katanya, maka keberadaan MTQN akan mempunyai makna yang sangat signifikan untuk menggali nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran.

Namun bagi KH Sagaf Al-Djufri, pengasuh Yayasan Al-Khaerat dan ketua MUI Palu, MTQN merupakan acara cukup monumental bagi kepentingan syiar Islam. Hanya saja, Sagaf juga mengakui bahwa masih diperlukan adanya peningkatan terhadap substansi MTQ agar syiar Islam itu benar-benar sesuai tujuan.

Bahkan, Menag KH Tolchah Hasan juga mengakui bahwa MTQN hanya sekadar alat, bukan tujuan. Salah satu tujuannya adalah menggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Alquran. Tujuan itu menjadi amat penting, katanya, terutama jika dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia yang tengah dilanda berbagai krisis, termasuk krisis mental spiritual.

Terlepas dari pro kontra terhadap MTQN itu sendiri, setidaknya peningkatan kualitas MTQN mulai terlihat sebagaimana diungkapkan Said Aqil Munawar. Misalnya, Cabang Khattil Qur'an. Para kafilah yang ikut lomba bukan hanya berkutat dengan aliran klasik belaka, seperti aliran Naskhi, Sulusi, Diwani, Farisi, Kufi, dan Riq'i semata. Mereka justru telah mengembangkan aliran lain yang tergolong baru seperti aliran Hasyim Muhammad Al-Baghdadi, Sayid Ibrahim (Mesir), Muhammad Izat (Turki), Hamid Al-Amidi (Turki).

Tapi peningkatan kualitas kafilah yang rata-rata mahasiswa S-1 dan S-2 itu, menurut Drs HD Sirojuddin AR, Dewan Hakim MKQ (Musabaqah Khattil Quran), belum diimbangi oleh para dewan juri atau hakim. ''Bagi hakim-hakim daerah, hal ini cukup merepotkan karena umumnya mereka yang bukan khattat (pe-kaligrafi) kurang mendapat informasi memadai ihwal kelebihan masing-masing aliran,'' keluhnya.

Peningkatan serupa juga di terjadi berbagai bidang yang lain. Menurut Said Aqil Munawar, dalam MTQN kali ini banyak bermunculan usulan serta gagasan seperti lomba tafsir Alquran dengan menggunakan bahasa Indonesia.

''Belum yang lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kualitas yang sangat menggembirakan, oleh karena itu kalau di bilang hanya terjebak pada rutinitas. Itu tidak betul sama sekali.''

Hanya saja, peningkatan kualitas MTQN ke-19 di Palu ini kurang memperoleh dukungan optimal dari panitia penyelenggara. Barangkali kerusuhan Poso yang mengakibatkan kesiapan panitia lokal, khususnya, menjadi berkurang. Jika seandainya, dukungan serta kesigapan panitia benar-benar optimal, barangkali peningkatan tersebut akan terasa.

Sebagai catatan, barangkali juga sudah waktunya dilakukan modifikasi atau perubahan kemasan terhadap MTQN itu sendiri. Hal itu dimaksudkan agar momentum nasional itu benar-benar memberikan manfaat lebih besar. Selain aspek seremonial keagamaan dan kajian-kajian akademik, juga aspek lain yang lebih bersifat profit, semisal pariwisata budaya. mabroer ms dari palu

Lomba Kaligrafi Islam Melahirkan Varian-Varian Baru

Meski berlangsung dibawah bayang-bayang kerusuhan, namun substansi pelaksanaan MTQ ke-19 ini banyak mengalami kemajuan, semisal lomba Khattil Quran. ''Dibandingkan hasil karya pada beberapa MTQ sebelumnya, karya para peserta kali ini banyak mengalami kemajuan dan jauh lebih berkualitas,'' ujar Drs HD Sirojuddin AR, anggota Dewan Hakim MKQ (Musabaqah Khattil Quran).

Salah satu indikasi peningkatan tersebut adalah terjadi progresivitas penguasaan gramatika huruf dan 'visi rupa' pada golongan Hiasan Mushaf dan dekorasi. Jarak perbedaan karya sastra antar peserta relatif lebih tipis, antara satu dengan yang lain. Hal itu, katanya, secara tidak langsung akan memperketat persaingan para peserta.

Peningkatan tersebut, katanya, bagi kalangan Dewan Hakim juga memunculkan diskusi cukup panjang karena masing-masing juri atau hakim harus bisa mempertanggungjawabkan penilaiannya secara fair. ''Di antara standar penilaiannya adalah kebenaran kaidah, keindahan huruf yang mencakup proporsi, jarak, letak, keserasian, komposisi, kekayaan imajinasi, kebersihan, serta kehalusan dan tata warnanya,'' ujarnya.

Dalam lomba kali, para peserta bukan hanya terpaku pada aliran atau mazhab tertentu seperti Naskhi, Sulusi, Diwani, Farisi, Kufi, dan Riq'i saja, melainkan juga yang lain. Kali ini ada kecenderungan untuk berimprovisasi dengan gaya tokoh lain, seperti Hasyim Muhammad Al-Baghdadi dari Irak melalui kitabnya qawaid al khat al arabi, Sayid Ibrahim dari Mesir, Muhammad Izat dari Turki Usmani, Hamid Al-Amidi dari Turki, Syeikh Imaduddin Al-Husaeni dari Iran, dan Fuad Astafan dari Lebanon.

Akibat dari perkembangan tersebut, kata Sirojuddin, justru acapkali merepotkan para hakim atau dewan juri. ''Setelah keliling ke beberapa daerah, hal itulah yang sering saya jumpai. Pada sisi lain, perkembangan ini sangat menggembirakan karena ada peningkatan kualitas yang cukup berarti dan lebih akademik. Hal itu bisa dipahami karena mayoritas peserta itu rata-rata mahasiswa S-1, bahkan ada juga yang S-2,'' ujarnya.

Menghadapi peningkatan tersebut, katanya, makin mempertebal obsesinya untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat pengembangan kaligrafi sebagaimana halnya Iran, Irak, dan Turki. Untuk mendukung obsesinya tersebut, dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, tahun lalu mendirikan Pondok Pesantren Kaligrafi Alquran di Lemka, Sukabumi, Jawa Barat. Ditambahkan, pondok itu merupakan yang pertama kali di Indonesia sekaligus di dunia, karena spesifikasinya di bidang kaligrafi.

Pesantren tersebut diharapkan menjadi pusat pengembangan kaligrafi di Indonesia sekaligus menjadi embrio lahirnya Akademi Seni Islam. ''Selain mendirikan pesantren, Lemka (Lembaga Kaligrafi) juga aktif melakukan dialog sebagaimana yang dilakukan di arena MTQN,'' ujarnya.

Jika dirunut ke belakang, katanya, sebetulnya dialog seputar kaligrafi sudah berulangkali dilakukan. Pertama kali dilakukan pada MTQN di Lampung tahun 1988, namun dialog dalam skala yang lebih besar baru dilakukan pada MTQN di Jambi tahun 1997. Dari waktu ke waktu, katanya, minat untuk mengikuti lomba kaligrafi cukup menggembirakan.

Di samping itu, pengembangan tersebut juga didukung oleh keberadaan beberapa lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren yang memberikan pelajaran Khattil Quran. ''Belum lagi lahirnya ribuan TK Alquran dan TPA yang bukan hanya mengajari membaca, tapi juga menulis Alquran. Hanya saja, semangatnya masih pada tataran sporadis dan emosional, belum tertata secara sistemik,'' katanya. mms

Sejarah MTQ

Jika ditengok ke belakang, MTQ mempunyai akar sejarah cukup panjang dengan semangat yang amat mulia yakni memasyarakatkan Alquran. Secara sporadis, kegiatan MTQ telah dilakukan di berbagai daerah. Tahun 1946, di Kampung Bunga, Asahan, Sumatera Utara pernah diadakan Lomba Membaca Alquran yang dipelopori M Ali Umar, seorang dai sekaligus pimpinan Persatuan Agama Islam setempat. Tentu saja, lomba yang tergolong baru itu sempat menimbulkan pro dan kontra.

Kendati belum menggunakan istilah 'Musabaqah', namun kegiatan lomba membaca Alquran juga mulai bermunculan. Tahun 1949, kota Makassar juga menyelenggarakan acara serupa yang diikuti para peserta dari Sulawesi dan Kalimantan. Kala itu, juaranya disebut sebagai Imamul Qurra. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada HUT-nya, tanggal 22 Juni 1952 Jakarta juga menyelenggarakan acara serupa. Pada tahun yang sama, Pontianak juga menggelar kegiatan serupa yang diikuti peserta dari Pontianak, Sambas, dan Ketapang.

Untuk mendukung 'semangat ber-Quran ria' tersebut, pada tahun 1951 Pemerintah Indonesia atas prakarsa Menteri Agama KHA Wahid Hasyim dan dukungan beberapa ulama, mendirikan lembaga Jam'iyyatul Qurro' wal Huffazh di Jakarta dan sekaligus menjadi induk dari organisasi serupa di berbagai daerah. Untuk mengembangkan diri, lembaga tersebut mengadakan Kongres Nasional yang pertama kali pada 1953. Dan, pada tahun 1953 pula istilah 'musabaqah' secara resmi dipergunakan.

Sejak itulah, tiap tahun diselenggarakan even nasional MTQ. Namun, sejak MTQN X tahun 1977 yang digelar di Manado, Sulawesi Utara, pemerintah memperpanjang jedah waktu MTQN menjadi dua tahunan dan Semarang menjadi tuan rumahnya. Kemudian, dalam MTQN ke-14 yang berlangsung di Ibukota Propinsi Kalimantan Barat tahun 1985, pemerintah mengubah jadwal MTQN menjadi kegiatan 3 tahunan. mms

H Tengku Muhammad Saleh Komisi Fatwa MUI

Saya kira yang berlangsung sekarang itu bukan MTQ. Yang berlangsung selama bertahun-tahun ini ada yang tidak perlu. Harusnya kalau baca Alquran, ya baca saja. Tapi MTQ itu dibikin acara-acara besar, biar semarak, ada tari-tarian dan lain-lain. Itu kan bukan agama. Kalau begitu, itu bukan MTQ. Tapi itu suatu perbuatan dunia yang tidak ada sangkut pautnya dengan Alquran.

Kalau mau MTQ, ya MTQ saja, jangan ada yang macam-macam itu yang tidak perlu. Kalaupun ada pemenangnya dalam lomba ini tidak apa-apa, boleh-boleh saja, tapi harus benar-benar musabaqah. Kita lihat misalnya Malaysia, baca Alquran saja, tidak ada yang macam-macam hiburan itu. Demikian juga dengan negara Arab, tidak ada tari-tarian dan juga pengikut-pengikut dari agama lain. mag

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000