Republika Online edisi:
09 Jun 2000

MTQ di Tengah Bayang-bayang Kerusuhan Poso

Kerusuhan beraroma SARA yang meletus di Poso tak menyurutkan semangat umat Islam, khususnya di Palu, untuk menyukseskan pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional ke-19. Umat Islam Palu tak gampang terprovokasi. Tapi bagaimana kelangsungan MTQ di tahun-tahun mendatang? Sebab, ada yang berpendapat MTQ tak perlu digelar. Lalu bagaimana dengan syiar Islam?

Kabupaten Poso tiba-tiba nyaris identik dengan ladang pembantaian atau genocide. Wilayah yang berjarak sekitar 225 Km dari Kota Palu, Sulawesi Tengah itu nyaris menjadi sandungan bagi pelaksanaan even nasional, Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional XIX yang berlangsung pada 2-9 Juni 2000. Sebagai tuan rumah, Pemda Sulawesi Tengah mesti bekerja keras agar MTQ tetap berlangsung sembari memadamkan api kerusuhan di Poso.

Bagi Pemda Sulteng (Sulawesi Tengah), atau barangkali warga Palu, MTQ merupakan kebanggaan sekaligus amanat karena menyangkut kepercayaan nasional. Tapi, kepercayaan yang diraih melalui perjuangan tiga tahun silam nyaris lepas ditelan kerusuhan Poso, salah satu kabupaten di Sulteng.

Apalagi, kerusuhan itu meletus pada detik-detik terakhir persiapan pelaksanaan MTQ. Tepatnya, kerusuhan itu dimulai pada pertengahan bulan Mei lalu. Mulanya, kerusuhan itu hanya dipicu oleh konflik kecil dari kelompok masyarakat. Lambat laun, api kemarahan itu berhasil dilebarkan oleh segelintir orang tak bertanggung jawab hingga menyulut kemarahan yang bersifat masif.

Dalam sekejap, Poso berubah menjadi ajang pembantaian dan mayoritas korban jiwa justru berasal dari umat Islam. Awalnya, hanya 9 mayat yang ditemukan terapung di sungai Poso. Hari berikutnya, jumlah mayat terus bertambah hingga mencapai puluhan atau bahkan mendekati angka ratusan. Jumlah tersebut belum termasuk ribuan warga Poso yang terpaksa meninggalkan kampung halaman, tanpa bekal apalagi harta benda. Satu-satunya bekal yang mereka bawa hanyalah baju yang menempel di badan, serta sanak keluarga yang selamat.

Melihat kenyataan pahit inilah, banyak kalangan pesimis bahwa pelaksanaan MTQ ke-19 bisa terlaksana. Betapa tidak, Pemda Sulteng harus berbagi perhatian sekaligus kewaspadaan. Satu pihak harus berjuang untuk menyukseskan pelaksanaan MTQ Nasional, dan sisi lain harus meredam atau --setidaknya-- meminimalisir kerusuhan Poso agar tak merambat ke Palu. Kekhawatiran itu makin memuncak hingga memunculkan desakan agar MTQN ditunda saja, atau dialihkan ke provinsi lain.

Salah satu alasan yang mengemuka, mereka khawatir acara MTQN justru dijadikan momentum untuk mengaduk-aduk Kota Palu yang dikenal cukup damai itu. Apalagi, di berbagai daerah lain juga sudah terbukti bahwa para perusuh dinilai cukup piawai untuk mengacak-acak kekerabatan serta kedamaian sebuah kota melalui berbagai isu, misalnya SARA.

Tentu saja, Pemda Sulteng dihadapkan pada pilihan yang amat pelik. Tapi, Gubernur Sulteng HB Paliuju bersikeras melanjutkan MTQN di wilayahnya. Untuk menghadapi risiko terburuk dari pilihan tersebut, Paliuju memberikan jaminan keamanan secara optimal. Antara lain, melalui pengerahan satuan Polri dan TNI di berbagai sektor yang dinilai rawan untuk dimasuki para perusuh.

Selain mengerahkan aparat keamanan, Pemda Sulteng juga meminta partisipasi masyarakat setempat. ''Kita juga mengerahkan keamanan dari Banser, terutama untuk membantu para kafilah di pemondokan masing-masing. Dan yang paling penting, kita serahkan semua ini kepada Allah SWT, karena apa yang kita laksanakan ini semata-mata untuk mengagungkan nama-Nya sekaligus juga demi kesejahteraan umat,'' ujar Paliuju pasrah.

Bagi jajaran Polri di Polda Sulteng sendiri, pelaksanaan MTQN kali ini sekaligus menjadi batu ujian bagi keberadaannya. Oleh karena itu, Kapolda secara tegas meyakinkan bahwa pihaknya akan memberikan penjagaan optimal bagi pelaksanaan MTQN, termasuk para kafilah dan para official-nya. Hal itu terlihat dari pengamatan Republika, hampir di setiap penginapan kafilah dan rombongannya tampak dijaga ketat oleh aparat kepolisian.

Meski ada jaminan cukup meyakinkan dari Pemda Sulteng, ternyata belum sepenuhnya membuahkan hasil. Paling tidak, hal itu terlihat dari pembatalan beberapa acara Presiden dan Wakil Presiden. Semula, Gus Dur selaku Presiden bermaksud shalat Jumat di Masjid Agung Darussalam Palu dan diteruskan acara dialog sebagaimana lazimnya di tempat lain, ternyata dibatalkan. Tidak seperti biasanya, usai pembukaan, Presiden Abdurrahman Wahid langsung terbang ke Jakarta.

'Ralat' juga dilakukan untuk agenda oleh Wakil Presiden RI. Usai menutup acara MTQN XIX, Megawati Taufik Kemas selaku Wapres direncanakan mengunjungi Kota Banggai yang baru tertimpa musibah bencana alam, gempa bumi. Namun acara ini kemudian diralat. Megawati yang -kata publik- dikenal cukup empati terhadap derita rakyat, ternyata juga tak dijadwalkan berkunjung ke Poso maupun Banggai.

Tak surut

Kendati berlangsung di bawah bayang-bayang kekhawatiran, ternyata antusiasme masyarakat Palu untuk menyambut dan menyukseskan MTQN ke-19 tak surut. Sejak awal pembukaan, terutama dalam pawai ta'aruf, ribuan warga Kota Palu tampak bersemangat menyambut para kontingen yang diarak keliling kota. Sambutan yang meriah dari warga Palu itu seakan menghapus kekhawatiran para kontingen yang telah disuguhi oleh kerusuhan Poso.

Keceriaan itu makin terasa lengkap dengan membanjirnya umbul-umbul maupun baliho ucapan 'Selamat Ber-MTQ' yang tersebar di berbagai sudut kota. Hanya saja, dibalik keceriaan itu masih terasa muncul kekhawatiran pecahnya kerusuhan di Palu. ''Bagaimanapun juga, kami sangat khawatir karena kerusuhan bisa sewaktu-waktu pecah di sini,'' ujar seorang warga Palu yang tinggal di Jl Gumbasa, Palu.

Kekhawatiran itu terasa cukup beralasan karena warga Palu merasa prihatin dengan nasib yang menimpa umat Islam di Poso. Menyadari akan kemarahan umat Islam tersebut, Ketua MUI Sulteng, KH Sayid Saggaf Al-Djufri MA menyeru kepada umat Islam Palu agar menahan diri. Jika tidak, ketua MUI itu khawatir justru akan mengganggu atau bahkan membatalkan even nasional, MTQN XIX.

Lebih khusus lagi, KH Saggaf meminta para generasi muda Muslim untuk benar-benar bersabar dan mawas diri. Seruan MUI itu bisa dipahami, mengingat emosi umat Islam Palu, khususnya generasi muda Muslim seakan sudah mencapai ubun-ubun untuk segera melakukan serangan balasan. Bahkan, Kiai Saggaf juga mengaku sudah berulang kali didatangi umat Islam Palu yang bermaksud meminta restu untuk melakukan serangan balik.

Namun, semua itu dihadapi dengan sabar layaknya orang tua menghadapi anak-anaknya. Dengan sikap arif dan bijak, pria berusia 60 tahun itu menyatakan, jika anak muda yang tengah dilanda emosi itu akan menggagalkan MTQ, justru akan memperkeruh situasi. Dan, situasi itulah yang justru diharapkan para perusuh. Oleh karena itu, Kiai Saggaf mengimbau umat Islam Palu untuk bersikap sabar.

Walau berlangsung dalam suasana yang terasa mencekam ditambah udara kota Palu yang cukup menyengat, ternyata persaingan antar kafilah dalam MTQN kali ini mengalami kemajuan pesat. Peningkatan tersebut diakui oleh Prof Dr Said Aqil Husen Munawar, salah seorang Ketua Majlis Hakim MTQN. ''Boleh dibilang, persaingan antar-peserta kali ini sangat ketat. Hanya saja, satu-satunya yang masih menjadi beban pikiran kita adalah kaderisasi peserta di bidang tafsir,'' ujarnya. mabroer ms dari palu

Gus Dur dan Kontroversinya Seputar MTQ

Sudah bukan rahasia lagi, jika Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berkontroversi. Soal MTQ pun, Gus Dur juga berbeda dengan yang lain. Semula, tentu saja, sebelum jadi Presiden RI, Gus Dur mengaku termasuk 'mazhab' orang-orang yang tak setuju dengan MTQ. Meski kegiatan MTQ itu dipelopori oleh ayahandanya sendiri, KHA Wahid Hasyim semasa menjadi Menteri Agama era Soekarno, ternyata Gus Dur tetap tak setuju.

Namun setelah menjadi Presiden, Gus Dur 'terpaksa' harus mengalah dan berkenan membuka MTQN ke-19 di Palu.

Dalam kesempatan itu, ia mengungkap alasannya tak setuju karena MTQ seringkali hanya terkesan sebagai ajang lomba dan pamer kepintaran. Kalaupun ada pemahaman terhadap ayat Alquran, itu pun dinilai masih belum menyentuh esensi dari nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran.

Di hadapan para kafilah MTQ dan ribuan warga Palu, Gus Dur mengungkapkan, ''Makanya saya datang untuk membuka MTQ XIX di Palu ini. MTQ adalah ajang agar kita mulai memikirkan umat. Dan pemerintah menjadi pendorong kegiatan agar umat ini bangkit. Karena, pemerintah sekarang bukan lagi panglima, tapi orangtua yang mendorong,'' papar mantan Ketua Fordem itu.

Tokoh yang memproklamirkan diri suka dengan perbedaan itu menilai, memahami Alquran acapkali menimbulkan berbagai perbedaan penafsiran. Perbedaan penafsiran itu bukan hanya pada ayat-ayat Alquran, tapi juga yang lain seperti Hadis dan kitab karya para ulama salaf. Jika potensi perbedaan itu dieliminir oleh pemerintah, maka pesan-pesan dalam Alquran akan tergeser dan memunculkan keseragaman. Kesamaan yang dipaksakan inilah yang membuat Gus Dur kurang setuju.

Menilik pesan-pesan yang disampaikan dalam Alquran, Gus Dur melihat bahwa bangsa Indonesia sudah waktunya untuk memberanikan diri berbeda pendapat. Termasuk keberadaan MTQN juga dijadikan sebagai ajang perdebatan dari berbagai pendapat yang seringkali berbeda, ''Kalau mau dewasa, kita harus mau berbeda pendapat. Jika demikian, maka MTQ harus dijadikan sebagai ajang beda pendapat, bukan persamaan pendapat. Ini penting,'' ujarnya.

Kontroversi yang lain, untuk memahami Alquran, Gus Dur justru keluar dari tradisinya sendiri. Sebagai warga NU, ia mengaku memahami Alquran dari karya orang Barat melalui sebuah buku berjudul 'Istilah-Istilah Komersial Teologis dalam Alquran'. Meski tergolong nyeleneh, ternyata Gus Dur mengaku memperoleh inspirasi tambahan untuk memahami Alquran melalui karya non-Muslim itu. Sebab, sarjana Barat itu justru melihat Alquran dari nilai-nilai perniagaan.

''Di sini ada catatan. Pertama, Islam adalah agama yang benar. Kedua, dalam ayat itu digunakan kata yang 'merugi niaganya'. Yang dimaksudkan adalah orang yang tidak memiliki keimanan Islam. Istilah halus itu diungkapkan dalam komersial. Ayat lain menyebutkan, barang siapa yang menghutangi Allah dengan hutang yang baik, dia akan dilipatgandakan balasannya. Memangnya kita mau nagih ke Tuhan di akhirat. Tidak mungkin. Itu artinya, pengembalian sebagai suatu istilah perdagangan untuk suatu hal yang halus.''

Dari situlah, ia berharap, hendaknya MTQN bukan hanya sekadar menjadi ajang lomba, tapi juga sekaligus menjadi peluang untuk melakukan kajian yang mendalam terhadap Alquran. Pada tahap berikutnya, kajian serupa juga seharusnya berlaku untuk Hadis. Hanya saja, Gus Dur tak mampu menyembunyikan kekecewaannya karena banyak naskah-naskah kuno yang tak disentuh lagi, misalnya di Ternate, Goa, Bacan, dan beberapa sentra Islam yang lain. Semua naskah itu, katanya, hanya menjadi hiasan belaka.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000