JAKARTA -- Satu lagi kesaksian kunci kasus tragedi Tanjung Priok
diungkapkan Mayor Laut (Purn) Lasmana Ibrahim, mantan perwira ruang
kendali operasi di Kowilhan II di Yogyakarta. Menurut dia, penanganan
kasus Priok tak sesuai prosedur yang berlaku.
''Pada saaat kejadian, saat itu saya tak mendengar ada prosedur
penanganan huru-hara sesuai aturan,'' tegas Lasmana usai diperiksa KP3T
(Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjung Priok) di
Komnas HAM, kemarin (15/5).
Menurut Lasmana, seharusnya prosedur yang dilakukan, pertama dengan
menggunakan pentungan. Kedua, meningkat dengan gas air mata. Itu kalau
masih tak bisa diatasi. Dan cara ketiga, bila masih tidak bisa lagi,
dengan tembakan peringatan ke atas dengan peluru hampa. Keempat, kalau
memang sudah darurat betul, baru peluru tajam secara horisontal.
''Yang tiga tidak saya dengar, langsung keempat. Kalau menurut saya
itu suatu pelanggaran prosedur,'' tandasnya.
Lasmana mengungkapkan, saat itu sebagai Perwira Siaga Ruang Yudha
Laksuswil II menanyakan kasus Priok pada Perwira Siaga Laksusda Jaya.
Selain itu, dia juga mendengarkan pembicaraan melalui radio atau HT.
''Korban saat itu banyak, saya dengar sendiri bahwa korban agar diangkut
dengan truk,'' tuturnya.
Pengakuan Lasmana, dia sempat menanyakan pada Perwira Siaga Laksusda
Jaya tersebut mengenai jumlah korban. ''Saat itu dijawab ratusan, karena
situasinya malam hari, jadi tidak bisa pas berapa pastinya,'' tambahnya.
Menurutnya, Lasmana saat itu juga bertanya mengapa digunakan peluru
tajam dan terjadi banyak korban peluru tajam. ''Dijawab bahwa itu
perintah Laksus. Telinga saya sendiri yang mendengar. Kan yang
disebutkan komandonya, bukan orangnya,'' ungkapnya yang sebagai Perwira
Pembantu Ruang Yudha atau ruang kendali operasi atau penanggungjawab
Ruang Yudha.
''Segala ucapan saya maupun dia itu atas nama komando, bukan sebagai
pribadi atau apa. Itu dinas, bukan pembicaraan iseng,'' tambah Lasmana
yang megaku kecewa atas tanggapan KP3T. Dia menjelaskan dalam setiap
laporan itu bukan orang ke orang, tapi komando ke komando. Yaitu
Laksusda Jaya ke Laksuswil II di Kowilhan II.
Kesakian Lasmana ditanggapi secara dingin oleh KP3T. ''Dikatakan
kalau tidak ada nama, itu tidak akurat, meduga-duga itu namanya,'' ucap
Lasmana menggambarkan tanggapan pemeriksa yang salah satunya adalah BN
Marbun.
Mendapat tanggapan dingin tersebut, Lasmana menegaskan bahwa itu
hotline, bukan telepon biasa. ''Jadi itu pembicaraan antara
perwira siaga di Laksusda Jaya dengan saya di Kowilhan II. Dan tentunya
tidak pernah menanyakan lawan bicara kita siapa. Sebab tidak mungkin
alat itu digunakan oleh orang lain. Itu ruangan rahasia. Yang
menggunakan petugas,'' ungkapnya.
Mengenai perintah tembak, Lasmana menjelaskan bahwa memang begitu
adanya. ''Tapi katanya kalau cuma dengar nggak bisa. Saya katakan
bahwa saya ini saksi dengar, bukan saksi mata. Saya di Yogya sementara
peristiwa di Jakarta,'' jelas Lasmana menceritakan penjelasannya pada
KP3T. Menurutnya, tampaknya pihak KP3T tidak memahami apa yang
dijelaskan secara rinci oleh Lasmana karena mungkin orang sipil, bukan
dari militer.
Ketika ditanya wartawan apakah ia masih menyimpan atau merekam
percakapannya tersebut, Lasmana mengemukakan dua alasan. Pertama, pada
saat itu alat komunikasi belum secanggih saat ini. ''Kedua, terus terang
saja peristiwa seperti itu pada waktu itu sudah biasa. Jadi situasi
waktu itu untuk banyak omong nggak bisa. Saya juga tak menduga
akan diungkap seperti sekarang ini,'' tutur Lasmana. ''Kalau tahu bakal
begini mungkin saya simpan betul,'' tambahnya. n osa