TERNATE -- Anggota DPRD II Maluku Utara dari Fraksi PDI-P May
Luhulima, diskors oleh fraksinya, karena diduga mendalangi kerusuhan di
Tobelo, Pulau Halmahera (Maluku Utara). Menurut Wakil Ketua DPW PDI-P
Maluku Utara Alex Mangolo, surat skorsing terhadap May telah dibuat dan
kini masih menunggu SK pemecatannya.
Alex menambahkan skorsing terhadap May dari DPRD karena ia dinilai
telah menodai nama baik partai. Menurut Alex, beberapa korban kerusuhan
di Kecamatan Tobelo, Galela, dan Kao, mengaku melihat May terjun
langsung di tengah kerusuhan massa yang menewaskan ribuan warga Muslim
sekitar akhir Desember 1999 lalu.
''Yang bersangkutan juga pernah dipermasalahan tokoh-tokoh agama dan
tokoh masyarakat pada saat kunjungan kerja Wakil Presiden Megawati ke
Ternate 25 Januari lalu,'' jelas Alex di sela-sela acara pemilihan calon
Bupati Maluku Utara periode 2000-2005 di Ternate, kemarin.
Tentang keanggotaan May di partai berlambang kepala banteng, Alex
Mangolo mengatakan itu kewenangan DPP PDI-P. Menurutnya, DPW telah
menyurati Ketua Umum PDI-P.
Secara terpisah, Sekretaris DPC PDI-P Halmahera Tengah, Haruna
Marsaoly, mengatakan misi utama partainya adalah kebangsaan dan
persatuan. Bila ada anggota atau pengurus yang telah keluar dari misi
partai, ujar Haruna, DPP harus segera mengambil tindakan keras. ''Kalau
May Luhulima benar-benar terbukti terlibat dalam kerusuhan bernuansa
SARA di Halmahera itu, ia layak dipecat,'' tegas Haruna.
Salah satu tokoh masyarakat Ternate, Nasir Walanda, menyatakan pernah
melihat May berada di garis depan pada saat penyerangan terhadap warga
Muslim di Kecamatan Tobelo, Galela, dan Ibu. ''Meski telah dilaporkan
pada Wapres Megawati, hingga kini belum ada reaksi dari aparat penegak
hukum di daerah itu untuk memeriksa yang bersangkutan,'' ujar Nasir,
yang pernah menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP)
Nusakambangan karena ikut memproklamasikan Provinsi Maluku Utara sekitar
1958-an.
May sendiri telah menyampaikan bantahannya terhadap dugaan itu. Itu
dilakukannya dalam pertemuan dengan Komandan Sektor Pemulihan Keamanan
Maluku Utara, Letkol Inf Sutrisno, di aula Kantor Camat Tobelo, pekan
lalu. May balik menuduh media massa nasional yang memberitakan kerusuhan
Halmahera, memutarbalikkan fakta pembantaian ratusan warga Muslim di
Desa Togoliuwa dan Popiloa, Kecamatan Tobelo.
''Saya diberitakan dalam surat kabar sebagai provokator. Ini sangat
aneh dan pemutarbalikan fakta,'' ucapnya.
Ia juga menuduh salah satu anggota Forum Solidaritas Halmahera Utara,
dr Musriyono Nabiu, ikut terlibat dalam pertikaian di Tobelo, Galela,
Ibu, Jailolo, dan Sahu itu. ''Korban di Tobelo, Galela, Jailolo, dan
sekitarnya adalah korban perang di Halmahera. Pembantaian justru terjadi
di Ternate, Tidore, dan Halmahera Selatan,'' elak May.
Pangdam terlambat
Sementara itu, Pangdam XVI/Pattimura Brigjen Max Markus Tamaela,
kemarin, mengatakan terlambat menerima laporan tentang pertikaian di
Desa Tawa, Pulau Bacan bagian timur, Provinsi Maluku Utara. Padahal,
pertikaian tersebut telah pecah sejak Selasa (22/2).
Kerusuhan bernuansa SARA tersebut masih berkecamuk hingga kemarin,
dan mengakibatkan sedikitnya 12 orang warga meninggal, 25 luka-luka, 95
rumah penduduk serta satu tempat ibadah dirusak dan dibakar massa
perusuh. Akibat lainnya, sekitar 400 warga Desa Tawa terpaksa mengungsi
dan menyelamatkan diri ke hutan-hutan di sekitar desa mereka.
''Informasi ini terlambat diterima, karena sulitnya jalur komunikasi
ke Pulau Bacan akibat minimnya sarana dan prasarana komunikasi yang
dimiliki aparat keamanan,'' kata Pangdam pada wartawan di Ambon,
kemarin.
Pangdam mengatakan bentrokan dipicu informasi dan selebaran gelap
bahwa akan terjadi penyerangan yang dilakukan salah satu kelompok
terhadap kelompok lainnya. Untuk mengatasi situasi, Pangdam mengatakan
telah memerintahkan penambahan aparat keamanan ke lokasi kejadian,
dengan membuat sekat di antara kedua kelompok.
''Kendati situasinya masih mencekam, aparat keamanan yang diterjunkan
ke lokasi kejadian telah berhasil menguasai kondisi lapangan, terutama
membuat sekat guna mengantisipasi adanya serangan balik,'' papar
Pangdam.
Untuk mengantisipasi keterlambatan informasi, terutama di wilayah
yang jauh, Pangdam menambahkan telah menempuh kebijakan menyebarkan
aparat keamanan di semua wilayah yang dinilai rawan konflik. Yang jadi
kendala, ujar Pangdam, adalah wilayah yang terkena kerusuhan akhir-akhir
ini adalah merupakan wilayah baru.
''Sebenarnya semua wilayah rawan konflik telah dikuasai aparat
keamanan, namun yang terjadi belakangan ternyata kerusuhannya terjadi di
lokasi-lokasi baru yang tidak diperkirakan sebelumnya,'' tambah Pangdam.
Ia mengatakan telah memerintahkan aparat keamanan untuk mencari warga
Desa Tawa yang mengungsi ke hutan-hutan sekaligus melindungi mereka,
sehingga tidak dikejar-kejar massa perusuhan. ''Persoalannya, mereka
harus segera dipindahkan dari lokasi itu. Sedangkan kami mengalami
keterbatasan sarana, terutama kapal serta lokasi penampungan,''
tandasnya.