''Siapa saja yang tidak suka melaksanakan syariat Islam, silakan
mencari bumi yang bukan milik Allah.'' Rangkaian kata 'sederhana', namun
sangat bermakna ini terpampang lebar di pinggir sungai menuju Kampus
IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah, Banda Aceh. Makna yang terkandung dari
spanduk milik KAMMI ini, seakan-akan mengusir pihak-pihak yang enggan
melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika semuanya ini sudah dipastikan milik
Allah, lalu ke mana mereka akan mencari bumi tempat berpijak?
Cita-cita masyarakat Tanah Rencong dapat melaksanakan syariat Islam
telah dikabulkan Pemerintah Pusat dengan disahkannya UU No 44 tentang
Keistimewaan Aceh. Dalam UU tersebut ditegaskan tentang diberlakukannya
syariat Islam di Aceh. Tapi sayangnya, hingga saat ini belum ada aturan
jelas dalam bentuk Perda yang mengatur pelaksanaan UU tersebut.
Akibatnya, masih banyak masyarakat yang acuh dengan pelaksanaan syariat
Islam ini.
Gejolak yang marak di Aceh akhir-akhir ini salah satu penyebabnya,
boleh jadi karena belum ada aturan pelaksanaan syariat Islam itu.
Sehingga pihak-pihak tertentu lebih leluasa melakukan pelanggaran
terhadap hukum Allah itu. Alasan ini dibenarkan oleh Ketua DPRD Aceh
Teungku Muhammad Yus. ''Salah satu penyebab gejolak di Aceh ini, bisa
saja karena belum dibuatnya aturan tentang syariat Islam,'' ujar
Muhammad Yus kepada Republika yang berkunjung ke Aceh. Walaupun
masalah utama gejolak di Aceh ini masih berkaitan erat dengan keinginan
GAM memisahkan diri dari Indonesia.
Tapi Ketua Umum MUI Aceh Prof Teungku Muslim Ibrahim tak setuju
dengan alasan itu. Sebab, walaupun aturan pelaksanaan syariat Islam
belum ada, tapi dalam keseharian syariat itu tetap dilakukan masyarakat
Aceh. Contoh sederhana berkaitan dengan busana Muslimah yang berguna
sebagai penutup aurat. ''Sekarang ini hampir semua wanita di Aceh
mengenakan jilbab, kecuali yang non-Muslim,'' ujarnya. Selain itu juga,
untuk menyongsong pemberlakuan syariat Islam itu beberapa sekolah telah
menerapkan libur di hari Jumat.
Berdasarkan pemantauan Republika, memang benar mayoritas kaum
Muslimah di Aceh telah mengenakan jilbab. Bahkan, para Polwan yang
dulunya masih membuka aurat, kini mulai ambil bagian. Mereka mengenakan
seragam coklat Polri, ditambah dengan kerudung. Kendati mengenakan
busana tersebut, aktivitas mereka tidak terganggu. Hal serupa terjadi
pula di lingkungan perbankan. BCA yang selama ini oleh orang Aceh
dinilai sebagai bank sekular, kini para karyawannya tampil agak Islami.
Mereka tidak lagi mengenakan seragam di atas lutut, tapi berpakaian
panjang plus kerudung tertutup.
Sebenarnya penerapan syariat Islam ini, menurut Teungku Muslim,
bukanlah hal baru bagi masyarakat Aceh. Karena, sejak lama wilayah
Serambi Mekkah ini telah melaksanakan syariat Islam. Bahkan di
daerah-daerah tertentu di Aceh, hukum adat yang diambil dari hukum Islam
masih banyak digunakan. Hukuman rajam bagi pasangan yang berzina,
misalnya, diberlakukan di daerah Aceh Selatan.
Pendapat ini dibenarkan juru bicara ASNLP (Aceh Sumatra National
Liberation Front) Ismail Syahputra. Menurutnya, sebelum negara
Maroko, Andalus, Turki, dan Iran menegakkan syariat Islam, Aceh sudah
lebih dulu menerapkannya. ''Saat itu Aceh berada di bawah kekhalifahan
Usman,'' ujar Ismail kepada Republika.
Tapi sekarang ini, Ismail tampaknya pesimis kalau penerapan syariat
Islam bisa ditegakkan kembali dengan sempurna di Tanah Rencong.
Alasannya, jika syariat itu diterapkan akan ada overlapping
dengan aturan yang ditetapkan pemerintah. Apalagi, dalam UU Keistimewaan
Aceh itu ada klausul yang menyatakan bahwa Perda yang ditetapkan tidak
boleh bertentangan dengan hukum nasional. Padahal, tegas Ismail, masih
banyak hukum buatan Indonesia yang belum sempurna, dan harus diperbaiki.
''Syariat Islam itu tidak bisa dicampuradukan dengan hukum lainnya.
Di dunia ini, hanya ada satu syariat Islam, yaitu berdasarkan Alquran,
Hadis dan ijma' ulama. Oleh karenanya, syariat Islam yang harus
diberlakukan di Aceh harus memenuhi ketiga pedoman itu, jangan
sebaliknya dicampuradukan dengan hukum lainnya,'' tandas Ismail
bersemangat.
Hal senada dijelaskan pula oleh Ketua Umum Partai Keadilan (PK) Aceh
Nasir Djamil. Menurutnya, pelaksanaan syariat Islam tidak boleh
dilaksanakan setengah-setengah, tapi harus totalitas. Walaupun, dalam
penerapannya nanti bisa dilakukan secara bertahap tidak sekaligus. Oleh
karenanya, kehadiran klausul tersebut bisa saja akan membatasi upaya
masyarakat Aceh untuk melaksanakan syariat Islam.
Makanya, tidaklah mengherankan kalau sebagian ulama pun akhirnya
menentang kehadiran UU tersebut. Bahkan, lanjut Nasir, banyak ulama
beranggapan bahwa UU Keistimewaan Aceh ini hanya sogokan pusat kepada
masyarakat Aceh. ''Kalau pada akhirnya masyarakat tidak bisa leluasa
melaksanakan hukum Allah, buat apa diberikan aturan pelaksanaan syariat
Islam,'' tuturnya.
Para ulama di Aceh umumnya sepakat jika penerapan syariat Islam
dilaksanakan secara menyeluruh. Karena, pelaksanaan ini bisa jadi
sebagai jalan keluar untuk memulihkan kembali gejolak yang selama ini
berkembang di beberapa daerah di Aceh. ''Aceh akan kembali aman, kalau
semua komponen di dalamnya mau melaksanakan syariat Islam. Karena, Allah
berjanji akan menambahkan rezeki bagi umatnya yang menjalankan
aturan-Nya,'' papar Nasir.
Dia juga mengakui, kalau konflik di Aceh ini tidak sesederhana yang
diperkirakan. Menurutnya, gejolak ini timbul karena masih ada
pihak-pihak yang menaruh kebencian dan kekecewaan pasca-DOM lalu.
Akibatnya, rakyat Aceh ingin menjunjung tinggi kehormatan itu. Namun
anggota DPRD Aceh ini yakin, bagi Allah sangatlah mudah menentukan jalan
keluarnya.
Menurut Nasir, selain Perda masih ada hal lain yang lebih penting
dalam menyongsong pelaksanaan syariat Islam di Aceh ini, yaitu
taubatan nasuha. ''Sebelum pelaksanaan syariat Islam
diberlakukan, kita harus melaksanakan taubat. Karena, bisa saja konflik
yang terjadi di Aceh selama ini, disebabkan masyarakat Aceh telah
mengabaikan hukum-hukum Allah. Makanya, marilah kita melaksanakan tobat
dulu,'' paparnya.
Studi banding
Kendati masyarakat Aceh sangat menggebu ingin menerapkan syariat
Islam, namun Perda yang memungkinkan untuk itu hingga kini belum mereka
garap.
Bahkan rancangannya saja belum ada. Gubernur Aceh Prof Syamsuddin
Mahmud mengakui bahwa membuat rancangan Perda tentang syariat Islam
bukan pekerjaan yang gampang.
''Sampai saat ini kita masih mempersiapkan Perda mengenai pelaksanaan
syariat Islam tersebut. Kita sudah membentuk pokja-pokja untuk menyusun
Perda itu,'' papar Syamsuddin. Nantinya, Perda yang akan diajukan Pemda
Aceh menyangkut empat bidang, yaitu bidang keagamaan, kehidupan dan
pendidikan, adat, serta peranan ulama.
Sebelum rancangan Perda itu dibuat, terutama berkaitan dengan masalah
kehidupan beragama dan pelaksanaan syariat Islam, yang perlu dilakukan
papar gubernur, adalah adanya studi banding ke negara-negara yang selama
ini telah memberlakukan syariat Islam. Ini misalnya Kelantan, negara
bagian di Malaysia, yang telah menerapkan syariat Islam.
Selain ke Malaysia, kata Syamsuddin, tim yang terdiri dari anggota
majelis ulama, yang dibantu para pakar dari IAIN akan melakukan studi
banding ke beberapa negara di Timur Tengah. ''Mereka akan melihat
langsung bagaimana penerapan syariat Islam yang murni, tapi juga ada
pengaruhnya ke luar,'' tambahnya.
Belum dibuatnya rancangan Perda tentang pelaksanaan syariat Islam di
Aceh, diakui oleh Ketua DPRD Aceh. Walaupun UU Keistimewaan Aceh telah
lama disahkan, tapi sampai sekarang Pemda Aceh memang belum mengajukan
rancangan Perda-nya.
''Insya Allah, baru awal bulan April ini DPRD akan melakukan
pembahasan Perda syariat Islam,'' sambung Yus. Karena, sampai saat ini
anggota Dewan masih membahas Perda soal anggaran daerah Aceh.
Namun, jauh-jauh hari Yus berpesan, agar dalam pembahasan Perda nanti
para anggota DPRD diharapkan bukan saja mengedepankan kepentingan umat
Islam sebagai kaum mayoritas. Tapi juga perlu memperhatikan kaum
minoritas.
Beberapa waktu lalu, misalnya, Tahi Sagala dari perwakilan gereja
HKBP Banda Aceh, berkirim surat kepada DPRD Aceh. Dalam suratnya itu, ia
antara lain menyoal seruan berjilbab yang mestinya tak berlaku untuk
umat non-Islam namun dalam prakteknya sulit diterapkan.
Menurutnya, banyak wanita non-Muslim yang pergi ke pasar selalu
disoraki, diejek, bahkan dilempari karena tak mengenakan jilbab.
''Katanya harus tahu diri kalau tinggal di Aceh mesti dapat menyesuaikan
diri dan memakai jilbab,'' demikian tulis Tahi Sagala. Untuk itulah,
sebagai umat minoritas, Tahi mengusulkan agar wanita Kristen wajib
mengenakan kalung salib sebagai bukti bahwa mereka warga Kristen.
Masukan dari kaum minoritas ini telah diterima DPRD Aceh. Namun,
realisasinya masih menunggu pembahasan Perda yang baru akan dimulai
April mendatang itu. Tapi bisa dipastikan pelaksanaan syariat Islam di
Aceh ini tidak akan mengganggu kehidupan kaum minoritas. Malah, Islam
sebagai agama rahmatan lil alamin, akan menjamin keselamatan dan
ketenteraman umat lain.