Republika Online edisi:
25 Feb 2000

Menengok Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

''Siapa saja yang tidak suka melaksanakan syariat Islam, silakan mencari bumi yang bukan milik Allah.'' Rangkaian kata 'sederhana', namun sangat bermakna ini terpampang lebar di pinggir sungai menuju Kampus IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah, Banda Aceh. Makna yang terkandung dari spanduk milik KAMMI ini, seakan-akan mengusir pihak-pihak yang enggan melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika semuanya ini sudah dipastikan milik Allah, lalu ke mana mereka akan mencari bumi tempat berpijak?

Cita-cita masyarakat Tanah Rencong dapat melaksanakan syariat Islam telah dikabulkan Pemerintah Pusat dengan disahkannya UU No 44 tentang Keistimewaan Aceh. Dalam UU tersebut ditegaskan tentang diberlakukannya syariat Islam di Aceh. Tapi sayangnya, hingga saat ini belum ada aturan jelas dalam bentuk Perda yang mengatur pelaksanaan UU tersebut. Akibatnya, masih banyak masyarakat yang acuh dengan pelaksanaan syariat Islam ini.

Gejolak yang marak di Aceh akhir-akhir ini salah satu penyebabnya, boleh jadi karena belum ada aturan pelaksanaan syariat Islam itu. Sehingga pihak-pihak tertentu lebih leluasa melakukan pelanggaran terhadap hukum Allah itu. Alasan ini dibenarkan oleh Ketua DPRD Aceh Teungku Muhammad Yus. ''Salah satu penyebab gejolak di Aceh ini, bisa saja karena belum dibuatnya aturan tentang syariat Islam,'' ujar Muhammad Yus kepada Republika yang berkunjung ke Aceh. Walaupun masalah utama gejolak di Aceh ini masih berkaitan erat dengan keinginan GAM memisahkan diri dari Indonesia.

Tapi Ketua Umum MUI Aceh Prof Teungku Muslim Ibrahim tak setuju dengan alasan itu. Sebab, walaupun aturan pelaksanaan syariat Islam belum ada, tapi dalam keseharian syariat itu tetap dilakukan masyarakat Aceh. Contoh sederhana berkaitan dengan busana Muslimah yang berguna sebagai penutup aurat. ''Sekarang ini hampir semua wanita di Aceh mengenakan jilbab, kecuali yang non-Muslim,'' ujarnya. Selain itu juga, untuk menyongsong pemberlakuan syariat Islam itu beberapa sekolah telah menerapkan libur di hari Jumat.

Berdasarkan pemantauan Republika, memang benar mayoritas kaum Muslimah di Aceh telah mengenakan jilbab. Bahkan, para Polwan yang dulunya masih membuka aurat, kini mulai ambil bagian. Mereka mengenakan seragam coklat Polri, ditambah dengan kerudung. Kendati mengenakan busana tersebut, aktivitas mereka tidak terganggu. Hal serupa terjadi pula di lingkungan perbankan. BCA yang selama ini oleh orang Aceh dinilai sebagai bank sekular, kini para karyawannya tampil agak Islami. Mereka tidak lagi mengenakan seragam di atas lutut, tapi berpakaian panjang plus kerudung tertutup.

Sebenarnya penerapan syariat Islam ini, menurut Teungku Muslim, bukanlah hal baru bagi masyarakat Aceh. Karena, sejak lama wilayah Serambi Mekkah ini telah melaksanakan syariat Islam. Bahkan di daerah-daerah tertentu di Aceh, hukum adat yang diambil dari hukum Islam masih banyak digunakan. Hukuman rajam bagi pasangan yang berzina, misalnya, diberlakukan di daerah Aceh Selatan.

Pendapat ini dibenarkan juru bicara ASNLP (Aceh Sumatra National Liberation Front) Ismail Syahputra. Menurutnya, sebelum negara Maroko, Andalus, Turki, dan Iran menegakkan syariat Islam, Aceh sudah lebih dulu menerapkannya. ''Saat itu Aceh berada di bawah kekhalifahan Usman,'' ujar Ismail kepada Republika.

Tapi sekarang ini, Ismail tampaknya pesimis kalau penerapan syariat Islam bisa ditegakkan kembali dengan sempurna di Tanah Rencong. Alasannya, jika syariat itu diterapkan akan ada overlapping dengan aturan yang ditetapkan pemerintah. Apalagi, dalam UU Keistimewaan Aceh itu ada klausul yang menyatakan bahwa Perda yang ditetapkan tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional. Padahal, tegas Ismail, masih banyak hukum buatan Indonesia yang belum sempurna, dan harus diperbaiki.

''Syariat Islam itu tidak bisa dicampuradukan dengan hukum lainnya. Di dunia ini, hanya ada satu syariat Islam, yaitu berdasarkan Alquran, Hadis dan ijma' ulama. Oleh karenanya, syariat Islam yang harus diberlakukan di Aceh harus memenuhi ketiga pedoman itu, jangan sebaliknya dicampuradukan dengan hukum lainnya,'' tandas Ismail bersemangat.

Hal senada dijelaskan pula oleh Ketua Umum Partai Keadilan (PK) Aceh Nasir Djamil. Menurutnya, pelaksanaan syariat Islam tidak boleh dilaksanakan setengah-setengah, tapi harus totalitas. Walaupun, dalam penerapannya nanti bisa dilakukan secara bertahap tidak sekaligus. Oleh karenanya, kehadiran klausul tersebut bisa saja akan membatasi upaya masyarakat Aceh untuk melaksanakan syariat Islam.

Makanya, tidaklah mengherankan kalau sebagian ulama pun akhirnya menentang kehadiran UU tersebut. Bahkan, lanjut Nasir, banyak ulama beranggapan bahwa UU Keistimewaan Aceh ini hanya sogokan pusat kepada masyarakat Aceh. ''Kalau pada akhirnya masyarakat tidak bisa leluasa melaksanakan hukum Allah, buat apa diberikan aturan pelaksanaan syariat Islam,'' tuturnya.

Para ulama di Aceh umumnya sepakat jika penerapan syariat Islam dilaksanakan secara menyeluruh. Karena, pelaksanaan ini bisa jadi sebagai jalan keluar untuk memulihkan kembali gejolak yang selama ini berkembang di beberapa daerah di Aceh. ''Aceh akan kembali aman, kalau semua komponen di dalamnya mau melaksanakan syariat Islam. Karena, Allah berjanji akan menambahkan rezeki bagi umatnya yang menjalankan aturan-Nya,'' papar Nasir.

Dia juga mengakui, kalau konflik di Aceh ini tidak sesederhana yang diperkirakan. Menurutnya, gejolak ini timbul karena masih ada pihak-pihak yang menaruh kebencian dan kekecewaan pasca-DOM lalu. Akibatnya, rakyat Aceh ingin menjunjung tinggi kehormatan itu. Namun anggota DPRD Aceh ini yakin, bagi Allah sangatlah mudah menentukan jalan keluarnya.

Menurut Nasir, selain Perda masih ada hal lain yang lebih penting dalam menyongsong pelaksanaan syariat Islam di Aceh ini, yaitu taubatan nasuha. ''Sebelum pelaksanaan syariat Islam diberlakukan, kita harus melaksanakan taubat. Karena, bisa saja konflik yang terjadi di Aceh selama ini, disebabkan masyarakat Aceh telah mengabaikan hukum-hukum Allah. Makanya, marilah kita melaksanakan tobat dulu,'' paparnya.

Studi banding

Kendati masyarakat Aceh sangat menggebu ingin menerapkan syariat Islam, namun Perda yang memungkinkan untuk itu hingga kini belum mereka garap.

Bahkan rancangannya saja belum ada. Gubernur Aceh Prof Syamsuddin Mahmud mengakui bahwa membuat rancangan Perda tentang syariat Islam bukan pekerjaan yang gampang.

''Sampai saat ini kita masih mempersiapkan Perda mengenai pelaksanaan syariat Islam tersebut. Kita sudah membentuk pokja-pokja untuk menyusun Perda itu,'' papar Syamsuddin. Nantinya, Perda yang akan diajukan Pemda Aceh menyangkut empat bidang, yaitu bidang keagamaan, kehidupan dan pendidikan, adat, serta peranan ulama.

Sebelum rancangan Perda itu dibuat, terutama berkaitan dengan masalah kehidupan beragama dan pelaksanaan syariat Islam, yang perlu dilakukan papar gubernur, adalah adanya studi banding ke negara-negara yang selama ini telah memberlakukan syariat Islam. Ini misalnya Kelantan, negara bagian di Malaysia, yang telah menerapkan syariat Islam.

Selain ke Malaysia, kata Syamsuddin, tim yang terdiri dari anggota majelis ulama, yang dibantu para pakar dari IAIN akan melakukan studi banding ke beberapa negara di Timur Tengah. ''Mereka akan melihat langsung bagaimana penerapan syariat Islam yang murni, tapi juga ada pengaruhnya ke luar,'' tambahnya.

Belum dibuatnya rancangan Perda tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh, diakui oleh Ketua DPRD Aceh. Walaupun UU Keistimewaan Aceh telah lama disahkan, tapi sampai sekarang Pemda Aceh memang belum mengajukan rancangan Perda-nya.

''Insya Allah, baru awal bulan April ini DPRD akan melakukan pembahasan Perda syariat Islam,'' sambung Yus. Karena, sampai saat ini anggota Dewan masih membahas Perda soal anggaran daerah Aceh.

Namun, jauh-jauh hari Yus berpesan, agar dalam pembahasan Perda nanti para anggota DPRD diharapkan bukan saja mengedepankan kepentingan umat Islam sebagai kaum mayoritas. Tapi juga perlu memperhatikan kaum minoritas.

Beberapa waktu lalu, misalnya, Tahi Sagala dari perwakilan gereja HKBP Banda Aceh, berkirim surat kepada DPRD Aceh. Dalam suratnya itu, ia antara lain menyoal seruan berjilbab yang mestinya tak berlaku untuk umat non-Islam namun dalam prakteknya sulit diterapkan.

Menurutnya, banyak wanita non-Muslim yang pergi ke pasar selalu disoraki, diejek, bahkan dilempari karena tak mengenakan jilbab. ''Katanya harus tahu diri kalau tinggal di Aceh mesti dapat menyesuaikan diri dan memakai jilbab,'' demikian tulis Tahi Sagala. Untuk itulah, sebagai umat minoritas, Tahi mengusulkan agar wanita Kristen wajib mengenakan kalung salib sebagai bukti bahwa mereka warga Kristen.

Masukan dari kaum minoritas ini telah diterima DPRD Aceh. Namun, realisasinya masih menunggu pembahasan Perda yang baru akan dimulai April mendatang itu. Tapi bisa dipastikan pelaksanaan syariat Islam di Aceh ini tidak akan mengganggu kehidupan kaum minoritas. Malah, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, akan menjamin keselamatan dan ketenteraman umat lain.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000