Seorang anggota parlemen Turki diusir dari ruang sidang diiringi
dengan tatapan penuh cemooh dari sesama rekannya yang lain. Apa pasal?
Jawabannya sederhana: ketika itu ia masuk ruangan dengan mengenakan
jilbab. Simbol-simbol keagamaan memang telah terlempar jauh dari
kehidupan sehari-hari masyarakat Turki. Sekularisme ditegakkan sebagai
gantinya.
''Siapa pun yang menjadi penguasa Konstantinopel dia adalah penguasa
dunia,'' demikian kata-kata yang diucapkan Napoleon Bonaparte
berabad-abad silam. Pada masa Napoleon, penguasa Konstantinopel
kesultanan Turki Usmani, pendahulu Turki modern. Dalam bahasa Turki,
Konstantinopel disebut Istambul.
Turki adalah tempat lahirnya peradaban besar dunia. Ingat kota Troya
dalam sejarah Yunani? Kota kuno terletak di pantai Aegean Turki. Di
sepanjang pantai Aegean Turki, berkembanglah bangsa Yunani kuno, yang
budayanya kemudian menjadi cikal bakal peradaban Eropa -- bahkan dunia.
Wilayah tersebut menjadi ajang penaklukan berbagai raja dunia, termasuk
Iskandar Agung.
Pada puncak kejayaannya, kesultanan Turki membentang di tiga benua:
Asia, Eropa, dan Afrika. Wilayah itu meliputi Hongaria hingga Laut
Kaspia, dari Rusia selatan hingga Afrika utara.
Meski kesultanan Usmani ini dipegang oleh umat Islam, namun mereka
tidak memaksakan agama mereka kepada penganut agama lain. Umat Kristen
dan Yahudi bisa beribadah di gereja dan sinagog masing-masing,
mengajarkan agama tersebut di sekolah dan seminari mereka, dan bisa
menjalankan usaha mereka sendiri. Ketika itu, toleransi di kesultanan
Usmani memang unik.
Tradisi toleransi ini berasal dari keyakinan religius yang telah
mengakar sejak sekitar enam ratus tahun sebelum kesultanan Usmani
berdiri. Sebuah sumber tertulis menyebutkan, bangsa Turki beragama Islam
dan sikap toleransi tersebut datang dari keyakinan agama ini.
Sejak awal, Islam telah menerima keyakinan agama monotheis lainnya.
Pasalnya, di banyak wilayah, kaum Kristen dan Yahudi telah lama hidup di
tanah yang diperintah oleh kaum Muslimin sejak hadirnya Rasulullah
Muhammad saw. Sementara itu bagi kerajaan-kerajaan Eropa Timur, Turki
adalah ancaman terbesar. Masa itu Turki muncul sebagai sosok yang
''menakutkan'' bagi negeri-negeri Eropa.
Namun puncak kejayaan ini kemudian menjadi anti klimaks. Perlahan
tapi pasti, kekuasaan Turki makin memudar sejak abad ke-17. Tonggak
kemunduran pertama terjadi pada 1683, ketika di bawah kesultanan Usmani,
pasukan Turki gagal mencapai tembok Wina.
Kegagalan tersebut ternyata terjadi beruntun. Secara internal,
semangat nasionalisme muncul di kalangan bangsa-bangsa yang ditaklukkan
Turki. Konstantinopel berjadi buruan berbagai kekuatan Eropa -- terutama
Inggris, Prancis, dan Rusia.
Detik-detik terakhir runtuhnya kesultanan Usmani terjadi setelah
Perang Dunia I. Akibat perjanjian perdamaian di Sevres, kesultanan ini
kehilangan seluruh daerah non-Turki, termasuk tanah Arab di Timur
Tengah. Perjanjian tersebut menjadi ''sarana balas dendam'' bagi bangsa
Eropa.
Tentara pendudukan pun mulai menempati berbagai wilayah Turki yang
tercabik-cabik. Konstantinopel, misalnya, diduduki pasukan Inggris dan
Prancis. Imperialisme Eropa pun mencengkram Turki dengan kuku-kukunya
yang tajam.
Berubahnya Turki menjadi negara sekular tak lepas dari sosok Mustafa
Kemal Ataturk yang tampil di panggung sejarah Turki ketika imperialisme
Eropa tengah merajalela. Jenderal angkatan darat yang naik ke tampuk
kekuasaan kala berusia 37 tahun itu mengumpulkan tentara Turki dan
akhirnya mengusir tentara pendudukan.
Menurut Abdullah Azzam dalam tulisannya, Al-Manarul Mafqudah,
kemenangan Mustafa Kemal adalah salah satu rekayasa pasukan Inggris dan
Sekutunya. Dengan tampilnya Mustafa Kemal sebagai pahlawan, mereka konon
setidaknya memiliki peluang untuk ''menjajah'' Turki secara budaya untuk
menggulingkan budaya Islam yang telah mengakar.
Hingga kemudian sultan terakhir dari kesultanan Usmani berhasil
digulingkan Mustafa Kemal. ''Sang Pahlawan'' ini kemudian mengubah
kesultanan menjadi Republik Turki pada 1923 dan ia menjadi presidennya
yang pertama. Perjanjian Sevres pun diganti dengan perjanjian Lausanne
(1923) yang menetapkan batas-batas Turki sekarang ini.
Dengan perubahan tersebut, Mustrafa Kemal memberlakukan hukum baru
yang berasal dari Barat (Eropa) dan filosofi baru dalam pemerintahan.
Proses ''pembaratan'' (westernisasi) Turki ini kemudian dipandang
sebagai proses modernisasi dan reformasi yang tentunya mengacu pada
konsep Barat.
Perombakan yang digelandang Mustafa Kemal pun meliputi seluruh
spektrum kehidupan Turki. Sistem pendidikan Turki ditetapkan dengan
mencontek model Barat.
Tak dipungkiri, untuk ilmu-ilmu sekular seperti sains, Barat memiliki
keunggulan karena gaung Renaissance menyebar di Eropa. Sementara ketika
Mustafa Kemal mengambil alih pemerintahan, hampir 90 persen rakyat Turki
buta huruf (huruf Latin).
Pemakaian tutup kepala seperti sorban dan jilbab dilarang dengan
dalih sebagai warisan kesultanan Usmani. Penutup kepala tersebut diganti
dengan topi yang dinilai lebih sesuai dengan model Barat.
Dalam pemerintahan Usmani, banyak undang-undang negeri yang
didasarkan pada Alquran. Mustafa Kemal langsung memerintahkan pembaruan
sistem hukum tersebut dengan didasarkan pada hukum yang paling progresif
dari Eropa. Penggunaan huruf Arab pun diganti dengan huruf latin dengan
dalih untuk mendorong melek huruf dan membawa negara lebih dekat kepada
Barat.
Dalam pemerintahan Usmani, rakyat tidak memiliki nama keluarga.
Mustafa Kemal memerintahkan orang Turki mengambil nama keluarga. Ia
sendiri diberi nama ''Ataturk'' yang berarti ''Bapak Orang Turki''.
Poligami dilarang dan wanita diberi hak dan kewajiban yang sama
seperti pria. Mustafa Kemal juga mendorong berkembangnya kesenian Barat
seperti teater, tarian, dan pesta-pesta dansa.
Kalender Hijriyah diganti dengan kalender Masehi. Sedangkan Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha dihapuskan. Saat itu, suara adzan pun harus
dikumandangkan dengan bahasa Turki. Bahkan umat Islam pun dilarang
melaksanakan ibadah haji. Pendeknya, prinsip sekularisme -- terutama
pengebirian nilai-nilai Islam -- diterapkan sepenuhnya di Turki. Dua
buah masjid agung, Masjid Aya Sofiya dan Masjid Al-Fatih, diubah menjadi
museum.
Selama masa pemerintahannya, kedudukan kaum Yahudi makin terangkat.
Kaum Yahudi memiliki kekuasaan untuk mengatur tata pemerintahan, hukum,
politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan organisasi.
Mustafa Kemal memang lengket dengan kaum Yahudi di Turki. Ia bahkan
tercatat sebagai salah satu anggota masonisme -- sebuah jaringan zionis
Yahudi yang bekerja secara rahasia.
Lahir di Salonika (sebuah kota Yahudi di Turki) pada 1880, Mustafa
Kemal meninggal antara lain karena penyakit sirosis yang diakibatkan
oleh kegemarannya akan alkohol. Entah karena setia dengan prinsip
sekular yang dipegangnya, menjelang ajal ia berpesan agar jenazahnya
kelak tak usah dishalatkan. Mustafa Kemal meninggal pada Kamis, 10
November 1938, pukul 09.05 waktu setempat.
Turki bukan lagi penguasa dunia. Kekaisaran Usmani yang dulu pernah
jaya, hanya tinggal kenangan. Negara-negara Uni Eropa saja bahkan tak
kunjung menerima Turki sebagai anggota mereka. Sementara Mustafa Kemal
Ataturk menjadi simbol ''modernisme'' dan bapak bangsa Turki. Wallahu
a'lam.