Republika Online edisi:
26 May 2000

Napak Tilas Sekularisme di Turki

Seorang anggota parlemen Turki diusir dari ruang sidang diiringi dengan tatapan penuh cemooh dari sesama rekannya yang lain. Apa pasal? Jawabannya sederhana: ketika itu ia masuk ruangan dengan mengenakan jilbab. Simbol-simbol keagamaan memang telah terlempar jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat Turki. Sekularisme ditegakkan sebagai gantinya.

''Siapa pun yang menjadi penguasa Konstantinopel dia adalah penguasa dunia,'' demikian kata-kata yang diucapkan Napoleon Bonaparte berabad-abad silam. Pada masa Napoleon, penguasa Konstantinopel kesultanan Turki Usmani, pendahulu Turki modern. Dalam bahasa Turki, Konstantinopel disebut Istambul.

Turki adalah tempat lahirnya peradaban besar dunia. Ingat kota Troya dalam sejarah Yunani? Kota kuno terletak di pantai Aegean Turki. Di sepanjang pantai Aegean Turki, berkembanglah bangsa Yunani kuno, yang budayanya kemudian menjadi cikal bakal peradaban Eropa -- bahkan dunia. Wilayah tersebut menjadi ajang penaklukan berbagai raja dunia, termasuk Iskandar Agung.

Pada puncak kejayaannya, kesultanan Turki membentang di tiga benua: Asia, Eropa, dan Afrika. Wilayah itu meliputi Hongaria hingga Laut Kaspia, dari Rusia selatan hingga Afrika utara.

Meski kesultanan Usmani ini dipegang oleh umat Islam, namun mereka tidak memaksakan agama mereka kepada penganut agama lain. Umat Kristen dan Yahudi bisa beribadah di gereja dan sinagog masing-masing, mengajarkan agama tersebut di sekolah dan seminari mereka, dan bisa menjalankan usaha mereka sendiri. Ketika itu, toleransi di kesultanan Usmani memang unik.

Tradisi toleransi ini berasal dari keyakinan religius yang telah mengakar sejak sekitar enam ratus tahun sebelum kesultanan Usmani berdiri. Sebuah sumber tertulis menyebutkan, bangsa Turki beragama Islam dan sikap toleransi tersebut datang dari keyakinan agama ini.

Sejak awal, Islam telah menerima keyakinan agama monotheis lainnya. Pasalnya, di banyak wilayah, kaum Kristen dan Yahudi telah lama hidup di tanah yang diperintah oleh kaum Muslimin sejak hadirnya Rasulullah Muhammad saw. Sementara itu bagi kerajaan-kerajaan Eropa Timur, Turki adalah ancaman terbesar. Masa itu Turki muncul sebagai sosok yang ''menakutkan'' bagi negeri-negeri Eropa.

Namun puncak kejayaan ini kemudian menjadi anti klimaks. Perlahan tapi pasti, kekuasaan Turki makin memudar sejak abad ke-17. Tonggak kemunduran pertama terjadi pada 1683, ketika di bawah kesultanan Usmani, pasukan Turki gagal mencapai tembok Wina.

Kegagalan tersebut ternyata terjadi beruntun. Secara internal, semangat nasionalisme muncul di kalangan bangsa-bangsa yang ditaklukkan Turki. Konstantinopel berjadi buruan berbagai kekuatan Eropa -- terutama Inggris, Prancis, dan Rusia.

Detik-detik terakhir runtuhnya kesultanan Usmani terjadi setelah Perang Dunia I. Akibat perjanjian perdamaian di Sevres, kesultanan ini kehilangan seluruh daerah non-Turki, termasuk tanah Arab di Timur Tengah. Perjanjian tersebut menjadi ''sarana balas dendam'' bagi bangsa Eropa.

Tentara pendudukan pun mulai menempati berbagai wilayah Turki yang tercabik-cabik. Konstantinopel, misalnya, diduduki pasukan Inggris dan Prancis. Imperialisme Eropa pun mencengkram Turki dengan kuku-kukunya yang tajam.

Berubahnya Turki menjadi negara sekular tak lepas dari sosok Mustafa Kemal Ataturk yang tampil di panggung sejarah Turki ketika imperialisme Eropa tengah merajalela. Jenderal angkatan darat yang naik ke tampuk kekuasaan kala berusia 37 tahun itu mengumpulkan tentara Turki dan akhirnya mengusir tentara pendudukan.

Menurut Abdullah Azzam dalam tulisannya, Al-Manarul Mafqudah, kemenangan Mustafa Kemal adalah salah satu rekayasa pasukan Inggris dan Sekutunya. Dengan tampilnya Mustafa Kemal sebagai pahlawan, mereka konon setidaknya memiliki peluang untuk ''menjajah'' Turki secara budaya untuk menggulingkan budaya Islam yang telah mengakar.

Hingga kemudian sultan terakhir dari kesultanan Usmani berhasil digulingkan Mustafa Kemal. ''Sang Pahlawan'' ini kemudian mengubah kesultanan menjadi Republik Turki pada 1923 dan ia menjadi presidennya yang pertama. Perjanjian Sevres pun diganti dengan perjanjian Lausanne (1923) yang menetapkan batas-batas Turki sekarang ini.

Dengan perubahan tersebut, Mustrafa Kemal memberlakukan hukum baru yang berasal dari Barat (Eropa) dan filosofi baru dalam pemerintahan. Proses ''pembaratan'' (westernisasi) Turki ini kemudian dipandang sebagai proses modernisasi dan reformasi yang tentunya mengacu pada konsep Barat.

Perombakan yang digelandang Mustafa Kemal pun meliputi seluruh spektrum kehidupan Turki. Sistem pendidikan Turki ditetapkan dengan mencontek model Barat.

Tak dipungkiri, untuk ilmu-ilmu sekular seperti sains, Barat memiliki keunggulan karena gaung Renaissance menyebar di Eropa. Sementara ketika Mustafa Kemal mengambil alih pemerintahan, hampir 90 persen rakyat Turki buta huruf (huruf Latin).

Pemakaian tutup kepala seperti sorban dan jilbab dilarang dengan dalih sebagai warisan kesultanan Usmani. Penutup kepala tersebut diganti dengan topi yang dinilai lebih sesuai dengan model Barat.

Dalam pemerintahan Usmani, banyak undang-undang negeri yang didasarkan pada Alquran. Mustafa Kemal langsung memerintahkan pembaruan sistem hukum tersebut dengan didasarkan pada hukum yang paling progresif dari Eropa. Penggunaan huruf Arab pun diganti dengan huruf latin dengan dalih untuk mendorong melek huruf dan membawa negara lebih dekat kepada Barat.

Dalam pemerintahan Usmani, rakyat tidak memiliki nama keluarga. Mustafa Kemal memerintahkan orang Turki mengambil nama keluarga. Ia sendiri diberi nama ''Ataturk'' yang berarti ''Bapak Orang Turki''.

Poligami dilarang dan wanita diberi hak dan kewajiban yang sama seperti pria. Mustafa Kemal juga mendorong berkembangnya kesenian Barat seperti teater, tarian, dan pesta-pesta dansa.

Kalender Hijriyah diganti dengan kalender Masehi. Sedangkan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha dihapuskan. Saat itu, suara adzan pun harus dikumandangkan dengan bahasa Turki. Bahkan umat Islam pun dilarang melaksanakan ibadah haji. Pendeknya, prinsip sekularisme -- terutama pengebirian nilai-nilai Islam -- diterapkan sepenuhnya di Turki. Dua buah masjid agung, Masjid Aya Sofiya dan Masjid Al-Fatih, diubah menjadi museum.

Selama masa pemerintahannya, kedudukan kaum Yahudi makin terangkat. Kaum Yahudi memiliki kekuasaan untuk mengatur tata pemerintahan, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan organisasi.

Mustafa Kemal memang lengket dengan kaum Yahudi di Turki. Ia bahkan tercatat sebagai salah satu anggota masonisme -- sebuah jaringan zionis Yahudi yang bekerja secara rahasia.

Lahir di Salonika (sebuah kota Yahudi di Turki) pada 1880, Mustafa Kemal meninggal antara lain karena penyakit sirosis yang diakibatkan oleh kegemarannya akan alkohol. Entah karena setia dengan prinsip sekular yang dipegangnya, menjelang ajal ia berpesan agar jenazahnya kelak tak usah dishalatkan. Mustafa Kemal meninggal pada Kamis, 10 November 1938, pukul 09.05 waktu setempat.

Turki bukan lagi penguasa dunia. Kekaisaran Usmani yang dulu pernah jaya, hanya tinggal kenangan. Negara-negara Uni Eropa saja bahkan tak kunjung menerima Turki sebagai anggota mereka. Sementara Mustafa Kemal Ataturk menjadi simbol ''modernisme'' dan bapak bangsa Turki. Wallahu a'lam.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000