Republika Online edisi:
31 May 2000

Catatan tentang Usulan Pencabutan Tap MPRS No XXV/1966

Moch Machfud, seorang pakar hukum dan politik dari Yogyakarta, dalam disertasinya -- yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Politik Hukum di Indonesia -- menyatakan bahwa hukum merupakan produk politik. Dengan kata lain, konfigurasi politik (sebagai independent variable), menurut Machfud, amat berperan dalam membentuk produk hukum yang akan dihasilkan (sebagai dependent variable), khususnya hukum publik yang mengatur hubungan kekuasaan (gezagverouding).

Dengan asumsi itu Machfud menyimpulkan bahwa pemerintahan yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang konservatif/ortodoks dan tidak akomodatif. Sebaliknya, pemerintahan yang demokratis akan menghasilkan berbagai produk hukum yang akomodatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Penulis setuju dengan pendapat Machfud tersebut, di samping -- tentunya -- nuansa politis yang, menurut penulis, juga memberi warna pada keberadaan suatu peraturan perundang-undangan. Penulis menduga, hal itu pula yang ingin ditunjukkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid ketika orang nomor satu di Indonesia itu mengusulkan pencabutan Tap MPRS No XXV/MPRS/1966. Gus Dur tampaknya ingin menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan dalam pemerintahan -- dari yang sebelumnya cenderung otoriter menjadi demokratis -- dengan hanya memberlakukan perundang-undangan yang responsif.

Bila sebatas hanya usul, lontaran Presiden tersebut sah-sah saja. Meskipun sebaiknya, sebagai presiden yang berasal dari partai yang memiliki fraksi di DPR, hal itu disampaikan melalui fraksinya saja, dalam hal ini Fraksi Kebangkitan Bangsa. Namun jika melihat bahwa pada hakikatnya seorang presiden adalah bagian dari rakyat juga, maka usulan Gus Dur yang disampaikan secara langsung tersebut juga dapat dipahami, mengingat rakyat juga berhak mengajukan usul kepada MPR, yang notabene merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.

Karenanya, tidak perlu ada 'ancaman politik' dari berbagai pihak terhadap Gus Dur atas usulannya tersebut. Hal itu baru akan menjadi masalah, jika ternyata Gus Dur bersikeras mendesak MPR agar mencabut Tap MPRS tersebut dalam Sidang Umum MPR tahunan pada bulan Agustus mendatang. Berkaitan dengan itulah, pada awalnya penulis berpendapat jika hanya sebatas mengulang kembali usulannya dan menyampaikan argumentasi seputar pencabutan Tap MPRS No XXV/MPRS/1966, rencana pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid pada hari Kebangkitan Nasional lalu, wajar adanya.

Namun, setelah mendengar argumentasi Presiden di TVRI pada 20 Mei lalu, timbul keraguan. Pernyataan Gus Dur yang mengatakan akan 'diam' dan tidak akan menjelaskan lagi idenya untuk mencabut Tap tersebut, menimbulkan sejumlah dugaan. Ada dua makna yang dapat disimpulkan dari pernyataan tersebut.

Pertama, Gus Dur ingin menyerahkan masalah pencabutan Tap MPRS sepenuhnya kepada MPR. Gus Dur tidak ingin terkesan 'ngotot' atau melakukan intervensi, jika terus-menerus membicarakan masalah Tap MPRS No XXV/MPRS/1966. Namun sebaliknya, yang kedua, bisa juga lewat rencana 'diam'-nya itu, Gus Dur 'ngambek' (seperti yang ditulis harian Media Indonesia dalam editorialnya edisi 22 Mei 2000) dan ingin memaksakan agar keinginannya dipenuhi. Apalagi, jika dikaitkan dengan 'ancaman' Gus Dur seterusnya, yang menyebutkan MPR bertanggung jawab (terhadap terhambatnya penegakan HAM) jika benar-benar menolak pencabutan Tap MPRS No XXV/MPRS/1966.

Bila dugaan pertama yang benar, maka Gus Dur telah membuktikan dirinya sebagai seorang demokrat sejati. Namun jika dugaan kedua yang benar, berarti Gus Dur telah menyalahi batas kewenangannya sebagai presiden, karena, adalah tugas MPR untuk menetapkan atau mencabut Tap MPR(S). Gus Dur bahkan dapat dituduh melakukan sakralissi lembaga kepresidenan, karena ingin agar semua ucapannya diikuti.

Apa pun makna pernyataan Gus Dur, kini bola memang tengah berada di tangan MPR. Gus Dur telah 'menendang'-nya, dan MPR -- sebelum memutuskan apakah akan memasukkan ke gawang ataukah akan mementalkannya ke luar lapangan -- harus mempertimbangkan baik buruknya usulan tersebut.

Pertama, MPR harus melihat apa yang mendasari lahirnya Tap MPRS XXV/MPRS/1966, yang antara lain berisi tentang larangan penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme itu.

Penulis berpendapat, Tap yang lahir 5 Juli 1966 tersebut bukan saja karena didasari atas terjadinya peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) (yang dikenal dengan peristiwa G-30-S/PKI pada 30 September 1965), melainkan juga karena ajaran tersebut tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD '45.

Ajaran Komunisme dan sebagainya tersebut tidak mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tentu saja hal itu bertentangan dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Di samping itu, lahirnya Tap ini adalah untuk mengembalikan penyimpangan ide Nasakom (NASionalis-Agama dan KOMunis), yang pada masa Demokrasi Terpimpin sempat dilontarkan oleh Presiden Soekarno.

Sebagaimana dikatakan Gus Dur, di dalam UUD '45, secara eksplisit memang tidak terdapat larangan terhadap ajaran komunis. Namun pernyataan Gus Dur tersebut tidak sepenuhnya tepat, karena secara implisit kita dapat menemukannya dalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu juga ada pernyataan dalam Pembukaan UUD '45 yang memuat sila pertama Pancasila.

Menurut Gus Dur, tujuan usulannya adalah untuk memberi 'keadilan' bagi eks-PKI dan keluarganya. Padahal hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan cara rehabilitasi, sebagai salah satu hak yang dimiliki presiden.

Rehabilitasi terhadap nama abik eks PKI dan keluarganya dapat dilakukan, karena mereka adalah orang-orang yang melakukan suatu perbuatan yang pada masa tertentu tidak dilarang (legal) di Indonesia. Jika kemudian terjadi perubahan iklim politik di mana perbuatan dan ajaran tersebut kemudian menjadi dilarang, maka eks-PKI dan keluarga yang menjadi korban perubahan politik itu -- dan belum pernah melakukan kejahatan -- harus dipulihkan nama baiknya. Dalam hal ini, langkah Gus Dur menghapus penelitian khusus (Litsus) sebenarnya sudah merupakan langkah awal yang baik.

Kedua, MPR pun harus menjajaki sejauh mana kesiapan masyarakat terhadap pencabutan Tap MPRS tersebut. Hal itu berkaitan dengan aspek eksistensi suatu peraturan -- baik peraturan dasar maupun peraturan perundang-undangan -- yakni untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi MPR harus menjajaki apakah pencabutan Tap MPRS tersebut memang dibutuhkan masyarakat, dan siap diterima sehingga tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Bila pemberlakuan atau pentidakberlakuan suatu peraturan tidak tepat waktunya, maka yang akan timbul adalah penolakan di sana-sini, sebagaimana yang pernah terjadi terhadap RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (yang hingga sekarang belum disahkan), UU Lalulintas dan Angkutan Jalan (UU No 14 Tahun 1992), yang terpaksa ditunda berlakunya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1 Tahun 1992, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Hal itu terjadi karena rencana pemberlakuannya belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat karena dianggap tidak dibutuhkan. Untuk itulah, MPR harus melihat indikator-indikator masyarakat tersebut.

Selanjutnya, MPR juga harus mempertimbangkan apakah mungkin -- sebagaimana dikemukakan Gus Dur -- pencabutan Tap MPRS tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemerdekaan bagi seseorang mempelajari paham komunisme (termasuk menyebarkannya), namun tetap melarang PKI untuk hidup kembali. Apakah mungkin hal tersebut diterapkan, tanpa menimbulkan pertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945?

Rasanya akan sulit untuk dipahami, jika suatu ajaran diperbolehkan untuk dipelajari dan disebarkan, tetapi pembentukan partainya dilarang. Bila Tap tersebut dicabut dan ajaran komunis diperbolehkan untuk dipelajari dan disebarkan, maka -- menurut penulis -- tak ada alasan untuk melarang pendirian kembali PKI. Larangan pendirian kembali PKI justru akan melanggar Pasal 28 UUD 1945, khususnya tentang kebebasan berserikat dan berkumpul.

Padahal, Pasal 3 Tap MPRS No XXV/1966 telah memungkinkan kalangan akademis di universitas untuk mempelajari paham Komunisme/Marxisme-Leninisme secara ilmiah. Jadi, bila hanya ingin memberi kesempatan agar paham tersebut dapat dikaji lebih luas secara ilmiah, kiranya apa yang tercantum dalam Pasal 3 Tap MPRS XXV/1966 sudah cukup, sehingga Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 tidak perlu dicabut.

Di sinilah kira perlu adanya kearifan MPR dalam mengambil sikap, dengan melihat dan mendengar masukan-masukan dari masyarakat. Namun apa pun keputusan yang kelak diambil MPR -- Tap MPRS tersebut dicabut atau tetap mempertahankan -- hendaknya hal itu dilandasi pertimbangan atas dasar rasa kebutuhan masyarakat, dan dengan mempertimbangkan kemungkinan perbenturannya dengan UUD '45.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000