Moch Machfud, seorang pakar hukum dan politik dari Yogyakarta,
dalam disertasinya -- yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul
Politik Hukum di Indonesia -- menyatakan bahwa hukum merupakan
produk politik. Dengan kata lain, konfigurasi politik (sebagai
independent variable), menurut Machfud, amat berperan dalam
membentuk produk hukum yang akan dihasilkan (sebagai dependent
variable), khususnya hukum publik yang mengatur hubungan kekuasaan
(gezagverouding).
Dengan asumsi itu Machfud menyimpulkan bahwa pemerintahan yang
otoriter akan menghasilkan produk hukum yang konservatif/ortodoks dan
tidak akomodatif. Sebaliknya, pemerintahan yang demokratis akan
menghasilkan berbagai produk hukum yang akomodatif dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat.
Penulis setuju dengan pendapat Machfud tersebut, di samping --
tentunya -- nuansa politis yang, menurut penulis, juga memberi warna
pada keberadaan suatu peraturan perundang-undangan. Penulis menduga, hal
itu pula yang ingin ditunjukkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid ketika
orang nomor satu di Indonesia itu mengusulkan pencabutan Tap MPRS No
XXV/MPRS/1966. Gus Dur tampaknya ingin menunjukkan bahwa telah terjadi
perubahan dalam pemerintahan -- dari yang sebelumnya cenderung otoriter
menjadi demokratis -- dengan hanya memberlakukan perundang-undangan yang
responsif.
Bila sebatas hanya usul, lontaran Presiden tersebut sah-sah saja.
Meskipun sebaiknya, sebagai presiden yang berasal dari partai yang
memiliki fraksi di DPR, hal itu disampaikan melalui fraksinya saja,
dalam hal ini Fraksi Kebangkitan Bangsa. Namun jika melihat bahwa pada
hakikatnya seorang presiden adalah bagian dari rakyat juga, maka usulan
Gus Dur yang disampaikan secara langsung tersebut juga dapat dipahami,
mengingat rakyat juga berhak mengajukan usul kepada MPR, yang notabene
merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
Karenanya, tidak perlu ada 'ancaman politik' dari berbagai pihak
terhadap Gus Dur atas usulannya tersebut. Hal itu baru akan menjadi
masalah, jika ternyata Gus Dur bersikeras mendesak MPR agar mencabut Tap
MPRS tersebut dalam Sidang Umum MPR tahunan pada bulan Agustus
mendatang. Berkaitan dengan itulah, pada awalnya penulis berpendapat
jika hanya sebatas mengulang kembali usulannya dan menyampaikan
argumentasi seputar pencabutan Tap MPRS No XXV/MPRS/1966, rencana
pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid pada hari Kebangkitan Nasional
lalu, wajar adanya.
Namun, setelah mendengar argumentasi Presiden di TVRI pada 20 Mei
lalu, timbul keraguan. Pernyataan Gus Dur yang mengatakan akan 'diam'
dan tidak akan menjelaskan lagi idenya untuk mencabut Tap tersebut,
menimbulkan sejumlah dugaan. Ada dua makna yang dapat disimpulkan dari
pernyataan tersebut.
Pertama, Gus Dur ingin menyerahkan masalah pencabutan Tap MPRS
sepenuhnya kepada MPR. Gus Dur tidak ingin terkesan 'ngotot' atau
melakukan intervensi, jika terus-menerus membicarakan masalah Tap MPRS
No XXV/MPRS/1966. Namun sebaliknya, yang kedua, bisa juga lewat
rencana 'diam'-nya itu, Gus Dur 'ngambek' (seperti yang ditulis harian
Media Indonesia dalam editorialnya edisi 22 Mei 2000) dan ingin
memaksakan agar keinginannya dipenuhi. Apalagi, jika dikaitkan dengan
'ancaman' Gus Dur seterusnya, yang menyebutkan MPR bertanggung jawab
(terhadap terhambatnya penegakan HAM) jika benar-benar menolak
pencabutan Tap MPRS No XXV/MPRS/1966.
Bila dugaan pertama yang benar, maka Gus Dur telah membuktikan
dirinya sebagai seorang demokrat sejati. Namun jika dugaan kedua yang
benar, berarti Gus Dur telah menyalahi batas kewenangannya sebagai
presiden, karena, adalah tugas MPR untuk menetapkan atau mencabut Tap
MPR(S). Gus Dur bahkan dapat dituduh melakukan sakralissi lembaga
kepresidenan, karena ingin agar semua ucapannya diikuti.
Apa pun makna pernyataan Gus Dur, kini bola memang tengah berada di
tangan MPR. Gus Dur telah 'menendang'-nya, dan MPR -- sebelum memutuskan
apakah akan memasukkan ke gawang ataukah akan mementalkannya ke luar
lapangan -- harus mempertimbangkan baik buruknya usulan tersebut.
Pertama, MPR harus melihat apa yang mendasari lahirnya Tap
MPRS XXV/MPRS/1966, yang antara lain berisi tentang larangan penyebaran
atau pengembangan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme itu.
Penulis berpendapat, Tap yang lahir 5 Juli 1966 tersebut bukan saja
karena didasari atas terjadinya peristiwa pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI) (yang dikenal dengan peristiwa G-30-S/PKI pada 30
September 1965), melainkan juga karena ajaran tersebut tidak sesuai
dengan Pancasila dan UUD '45.
Ajaran Komunisme dan sebagainya tersebut tidak mengakui adanya Tuhan
Yang Maha Esa. Tentu saja hal itu bertentangan dengan sila pertama
Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Di samping itu, lahirnya Tap ini
adalah untuk mengembalikan penyimpangan ide Nasakom (NASionalis-Agama
dan KOMunis), yang pada masa Demokrasi Terpimpin sempat dilontarkan oleh
Presiden Soekarno.
Sebagaimana dikatakan Gus Dur, di dalam UUD '45, secara eksplisit
memang tidak terdapat larangan terhadap ajaran komunis. Namun pernyataan
Gus Dur tersebut tidak sepenuhnya tepat, karena secara implisit kita
dapat menemukannya dalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu juga
ada pernyataan dalam Pembukaan UUD '45 yang memuat sila pertama
Pancasila.
Menurut Gus Dur, tujuan usulannya adalah untuk memberi 'keadilan'
bagi eks-PKI dan keluarganya. Padahal hal tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan cara rehabilitasi, sebagai salah satu hak yang
dimiliki presiden.
Rehabilitasi terhadap nama abik eks PKI dan keluarganya dapat
dilakukan, karena mereka adalah orang-orang yang melakukan suatu
perbuatan yang pada masa tertentu tidak dilarang (legal) di
Indonesia. Jika kemudian terjadi perubahan iklim politik di mana
perbuatan dan ajaran tersebut kemudian menjadi dilarang, maka eks-PKI
dan keluarga yang menjadi korban perubahan politik itu -- dan belum
pernah melakukan kejahatan -- harus dipulihkan nama baiknya. Dalam hal
ini, langkah Gus Dur menghapus penelitian khusus (Litsus) sebenarnya
sudah merupakan langkah awal yang baik.
Kedua, MPR pun harus menjajaki sejauh mana kesiapan masyarakat
terhadap pencabutan Tap MPRS tersebut. Hal itu berkaitan dengan aspek
eksistensi suatu peraturan -- baik peraturan dasar maupun
peraturan perundang-undangan -- yakni untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Jadi MPR harus menjajaki apakah pencabutan Tap MPRS tersebut
memang dibutuhkan masyarakat, dan siap diterima sehingga tidak akan
menimbulkan masalah di kemudian hari.
Bila pemberlakuan atau pentidakberlakuan suatu peraturan tidak tepat
waktunya, maka yang akan timbul adalah penolakan di sana-sini,
sebagaimana yang pernah terjadi terhadap RUU Penanggulangan Keadaan
Bahaya (yang hingga sekarang belum disahkan), UU Lalulintas dan Angkutan
Jalan (UU No 14 Tahun 1992), yang terpaksa ditunda berlakunya dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1 Tahun 1992,
dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Hal itu terjadi
karena rencana pemberlakuannya belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat
karena dianggap tidak dibutuhkan. Untuk itulah, MPR harus melihat
indikator-indikator masyarakat tersebut.
Selanjutnya, MPR juga harus mempertimbangkan apakah mungkin --
sebagaimana dikemukakan Gus Dur -- pencabutan Tap MPRS tersebut
dimaksudkan untuk memberikan kemerdekaan bagi seseorang mempelajari
paham komunisme (termasuk menyebarkannya), namun tetap melarang PKI
untuk hidup kembali. Apakah mungkin hal tersebut diterapkan, tanpa
menimbulkan pertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945?
Rasanya akan sulit untuk dipahami, jika suatu ajaran diperbolehkan
untuk dipelajari dan disebarkan, tetapi pembentukan partainya dilarang.
Bila Tap tersebut dicabut dan ajaran komunis diperbolehkan untuk
dipelajari dan disebarkan, maka -- menurut penulis -- tak ada alasan
untuk melarang pendirian kembali PKI. Larangan pendirian kembali PKI
justru akan melanggar Pasal 28 UUD 1945, khususnya tentang kebebasan
berserikat dan berkumpul.
Padahal, Pasal 3 Tap MPRS No XXV/1966 telah memungkinkan kalangan
akademis di universitas untuk mempelajari paham
Komunisme/Marxisme-Leninisme secara ilmiah. Jadi, bila hanya ingin
memberi kesempatan agar paham tersebut dapat dikaji lebih luas secara
ilmiah, kiranya apa yang tercantum dalam Pasal 3 Tap MPRS XXV/1966 sudah
cukup, sehingga Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 tidak perlu dicabut.
Di sinilah kira perlu adanya kearifan MPR dalam mengambil sikap,
dengan melihat dan mendengar masukan-masukan dari masyarakat. Namun apa
pun keputusan yang kelak diambil MPR -- Tap MPRS tersebut dicabut atau
tetap mempertahankan -- hendaknya hal itu dilandasi pertimbangan atas
dasar rasa kebutuhan masyarakat, dan dengan mempertimbangkan kemungkinan
perbenturannya dengan UUD '45.