Stadion Tenis Indoor Senayan Jakarta Ahad (28/5) pagi, ratusan
massa berkumpul dan duduk teratur. Yang pria duduk di sisi sebelah kiri.
Sedangkan wanita, hampir semuanya berkerudung, duduk di sisi sebelah
kanan.
Ceritanya, pagi hingga siang itu, berlangsung sebuah konferensi
internasional. Dari empat pembicara yang duduk di depan, seorang berasal
dari Australia (Ustadz Ismail Al Wahwah), seorang dari Malaysia (Ustadz
Dr Sharifuddin M Zain), dan dua orang lagi dari Indonesia (Ustadz KH dr
Muhammad Usman dan Ustadz KH M Al Khaththath).
Meskipun konferensi itu bertaraf internasional, tetapi tak terlihat
bendera negara peserta terpampang di sana. Tak ada merah putih, tak ada
bulan sabit dan bintang, juga tak ada warna biru berbintang. Yang ada
cuma bendera hitam bertuliskan kalimat La illaha illallah yang
dipampang di sana-sini.
Memang, tujuan konferensi itu bukan untuk menonjolkan negara dalam
satu perbedaan. Seperti mengkotak-kotak sesuatu yang dahulu sudah
dipersatukan dalam persamaan ideologi, menjadi terpisah-pisah dalam
garis kebangsaaan. Malah sebaliknya, konferensi itu ingin menonjolkan
satu kesamaan dan membuang jauh-jauh ide-ide nasionalisme.
Konferensi bertajuk Khilafah Islamiyah itu diselenggarakan
oleh sebuah partai politik berideologi Islam yang menamakan dirinya
Hizbut Tahrir. Tak aneh bila partai ini menggagas ide pembentukan
khilafah Islamiyah. Karena menurut salah seorang anggota partai ini,
Muhammad Al Khaththath, tujuan partai ini memang ke arah itu.
''Kami ingin melanjutkan kehidupan Islam dan memahami bahwasanya
problematika utama yang menimpa kaum Muslimin saat ini disebabkan tidak
diterapkannya hukum-hukum Islam di tengah masyarakat. Dan satu-satunya
wadah yang mampu menjamin penerapan sistem dan hukum-hukum Islam secara
total di tengah-tengah masyarakaat hanyalah khilafah al
Islamiyah,'' ungkapnya.
Berbicara soal keinginan mendirikan satu kekhalifahan, Hizbut Tahrir
yang juga banyak terdapat di beberapa negara Islam, bukan yang pertama
dan satu-satunya yang bercita-cita mendirikan kekhalifahan Islam. Sejak
lama keinginan seperti itu sudah muncul. Seperti yang pernah digagas
oleh tokoh pembaharu Islam dari Mesir, Hasan Al Banna, dengan
kelompoknya Ikhwanul Muslimin. Sayangnya, sebelum cita-cita ini
kesampaian, Al Banna keburu meninggal dunia.
Terlepas dari siapa yang menggagasnya, semua orang Islam pasti
mendambakan suatu pemerintahan global yang benar-benar berpegang teguh
pada ketentuan Islam. Terlebih melihat kondisi umat Islam yang sekarang
ini tercabik-cabik setelah runtuhnya kekhalifahan Islam terakhir tahun
1924.
Siapa yang menduga, wilayah Islam yang dulu terbentang sangat luas
meliputi seluruh jazirah Arab, Syam, Turki, Semenanjung Balkan, Asia
Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika bagian utara, bahkan sampai
ke Eropa bagian barat, bisa terpecah-pecah menjadi lebih dari 50
negara-negara kecil. Ironisnya, antara yang satu dengan yang lain, dalam
batas-batas tertentu sudah tak ada kepedulian. Hubungan kebersamaan
akidah diganti dengan hubungan bertetangga. Masing-masing mereka
dibentengi oleh perasaan nasionalisme.
Kata nasionalisme inilah yang dituding oleh KH dr Muhammad Usman,
salah satu pembicara dalam konferensi tersebut sebagai biang pecahnya
umat Islam. ''Persoalan tanah Palestina yang hingga kini masih diduduki
dan dikuasai oleh Yahudi merupakan bukti nyata akibat nasionalisme,''
ungkapnya.
Bercerita soal Palestina dan Yahudi, yang muncul memang kisah duka
tentang sebuah bangsa yang disisihkan. Meskipun sudah berpuluh-puluh
tahun tanah Palestina dirampas dan penduduknya diusir bahkan dibantai
oleh bangsa Zionis ini, namun hingga kini belum ada tanda-tanda
penyelesaian. Kaum Muslimin yang berjumlah 1,4 miliar seakan tak berdaya
berhadapan dengan bangsa Yahudi yang jumlahnya cuma segelintir.
Malah, negara-negara Muslim atau negara yang penduduknya didominasi
kaum Muslim saling berlomba-lomba memberikan keabsahan kepada Israel.
Mereka membuka hubungan diplomatik. Bahkan tak merasa risih bekerjasama
dengan negara yang telah membantai saudaranya sendiri itu.
Ini cuma satu contoh. Contoh lain, bagaimana bangsa Chechnya dan
Dagestan harus berjuang sendiri dengan senjata seadanya menghadapi
gempuran pesawat-pesawat tempur canggih tentara Rusia. Demikian pula di
Bosnia dan Kosovo, di Moro, China, Vietnam, Kashmir, Ambon, dan
sebagainya.
Lebih dari itu, sambung Usman, nasionalisme bukan hanya membuat kaum
Muslimin bersikap individualistik. Tetapi juga rentan memunculkan
konflik antara sesama umat Islam sendiri. Ini karena benturan
kepentingan. Lihatlah perseteruan antara Suriah dengan Turki tentang
daerah Liwaul Iskandariah, atau perang antara Irak dan Iran yang
memperebutkan Pulau Abi Musa, Tambul Besar, dan Pulau Ton.
Persoalan lain, negara-negara berpenduduk Muslim umumnya tergantung
pada negara-negara berpenduduk non-Muslim. Pemerintahan negara
berpenduduk Muslim tak punya kedaulatan penuh. Untuk berbagai urusan
penting, mereka menyerahkan keputusannya kepada sang 'majikan'. Lihatlah
Indonesia. Sebagian besar kebijakan ekonomi dan juga politik, senantiasa
membebek dengan kepentingan IMF.
Dalam hal akidah dan pemikiran, banyak kaum Muslimin di berbagai
belahan dunia yang terpesona dengan ide-ide kufur. Belum lagi pembenaran
kepada sesuatu yang menjurus ke arah kemaksiatan, seperti pergaulan
bebas atau tontonan-tontonan vulgar. Demikian juga dalam hal ilmu
pengetahuan dan teknologi, umat Islam masih sangat tertinggal. Semua itu
menambah daftar panjang problematika yang dihadapi umat Islam saat ini.
Sehubungan dengan keinginan mendirikan Khilafah al Islamiyah,
tentu banyak pertanyaan yang kemudian muncul. Seperti juga yang
terlontar dalam konferensi tersebut. Misalnya, bila nanti berdiri
kira-kira siapa yang paling tepat untuk dibaiat menjadi khalifah? Negara
mana yang paling tepat sebagai pusat kekhalifahan? Bagaimana merangkul
demikian banyak golongan dalam Islam?
Selalu kandas
Tak sedikit pula yang merasa pesimis dengan keinginan ini. Alasan
mereka, sudah sedemikian sering keinginan seperti ini terlontar tetapi
selalu saja kandas di tengah jalan. Selain itu, banyak negara yang
mengklaim dirinya sebagai negara Islam toh tetap saja tidak mampu
membangun dirinya sendiri. Ada juga yang berpendapat kondisi riil umat
Islam saat ini sudah demikian kompleks, sehingga akan banyak
persinggungan kepentingan antara negara dan khilafah.
Setidaknya ada dua pendekatan untuk menjelaskan mengapa kekhalifahan
tersebut perlu dibentuk. Pertama, hukum syara'. Kedua, harapan bahwa
dengan khilafah ini segala problematika umat Islam bisa terpecahkan.
Menurut Ismail Al Wahwah, ulama Islam dari Australia, mendirikan
khilafah itu wajib hukumnya. Ia mengambil dalil beberapa ayat Alquran
yang menginginkan umat Islam sebagai satu kesatuan dalam negara yang
satu, di bawah kepemimpinan imam yang satu, yang memerintah dengan
peraturan yang satu yang berasal dari syariat Allah SWT.
Seperti yang terungkap dalam QS Al-Hujuraat: 10 yang menyatakan, umat
Islam satu dengan yang lain sesungguhnya adalah saudara. Kemudian dalam
QS Ali Imran: 103 disebut juga bahwa umat Islam seluruhnya harus
berpegang pada agama Allah dan tidak boleh bercerai berai.
Selanjutnya segala perkara harus diputuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, seperti yang dituntun dalam QS Al-Maa'idah 44, 45, 47.
Karena Islam adalah sebuah agama yang dari akidahnya terlahir peraturan
kehidupan yang sempurna. Yang mengatur urusan-urusan individu - dalam
aspek akidah, ibadah, akhlak, dan muamalat - dan mengatur urusan
pemerintahan dalam aspek pemerintahan, ekonomi, sosial, jihad, hubungan
internasional, 'uqubat, dan lain-lain.
Pendekatan kedua tampaknya tak perlu diragukan. Setidaknya ada
harapan bahwa problematika umat Islam sedunia akan bisa tertanggulangi
dengan adanya kekhalifahan yang menjamin terlaksananya syariat Islam
secara total.
Hanya saja prosesnya butuh waktu. Jelas tak mungkin terbentuk dalam
waktu dekat. Tak cukup juga dengan berkoar-koar menyatakan kekhalifahan
itu perlu, tapi tak mengetahui bagaimana tahap demi tahap mewujudkannya.
Barangkali harus dimulai dari sebuah keluarga. Kumpulan-kumpulan
keluarga Muslim yang sepaham ini akan melebar hingga memegang kendali
sebuah negara. Barulah kumpulan dari negara ini akan sepaham untuk
membentuk satu kekhalifahan.
Tak boleh pesimis memang. Meskipun kondisi riil saat ini sangat tidak
menguntungkan. Lihat saja, meskipun pemeluk agama Islam sudah terbilang
banyak, tetapi di antara mereka masih bersikukuh dengan berbagai
pemikiran dan perasaan. Ada yang Islami, ada yang kapitalis, ada yang
sosialistik, ada yang bertolak dari nasionalisme dan patriotisme, dan
tak sedikit juga yang bertolak dari semangat kesukuan atau fanatisme
madzhab.
Sementara negara-negara yang katanya Islam, malah semuanya masih
memberlakukan perundang-undangan dan hukum kufur. Hanya sebagian saja
hukum-hukum Islam yang diambil. Seperti hukum nikah, talak, rujuk, cara
memberi nafkah, waris, perwalian, atau sengketa tentang anak.
Selebihnya, entah hukum dari mana diambil.
Singkatnya, cita-cita mewujudkan sebuah khilafah Islamiyah itu perlu
proses dan tahapan yang jelas agar tidak kandas di tengah jalan.
''Mendirikan sebuah khilafah itu tidak dengan cara mendadak. Segala
sesuatunya harus matang,'' ujar dosen Pascasarjana IAIN Bandung, Dr Daud
Rasyid MA.
Menurutnya, melihat kondisi umat Islam saat ini, belum ada indikasi
umat sudah siap membentuk khilafah. ''Masih terlalu jauh untuk berpikir
seperti itu. Pemahaman umat tentang Islam itu sendiri masih rendah.
Semua ini perlu proses yang tahapan-tahapannya jelas dan harus dilalui
satu persatu. Tidak bisa dengan meloncat-loncat.''
Kendati begitu ia membenarkan dengan adanya kekhilafahan, Islam akan
menjadi kuat. Tetapi membentuk khilafah itu bukan hal gampang. Karena
itu menurut Daud, yang perlu dilakukan saat ini adalah menumbuhkan
kesadaran umat Islam tentang pentingnya khilafah. ''Ini barangkali bisa
dimulai dari keluarga, lalu kelompok. Lalu ke level yang lebih tinggi
lagi,'' paparnya. Jadi, perlu kesabaran umat untuk membangun khilafah.