Republika Online edisi:
31 May 2000

Presiden, Ketua MPR, dan Tafsir UUD '45

Harian Umum Republika edisi Sabtu 27 Mei 2000 memuat dua artikel yang patut mendapat perhatian kita semua, apalagi di saat terbukanya kemungkinan untuk mengamandemen, bahkan -- menurut Prof Harun Al Rasjid -- 'memperbaharu Konstitusi', UUD '45. Kedua tulisan itu ialah UUD '45 tak Mengenal Hak Prerogatif oleh Bagir Manan, gurubesar bidang Hukum Tatanegara Universitas Padjadjaran dan Mengakhiri Politik Personifikasi dan Stigmatisasi, oleh Adhi M Massardi, seorang pengamat dan intelektual yang cerdas.

Kedua tulisan tersebut amat menarik jika dikaitkan dengan wacana yang sedang berlangsung, yaitu tentang 'Pencabutan TAP MPR No XXV/1966' dan perbedaan pendapat antara Presiden Abdurrahman Wahid dan Ketua MPR Amien Rais tentang usul pencabutan TAP MPRS itu. Kedua tulisan yang disebut di atas maupun perbedaan di antara pimpinan tertinggi badan eksekutif dan badan legislatif itu, seharusnya ditempatkan pada situasi dan proses transisi 'menuju sistem politik dan pemerintahan berdasar prinsip-prinsip demokrasi.' Tetapi juga harus dikaitkan dengan posisi dan tafsir UUD '45 yang sampai kini tetap menjadi pegangan dasar untuk mengatur kehidupan bersama kita di dalam kehidupan berbangsa-negara.

Dalam hubungan dengan UUD '45 itu, patut diberi catatan awal bahwa sebenarnya UUD '45 itu sifatnya sementara dan belum pernah ditetapkan sebagai UUD oleh MPRS maupun MPR sesuai ketentuan konstitusi. Keberlakuannya di dalam 'situasi darurat' dan juga oleh dua cara darurat, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di dalam situasi dan dengan landasan aturan kedaruratan itulah UUD '45 ditafsir dan digunakan untuk mengatur kehidupan bersama kita seagai bangsa-negara.

Dari PPKI sampai Dekrit Presiden

Perbedaan pendapat antara Presiden (pimpinan pemerintahan, eksekutif) Abdurrahman Wahid dengan Ketua MPR Amien Rais -- yang profesor ilmu politik itu -- sebenarnya berkaitan dengan persoalan pemahaman dan tafsir kita terhadap Pembukaan dan Batang Tubuh UUD '45 serta Pancasila. Sebagaimana yang kita ketahui dari keterangan kedua tokoh utama dan pejabat tertinggi negara itu, argumen mereka adalah justru dalam rangka 'menjalankan' UUD '45 dan dasar negara Pancasila.

Presiden Abdurrahman Wahid mengusulkan pencabutan TAP MPRS No XXV/1966 itu justru di dalam menjalankan UUD '45 dan menghormati dan mengakhiri pelanggaran HAM. Sebaliknya, Ketua MPR Amien Rais menolak pencabutan TAP itu justru juga karena menurutnya dalam rangka menjalankan UUD '45 dan Pancasila dalam kaitannya dengan Ketuhanan Yang Mahaesa dan Agama.

Dalam kaitan dengan UUD '45 itulah sebenarnya kita menghadapi kesulitan yang harus diselesaikan dengan pikiran jernih. Sebab posisi kesementaraan UUD '45, sejak awal seharusnya memancing kita agar jujur pada diri sebagai bangsa-negara dan berpikir jernih. Ambil sebagai contoh, keberlakuan UUD '45 yang ditetapkan sebagai UUD negara dalam situasi darurat, dapatkah disebut sebagai konstitusional? Mungkin kedaruratan pemberlakuan dalam periode pertama, 18 Agustus '45-1949, dapat kita terima. Karena situasi darurat yang dilahirkan oleh perang mempertahankan kemerdekaan pada waktu itu, tidak memungkinkan kita untuk segera melengkapi diri secara lebih baik.

Tetapi, bagaimana dengan keberlakuan kedaruratan UUD '45 itu pada periode kedua, yaitu yang dilakukan dengan Dekrit Presiden? Apakah pemberlakuan darurat itu dapat 'dianggap dan diterima' sebagai konstitusional? Sehubungan dengan itu, karena adanya situasi darurat dan 'demi menyelamatkan negara proklamasi', Dekrit Presiden itu sah pelaksanaannya? Bahkan Yamin di dalam bukunya Pembahasan Undang Undang Dasar Republik Indonesia secara tegas menyatakan bahwa ''MPR-Sementara tidak mempunyai wewenang apa-apa mengenai menetapkan atau mengubah UUD '45''. Walau begitu, tetap saja dapat dipersoal-pertanyakan, apakah dengan tidak pernah ditetapkan oleh lembaga negara yang berhak-konstitusional, UUD '45 dapat digunakan untuk mengatur kehidupan bersama kita di dalam negara Republik Indonesia?

Presiden versus Ketua MPR dan Politik Stigmatisasi

Terjadinya perbedaan pendapat antara Presiden dan Ketua MPR itu sebenarnya berkaitan dengan dua masalah pokok yang dikemukakan oleh Bagir Manan dan Adhi M Massardi, yaitu tentang ketiadaan hak prerogatif di dalam UUD '45 dan politik personifikasi dan stigmatisasi.

Melihat persoalan-persoalan tersebut di atas, kita akan sampai pada bagaimana kita memberi tafsir pada makna Pancasila, HAM berdasar bunyi-ketentuan di dalam UUD '45 itu. Kalau misalnya kita menerima pendapat Bagir Manan yang secara jelas mengatakan bahwa UUD '45 tak mengenal hak prerogatif -- yang selama ini banyak dikaitkan dengan hak keputusan dalam arti hak penuh Presiden -- maka apa yang dimaksud dengan ketentuan pada pasal 17, khususnya ketentuan ayat 1, presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara dan ayat 2, Menteri-menteri itu ''diangkat dan diberhentikan oleh Presiden''. Apakah ketentuan yang selama ini cenderung dijadikan sebagai alasan untuk memberi hak prorogatif kepada presiden, merupakan tafsir yang salah?

Sejalan dengan itu, maka tafsiran kita terhadap ketentuan pada pasal 17 itu dan hak prerogatif itu, tentu tidak dapat dipisahkan dengan politik personifikasi dan kaitannya dengan politik stigmatisasi oleh Presiden dan pendukung-pendukungnya.

Selanjutnya, akan halnya dengan pandangan berbeda antara Presiden dan Ketua MPR tentang pencabutan Ketetapan MPRS No XXV/1966 itu, saya kira ada hal yang harus ditafsirkan, 'khususnya yang berkaitan dengan kata-kata di dalam alinea ke-IV Pembukaan UUD '45, yaitu ''... dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, ...'' dan juga ketentuan pada Bab XI tentang Agama, pasal 29, ayat 1, ''Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa.'' Dengan ketentuan tentang agama dan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti itu, maka persoalannya ialah bagaimana tafsir kita terhadap ketentuan itu dalam kaitannya dengan Marxisme-Leninisme/Komunisme. Maksud saya, apakah kita sependapat bahwa paham Marxisme-Leninisme/Komunisme mempunyai ajaran yang bertentangan dengan agama dan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena anggapannya bahwa 'Agama adalah Candu Rakyat'?

Disadari bahwa keterangan-keterangan di atas mungkin akan menjadi pendapat yang mengandung bibit polemis. Tetapi harus disadari juga bahwa hal yang amat melemahkan posisi UUD '45 ialah karena sejak awal berlakunya -- baik pada periode pertama, apalagi pada periode keberlakuannya yang kedua -- ketentuannya tidak pernah dijalankan sebagaimana seharusnya. Hal itu terjadi karena tampak bahwa ketentuan itu memang (dapat bersifat) multitafsir. Dan sebagai bukti dari keterangan yang terakhir itu ialah perbedaan pendapat antara kedua pemimpin lembaga-lembaga kenegaraan kita dan tulisan Bagir Manan dan Adhi M Massardi itu.

Mengakhiri Situasi Transisi

Sepanjang perjalanan kita sebagai bangsa-negara yang sudah 55 tahun merdeka, bahkan sampai sekarang kita selalu berada di dalam situasi transisi-darurat. Karena situasi 'darurat yang membahayakan keberadaan negara proklamasi', maka Presiden Soekarno kemudian 'memaksakan' diberlakukannya kembali UUD '45 untuk menjadi dasar-pegangan tatanan politik-pemerintahan Demokrasi Terpimpin.

Situasi transisi ini pun terus dikembangkan oleh Pemerintahan Soeharto-Orde Baru dalam cara yang lain dan atas nama stabilitas untuk pelaksanaan pembangunan. Di tengah penciptaan stabilitas itu, di sana sini 'diciptakan' letupan-letuapn di tempat-tempat tertentu dan itu digambarkan sebagai 'adanya gangguan' stabilitas. Dengan itu tercipta pulalah situasi transisi dan ada kecenderungan berkembang menjadi tetap, permanen. Dalam penglihatan saya, selama pemerintahan Soeharto ada gejala faktual untuk menciptakan situasi transisi permanen! Celakanya, penciptaan transisi permanen itu dapat dilakukan dengan menafsirkan UUD '45. Karena itu, jika kita berkehendak membangun sistem politik dan pemerintah yang demokratis, maka kita seharusnya mengakhiri situasi transisi permanen itu, dan juga memberdayakan konstitusi kita dengan tafsir yang benar!

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000