Harian Umum Republika edisi Sabtu 27 Mei 2000 memuat dua
artikel yang patut mendapat perhatian kita semua, apalagi di saat
terbukanya kemungkinan untuk mengamandemen, bahkan -- menurut Prof Harun
Al Rasjid -- 'memperbaharu Konstitusi', UUD '45. Kedua tulisan itu ialah
UUD '45 tak Mengenal Hak Prerogatif oleh Bagir Manan, gurubesar
bidang Hukum Tatanegara Universitas Padjadjaran dan Mengakhiri
Politik Personifikasi dan Stigmatisasi, oleh Adhi M Massardi,
seorang pengamat dan intelektual yang cerdas.
Kedua tulisan tersebut amat menarik jika dikaitkan dengan wacana yang
sedang berlangsung, yaitu tentang 'Pencabutan TAP MPR No XXV/1966' dan
perbedaan pendapat antara Presiden Abdurrahman Wahid dan Ketua MPR Amien
Rais tentang usul pencabutan TAP MPRS itu. Kedua tulisan yang disebut di
atas maupun perbedaan di antara pimpinan tertinggi badan eksekutif dan
badan legislatif itu, seharusnya ditempatkan pada situasi dan proses
transisi 'menuju sistem politik dan pemerintahan berdasar
prinsip-prinsip demokrasi.' Tetapi juga harus dikaitkan dengan posisi
dan tafsir UUD '45 yang sampai kini tetap menjadi pegangan dasar untuk
mengatur kehidupan bersama kita di dalam kehidupan berbangsa-negara.
Dalam hubungan dengan UUD '45 itu, patut diberi catatan awal bahwa
sebenarnya UUD '45 itu sifatnya sementara dan belum pernah ditetapkan
sebagai UUD oleh MPRS maupun MPR sesuai ketentuan konstitusi.
Keberlakuannya di dalam 'situasi darurat' dan juga oleh dua cara
darurat, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Di dalam situasi dan dengan landasan aturan kedaruratan itulah UUD
'45 ditafsir dan digunakan untuk mengatur kehidupan bersama kita seagai
bangsa-negara.
Dari PPKI sampai Dekrit Presiden
Perbedaan pendapat antara Presiden (pimpinan pemerintahan, eksekutif)
Abdurrahman Wahid dengan Ketua MPR Amien Rais -- yang profesor ilmu
politik itu -- sebenarnya berkaitan dengan persoalan pemahaman dan
tafsir kita terhadap Pembukaan dan Batang Tubuh UUD '45 serta Pancasila.
Sebagaimana yang kita ketahui dari keterangan kedua tokoh utama dan
pejabat tertinggi negara itu, argumen mereka adalah justru dalam rangka
'menjalankan' UUD '45 dan dasar negara Pancasila.
Presiden Abdurrahman Wahid mengusulkan pencabutan TAP MPRS No
XXV/1966 itu justru di dalam menjalankan UUD '45 dan menghormati dan
mengakhiri pelanggaran HAM. Sebaliknya, Ketua MPR Amien Rais menolak
pencabutan TAP itu justru juga karena menurutnya dalam rangka
menjalankan UUD '45 dan Pancasila dalam kaitannya dengan Ketuhanan Yang
Mahaesa dan Agama.
Dalam kaitan dengan UUD '45 itulah sebenarnya kita menghadapi
kesulitan yang harus diselesaikan dengan pikiran jernih. Sebab posisi
kesementaraan UUD '45, sejak awal seharusnya memancing kita agar jujur
pada diri sebagai bangsa-negara dan berpikir jernih. Ambil sebagai
contoh, keberlakuan UUD '45 yang ditetapkan sebagai UUD negara dalam
situasi darurat, dapatkah disebut sebagai konstitusional? Mungkin
kedaruratan pemberlakuan dalam periode pertama, 18 Agustus '45-1949,
dapat kita terima. Karena situasi darurat yang dilahirkan oleh perang
mempertahankan kemerdekaan pada waktu itu, tidak memungkinkan kita untuk
segera melengkapi diri secara lebih baik.
Tetapi, bagaimana dengan keberlakuan kedaruratan UUD '45 itu pada
periode kedua, yaitu yang dilakukan dengan Dekrit Presiden? Apakah
pemberlakuan darurat itu dapat 'dianggap dan diterima' sebagai
konstitusional? Sehubungan dengan itu, karena adanya situasi darurat dan
'demi menyelamatkan negara proklamasi', Dekrit Presiden itu sah
pelaksanaannya? Bahkan Yamin di dalam bukunya Pembahasan Undang
Undang Dasar Republik Indonesia secara tegas menyatakan bahwa
''MPR-Sementara tidak mempunyai wewenang apa-apa mengenai menetapkan
atau mengubah UUD '45''. Walau begitu, tetap saja dapat
dipersoal-pertanyakan, apakah dengan tidak pernah ditetapkan oleh
lembaga negara yang berhak-konstitusional, UUD '45 dapat digunakan
untuk mengatur kehidupan bersama kita di dalam negara Republik
Indonesia?
Presiden versus Ketua MPR dan Politik Stigmatisasi
Terjadinya perbedaan pendapat antara Presiden dan Ketua MPR itu
sebenarnya berkaitan dengan dua masalah pokok yang dikemukakan oleh
Bagir Manan dan Adhi M Massardi, yaitu tentang ketiadaan hak prerogatif
di dalam UUD '45 dan politik personifikasi dan stigmatisasi.
Melihat persoalan-persoalan tersebut di atas, kita akan sampai pada
bagaimana kita memberi tafsir pada makna Pancasila, HAM berdasar
bunyi-ketentuan di dalam UUD '45 itu. Kalau misalnya kita menerima
pendapat Bagir Manan yang secara jelas mengatakan bahwa UUD '45 tak
mengenal hak prerogatif -- yang selama ini banyak dikaitkan dengan hak
keputusan dalam arti hak penuh Presiden -- maka apa yang dimaksud dengan
ketentuan pada pasal 17, khususnya ketentuan ayat 1, presiden dibantu
oleh Menteri-menteri Negara dan ayat 2, Menteri-menteri itu ''diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden''. Apakah ketentuan yang selama ini
cenderung dijadikan sebagai alasan untuk memberi hak prorogatif kepada
presiden, merupakan tafsir yang salah?
Sejalan dengan itu, maka tafsiran kita terhadap ketentuan pada pasal
17 itu dan hak prerogatif itu, tentu tidak dapat dipisahkan dengan
politik personifikasi dan kaitannya dengan politik stigmatisasi oleh
Presiden dan pendukung-pendukungnya.
Selanjutnya, akan halnya dengan pandangan berbeda antara Presiden dan
Ketua MPR tentang pencabutan Ketetapan MPRS No XXV/1966 itu, saya kira
ada hal yang harus ditafsirkan, 'khususnya yang berkaitan dengan
kata-kata di dalam alinea ke-IV Pembukaan UUD '45, yaitu ''... dengan
berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, ...'' dan juga ketentuan pada
Bab XI tentang Agama, pasal 29, ayat 1, ''Negara berdasar atas
ke-Tuhanan Yang Maha Esa.'' Dengan ketentuan tentang agama dan Ketuhanan
Yang Maha Esa seperti itu, maka persoalannya ialah bagaimana tafsir kita
terhadap ketentuan itu dalam kaitannya dengan
Marxisme-Leninisme/Komunisme. Maksud saya, apakah kita sependapat bahwa
paham Marxisme-Leninisme/Komunisme mempunyai ajaran yang bertentangan
dengan agama dan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena anggapannya bahwa
'Agama adalah Candu Rakyat'?
Disadari bahwa keterangan-keterangan di atas mungkin akan menjadi
pendapat yang mengandung bibit polemis. Tetapi harus disadari juga bahwa
hal yang amat melemahkan posisi UUD '45 ialah karena sejak awal
berlakunya -- baik pada periode pertama, apalagi pada periode
keberlakuannya yang kedua -- ketentuannya tidak pernah dijalankan
sebagaimana seharusnya. Hal itu terjadi karena tampak bahwa ketentuan
itu memang (dapat bersifat) multitafsir. Dan sebagai bukti dari
keterangan yang terakhir itu ialah perbedaan pendapat antara kedua
pemimpin lembaga-lembaga kenegaraan kita dan tulisan Bagir Manan dan
Adhi M Massardi itu.
Mengakhiri Situasi Transisi
Sepanjang perjalanan kita sebagai bangsa-negara yang sudah 55 tahun
merdeka, bahkan sampai sekarang kita selalu berada di dalam situasi
transisi-darurat. Karena situasi 'darurat yang membahayakan keberadaan
negara proklamasi', maka Presiden Soekarno kemudian 'memaksakan'
diberlakukannya kembali UUD '45 untuk menjadi dasar-pegangan tatanan
politik-pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
Situasi transisi ini pun terus dikembangkan oleh Pemerintahan
Soeharto-Orde Baru dalam cara yang lain dan atas nama stabilitas untuk
pelaksanaan pembangunan. Di tengah penciptaan stabilitas itu, di sana
sini 'diciptakan' letupan-letuapn di tempat-tempat tertentu dan itu
digambarkan sebagai 'adanya gangguan' stabilitas. Dengan itu tercipta
pulalah situasi transisi dan ada kecenderungan berkembang menjadi tetap,
permanen. Dalam penglihatan saya, selama pemerintahan Soeharto
ada gejala faktual untuk menciptakan situasi transisi permanen!
Celakanya, penciptaan transisi permanen itu dapat dilakukan dengan
menafsirkan UUD '45. Karena itu, jika kita berkehendak membangun sistem
politik dan pemerintah yang demokratis, maka kita seharusnya mengakhiri
situasi transisi permanen itu, dan juga memberdayakan konstitusi kita
dengan tafsir yang benar!