JAKARTA -- Jenderal (Pur) Benny Moerdani dan Jenderal (Pur) Try
Sutrisno -- dua tokoh peting ABRI ketika tragedi berdarah Tanjung Priok
meletus -- kemarin memenuhi panggilan Komisi Penyelidikan dan
Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T). Kedatangan mereka
disambut teriakan histeris korban peristiwa 12 September 1984. Kepada
komisi, keduanya mengaku tidak memberikan instruksi penembakan.
Sejak terbentuknya KP3T, kedatangan Benny dan Try sudah lama
ditunggu-tunggu korban dan keluarga korban tragedi berdarah tersebut.
Mereka bahkan menginap di kantor Komnas HAM, tempat pemeriksaan, dengan
menggelar tenda. Puluhan wartawan juga menunggu tokoh penting itu sejak
pagi di tengah kawalan ketat satu kompi pasukan Brimob.
Leonardus Benny Moerdani, Panglima ABRI saat peristiwa itu meletus,
datang setelah Try Sutrisno, Pangdam Jaya, ketika itu. Kedatangan mereka
disambut teriakan histeris para korban Priok. Saat Benny datang, salah
seorang korban Priok, Irta Sumirta, merangsek mendekatinya. Tepat di
depan Benny, Irta dengan serta-merta berdiri memberi hormat dan berkata
lantang, ''Selamat datang jenderal pembunuh!'' Melihat peristiwa itu
Benny, yang mengenakan stelan safari abu-abu, terdiam dan menatap tajam
Irta. Keduanya beradu pandang dengan sorot mata tajam. Tak lama
kemudian, Benny yang berjalan dengan langkah diseret, dibawa pasukan
Brimob ke sebuah ruangan di lantai II kantor Komnas HAM. Di sini,
seluruh anggota KP3T telah menunggunya.
Pemeriksaan berlangsung mulai pukul 14.15 WIB hingga pukul 15.10 WIB.
Berbeda dengan Try, Benny tak memberikan keterangan sepatah kata pun
kepada wartawan. ''Akibat sakit, Pak Benny memang mengalami gangguan
bicara,'' kata Albert Hasibuan, salah seorang anggota KP3T.
Dalam pemeriksaan, menurut Albert, Benny mengaku tidak memberikan
instruksi dan petunjuk penanganan secara teknis dalam kasus Priok. Benny
mengaku mendapat laporan tentang peristiwa tersebut setengah jam setelah
kejadian. Setelah itu, dia dijemput oleh Try (Pangdam Jaya) untuk
kemudian bersama-sama ke Kodim maupun ke Polres Jakarta Utara di Tanjung
Priok. ''Jadi mengenai peristiwanya sendiri dia mendapatkan laporan dan
katanya dia tidak memberikan instruksi secara teknis,'' katanya.
Ketika wartawan bertanya mengenai pertemuan Benny dan Try di Kantor
Intel Strategi di Tebet, Jakarta, Albert mengatakan bahwa setelah dari
rumah sakit, Benny bertemu Try sebentar di kantor badan intelijen ABRI
itu, dan kemudian memberikan petunjuk-petunjuk umum kepada Try. Albert
juga menjelaskan mantan Pangab itu tidak tahu siapa yang memberi
perintah penembakan dalam peristiwa itu.
Dalam pemeriksaan, lanjut Albert, KP3T menyampaikan tiga pertanyaan
lisan kepada Benny. Pertanyaan itu antara lain, apakah Benny memberikan
keterangan tentang peristiwa itu setelah meletusnya peristiwa kepada
masyarakat serta instansi-instansi lain.
Dalam jawabannya, Beny mengatakan bahwa dia telah memberikan
keterangan itu kepada kalangan pesantren antara lain di Situbondo,
Semarang, serta di Sumatera, dan juga kepada aparat pemerintah antara
lain kepada Menteri Agama serta Menko Ekuin.
Soal jumlah korban, Benny menyatakan sekitar 18 orang tewas. Berbeda
dengan Benny, Try Sutrisno kepada pers usai pemeriksaan menyatakan
jumlah korban meninggal 23 orang, 14 di antaranya teridentifikasi
termasuk sembilan warga, sisanya tidak teridentifikasi dan 60 orang
luka-luka. Menurut Try, data tersebut didapatkannya dari anak buahnya,
walaupun informasi jumlah korban dari pemerintah berubah-ubah, namun
yang pasti 23 orang.
Albert mengakui bahwa mengenai jumlah korban itu masih simpang-siur.
''Masih bertentangan,'' ungkap Albert. Sementara itu sejumlah saksi
korban menyatakan bahwa yang dimakamkan di Kramat Ganceng saja sekitar
empat truk.
Dalam keterangannya, Try menyatakan tidak ada perintah penembakan.
''Ini adalah suatu benturan menghadapi massa yang marah. Massa yang
beringas,'' kata Try.
Menurut mantan Wapres itu, bila terjadi kesalahpahaman atas perintah
maka kesalahan itu berada di tingkat kelurahan. Sebab, perintah yang
datang darinya adalah selalu baik. ''Perintah saya begini, setiap kali
ada kejadian atau suatu yang tidak baik maka harus segera dilokalisir
agar tidak meluas serta harus dicegah pula untuk tidak menimbulkan
korban baik jiwa atau harta,'' ujar Try.
Menurut Albert kepada pers, saat diperiksa Try menyatakan pula bahwa
peristiwa Priok itu telah ditangani secara benar. ''Menurutnya, tidak
ada pertanggungjawaban secara hukum,'' tegasnya. Berdasarkan pengakuan
Try, seluruh fakta dan saat kejadian telah dilaporkan dan karena itu
berdasarkan prosedur tetap (protap).
Ketika disinggung wartawan apakah ada tanggung jawab hukum saat itu,
Albert menegaskan tidak ada. ''Karena menurutnya, dia (Benny) tidak
memberikan instruksi, dan juga karena dia telah diberi tahu oleh Pangdam
Jaya, maka di sini saya menafsirkan bahwa tanggung jawab hukum itu tidak
ada,'' ucap Albert.
Asal Peristiwa
Dalam penjelasannya, Try mengatakan asal mula kasus Priok adalah
akibat adanya isu yang mengatakan bahwa seorang Babinsa (Bintara Pembina
Desa) Koja Selatan, Sertu Hermanu, telah masuk ke dalam Mushala
Assa'adah tanpa buka sepatu serta melabur dindingnya dengan air got.
''Padahal kenyataannya tidak. Waktu itu di mushala itu memang ada
tempelen yang tidak cocok dengan tempat itu. Kemudian oleh Babinsa itu
diperingatkan agar diambil. Tapi ternyata itu tidak dihiraukan. Dan
poster itu bukan dihapus dengan air got. Melainkan dengan air tetesan
wudhu,'' kata Try lagi.
Keterangan Try itu dibantah keras seorang saksi, Achamd Sahi. Kepada
pers, Sahi menyatakan Try berbohong. Meski tidak melihat langsung saat
poster itu dihapus dengan air got, namun Sahi melihat poster telah
berubah warna menjadi kehitaman.
''Saya melihat sendiri poster yang dilabur air got itu. Warnanya
menjadi kehitaman. Bukan hanya itu, meski sudah diperingatkan, Hermanu
tetap nekat. Dia malah balik membentak sambil mengacung-acung pistol
seraya berkata siapa yang berani sama aparat,'' kata Sahi.
Menurutnya, persoalan poster sebenarnya sudah bisa terungkap jelas.
Apalagi dalam persidangan kasus Priok dahulu benda itu sudah pernah
diajukan sebagai barang bukti. Dan saksi yang langsung melihat tindakan
Hermanu itu ada empat orang, yakni Haris, Tuteng Tabroni, Abdul Gafur,
dan Jojon.
Muchtar Beni Biki, Koordinator Keluarga Besar Kasus Priok, menegaskan
bahwa Try Sutrisno secara terang-terangan memutarbalikkan fakta. Ia
ingin melepas tanggung jawab,'' tandas Beni.
Kepada Republika kemarin, Sahi juga mengungkapkan bahwa pada
awal 1999 lalu, Try berjanji akan memberikan sebuah rumah pada setiap
keluarga serta saksi korban Priok. ''Sampai saat ini janji Try tidak ada
realisasinya,'' ungkap Sahi. Namun Sahi mengaku bahwa dia beserta
keluarga serta saksi korban lainnya, sempat menerima masing-masing Rp
500 ribu dari Try.
Selain kesaksian itu, dalam laporan Majalah Tempo edisi 22
September 1984, ditulis bahwa pada Jumat sore 7 September 1984, Sertu
Babinsa Hermanu menemukan beberapa poster di Mushala Assa'adah. Dan
kemudian dia meminta agar poster-poster itu dicopot.
Tapi permintaan Hermanu tidak diindahkan. Tatkala keesokan harinya
dia datang ke tempat itu lagi, poster tetap terpasang. Akibatnya, dia
mengambil inisiatif untuk menghapus tulisan yang ada di poster yang
bertuliskan: Anjuran Berjilbab Bukan Asas Tunggal, dengan cara
mengambil sehelai koran, mencelupkannya ke selokan di depan mushala, dan
melaburkan airnya yang hitam itu ke poster yang tertempel di dinding
mushala.
Melihat itu, seperti ditulis Tempo, massa jamaah mushala itu
pun marah. Dan kemudian, Senin pagi 10 September, Ketua Pengurus
Mushala, Achamd Sahi, serta beberapa orang temannya, menemui Hermanu.
Mereka menuntut agar Babinsa ini meminta maaf.
Dan, tiba-tiba saja menyeruak kabar bahwa Hermanu non-Muslim.
Akibatanya, kemarahan massa pun menjadi. Hermanu dihajar. Sepeda motor
GL 100-nya diseret ke tengah Jalan Raya Pelabuhan dan dibakar. Dan
Achmad Sahi yang datang bersama Sarifudin Rambe dan Sofwan itu tidak
dapat mencegahnya. Mereka kemudian diciduk petugas dan diangkut ke Kodim
0502.
Ditahannya ketiga orang itu kemudian didengar tokoh Priok, Amir Biki.
Dia pun segera meminta ketiga orang itu dibebaskan. Tapi permintaannya
ditolak. Dan persoalan itu dibawanya ke dalam acara pengajian rutin yang
diadakan di rumahnya.
Sekitar pukul 23.00 Amir Biki bersama ratusan jamaah pengajian
beramai-ramai pergi ke Kodim. Di tengah jalan atau ketika massa sampai
di depan Polres Jakarta Utara, aparat keamanan telah menghadangnya.
Bentrokan pun terjadi. Korban berjatuhan diterjang peluru.
Dari hasil keterangan Benny dan Try, Albert menyatakan KP3T belum
bisa mengatakan siapa-siapa yang bertanggung jawab dalam peristiwa
berdarah tersebut. ''Memang KP3T akan melihat secara menyeluruh siapa
yang bertanggung jawab. Dan itu akan kita lakukan dalam suatu rapat
khusus pada akhir penyidikan ini.''
Ketika ditanya apakah jawaban keduanya terkesan lepas tangan, Albert
menegaskan bahwa ia tidak mengatakan itu. ''Tetapi memang kita harus
melakukan suatu rapat khusus untuk menilai itu dan sekaligus menilai
seluruh yang diperiksa ini. Menurutnya, rapat tersebut dilakukan pada
pekan depan. uba/osa