Republika Online edisi:
04 May 2000

Benny tak Bicara, Try Menyanggah

JAKARTA -- Jenderal (Pur) Benny Moerdani dan Jenderal (Pur) Try Sutrisno -- dua tokoh peting ABRI ketika tragedi berdarah Tanjung Priok meletus -- kemarin memenuhi panggilan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T). Kedatangan mereka disambut teriakan histeris korban peristiwa 12 September 1984. Kepada komisi, keduanya mengaku tidak memberikan instruksi penembakan.

Sejak terbentuknya KP3T, kedatangan Benny dan Try sudah lama ditunggu-tunggu korban dan keluarga korban tragedi berdarah tersebut. Mereka bahkan menginap di kantor Komnas HAM, tempat pemeriksaan, dengan menggelar tenda. Puluhan wartawan juga menunggu tokoh penting itu sejak pagi di tengah kawalan ketat satu kompi pasukan Brimob.

Leonardus Benny Moerdani, Panglima ABRI saat peristiwa itu meletus, datang setelah Try Sutrisno, Pangdam Jaya, ketika itu. Kedatangan mereka disambut teriakan histeris para korban Priok. Saat Benny datang, salah seorang korban Priok, Irta Sumirta, merangsek mendekatinya. Tepat di depan Benny, Irta dengan serta-merta berdiri memberi hormat dan berkata lantang, ''Selamat datang jenderal pembunuh!'' Melihat peristiwa itu Benny, yang mengenakan stelan safari abu-abu, terdiam dan menatap tajam Irta. Keduanya beradu pandang dengan sorot mata tajam. Tak lama kemudian, Benny yang berjalan dengan langkah diseret, dibawa pasukan Brimob ke sebuah ruangan di lantai II kantor Komnas HAM. Di sini, seluruh anggota KP3T telah menunggunya.

Pemeriksaan berlangsung mulai pukul 14.15 WIB hingga pukul 15.10 WIB. Berbeda dengan Try, Benny tak memberikan keterangan sepatah kata pun kepada wartawan. ''Akibat sakit, Pak Benny memang mengalami gangguan bicara,'' kata Albert Hasibuan, salah seorang anggota KP3T.

Dalam pemeriksaan, menurut Albert, Benny mengaku tidak memberikan instruksi dan petunjuk penanganan secara teknis dalam kasus Priok. Benny mengaku mendapat laporan tentang peristiwa tersebut setengah jam setelah kejadian. Setelah itu, dia dijemput oleh Try (Pangdam Jaya) untuk kemudian bersama-sama ke Kodim maupun ke Polres Jakarta Utara di Tanjung Priok. ''Jadi mengenai peristiwanya sendiri dia mendapatkan laporan dan katanya dia tidak memberikan instruksi secara teknis,'' katanya.

Ketika wartawan bertanya mengenai pertemuan Benny dan Try di Kantor Intel Strategi di Tebet, Jakarta, Albert mengatakan bahwa setelah dari rumah sakit, Benny bertemu Try sebentar di kantor badan intelijen ABRI itu, dan kemudian memberikan petunjuk-petunjuk umum kepada Try. Albert juga menjelaskan mantan Pangab itu tidak tahu siapa yang memberi perintah penembakan dalam peristiwa itu.

Dalam pemeriksaan, lanjut Albert, KP3T menyampaikan tiga pertanyaan lisan kepada Benny. Pertanyaan itu antara lain, apakah Benny memberikan keterangan tentang peristiwa itu setelah meletusnya peristiwa kepada masyarakat serta instansi-instansi lain.

Dalam jawabannya, Beny mengatakan bahwa dia telah memberikan keterangan itu kepada kalangan pesantren antara lain di Situbondo, Semarang, serta di Sumatera, dan juga kepada aparat pemerintah antara lain kepada Menteri Agama serta Menko Ekuin.

Soal jumlah korban, Benny menyatakan sekitar 18 orang tewas. Berbeda dengan Benny, Try Sutrisno kepada pers usai pemeriksaan menyatakan jumlah korban meninggal 23 orang, 14 di antaranya teridentifikasi termasuk sembilan warga, sisanya tidak teridentifikasi dan 60 orang luka-luka. Menurut Try, data tersebut didapatkannya dari anak buahnya, walaupun informasi jumlah korban dari pemerintah berubah-ubah, namun yang pasti 23 orang.

Albert mengakui bahwa mengenai jumlah korban itu masih simpang-siur. ''Masih bertentangan,'' ungkap Albert. Sementara itu sejumlah saksi korban menyatakan bahwa yang dimakamkan di Kramat Ganceng saja sekitar empat truk.

Dalam keterangannya, Try menyatakan tidak ada perintah penembakan. ''Ini adalah suatu benturan menghadapi massa yang marah. Massa yang beringas,'' kata Try.

Menurut mantan Wapres itu, bila terjadi kesalahpahaman atas perintah maka kesalahan itu berada di tingkat kelurahan. Sebab, perintah yang datang darinya adalah selalu baik. ''Perintah saya begini, setiap kali ada kejadian atau suatu yang tidak baik maka harus segera dilokalisir agar tidak meluas serta harus dicegah pula untuk tidak menimbulkan korban baik jiwa atau harta,'' ujar Try.

Menurut Albert kepada pers, saat diperiksa Try menyatakan pula bahwa peristiwa Priok itu telah ditangani secara benar. ''Menurutnya, tidak ada pertanggungjawaban secara hukum,'' tegasnya. Berdasarkan pengakuan Try, seluruh fakta dan saat kejadian telah dilaporkan dan karena itu berdasarkan prosedur tetap (protap).

Ketika disinggung wartawan apakah ada tanggung jawab hukum saat itu, Albert menegaskan tidak ada. ''Karena menurutnya, dia (Benny) tidak memberikan instruksi, dan juga karena dia telah diberi tahu oleh Pangdam Jaya, maka di sini saya menafsirkan bahwa tanggung jawab hukum itu tidak ada,'' ucap Albert.

Asal Peristiwa

Dalam penjelasannya, Try mengatakan asal mula kasus Priok adalah akibat adanya isu yang mengatakan bahwa seorang Babinsa (Bintara Pembina Desa) Koja Selatan, Sertu Hermanu, telah masuk ke dalam Mushala Assa'adah tanpa buka sepatu serta melabur dindingnya dengan air got.

''Padahal kenyataannya tidak. Waktu itu di mushala itu memang ada tempelen yang tidak cocok dengan tempat itu. Kemudian oleh Babinsa itu diperingatkan agar diambil. Tapi ternyata itu tidak dihiraukan. Dan poster itu bukan dihapus dengan air got. Melainkan dengan air tetesan wudhu,'' kata Try lagi.

Keterangan Try itu dibantah keras seorang saksi, Achamd Sahi. Kepada pers, Sahi menyatakan Try berbohong. Meski tidak melihat langsung saat poster itu dihapus dengan air got, namun Sahi melihat poster telah berubah warna menjadi kehitaman.

''Saya melihat sendiri poster yang dilabur air got itu. Warnanya menjadi kehitaman. Bukan hanya itu, meski sudah diperingatkan, Hermanu tetap nekat. Dia malah balik membentak sambil mengacung-acung pistol seraya berkata siapa yang berani sama aparat,'' kata Sahi.

Menurutnya, persoalan poster sebenarnya sudah bisa terungkap jelas. Apalagi dalam persidangan kasus Priok dahulu benda itu sudah pernah diajukan sebagai barang bukti. Dan saksi yang langsung melihat tindakan Hermanu itu ada empat orang, yakni Haris, Tuteng Tabroni, Abdul Gafur, dan Jojon.

Muchtar Beni Biki, Koordinator Keluarga Besar Kasus Priok, menegaskan bahwa Try Sutrisno secara terang-terangan memutarbalikkan fakta. Ia ingin melepas tanggung jawab,'' tandas Beni.

Kepada Republika kemarin, Sahi juga mengungkapkan bahwa pada awal 1999 lalu, Try berjanji akan memberikan sebuah rumah pada setiap keluarga serta saksi korban Priok. ''Sampai saat ini janji Try tidak ada realisasinya,'' ungkap Sahi. Namun Sahi mengaku bahwa dia beserta keluarga serta saksi korban lainnya, sempat menerima masing-masing Rp 500 ribu dari Try.

Selain kesaksian itu, dalam laporan Majalah Tempo edisi 22 September 1984, ditulis bahwa pada Jumat sore 7 September 1984, Sertu Babinsa Hermanu menemukan beberapa poster di Mushala Assa'adah. Dan kemudian dia meminta agar poster-poster itu dicopot.

Tapi permintaan Hermanu tidak diindahkan. Tatkala keesokan harinya dia datang ke tempat itu lagi, poster tetap terpasang. Akibatnya, dia mengambil inisiatif untuk menghapus tulisan yang ada di poster yang bertuliskan: Anjuran Berjilbab Bukan Asas Tunggal, dengan cara mengambil sehelai koran, mencelupkannya ke selokan di depan mushala, dan melaburkan airnya yang hitam itu ke poster yang tertempel di dinding mushala.

Melihat itu, seperti ditulis Tempo, massa jamaah mushala itu pun marah. Dan kemudian, Senin pagi 10 September, Ketua Pengurus Mushala, Achamd Sahi, serta beberapa orang temannya, menemui Hermanu. Mereka menuntut agar Babinsa ini meminta maaf.

Dan, tiba-tiba saja menyeruak kabar bahwa Hermanu non-Muslim. Akibatanya, kemarahan massa pun menjadi. Hermanu dihajar. Sepeda motor GL 100-nya diseret ke tengah Jalan Raya Pelabuhan dan dibakar. Dan Achmad Sahi yang datang bersama Sarifudin Rambe dan Sofwan itu tidak dapat mencegahnya. Mereka kemudian diciduk petugas dan diangkut ke Kodim 0502.

Ditahannya ketiga orang itu kemudian didengar tokoh Priok, Amir Biki. Dia pun segera meminta ketiga orang itu dibebaskan. Tapi permintaannya ditolak. Dan persoalan itu dibawanya ke dalam acara pengajian rutin yang diadakan di rumahnya.

Sekitar pukul 23.00 Amir Biki bersama ratusan jamaah pengajian beramai-ramai pergi ke Kodim. Di tengah jalan atau ketika massa sampai di depan Polres Jakarta Utara, aparat keamanan telah menghadangnya. Bentrokan pun terjadi. Korban berjatuhan diterjang peluru.

Dari hasil keterangan Benny dan Try, Albert menyatakan KP3T belum bisa mengatakan siapa-siapa yang bertanggung jawab dalam peristiwa berdarah tersebut. ''Memang KP3T akan melihat secara menyeluruh siapa yang bertanggung jawab. Dan itu akan kita lakukan dalam suatu rapat khusus pada akhir penyidikan ini.''

Ketika ditanya apakah jawaban keduanya terkesan lepas tangan, Albert menegaskan bahwa ia tidak mengatakan itu. ''Tetapi memang kita harus melakukan suatu rapat khusus untuk menilai itu dan sekaligus menilai seluruh yang diperiksa ini. Menurutnya, rapat tersebut dilakukan pada pekan depan. uba/osa

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000