Republika Online edisi:
10 May 2000

Dari Mana Datangnya Gencatan Senjata

Sebuah aksi unik muncul di Banda Aceh, akhir Januari lalu. Di tengah kontroversi tentang raibnya Letkol Soedjono dan kontroversi Pengadilan Koneksitas, kalangan mahasiswa mensosialisasikan wacana baru: gencatan senjata antara aparat keamanan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua elemen yang dinilai kalangan mahasiswa sebagai pemicu timbulnya kekerasan dan ketakutan publik.

Pemrakarsa aksi ini adalah Tim 21. Yakni suatu tim yang dibentuk oleh 29 kelompok atau elemen mahasiswa dan pemuda. Aceh, dalam pandangan mereka membutuhkan suasana yang kondusif, suasana yang bebas dari kekerasan, bebas dari letusan senjata api. Mereka berpendapat, bahwa gencatan senjata akan memudahkan penyelesaian Aceh secara keseluruhan.

Saat aksi itu muncul, kontak senjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan aparat keamanan sering terjadi. Bahkan aparat keamanan yang tengah menggelar Operasi Sadar Rencong II, makin mengintensifkan penyisiran dan perburuan terhadap Gerakan Bersenjata Pengacau Keamanan (GBPK)--sebutan untuk GAM, sepanjang Januari dan Februari.

Aparat keamanan mengobok-obok basis-basis GAM. Penyisiran intensif yang digelar aparat keamanan, membuat pihak-pihak yang selama ini menjadi simpatisan GAM ciut nyalinya. Gelombang penyerahan diri muncul di sejumlah kawasan yang menjadi basis GAM. Di wilayah Korem 012/Teuku Umar saja tercatat 12 ribu simpatisan GAM menyerahkan diri ke aparat keamanan setempat. Belum lagi yang menyerahkan diri melalui Korem 011/Lilawangsa.

Pada sisi lain, Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM)--sayap militer GAM, juga menggelar operasi-operasi penyergapan dan kontak senjata secara terbuka. Sejumlah fasilitas milik pemerintah dihancurkan. Sekjen Majelis Perwalian GAM, Teuku Don Zulfahri, Januari lalu mengirim ratusan granat ke Aceh. Menurut Don, dalam wawancara dengan Pro2FM, granat itu diperoleh dari Thailand dan Filipina.

Tak hanya perkantoran milik pemerintah dan militer yang menjadi sasaran penggranatan dan peledakan. Sepanjang Januari-Februari, pemukiman penduduk dan sekolah hangus dilalap jago merah. Namun untuk penghancuran pemukiman penduduk dan sekolah, GAM menolak bertanggungjawab. Mereka justru menuding aparat keamanan sendiri yang melakukan. Don menyebut nama Isra, seorang perwira Intel di lingkungan Korem 011/Lilawangsa sebagai penggerak aksi itu.

Sepanjang Januari-Februari, kontak senjata atau penyergapan yang dilakukan kedua belah pihak hampir terjadi setiap hari. Merasa tak mendapatkan respon signifikan, Tim 21 kemudian memboyong aksinya ke Jakarta. Mereka kemudian menemui Ketua DPR Akbar Tanjung, awal Februari lalu di Jakarta. Kepada Akbar, mereka meminta dukungan para elite politik di Jakarta untuk mewujudkan penghentian kekerasan serta gencatan senjata antara GAM dengan aparat keamanan.

Akbar menanggapi positif aksi mereka, juga ide mengenai gencatan senjata. Ia melukiskan bahwa gencatan senjata akan mampu meredakan ketegangan, serta memudahkan mencari penyelesaian masalah Aceh. ''Dewan akan mendukung,'' kata Akbar sambil menambahkan gencatan senjata akan menghentikan korban jiwa.

Hanya saja, kata Akbar, jika masing-masing pihak sepakat dengan gencatan senjata, komitmen itu harus dijaga. Kedua belah pihak, kata Akbar, harus menghormati perjanjian itu, sehingga tidak mengambil suatu tindakan di luar kesepakatan. Kepada para mahasiswa, ia mengusulkan agar disiapkan juru runding yang bisa diterima kedua belah pihak.

Dari Jakarta, Tim 21 berencana menemui Teuku Hasan Tiro di Stockholm, Swedia. ''Mereka akan bertemu Hasan Tiro dan menyampaikan usulan mengenai penyelesaian Aceh secara damai,'' kata Akbar. Ia tak menjelaskan, apakah soal gencatan senjata juga akan disampaikan Tim 21 tadi.

Usualn agar ada gencatan senjata GAM-Aparat keamanan juga muncul di New York, Amerika Serikat. Ketua Forum Internasional Aceh, M Jafar Siddiq, mendesak Pemimpin GAM Hasan Tiro dan Presiden Abdurrahman Wahid berunding di Amerika Serikat, untuk mengakhiri konflik bersenjata di Aceh secara damai. Jafar optimis, Washington bersedia menjadi penengah.

Iapun mengutip keterangan Asisten Menlu AS Urusan Asia Pasifik, Stanley Roth di depan Kongres dan Senat AS, bahwa penyelesaian Aceh idealnya melalui perundingan, bukan dengan pendekatan militer. Sebelum pertemuan Gus Dur dan Hasan Tiro, Jafar menyatakan harus ada situasi kondusif di Aceh. ''Harus ada gencatan senjata terlebih dahulu,'' katanya.

Gencatan senjata, bagi banyak kalangan, merupakan salah satu syarat penyelesaian Aceh. April lalu, Kontras menyampaikan lima rekomendasi bagi penyelesaian damai berbagai konflik yang terjadi di Aceh. Yakni gencatan senjata, perundingan damai, pengungkapan orang hilang, penarikan pasukan non organik dan pembentukan institusi ad hoc untuk melakukan klarifikasi.

Dalam pandangan Kontras, konflik bersenjata menjadi penyebab utama jatuhnya korban jiwa. ''Korban terbanyak adalah penduduk sipil,'' kata Munir. Padahal, berdasarkan konvensi Jenewa, masyarakat sipil yang harus mendapat perlindungan. Ia mendesak aparat keamanan dan GAM melakukan gencatan senjata.

Dalam pandangan Kontras, gencatan senjata menjadi prasyarat utama bagi berlanjutnya proses penyelesaian berikutnya. Tanpa gencatan senjata, proses penyelesaian terhadap persoalan Aceh secara menyeluruh dan fundamental akan menjadi sia-sia. ''Pemerintah harus mengambil inisiatif untuk melakukan proses perundingan bagi gencatan senjata,'' ujarnya.

Usulan Kontras, juga elemen-elemen lain yang peduli dengan persoalan Aceh, tampaknya mendapat tanggapan positif baik dari pemerintah maupun GAM, yang akan berunding di Jenewa pekan ini. Apakah akan disepakati gencatan senjata? Ini yang masih belum jelas. Karena, seperti kata Menlu Alwi Shihab, pemerintah tak akan menggunakan terminologi gencatan senjata, karena dapat memunculkan pemikiran bahwa telah terjadi perang di Aceh.

Namun, yang menarik, dalam kesepakatan tersebut bakal ada klausul patroli bersama antara TNI, Polri dan Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM)--sayap militer GAM. Patroli bersama, pada gilirannya, akan menghentikan kontak senjata antara aparat keamanan dengan GAM. Apalah artinya terminologi dan istilah. Yang penting, tak ada lagi kontak senjata atau kekerasan yang menimbulkan ketakutan publik. Inilah ujian terberat bagi AGAM, TNI maupun Polri. Pasalnya, menjelang pertemuan Jenewa, peledakan dan pegranatan belum juga berhenti.

Pertemuan GAM dengan pemerintah, tak urung bakal menimbulkan implikasi luas. Misalnya saja, tentang nasib Kongres Rakyat Aceh (KRA).

Di sisi lain, pertemuan Jenewa juga akan menghentian--untuk sementara, berbagai upaya mempertemukan elemen-elemen Aceh dalam suatu forum dialog. Syaratnya, kata Ketua Umum Panitia Kongres Rakyat Aceh (KRA), Tgk. H. Syech Syamaun Risyad Lc, muatan-muatan dalam perjanjian antara RI dan GAM mencukupi untuk Aceh masa depan dan tidak sama dengan Aceh masa lalu, ''masyarakat sudah menerima serta dan merasa puas, maka tidak perlu KRA lagi.''

Namun jika pertemuan Jenewa tak membawa implikasi yang signifikan, Syamaun Risyad yang juga Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) ini menyatakan KRA tetap akan digelar. KRA, sedianya, akan digelar pertengahan atau akhir bulan ini. Karena ada pertemuan Jenewa, panitia pelaksana menangguhkan pelaksanaannya, sambil menunggu apa hasil pertemuan Jenewa tadi.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000