Sebuah aksi unik muncul di Banda Aceh, akhir Januari lalu. Di
tengah kontroversi tentang raibnya Letkol Soedjono dan kontroversi
Pengadilan Koneksitas, kalangan mahasiswa mensosialisasikan wacana baru:
gencatan senjata antara aparat keamanan dengan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM). Dua elemen yang dinilai kalangan mahasiswa sebagai pemicu
timbulnya kekerasan dan ketakutan publik.
Pemrakarsa aksi ini adalah Tim 21. Yakni suatu tim yang dibentuk oleh
29 kelompok atau elemen mahasiswa dan pemuda. Aceh, dalam pandangan
mereka membutuhkan suasana yang kondusif, suasana yang bebas dari
kekerasan, bebas dari letusan senjata api. Mereka berpendapat, bahwa
gencatan senjata akan memudahkan penyelesaian Aceh secara keseluruhan.
Saat aksi itu muncul, kontak senjata antara Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dengan aparat keamanan sering terjadi. Bahkan aparat keamanan yang
tengah menggelar Operasi Sadar Rencong II, makin mengintensifkan
penyisiran dan perburuan terhadap Gerakan Bersenjata Pengacau Keamanan
(GBPK)--sebutan untuk GAM, sepanjang Januari dan Februari.
Aparat keamanan mengobok-obok basis-basis GAM. Penyisiran
intensif yang digelar aparat keamanan, membuat pihak-pihak yang selama
ini menjadi simpatisan GAM ciut nyalinya. Gelombang penyerahan diri
muncul di sejumlah kawasan yang menjadi basis GAM. Di wilayah Korem
012/Teuku Umar saja tercatat 12 ribu simpatisan GAM menyerahkan diri ke
aparat keamanan setempat. Belum lagi yang menyerahkan diri melalui Korem
011/Lilawangsa.
Pada sisi lain, Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM)--sayap militer
GAM, juga menggelar operasi-operasi penyergapan dan kontak senjata
secara terbuka. Sejumlah fasilitas milik pemerintah dihancurkan. Sekjen
Majelis Perwalian GAM, Teuku Don Zulfahri, Januari lalu mengirim ratusan
granat ke Aceh. Menurut Don, dalam wawancara dengan Pro2FM, granat itu
diperoleh dari Thailand dan Filipina.
Tak hanya perkantoran milik pemerintah dan militer yang menjadi
sasaran penggranatan dan peledakan. Sepanjang Januari-Februari,
pemukiman penduduk dan sekolah hangus dilalap jago merah. Namun untuk
penghancuran pemukiman penduduk dan sekolah, GAM menolak
bertanggungjawab. Mereka justru menuding aparat keamanan sendiri yang
melakukan. Don menyebut nama Isra, seorang perwira Intel di lingkungan
Korem 011/Lilawangsa sebagai penggerak aksi itu.
Sepanjang Januari-Februari, kontak senjata atau penyergapan yang
dilakukan kedua belah pihak hampir terjadi setiap hari. Merasa tak
mendapatkan respon signifikan, Tim 21 kemudian memboyong aksinya ke
Jakarta. Mereka kemudian menemui Ketua DPR Akbar Tanjung, awal Februari
lalu di Jakarta. Kepada Akbar, mereka meminta dukungan para elite
politik di Jakarta untuk mewujudkan penghentian kekerasan serta gencatan
senjata antara GAM dengan aparat keamanan.
Akbar menanggapi positif aksi mereka, juga ide mengenai gencatan
senjata. Ia melukiskan bahwa gencatan senjata akan mampu meredakan
ketegangan, serta memudahkan mencari penyelesaian masalah Aceh. ''Dewan
akan mendukung,'' kata Akbar sambil menambahkan gencatan senjata akan
menghentikan korban jiwa.
Hanya saja, kata Akbar, jika masing-masing pihak sepakat dengan
gencatan senjata, komitmen itu harus dijaga. Kedua belah pihak, kata
Akbar, harus menghormati perjanjian itu, sehingga tidak mengambil suatu
tindakan di luar kesepakatan. Kepada para mahasiswa, ia mengusulkan agar
disiapkan juru runding yang bisa diterima kedua belah pihak.
Dari Jakarta, Tim 21 berencana menemui Teuku Hasan Tiro di Stockholm,
Swedia. ''Mereka akan bertemu Hasan Tiro dan menyampaikan usulan
mengenai penyelesaian Aceh secara damai,'' kata Akbar. Ia tak
menjelaskan, apakah soal gencatan senjata juga akan disampaikan Tim 21
tadi.
Usualn agar ada gencatan senjata GAM-Aparat keamanan juga muncul di
New York, Amerika Serikat. Ketua Forum Internasional Aceh, M Jafar
Siddiq, mendesak Pemimpin GAM Hasan Tiro dan Presiden Abdurrahman Wahid
berunding di Amerika Serikat, untuk mengakhiri konflik bersenjata di
Aceh secara damai. Jafar optimis, Washington bersedia menjadi penengah.
Iapun mengutip keterangan Asisten Menlu AS Urusan Asia Pasifik,
Stanley Roth di depan Kongres dan Senat AS, bahwa penyelesaian Aceh
idealnya melalui perundingan, bukan dengan pendekatan militer. Sebelum
pertemuan Gus Dur dan Hasan Tiro, Jafar menyatakan harus ada situasi
kondusif di Aceh. ''Harus ada gencatan senjata terlebih dahulu,''
katanya.
Gencatan senjata, bagi banyak kalangan, merupakan salah satu syarat
penyelesaian Aceh. April lalu, Kontras menyampaikan lima rekomendasi
bagi penyelesaian damai berbagai konflik yang terjadi di Aceh. Yakni
gencatan senjata, perundingan damai, pengungkapan orang hilang,
penarikan pasukan non organik dan pembentukan institusi ad hoc untuk
melakukan klarifikasi.
Dalam pandangan Kontras, konflik bersenjata menjadi penyebab utama
jatuhnya korban jiwa. ''Korban terbanyak adalah penduduk sipil,'' kata
Munir. Padahal, berdasarkan konvensi Jenewa, masyarakat sipil yang harus
mendapat perlindungan. Ia mendesak aparat keamanan dan GAM melakukan
gencatan senjata.
Dalam pandangan Kontras, gencatan senjata menjadi prasyarat utama
bagi berlanjutnya proses penyelesaian berikutnya. Tanpa gencatan
senjata, proses penyelesaian terhadap persoalan Aceh secara menyeluruh
dan fundamental akan menjadi sia-sia. ''Pemerintah harus mengambil
inisiatif untuk melakukan proses perundingan bagi gencatan senjata,''
ujarnya.
Usulan Kontras, juga elemen-elemen lain yang peduli dengan persoalan
Aceh, tampaknya mendapat tanggapan positif baik dari pemerintah maupun
GAM, yang akan berunding di Jenewa pekan ini. Apakah akan disepakati
gencatan senjata? Ini yang masih belum jelas. Karena, seperti kata Menlu
Alwi Shihab, pemerintah tak akan menggunakan terminologi gencatan
senjata, karena dapat memunculkan pemikiran bahwa telah terjadi perang
di Aceh.
Namun, yang menarik, dalam kesepakatan tersebut bakal ada klausul
patroli bersama antara TNI, Polri dan Angkatan Gerakan Aceh Merdeka
(AGAM)--sayap militer GAM. Patroli bersama, pada gilirannya, akan
menghentikan kontak senjata antara aparat keamanan dengan GAM. Apalah
artinya terminologi dan istilah. Yang penting, tak ada lagi kontak
senjata atau kekerasan yang menimbulkan ketakutan publik. Inilah ujian
terberat bagi AGAM, TNI maupun Polri. Pasalnya, menjelang pertemuan
Jenewa, peledakan dan pegranatan belum juga berhenti.
Pertemuan GAM dengan pemerintah, tak urung bakal menimbulkan
implikasi luas. Misalnya saja, tentang nasib Kongres Rakyat Aceh (KRA).
Di sisi lain, pertemuan Jenewa juga akan menghentian--untuk
sementara, berbagai upaya mempertemukan elemen-elemen Aceh dalam suatu
forum dialog. Syaratnya, kata Ketua Umum Panitia Kongres Rakyat Aceh
(KRA), Tgk. H. Syech Syamaun Risyad Lc, muatan-muatan dalam perjanjian
antara RI dan GAM mencukupi untuk Aceh masa depan dan tidak sama dengan
Aceh masa lalu, ''masyarakat sudah menerima serta dan merasa puas, maka
tidak perlu KRA lagi.''
Namun jika pertemuan Jenewa tak membawa implikasi yang signifikan,
Syamaun Risyad yang juga Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) ini
menyatakan KRA tetap akan digelar. KRA, sedianya, akan digelar
pertengahan atau akhir bulan ini. Karena ada pertemuan Jenewa, panitia
pelaksana menangguhkan pelaksanaannya, sambil menunggu apa hasil
pertemuan Jenewa tadi.