Republika Online edisi:
07 May 2000

Das Kapital dan Mimpi Buruk

Karl Marx, yang banyak diperbincangkan kembali, terlahir (1818) dalam zaman yang gaduh. Eropa dilanda kekacauan silih-berganti. Revolusi Prancis belum lagi tersaput dari ingatan; dan terbukti, revolusi bukanlah segalanya. Ketidakpuasan rakyat tetap berkecamuk. Kegalauan mereka siap meledak kapan saja.

Di tengah situasi itu, industrialisasi--yang masih bayi--mulai menelan korbannya: di kanal-kanal, para ibu menarik kapal dengan tali di pundaknya, anak-anak memerah tenaga di pabrik-pabrik tekstil yang bertumbuhan. Fakta sosial yang getir itu ibarat pupuk bagi pikiran-pikiran radikal Marx.

Zaman itu, tulis Robert B. Downs dalam Books that Changed the World (1956), memang cocok bagi temperamen Marx yang subversif dan non-konformis. Pikirannya yang melawan arus mengkandaskan cita-citanya menjadi guru besar di bidang hukum. Baru berumur setahun, korannya, Neue Rheinische Zeitung, dibreidel. ''Ia orang berbahaya,'' kata polisi Jerman; Marxpun diusir.

Marx ke Prancis, tempat ia bersua Frederich Engels, untuk belajar sosialisme. Kecamannya terhadap rezim Prusia tetap lantang, dan ini mendorong pembesar Prancis untuk mengusirnya. Tiga tahun berlindung di Brussel, ia kembali ke Jerman, lantas balik lagi ke Paris semasa pergolakan 1848.

Pergolakan sosial memberi landasan kuat bagi Marx dalam menuangkan ide-idenya. Bila ide mempunyai kaki, Karl Marx adalah pencetus ide sekaligus kaki itu sendiri. Ia menggerakkan idenya dengan aktivisme politik. Ia orator yang garang, organisator gerakan buruh, pemimpin penerbitan, dan--inilah yang ditakuti banyak rezim--penganjur pemberontakan.

Revolusi membuat Marx pindah ke London. Dalam usia 31 tahun ia menikahi gadis anak pembesar Prusia. Bersama buah cintanya, Marx tinggal berdelapan dalam dua kamar. Tiga di antara anaknya mati muda. Tahun-tahun sulit menjadi sumber inspirasi bagi kegetiran dalam tulisannya.

Agar hidup tetap berlangsung, Marx mengandalkan bantuan Engels. Juga, dari menulis. Ia pantang merasa lelah kendati digerogoti penyakit. Dari tahun ke tahun, tanpa kenal bosan ia membahas buku-buku ekonomi borjuis. ''Aku sering berada di British Museum dari pukul 9 pagi hingga pukul 7 malam,'' aku Marx. Di sarang kapitalisme itulah, ''pendiri sosialisme ilmiah'' ini menyiapkan Das Kapital.

Engels, yang nyaris putus asa menunggu, sesumbar, ''Pada hari naskah itu dimasukkan ke percetakan, saya akan minum sampai mabuk.'' Faktanya: Marx, tanpa dikurangi waktu mengurus soal lain dan masa-masa dirundung penyakit, memerlukan 17 tahun untuk menyelesaikan jilid pertama buku yang ia sebut ''mimpi buruk yang sempurna'' itu. (Waktu yang sama diperlukan Adam Smith untuk menyelesaikan The Wealth of Nations, juga Charles Darwin dengan The Origin of Species-nya.) Pada 1866 naskah itu dikirim ke Penerbit Otto Meissner di Jerman dan terbit pada musim gugur tahun itu dengan judul Das Kapital: Kritik der Politischen Oekonomie. Begitu miskin Marx, bahkan untuk mengirim naskah itupun ia harus meminta uang kepada Engels guna membeli pranko dan membayar asuransi paket. Ia keki, hanya sedikit koran mengulas terbitnya Das (Andai ia masih hidup kini, mungkin ia akan keki pula melihat banyak ramalannya meleset).

Di Rusia, 1872, bukunya terbit tanpa sensor. Walau penulisnya seorang sosialis, Das Kapital tidak dilarang. Alasannya: buku itu tidak dapat dimengerti oleh setiap orang karena pembuktian matematiknya rumit. Das Kapital memang bacaan berat. Orang sezamannya maupun yang terkemudian, juga berjuta-juta yang mengaku pengikutnya maupun pengecamnya, mengenal buku itu dari orang kedua, ketiga, dst.

Pengritiknya menilai Das Kapital ditulis secara amat buruk. Yang lain mengatakan, ''Dengan buku itu, mungkin sekali Marx lebih banyak mengakibatkan kematian, kejatuhan, dan keputusasaan dari siapapun juga yang pernah hidup di dunia ini.'' (Tokoh-tokoh Ekonomi Mengubah Dunia, oleh Paul-Heinz Koesters, 1988) Jilid pertama terbit ketika Marx masih hidup. Setelah ia meninggal pada 1883, catatannya yang tebal, tak lengkap, dan tidak tersusun rapi digarap oleh Engels untuk jilid kedua dan ketiga. Namun dari jilid pertamalah reputasi Marx bersumber. Dua jilid lainnya amat jarang dibaca. Teori Nilai Surplus--sebagai jilid ke-4 Das Kapital--disusun dari naskah Marx oleh Karl Kautsky dan terbit 1905.

Apa rahasia Das Kapital dan Marx hingga ia menarik banyak pengikut, dan tak habis-habis diperbincangkan? Salah satunya, karena ia menyertai perasaan mereka yang diinjak-injak. ''Mungkin ia kelewat benci, cemburu, dan sombong, tapi sumber utama kehidupannya ialah keinginan melepaskan beban yang mengimpit rakyat,'' kata Harold Laski.

Zaman yang matang turut memberi andil. Ide Marx menemukan lahan yang subur, dan sebaliknya latar sosial yang getir menggairahkan Marx dalam menyusun tesis-tesisnya. Dan, ide itu terus bergulir hingga masa-masa terkemudian, dengan daya pikat yang kuat menarik orang untuk mengaku pengikutnya.

Wajah Marx pun merupakan ''nilai jual'' tersendiri. Berambut gondrong, dan berjambang lebat. Kehidupan Marx--juga tokoh-tokoh kiri seperti Che Guevara, Castro, Lenin, Stalin, Tito, ataupun Mao--adalah sejenis bius yang lain: hidup tertindas dan melarat, menjadi pelarian, dan dipenjara, bagi banyak orang, merupakan romantisme tersendiri.

Namun, apa yang mereka lakukan setelah berkuasa boleh jadi bukan yang dimaksud Marx--ia pernah mengaku, ''Aku bukan seorang Marxis,'' tatkala mencium bau pembusukan atas ide-idenya oleh para pemujanya. Ia tak sempat menyaksikan Lenin, Stalin, Mao, Tito, maupun Castro meniadakan kelas (yang lain), untuk membangun ''kelas baru'' dalam istilah Milovan Jilas. Mungkin benar kata seorang sosialis terkenal, ''Seandainya Marx hidup di bawah Stalin, umurnya pasti tak akan panjang.''

 

   

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999