Karl Marx, yang banyak diperbincangkan kembali, terlahir (1818)
dalam zaman yang gaduh. Eropa dilanda kekacauan silih-berganti. Revolusi
Prancis belum lagi tersaput dari ingatan; dan terbukti, revolusi
bukanlah segalanya. Ketidakpuasan rakyat tetap berkecamuk. Kegalauan
mereka siap meledak kapan saja.
Di tengah situasi itu, industrialisasi--yang masih bayi--mulai
menelan korbannya: di kanal-kanal, para ibu menarik kapal dengan tali di
pundaknya, anak-anak memerah tenaga di pabrik-pabrik tekstil yang
bertumbuhan. Fakta sosial yang getir itu ibarat pupuk bagi
pikiran-pikiran radikal Marx.
Zaman itu, tulis Robert B. Downs dalam Books that Changed the
World (1956), memang cocok bagi temperamen Marx yang subversif dan
non-konformis. Pikirannya yang melawan arus mengkandaskan cita-citanya
menjadi guru besar di bidang hukum. Baru berumur setahun, korannya,
Neue Rheinische Zeitung, dibreidel. ''Ia orang berbahaya,'' kata
polisi Jerman; Marxpun diusir.
Marx ke Prancis, tempat ia bersua Frederich Engels, untuk belajar
sosialisme. Kecamannya terhadap rezim Prusia tetap lantang, dan ini
mendorong pembesar Prancis untuk mengusirnya. Tiga tahun berlindung di
Brussel, ia kembali ke Jerman, lantas balik lagi ke Paris semasa
pergolakan 1848.
Pergolakan sosial memberi landasan kuat bagi Marx dalam menuangkan
ide-idenya. Bila ide mempunyai kaki, Karl Marx adalah pencetus ide
sekaligus kaki itu sendiri. Ia menggerakkan idenya dengan aktivisme
politik. Ia orator yang garang, organisator gerakan buruh, pemimpin
penerbitan, dan--inilah yang ditakuti banyak rezim--penganjur
pemberontakan.
Revolusi membuat Marx pindah ke London. Dalam usia 31 tahun ia
menikahi gadis anak pembesar Prusia. Bersama buah cintanya, Marx tinggal
berdelapan dalam dua kamar. Tiga di antara anaknya mati muda.
Tahun-tahun sulit menjadi sumber inspirasi bagi kegetiran dalam
tulisannya.
Agar hidup tetap berlangsung, Marx mengandalkan bantuan Engels. Juga,
dari menulis. Ia pantang merasa lelah kendati digerogoti penyakit. Dari
tahun ke tahun, tanpa kenal bosan ia membahas buku-buku ekonomi borjuis.
''Aku sering berada di British Museum dari pukul 9 pagi hingga pukul 7
malam,'' aku Marx. Di sarang kapitalisme itulah, ''pendiri sosialisme
ilmiah'' ini menyiapkan Das Kapital.
Engels, yang nyaris putus asa menunggu, sesumbar, ''Pada hari naskah
itu dimasukkan ke percetakan, saya akan minum sampai mabuk.'' Faktanya:
Marx, tanpa dikurangi waktu mengurus soal lain dan masa-masa dirundung
penyakit, memerlukan 17 tahun untuk menyelesaikan jilid pertama buku
yang ia sebut ''mimpi buruk yang sempurna'' itu. (Waktu yang sama
diperlukan Adam Smith untuk menyelesaikan The Wealth of Nations,
juga Charles Darwin dengan The Origin of Species-nya.) Pada 1866
naskah itu dikirim ke Penerbit Otto Meissner di Jerman dan terbit pada
musim gugur tahun itu dengan judul Das Kapital: Kritik der
Politischen Oekonomie. Begitu miskin Marx, bahkan untuk mengirim
naskah itupun ia harus meminta uang kepada Engels guna membeli pranko
dan membayar asuransi paket. Ia keki, hanya sedikit koran
mengulas terbitnya Das (Andai ia masih hidup kini, mungkin ia
akan keki pula melihat banyak ramalannya meleset).
Di Rusia, 1872, bukunya terbit tanpa sensor. Walau penulisnya seorang
sosialis, Das Kapital tidak dilarang. Alasannya: buku itu tidak
dapat dimengerti oleh setiap orang karena pembuktian matematiknya rumit.
Das Kapital memang bacaan berat. Orang sezamannya maupun yang
terkemudian, juga berjuta-juta yang mengaku pengikutnya maupun
pengecamnya, mengenal buku itu dari orang kedua, ketiga, dst.
Pengritiknya menilai Das Kapital ditulis secara amat buruk.
Yang lain mengatakan, ''Dengan buku itu, mungkin sekali Marx lebih
banyak mengakibatkan kematian, kejatuhan, dan keputusasaan dari siapapun
juga yang pernah hidup di dunia ini.'' (Tokoh-tokoh Ekonomi Mengubah
Dunia, oleh Paul-Heinz Koesters, 1988) Jilid pertama terbit ketika
Marx masih hidup. Setelah ia meninggal pada 1883, catatannya yang tebal,
tak lengkap, dan tidak tersusun rapi digarap oleh Engels untuk jilid
kedua dan ketiga. Namun dari jilid pertamalah reputasi Marx bersumber.
Dua jilid lainnya amat jarang dibaca. Teori Nilai
Surplus--sebagai jilid ke-4 Das Kapital--disusun dari naskah
Marx oleh Karl Kautsky dan terbit 1905.
Apa rahasia Das Kapital dan Marx hingga ia menarik banyak
pengikut, dan tak habis-habis diperbincangkan? Salah satunya, karena ia
menyertai perasaan mereka yang diinjak-injak. ''Mungkin ia kelewat
benci, cemburu, dan sombong, tapi sumber utama kehidupannya ialah
keinginan melepaskan beban yang mengimpit rakyat,'' kata Harold Laski.
Zaman yang matang turut memberi andil. Ide Marx menemukan lahan yang
subur, dan sebaliknya latar sosial yang getir menggairahkan Marx dalam
menyusun tesis-tesisnya. Dan, ide itu terus bergulir hingga masa-masa
terkemudian, dengan daya pikat yang kuat menarik orang untuk mengaku
pengikutnya.
Wajah Marx pun merupakan ''nilai jual'' tersendiri. Berambut
gondrong, dan berjambang lebat. Kehidupan Marx--juga tokoh-tokoh kiri
seperti Che Guevara, Castro, Lenin, Stalin, Tito, ataupun Mao--adalah
sejenis bius yang lain: hidup tertindas dan melarat, menjadi pelarian,
dan dipenjara, bagi banyak orang, merupakan romantisme tersendiri.
Namun, apa yang mereka lakukan setelah berkuasa boleh jadi bukan yang
dimaksud Marx--ia pernah mengaku, ''Aku bukan seorang Marxis,'' tatkala
mencium bau pembusukan atas ide-idenya oleh para pemujanya. Ia tak
sempat menyaksikan Lenin, Stalin, Mao, Tito, maupun Castro meniadakan
kelas (yang lain), untuk membangun ''kelas baru'' dalam istilah Milovan
Jilas. Mungkin benar kata seorang sosialis terkenal, ''Seandainya Marx
hidup di bawah Stalin, umurnya pasti tak akan panjang.''