Republika Online edisi:
10 May 2000

Prof Dr Syafri Sairin, Antropolog UGM Nepotisme dan Kolusi, Ujung-ujungnya Korupsi

Menurut Anda, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Nepotisme?

Nepotisme adalah suatu tindakan yang karena kekuasaan yang dimilikinya, mendudukkan saudara sedarah atau orang dekatnya, dalam suatu jabatan publik atau birokrasi negara. Tapi yang perlu mendapat catatan di sini, adalah kalau orang yang ditempatkan tersebut dipilih hanya berdasarkan pertimbangan 'orang dekat'. Kalau orang yang diberi jabatan tersebut memang memiliki kapabilitas dan profesionalisme di bidangnya, maka ini tidak bisa disebut nepotisme. Selain itu, tindakan tersebut baru dikatakan nepotisme kalau posisi yang diisi orang dekatnya itu adalah jabatan di sebuah administrasi negara. Kalau penempatannya itu di suatu jabatan perusahaan keluarga, ya tidak bisa disebut nepotisme. Wong memang perusahaannya sendiri, kok.

Kenapa Nepotisme menjadi satu paket dengan korupsi dan kolusi?

Ini karena memang pengertian nepotisme itu terkait erat dengan masalah korupsi. Tindakan nepotisme dan kolusi, ujung-ujungnya ya perbuatan korupsi. Jadi nepotisme ini memang merupakan tindakan yang satu paket dengan korupsi. Memang belum tentu, orang yang diangkat menduduki jabatan publik karena faktor nepotisme, pasti akan melakukan tindakan korupsi. Bisa saja, karena latar belakangnya memang baik, orang itu tidak melakukan tindakan korupsi. Tapi kalau latar belakang kapabilitas dan profesionalisme-nya memang tidak memadai, kalaupun bukan dia yang korupsi maka orang di sekitarnya-lah yang akan korupsi.

Di Indonesia sendiri, fenomena nepotisme sebenarnya terjadi sejak kapan?

Fenomena Nepotisme di tanah air, sudah terjadi sejak negara Indonesia ini belum terbentuk. Sebelum negara RI ini lahir, pemerintahan yang berkuasa di tanah air ini adalah berbentuk kerajaan. Dalam sistem kerajaan, praktek nepotisme merupakan bagian dari sistem feodalisme yang berkembang saat itu. Untuk itu, praktek KKN pada masa kerajaan itu merupakan hal yang lumrah terjadi.

Apakah faktor historis tersebut yang menyebabkan praktek Nepotisme tersebut tetap berlangsung hingga sekarang?

Ya. Dalam sistem feodalisme yang dibangun sejak masa kerajaan, sistem kekerabatan antarwarga masyarakat demikian kuat dipegang. Beban kultural seperti ini yang menyebabkan warga masyarakatnya tak mudah untuk melepaskan diri dari ikatan kekerabatan yang sudah terbentuk. Seorang anggota keluarga yang terangkat derajatnya memegang jabatan di birokrasi, akan berusaha mengangkat nasib saudara atau kawan dekatnya dengan cara mencarikan posisi di lingkungan birokrasi yang dipimpinnya. Fenomena ini, tak hanya terjadi pada saat sekarang ini saja. Bahkan ketika Republik ini baru terbentuk, anggota TNI yang memegang jabatan di perusahaan-perusahaan warisan kolonial, juga mendahulukan kroni-kroninya untuk menduduki jabatan-jabatan di perusahaan tersebut. Praktek seperti ini, terus berlangsung sampai sekarang.

Pada bangsa lain yang juga memiliki akar historis kerajaan, praktek nepotisme ini bisa dikikis habis. Kenapa di Indonesia tidak?

Memang banyak negara-negara lain seperti Jepang dan juga Inggris, yang meskipun sampai sekarang bahkan masih mempertahankan bentuk negara monarki, sudah dapat mengikis masalah praktek korupsi. Cuma yang perlu diingat, negara-negara monarki yang kini sudah mampu menghapus perilaku nepotisme di kalangan warga masyarakatnya, adalah negara-negara yang sudah maju. Warga masyarakatnya, secara keseluruhan sudah terdidik untuk berpikir rasional. Sementara Indonesia adalah negara berkembang, yang meskipun sebagian warganya sudah berpendidikan tinggi, namun banyak yang belum mampu berpikir rasional. Tapi memang warga masyarakat Indonesia merupakan kasus tersendiri. Sistem paternalistik demikian kuat dipegang oleh sebagian besar warga bangsa ini. Memang ada dampak positif dari sistem kekerabatan seperti ini. Tapi dalam upaya menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang maju dan modern, sistem kekerabatan yang dipegang terlalu kuat seperti ini, justru akan menjadi kendala yang sangat menghambat.

Perilaku nepotisme ini, kira-kira bagaimana implikasi terhadap bidang ekonomi, politik dan birokrasi?

Ya, jelas tidak efesien. Bagaimana akan efesien kalau yang diberi kedudukan adalah orang-orang yang tidak jelas kapabilitas dan profesionalismenya. Birokrasi menjadi sangat gemuk, sistem politik yang dibangun menjadi tidak egaliter dan sistem ekonomi yang dikembangkan menjadi marak dengan perilaku korupsi. Semua itu, akarnya adalah karena perilaku nepotisme tersebut.

Bagaimana pendapat Anda dengan sistem patron-klien yang ada di Indonesia?

Sistem patron klien ini merupakan salah satu warisan feodalisme yang mestinya dihapuskan dari mentalitas bangsa kita. Dengan sistem ini, maka pemerintah yang berkuasa menganggap dirinya adalah penguasa yang berhak berbuat apa saja terhadap rakyatnya. Mereka menganggap, negara yang dipimpinnya adalah negara miliknya sendiri. Sedangkan rakyatnya sendiri, menganggap penguasanya adalah orang terpilih yang memang mendapat wahyu kekuasaan dari yang maha kuasa. Sistem ini, jelas menghambat upaya menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang maju dan demokratis.

Jadi praktek nepotisme ini merupakan salah implikasi dari sistem patron klien tersebut?

Ya. Dengan sistem patron klien, penguasa berhak berbuat apa saja, termasuk mengangkat orang yang disenanginya, untuk menduduki jabatan publik di pemerintahannya. Penguasa menganggap rakyatnya adalah hamba sahaya, yang bisa diperlakukan apa saja.

Menurut Anda, pendekatan apa yang kira-kira bisa dilakukan untuk meminimalisir praktek nepotisme tersebut?

Ada beberapa hal yang harus dilakukan secara komprehensif, kalau memang kita menghendaki praktek nepotisme ini akan dihapuskan. Pertama, penegakkan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu, praktek pemerintahan yang egaliter dan pembenahan sistem pendidikan yang ditekankan pada upaya pengembangan demokrasi. Tapi semua itu tak bisa dikembangkan secara parsial. Kalau sepotong-sepotong, percuma saja. Harus dilakukan secara koprehensif.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000