228 Rumah Transmigran Dibakar

CONTENTS

Update: 00.30 Wib Selasa, 5 Oktober 1999
_________________________________________________________________

Ribuan Buruh PT MR Belum Menerima Gaji
* Pencarian Perampok Meluas

Serambi-Langsa
Ribuan --sekitar 2.000-- karyawan/buruh perkebunan sawit PT Mapoli Raya (MR) hingga Senin (4/10) belum menerima gaji. Sejauh ini, BNI 46 belum dapat menjanjikan kapan gaji ribuan buruh itu dapat dibayar. Sedangkan, pihak kepolisian belum menemukan pelaku perampok uang Rp 1,2 milyar yang merupakan gaji buruh PT MR. Menurut Komandan Satgas Sektor C Letkol Pol Drs Priatna, perburuan untuk menangkap kawanan perampok yang juga menculik dua anggota polisi dan satu karyawan BNI 46 itu terus digiatkan.

Dikatakannya, ratusan aparat keamanan terdiri dari Brimob, Perintis, Serse, dan lain-lain kini dikerahkan melacak ke sejumlah kawasan yang diduga menjadi tempat persembunyian mereka. Meski TKP di wilayah timur, namun pencarian kini meluas ke wilayah barat Aceh Timur, bahkan sampai ke Simpang Ulim.

Kepala Cabang BNI 46 Langsa, Fitri Almaisyah ketika dihubungi Senin siang, mengaku sejauh ini pihaknya belum mendapat "petunjuk" dari BNI Pusat untuk penggantian uang Rp 1,2 milyar atau pembayaran kembali gaji buruh PT MR.

Tentang pihak mana yang menanggung kerugiaan dan yang akan membayar kembali gaji buruh yang dirampok tersebut, menurut Fitri, hal itu juga sedang dibicarakan di Medan. Antara kantor pusat PT MR dan BNI 46. Bahkan, Fitri tak dapat memastikan kapan ribuan buruh PT MR dapat menerima gaji bulan September. "Saya berharap mereka (buruh/karyawan PT MR-red) dapat bersabar. Masalah ini sedang dimusyawarahkan. Bagaimana pun, mereka itu nasabah kami, dan kami ini selalu harus siap melayani," tambahnya, seraya meminta maaf kepada para wartawan yang datang dan tak dilayani sebelumnya. "Saya minta maaf atas sikap saya. Karena, saya sedang panik. Ini masalah nyawa orang. Satu orang karyawan kami belum jelas nasibnya," ungkap Fitri.

Seperti diberitakan Serambi, Minggu (3/10), gaji ribuan buruh/karyawan PT MR senilai Rp 1,2 milyar yang dibawa dengan mobil minibus BNI '46 Cabang Langsa ludes disikat sekawanan perampok berseragam loreng lengkap dengan senjata laras panjang. Perampokan terjadi di kawasan perbukitan Desa Sukaramai I Kecamatan Seuruway, Aceh Timur, Sabtu (2/10) pagi.

Dua anggota Polres Aceh Timur sebagai pengawal, masing-masing Serka Zulkarnain dan Serda Samiran, serta supir mobil BNI '46, Zulkifli, ikut diculik kawanan perampok tersebut. Namun, dua karyawati BNI, yakni Erdawaty dan Dian Widyawaty yang ikut serta dalam mobil ternyata tidak diculik. Keduanya dibiarkan dengan kedua tangan terikat dan mata tertutup kain merah. (tim)
_________________________________________________________________

Lagi, 300 Wanita Datangi Mapolres
* Dua Tahanan Dilepas

Serambi-Lhokseumawe
Sekitar tiga ratusan wanita berjilbab dari Kecamatan Nisam, Senin (4/10) kemarin, kembali mendatangi Mapolres Aceh Utara. Sama dengan tuntutannya pada aksi serupa Sabtu pekan lalu, mereka mendesak polisi membebaskan enam warga setempat yang ditahan polisi. Kapolres Aceh Utara menyebutkan, aksi ibu-ibu itu ke markasnya ada yang mendalangi. Berkait dengan unjuk rasa kaum ibu Nisam itu, kemarin, Polres membebaskan dua dari tiga pria Nisam yang ditahan. Yakni, Abdullah Matsyah dan Ramli Harun.

Sedangkan satu lainnya, M Yusuf A Djamil, menurut Kapolres Letkol Pol Drs Syafei Aksal tetap diproses sesuai hukum, karena berdasarkan bukti yang ditemui polisi, lelaki itu melakukan serangkaian tindak pemerasan dan pada malam hari acap menggunakan seragam militer. "Pada saat ditangkap, ia juga membawa senjata tajam. Ini bukan basa-basi, tapi pasti," jelas kapolres.

Berdasarkan hasil investigasi petugasnya, kata kapolres, wanita berjilbab mendatangi Mapolres karena adanya tekanan atau paksaan dari pihak tertentu. Aksi demo ke Mapolres, kemarin, hanya berselisih waktu 15 menit dari aksi unjuk rasa mahasiswa di DPRD. Sekitar pukul 09.30 WIB, ratusan ibu-ibu dari sejumlah desa di kecamatan Nisam, datang ke Mapolres dengan tuntutan penglepasan tiga tahanan sesuai dengan janji kapolres, hari Sabtu (2/10).

Kedatangan ibu-ibu dalam jumlah besar membuat suasana di depan Mapolres sedikit kacau. Apalagi, akibat itu kelancaran arus lalulintas terganggu. Setelah rombongan pertama tiba, tidak lama berselang dari arah timur Mapolres juga mengalir serombongan wanita lainnya yang langsung bergabung dengan wanita Nisam. Kemudian berkeras masuk Mapolres. Namun, dihadang. Sehingga beberapa di antaranya mengambil posisi duduk di depan kawat berduri. Sebagian di antaranya terus meneriakkan, "Lepaskan warga kami, karena tidak bersalah." Teriakan minta dibebaskan juga diiringi dengan salawat badar dan membaca sejumlah ayat suci al-Quran. Lalulintas kendaraan mulai macet, Satlantas juga tidak kalah sibuknya mengantisipasi kemacetan. Sekitar pukul 11.00 WIB, aksi tarik-menarik antara petugas Satlantas dengan kaum ibu mulai terjadi. Karena ratusan kaum ibu memblokir jalan negara depan Mapolres agar kendaraan tidak bisa lewat. Maksud kaum itu, terpaksa diantisipasi aparat keamanan sehingga terjadi tarik-menarik.

Mapolres Aceh Utara mengumumkan, dua di antara tiga orang yang ditahan akan dilepas. Sedangkan satu lainnya masih diproses. Hal itu sedikit menenangkan masyarakat, tetapi ada sebagian lainnya mencemoohkan pengumuman aparat. Bahkan, ada beberapa orang yang terus menyebutkan, itu sebagai tipuan.

Sambil menunggu keterangan Mapolres, ratusan wanita mulai mendekati warung nasi sekitar Mapolres untuk makan. Ada yang makan di warung dan ada pula di depan Mapolres. Sekitar pukul 13.00 WIB, dua tahanan dibawa pulang, keluar dari pintu sebelah barat. Tampak dalam mobil colt milik aparat, dua tahanan bersama satu unit sepeda motor. Tetapi, ratusan wanita belum percaya. Mereka menuntut Abdullah Matsyah (35) warga Jeuleukat, harus dibebaskan juga.

Suasana sedikit kacau, para wanita tidak mau mendengar. Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam MAPRA, terpaksa turun tangan. Sekjen MAPRA, Uziauddin, mengambil mikrofon dan berdiri di atas mobil Satlantas. Ia berbicara dalam bahasa Aceh, bahwa dua orang benar sudah dilepas, sedangkan satu orang lagi masih dalam proses. Ia berjanji akan menjaga tahanan dan mengharapkan kaum ibu segera pulang ke rumah. Imbauan mahasiswa tidak mendapat respon. Seorang mahasiswa dari MAPRA mengambil alih mikrofon juga menyampaikan hal yang sama. Sekitar pukul 13.30 suasana mulai tenang, dan wanita meminta keterangan itu dibuat dalam perjanjian tertulis. Abdullah Matsyah dalam proses, bahkan sudah ditangani pengacara.

Ibu-ibu meninggalkan Mapolres Aceh Utara pada pukul 20.30 WIB menumpang 20 truk yang disediakan Kapolres Syafei Aksal. Kepada pihak yang memobilisasi dan memprovokasi ibu-ibu untuk melakukan aksi ke Mapolres, Syafei mengharapkan agar menyadari betapa sengsaranya ibu-ibu itu saat diguyur hujan selepas Magrib. Apalagi, di antara kaum ibu itu juga membawa anak kecil. Ditambahkannya, ibu-ibu itu ternyata tidak hanya berasal dari Kecamatan Nisam. Setelah ditelusuri, mereka juga ada yang berasal dari Kecamatan Muara Dua. (tim)
_________________________________________________________________

"Hentikan Kekerasan dalam Razia Jilbab"
* Di Aceh Timur Tujuh
Wanita Digunduli

Serambi-Banda Aceh
Organisasi perempuan Aceh (Flower Aceh) mengingatkan semua pihak, bahwa razia jilbab di tempat-tempat umum dengan cara kekerasan dapat merugikan perjuangan rakyat Aceh dalam jangka panjang. Penggunaan kekerasan dengan dalih apa pun selain dapat mengaburkan persoalan utama, seperti pelanggaran HAM, juga sangat merugikan penggalangan dukungan masyarakat luas baik di tingkat nasional maupun internasional terhadap penyelesaian persoalan Aceh.

"Kondisi ini dapat pula dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan akibat timbulnya perpecahan di antara rakyat Aceh," tulis Erni, Divisi Advokasi Flower Aceh dalam siaran pers yang dibagikan kepada wartawan, Senin (4/10).

Katanya, upaya mengajak perempuan muslim di Aceh menggunakan jilbab tentunya bermaksud baik. Namun, praktek kekerasan yang menyertainya tidak dapat dibenarkan. Akibatnya, bukan tidak mungkin banyak perempuan menggunakan jilbab semata-mata karena unsur terpaksa. Sosialisasi berbusana mulim, tulis Flower Aceh, hendaknya dilakukan secara yang lebih simpatik dan bertanggungjawab dengan menjauhi cara-cara kekerasan. Praktek-praktek seperti itu dapat disalahgunakan untuk pembenaran (justifikasi) tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik kapada mereka yang muslim maupun nonmuslim.

Menurut Flower Aceh, bila hal ini tidak diantisipasi dikhawatirkan dapat menjurus ke arah praktek diskriminasi dan kekerasan antaretnik. Flower Aceh memberitahukan wartawan, bahwa mereka mendapat pengaduan mengenai tindakan kekerasan seperti memotong rambut, mengunting baju, membentak, melakukan intimidasi, termasuk juga tercatat adanya usaha pemerasan korban.

Insiden seperti itu setidaknya telah terjadi di Pidie, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Selatan, Kotamadya Banda Aceh, dan Aceh Timur. Dalam siaran pers bertanggal, 4 Oktober 1999, Flower Aceh meyerukan kepada berbagai pihak yang berkepentingan serta masyarakat luas untuk menghentikan cara-cara pemaksaan dan kekerasan terhadap perempuan dalam masalah pemakaian jilbab.

Agar semua pihak untuk waspada tentang kemungkinan pengalihan isu pelanggaran HAM di Aceh dengan cara membesar-besarkan isu pemakaian jilbab. Kepada Pemda dan Majelis Ulama Aceh diminta untuk segera mengantisipasi pelaksanaan razia jilbab sebelum menjadi persoalan yang lebih serius lagi. Polri diminta mengambil tindakan hukum bagi pelaku kekerasan dalam razia jilbab.

Media massa cetak dan elektronik diimbau untuk tidak ikut terjebak secara tidak langsung mendukung tindakan kekerasan terhadap perempuan dengan penggunaan kata-kata yang melecehkan dan melegitimasi kekerasan terhadap perempuan lewat pemberitaannya.

Digunting paksa

Dari Langsa dilaporkan, tujuh karyawati bagian/unit moulding PT Wira Lanao, pada hari Sabtu (2/10) siang, Rambutnya dipangkas paksa dan digunduli gara-gara tidak memakai jilbab.

Laporan yang diterima Serambi, Senin (4/10) dari para karyawan PT WL di Langsa, menyebutkan, aksi itu terjadi sewaktu bus penjemput karyawan dari Langsa menuju ke pabrik PT WL di Bukit Selamat, distop orang bertopeng di kawasan Sungai Raya. Orang yang wajahnya ditutup lilitan kain sarung dan memegang HT (handy talky) itu naik ke bus dan mendekati sopir bus, Arifin (40). Keduanya berbicara dalam bahasa Aceh. Maksudnya, ia minta Arifin agar terus menjalankan bus dan berhenti sekitar 200 meter lagi. Persis 200 meter ke depan, ternyata telah menunggu sekelompok laki-laki tak dikenal. Orang bertopeng lantas menyuruh beberapa wanita di antara puluhan karyawan yang ada turun dari bus. Rupanya sedang ada "razia jilbab". Terbukti, beberapa anggota kelompok tersebut telah menyiapkan gunting khusus. Dan, para karyawati tanpa jilbab itu tak dapat mengelak ketika rambut-rambut panjang mereka dipangkas dan digunduli kelompok tersebut.

Para karyawati yang terkena razia jilbab itu antara lain Rugun Silitonga (27), Sri Herawati (29), Nova (25), Ida (24), Afnidar (26), Ita Simajuntak (27), dan Ida (26).

Sri Herawati yang berambut panjang sepinggang, sempat pingsan setelah dipangkas paksa tersebut. Menurut pengakuan Sri, ia merasa kecewa berat dan sangat marah rambutnya dipangkas. "Saya mau kok pakai jilbab. Tapi, jangan rambut saya dipotong," ujarnya. Akibat aksi itu, mendadak Senin kemarin, semua karyawati PT WL, termasuk yang non-muslim, mengenakan jilbab. (non/ism)
_________________________________________________________________

Dua Mayat Pria Digeletakkan di Jalan

Serambi-Meulaboh
Dua mayat pria dengan kondisi tubuh yang rusak parah, Senin (4/10), ditemukan di atas batas badan jalan Meulaboh-Tutut, kawasan kecamatan Woyla, Aceh Barat. Berat dugaan, mayat itu sengaja digeletakkan di tempat itu.

Dari pembicaraan yang berkembang ketika kedua mayat itu ditemukan, korban adalah tersangka pencuri ternak yang sudah sering menjalankan aksinya. Sampai pukul 20.00 tadi malam, kedua mayat yang disekujur tubuh terdapat luka-luka bekas pukulan benda tumpul itu masih berada di "lokasi pembuangan", sekitar 57 km dari Meulaboh. "Kita sudah mengirimkan ambulan untuk mengambil kedua mayat itu," kata sumber di RSU Cut Nyak Dhein Meulaboh tadi malam. Masih menurut sumber masyarakat, kedua mayat itu baru diketahui indentitasnya menjelang tengah hari kemarin meski masyarakat setempat sudah melihat kedua korban yang diletakan di atas badan jalan sejak pagi hari.

Kedua korban itu masing-masing bernama Jarimin penduduk Desa Gleung Kecamatan Sungai Mas dan Buyong warga Desa Seumeleng Kecamatan Samatiga. Diperkirakan, mereka dibunuh karena tertangkap tangan saat sedang melakukan pencurian kerbau milik penduduk di sekitar perbatasan Kecamatan Woyla - Sungai Mas, Minggu (3/10) malam. Di sekitar lokasi temuan kedua mayat itu, masyarakat juga menemukan dua ekor ternak kerbau yang diikatkan di semak belukar. Diduga kedua ekor kerbau itu merupakan hasil jarahan korban ketika melakukan aksinya di sekitar desa yang berlokasi di perbatasan Kecamatan Woyla - Sungai Minggu (3/4) malam.

Pemilik kerbau di Kecamatan Woyla, Sungai Mas dan Kaway XVI menyatakan, kedua korban itu sudah cukup dikenal masyarakat setempat berprofesi sebagai pencuri ternak. Sehingga sudah cukup banyak ternak kerbau piaraan masyarakat dijarahnya. Meski sudah sering melakukan aksi pencurian, ketika masyarakat ingin melakukan penangkapan kedua korban selalu berhasil meloloskan diri. Tapi nahas, Minggu (3/10) malam, keduanya ketangkap tangan sewaktu melakukan aksinya di sekitar perbatasan Kecamatan Sungai Mas - Woyla.

Meski masyarakat tidak tahu siapa yang membunuh, namun diyakini keduanya dihabisi berkaitan dengan kasus pencurian kerbau milik penduduk. "Pembunuhan itu murni karena kedua korban ketangkap tangan sewaktu melakukan pencurian kerbau," kata sumber masyarakat. Belum ada pihak yang mengaku menghabisi kedua korban. Berat dugaan, korban dikeroyok. Belum didapat keterangan pihak kepolisian tentang kasus ini.(tim)
_________________________________________________________________

PPD I Menyempal Lagi
* Caleglih tak Diakui

Serambi-Banda Aceh
Unsur partai politik di Panitia Pemilihan Daerah kembali menyempal. Kali ini dilakukan 12 parpol yang tak memperoleh kursi di DPRD Tk I. Mereka tak mengakui calon legislatif terpilih (caleglih) yang disusun Drs Irama Bukit Putra cs.

"Kami protes bukan untuk mendapatkan kursi. Tapi tersinggung karena dikucilkan. Caleglih yang disusun itu tak pernah diplenokan di PPD dan langsung dibawa ke KPU/PPI," kata T Zainuddin Sabil, anggota PPD I dari unsur Partai Serikat Pekerja (PSP) kepada Serambi, Senin (4/10) Ke-12 parpol yang memprotes cara kerja Jeffrey Yus HKM (wakil Ketua PPD) dan Irama Bukit Putra (wakil sekretaris) dalam menyusun caleglih Aceh itu adalah PADI, Pilar, Pari, PSP, PID, PBN, SPSI, PBI, PUMI, PNI-FM, Murba, dan PND. Kecuali tiga parpol yang disebutkan terakhir, unsur sembilan parpol lainnya telah membubuhkan tandatangan dalam sebuah pernyataan sikap yang akan disampaikan kepada pihak-pihak berkompeten.

Peristiwa terakhir di PPD I ini adalah kali kedua di lembaga pemilu tingkat propinsi itu terjadi penyempalan. Peristiwa pertama adalah yang dimotori Jeffrey-Irama cs yang menuntut pembagian kursi di DPRD Tk I dibagi merata kepada 28 parpol. Selain, PPP, PAN, Golkar, PDI-P, dan PBB, maka 26 parpol lainnya masing-masing mendapat 1 kursi. Kelompok Jeffrey-Irama juga memecat DR A Farhan Hamid dan Bustami Usman dari jabatannya sebagai ketua dan sekretaris PPD Tk I Aceh. Tindakan Jeffrey-Irama cs ditentang oleh tujuh pimpinan parpol yang meraih suara terbesar di Aceh (PPP, PAN, Golkar, PDI-P, PBB, PK, dan PUI). Tapi, dalam "pertarungan" selanjutnya, kelompok Jeffrey- Irama cs mendulang sukses setelah PPI menetapkan pembagian kursi yang seperti yang diinginkan. Sampai saat ini, kelompok tujuh tidak mengakui keputusan PPI tersebut, dan tetap berharap presiden menurunkan keppres pembagian kursi DPRD Tk I seperti yang pernah dijanjikan BJ Habibie saat menerima kelompok tujuh, pertengahan bulan lalu.

Tak tahu

Menurut Zainuddin Sabil, kelompok 12 partai gurem ini akan mengutus dua wakilnya ke Jakarta untuk menemui pimpinan KPU/PPI agar tak segera mengesahkan caleglih yang "dibundel" Jeffrey-Irama. Yang dipercayakan sebagai Ketika ditanya, Zainuddin mengaku tidak tahu- menahu tentang nama-nama caleglih yang dibawa ke PPI. Karena, ketika nama itu dibawa, ia bersama 11 anggota PPD lainnya sedang berada di daerah. Kedua belas anggota ini, kisah T Zainuddin, diperintahkan oleh PPD- I yang dinakhodai Jefrey Yus HkM Cs untuk meluruskan persoalan DPRD-II Aceh Utara dan Pidie. "Tapi setelah persoalan di kedua daerah itu selesai, wakil ketua dan wakil sekretaris sudah berangkat ke Jakarta membawa bundel itu," katanya.

Akhirnya, kata Zainuddin, tugas yang dibebankan kepada mereka dilaporkan kepada Drs Wijaya Kesuma (Wakil ketua PPD-I dari unsur pemerintah). Terkesan, wakil ketua dan sekretaris PPD sengaja menghindari nama-nama caleglih itu diplenokan. Sementara itu, Ridwan MR (PID) yang akan berangkat ke Jakarta Selasa (5/10), mengaku berniat baik. Kelompok 12 ingin meluruskan persoalan di PPD-I Aceh yang hancur-hancuran. "Bagaimana tidak, PPD-menjadi pecah berkelompok-kelompok. Ada yang bekerja di barat, timur, dan di tengah. Maunya semua kumpul lagi di Aceh, lalu duduk untuk mencari jalan keluar," katanya.

Jika bisa, kata Ridwan, kelompoknya akan berupaya menjadi penengah antara kelompok-kelompok yang yang sedang berseteru (kelompok tujuh vs kelompok Jeffrey-Irama, red.). "Jadi, kami yang di luar pagar (tak mendapat kursi) biar jadi penengah saja. Tidak mau lebih. Kita inginkan kebenaran. Dalam niat tidak sedikitpun ingin menghancurkan orang lain," ujar Ridwan.

Sementara itu, Drs Irama Bukit Putra ketika dihubungi melalui telepon selularnya, tadi malam, menyebutkan, PPD-I telah bekerja sesuai tugas yang diperintahkan PPI beberapa waktu lalu. Katanya, dalam sebuah rapat, PPD-I telah meminta partai-partai untuk mengajukan caleglih, dan membentuk tim verifikasi. Tim dimaksud, kata Irama, telah bekerja menyeleksi nama-nama Caleglih DPRD-I Aceh. Hasil itu yang kini dibawa untuk di-SK-kan Mendagri. Menurut Irama, persoalan nama caleglih itu tidak perlu dipleno lagi. Sebab menyangkut hal-hal yang rutin. Pleno akan diadakan lagi setelah SK pengesahan dibawa pulang. "Jika ada yang ingin protes silakan saja. Itu kan hak azasi di alam demokrasi. Tapi sebaiknya lihat kepentingan yang lebih besar," ujarnya.

Selain itu, kata Irama, saat ini PPD-I Aceh sedang menunggu penyelesaian SK anggota DPRD-I Aceh yang dibawanya. Sedangkan yang belum diajukan oleh partai besar akan ditunggu.(ed)
_________________________________________________________________

228 Rumah Trans Dibakar

Serambi-Lhokseumawe
Sebanyak 228 rumah warga transmigrasi di Lhok Tanoh dan Buket Ceurana Kecamatan Samalanga, Aceh Utara, musnah dibakar orang tak dikenal, Minggu (3/10) malam. Sejauh ini belum ada laporan tentang korban jiwa, karena rumah tersebut sudah lama ditinggalkan penghuninya. Kapolres Aceh Utara Letkol Pol Drs Syafei Aksal dan Dandim 0103 Letkol Inf Suyatno, mengaku sedang menangani kasus pembakaran itu. Menurut Dandim, aksi tersebut diketahui aparat pukul 19.30 WIB. Namun hingga pukul 23.00 WIB, api masih menyala menghanguskan rumah demi rumah. Dandim yang dikonfirmasi Senin (4/10), merincikan rumah trans di Lhok Tanoh yang terbakar mencapai 140 unit dari 150 unit yang ada.

Sedangkan di Buket Ceurana, rumah yang dibakar sebanyak 88 unit dari 98 unit. "Jadi mereka menyisakan masing-masing 10 unit," kata Dandim. Menurutnya, rumah trans tersebut sudah lama ditinggalkan penghuninya. Begitu pun, ia menyesalkan peristiwa itu terjadi karena menimbulkan ketakutan dan keresahan masyarakat. "Kalaupun rumah itu sudah tidak dihuni lagi, tapi suatu saat kan masih bisa dimanfaatkan," ujarnya. Lebih jauh, ia mengajak semua pihak untuk meninggalkan aksi-aksi yang bisa menimbulkan keresahan. Suasana yang sudah relatif aman, katanya, harus kita jaga bersama demi ketenangan hidup bersama. Sumber Serambi di Samalanga menyebutkan, rumah di dua lokasi itu-- ketika masih ditempati warga trans--juga dihuni sejumlah anggota TNI untuk pengamanan daerah tersebut.

Membantah

Kemarin, seseorang yang bernama Abu Marwan, mengaku dari biro penerangan GAM Wilayah Batee Iliek, membantah jika dituduh pihaknya sebagai pelaku pembakaran rumah warga trans tersebut. "Ini (bantahan, red.) perlu saya jelaskan agar jangan nanti ada yang menuding GAM membakar perumahan trans yang telah kosong itu dan rakyat di sekitar yang dijadikan korban," katanya.

Marwan yang menyatakan dirinya sebagai juru bicara panglima GAM Batee Iliek, Darwis Djeunieb, mengakui bahwa lokasi pemukiman transmigrasi itu sudah tak berpenghuni lagi sejak terjadi peristiwa penembakan terhadap rombangan paramedis Puskesmas Peudada, beberapa bulan lalu. "Sejak ditinggalkan warga trans, praktis tidak ada masyarakat yang mendatangi wilayah itu, apalagi anggota GAM yang jelas-jelas tidak ada kepentingannya," ujar Marwan seraya menambah bahwa pihaknya tak tahu secara pasti siapa yang membakar rumah- rumah tersebut.(tim)