Update: 00.30 Wib Selasa, 5 Oktober 1999
_________________________________________________________________
Ribuan Buruh PT MR Belum Menerima Gaji
* Pencarian Perampok Meluas
Serambi-Langsa
Ribuan --sekitar 2.000-- karyawan/buruh perkebunan sawit PT Mapoli
Raya (MR) hingga Senin (4/10) belum menerima gaji. Sejauh ini, BNI 46
belum dapat menjanjikan kapan gaji ribuan buruh itu dapat dibayar.
Sedangkan, pihak kepolisian belum menemukan pelaku perampok uang Rp
1,2 milyar yang merupakan gaji buruh PT MR. Menurut Komandan Satgas
Sektor C Letkol Pol Drs Priatna, perburuan untuk menangkap kawanan
perampok yang juga menculik dua anggota polisi dan satu karyawan BNI
46 itu terus digiatkan.
Dikatakannya, ratusan aparat keamanan terdiri dari Brimob, Perintis,
Serse, dan lain-lain kini dikerahkan melacak ke sejumlah kawasan yang
diduga menjadi tempat persembunyian mereka. Meski TKP di wilayah
timur, namun pencarian kini meluas ke wilayah barat Aceh Timur, bahkan
sampai ke Simpang Ulim.
Kepala Cabang BNI 46 Langsa, Fitri Almaisyah ketika dihubungi Senin
siang, mengaku sejauh ini pihaknya belum mendapat "petunjuk" dari BNI
Pusat untuk penggantian uang Rp 1,2 milyar atau pembayaran kembali
gaji buruh PT MR.
Tentang pihak mana yang menanggung kerugiaan dan yang akan membayar
kembali gaji buruh yang dirampok tersebut, menurut Fitri, hal itu juga
sedang dibicarakan di Medan. Antara kantor pusat PT MR dan BNI 46.
Bahkan, Fitri tak dapat memastikan kapan ribuan buruh PT MR dapat
menerima gaji bulan September. "Saya berharap mereka (buruh/karyawan
PT MR-red) dapat bersabar. Masalah ini sedang dimusyawarahkan.
Bagaimana pun, mereka itu nasabah kami, dan kami ini selalu harus siap
melayani," tambahnya, seraya meminta maaf kepada para wartawan yang
datang dan tak dilayani sebelumnya. "Saya minta maaf atas sikap saya.
Karena, saya sedang panik. Ini masalah nyawa orang. Satu orang
karyawan kami belum jelas nasibnya," ungkap Fitri.
Seperti diberitakan Serambi, Minggu (3/10), gaji ribuan buruh/karyawan
PT MR senilai Rp 1,2 milyar yang dibawa dengan mobil minibus BNI '46
Cabang Langsa ludes disikat sekawanan perampok berseragam loreng
lengkap dengan senjata laras panjang. Perampokan terjadi di kawasan
perbukitan Desa Sukaramai I Kecamatan Seuruway, Aceh Timur, Sabtu
(2/10) pagi.
Dua anggota Polres Aceh Timur sebagai pengawal, masing-masing Serka
Zulkarnain dan Serda Samiran, serta supir mobil BNI '46, Zulkifli,
ikut diculik kawanan perampok tersebut.
Namun, dua karyawati BNI, yakni Erdawaty dan Dian Widyawaty yang ikut
serta dalam mobil ternyata tidak diculik. Keduanya dibiarkan dengan
kedua tangan terikat dan mata tertutup kain merah. (tim)
_________________________________________________________________
Lagi, 300 Wanita Datangi Mapolres
* Dua Tahanan Dilepas
Serambi-Lhokseumawe
Sekitar tiga ratusan wanita berjilbab dari Kecamatan Nisam, Senin
(4/10) kemarin, kembali mendatangi Mapolres Aceh Utara. Sama dengan
tuntutannya pada aksi serupa Sabtu pekan lalu, mereka mendesak polisi
membebaskan enam warga setempat yang ditahan polisi. Kapolres Aceh
Utara menyebutkan, aksi ibu-ibu itu ke markasnya ada yang mendalangi.
Berkait dengan unjuk rasa kaum ibu Nisam itu, kemarin, Polres
membebaskan dua dari tiga pria Nisam yang ditahan. Yakni, Abdullah
Matsyah dan Ramli Harun.
Sedangkan satu lainnya, M Yusuf A Djamil, menurut Kapolres Letkol Pol
Drs Syafei Aksal tetap diproses sesuai hukum, karena berdasarkan bukti
yang ditemui polisi, lelaki itu melakukan serangkaian tindak pemerasan
dan pada malam hari acap menggunakan seragam militer. "Pada saat
ditangkap, ia juga membawa senjata tajam. Ini bukan basa-basi, tapi
pasti," jelas kapolres.
Berdasarkan hasil investigasi petugasnya, kata kapolres, wanita
berjilbab mendatangi Mapolres karena adanya tekanan atau paksaan dari
pihak tertentu.
Aksi demo ke Mapolres, kemarin, hanya berselisih waktu 15 menit dari
aksi unjuk rasa mahasiswa di DPRD. Sekitar pukul 09.30 WIB, ratusan
ibu-ibu dari sejumlah desa di kecamatan Nisam, datang ke Mapolres
dengan tuntutan penglepasan tiga tahanan sesuai dengan janji kapolres,
hari Sabtu (2/10).
Kedatangan ibu-ibu dalam jumlah besar membuat suasana di depan
Mapolres sedikit kacau. Apalagi, akibat itu kelancaran arus lalulintas
terganggu. Setelah rombongan pertama tiba, tidak lama berselang dari
arah timur Mapolres juga mengalir serombongan wanita lainnya yang
langsung bergabung dengan wanita Nisam. Kemudian berkeras masuk
Mapolres. Namun, dihadang. Sehingga beberapa di antaranya mengambil
posisi duduk di depan kawat berduri. Sebagian di antaranya terus
meneriakkan, "Lepaskan warga kami, karena tidak bersalah."
Teriakan minta dibebaskan juga diiringi dengan salawat badar dan
membaca sejumlah ayat suci al-Quran. Lalulintas kendaraan mulai macet,
Satlantas juga tidak kalah sibuknya mengantisipasi kemacetan.
Sekitar pukul 11.00 WIB, aksi tarik-menarik antara petugas Satlantas
dengan kaum ibu mulai terjadi. Karena ratusan kaum ibu memblokir jalan
negara depan Mapolres agar kendaraan tidak bisa lewat. Maksud kaum
itu, terpaksa diantisipasi aparat keamanan sehingga terjadi
tarik-menarik.
Mapolres Aceh Utara mengumumkan, dua di antara tiga orang yang ditahan
akan dilepas. Sedangkan satu lainnya masih diproses. Hal itu sedikit
menenangkan masyarakat, tetapi ada sebagian lainnya mencemoohkan
pengumuman aparat. Bahkan, ada beberapa orang yang terus menyebutkan,
itu sebagai tipuan.
Sambil menunggu keterangan Mapolres, ratusan wanita mulai mendekati
warung nasi sekitar Mapolres untuk makan. Ada yang makan di warung dan
ada pula di depan Mapolres.
Sekitar pukul 13.00 WIB, dua tahanan dibawa pulang, keluar dari pintu
sebelah barat. Tampak dalam mobil colt milik aparat, dua tahanan
bersama satu unit sepeda motor. Tetapi, ratusan wanita belum percaya.
Mereka menuntut Abdullah Matsyah (35) warga Jeuleukat, harus
dibebaskan juga.
Suasana sedikit kacau, para wanita tidak mau mendengar. Sejumlah
mahasiswa yang tergabung dalam MAPRA, terpaksa turun tangan. Sekjen
MAPRA, Uziauddin, mengambil mikrofon dan berdiri di atas mobil
Satlantas. Ia berbicara dalam bahasa Aceh, bahwa dua orang benar sudah
dilepas, sedangkan satu orang lagi masih dalam proses. Ia berjanji
akan menjaga tahanan dan mengharapkan kaum ibu segera pulang ke rumah.
Imbauan mahasiswa tidak mendapat respon. Seorang mahasiswa dari MAPRA
mengambil alih mikrofon juga menyampaikan hal yang sama.
Sekitar pukul 13.30 suasana mulai tenang, dan wanita meminta
keterangan itu dibuat dalam perjanjian tertulis. Abdullah Matsyah
dalam proses, bahkan sudah ditangani pengacara.
Ibu-ibu meninggalkan Mapolres Aceh Utara pada pukul 20.30 WIB
menumpang 20 truk yang disediakan Kapolres Syafei Aksal. Kepada pihak
yang memobilisasi dan memprovokasi ibu-ibu untuk melakukan aksi ke
Mapolres, Syafei mengharapkan agar menyadari betapa sengsaranya
ibu-ibu itu saat diguyur hujan selepas Magrib. Apalagi, di antara kaum
ibu itu juga membawa anak kecil. Ditambahkannya, ibu-ibu itu ternyata
tidak hanya berasal dari Kecamatan Nisam. Setelah ditelusuri, mereka
juga ada yang berasal dari Kecamatan Muara Dua. (tim)
_________________________________________________________________
"Hentikan Kekerasan dalam Razia Jilbab"
* Di Aceh Timur Tujuh
Wanita Digunduli
Serambi-Banda Aceh
Organisasi perempuan Aceh (Flower Aceh) mengingatkan semua pihak,
bahwa razia jilbab di tempat-tempat umum dengan cara kekerasan dapat
merugikan perjuangan rakyat Aceh dalam jangka panjang. Penggunaan
kekerasan dengan dalih apa pun selain dapat mengaburkan persoalan
utama, seperti pelanggaran HAM, juga sangat merugikan penggalangan
dukungan masyarakat luas baik di tingkat nasional maupun internasional
terhadap penyelesaian persoalan Aceh.
"Kondisi ini dapat pula dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk
mendapatkan keuntungan akibat timbulnya perpecahan di antara rakyat
Aceh," tulis Erni, Divisi Advokasi Flower Aceh dalam siaran pers yang
dibagikan kepada wartawan, Senin (4/10).
Katanya, upaya mengajak perempuan muslim di Aceh menggunakan jilbab
tentunya bermaksud baik. Namun, praktek kekerasan yang menyertainya
tidak dapat dibenarkan. Akibatnya, bukan tidak mungkin banyak
perempuan menggunakan jilbab semata-mata karena unsur terpaksa.
Sosialisasi berbusana mulim, tulis Flower Aceh, hendaknya dilakukan
secara yang lebih simpatik dan bertanggungjawab dengan menjauhi
cara-cara kekerasan. Praktek-praktek seperti itu dapat disalahgunakan
untuk pembenaran (justifikasi) tindakan kekerasan terhadap perempuan,
baik kapada mereka yang muslim maupun nonmuslim.
Menurut Flower Aceh, bila hal ini tidak diantisipasi dikhawatirkan
dapat menjurus ke arah praktek diskriminasi dan kekerasan antaretnik.
Flower Aceh memberitahukan wartawan, bahwa mereka mendapat pengaduan
mengenai tindakan kekerasan seperti memotong rambut, mengunting baju,
membentak, melakukan intimidasi, termasuk juga tercatat adanya usaha
pemerasan korban.
Insiden seperti itu setidaknya telah terjadi di Pidie, Aceh Utara,
Aceh Tengah, Aceh Selatan, Kotamadya Banda Aceh, dan Aceh Timur.
Dalam siaran pers bertanggal, 4 Oktober 1999, Flower Aceh meyerukan
kepada berbagai pihak yang berkepentingan serta masyarakat luas untuk
menghentikan cara-cara pemaksaan dan kekerasan terhadap perempuan
dalam masalah pemakaian jilbab.
Agar semua pihak untuk waspada tentang kemungkinan pengalihan isu
pelanggaran HAM di Aceh dengan cara membesar-besarkan isu pemakaian
jilbab. Kepada Pemda dan Majelis Ulama Aceh diminta untuk segera
mengantisipasi pelaksanaan razia jilbab sebelum menjadi persoalan yang
lebih serius lagi. Polri diminta mengambil tindakan hukum bagi pelaku
kekerasan dalam razia jilbab.
Media massa cetak dan elektronik diimbau untuk tidak ikut terjebak
secara tidak langsung mendukung tindakan kekerasan terhadap perempuan
dengan penggunaan kata-kata yang melecehkan dan melegitimasi kekerasan
terhadap perempuan lewat pemberitaannya.
Digunting paksa
Dari Langsa dilaporkan, tujuh karyawati bagian/unit moulding PT Wira
Lanao, pada hari Sabtu (2/10) siang, Rambutnya dipangkas paksa dan
digunduli gara-gara tidak memakai jilbab.
Laporan yang diterima Serambi, Senin (4/10) dari para karyawan PT WL
di Langsa, menyebutkan, aksi itu terjadi sewaktu bus penjemput
karyawan dari Langsa menuju ke pabrik PT WL di Bukit Selamat, distop
orang bertopeng di kawasan Sungai Raya.
Orang yang wajahnya ditutup lilitan kain sarung dan memegang HT (handy
talky) itu naik ke bus dan mendekati sopir bus, Arifin (40). Keduanya
berbicara dalam bahasa Aceh. Maksudnya, ia minta Arifin agar terus
menjalankan bus dan berhenti sekitar 200 meter lagi.
Persis 200 meter ke depan, ternyata telah menunggu sekelompok
laki-laki tak dikenal. Orang bertopeng lantas menyuruh beberapa wanita
di antara puluhan karyawan yang ada turun dari bus.
Rupanya sedang ada "razia jilbab". Terbukti, beberapa anggota kelompok
tersebut telah menyiapkan gunting khusus. Dan, para karyawati tanpa
jilbab itu tak dapat mengelak ketika rambut-rambut panjang mereka
dipangkas dan digunduli kelompok tersebut.
Para karyawati yang terkena razia jilbab itu antara lain Rugun
Silitonga (27), Sri Herawati (29), Nova (25), Ida (24), Afnidar (26),
Ita Simajuntak (27), dan Ida (26).
Sri Herawati yang berambut panjang sepinggang, sempat pingsan setelah
dipangkas paksa tersebut. Menurut pengakuan Sri, ia merasa kecewa
berat dan sangat marah rambutnya dipangkas. "Saya mau kok pakai
jilbab. Tapi, jangan rambut saya dipotong," ujarnya.
Akibat aksi itu, mendadak Senin kemarin, semua karyawati PT WL,
termasuk yang non-muslim, mengenakan jilbab. (non/ism)
_________________________________________________________________
Dua Mayat Pria Digeletakkan di Jalan
Serambi-Meulaboh
Dua mayat pria dengan kondisi tubuh yang rusak parah, Senin (4/10),
ditemukan di atas batas badan jalan Meulaboh-Tutut, kawasan kecamatan
Woyla, Aceh Barat. Berat dugaan, mayat itu sengaja digeletakkan di
tempat itu.
Dari pembicaraan yang berkembang ketika kedua mayat itu ditemukan,
korban adalah tersangka pencuri ternak yang sudah sering menjalankan
aksinya. Sampai pukul 20.00 tadi malam, kedua mayat yang disekujur
tubuh terdapat luka-luka bekas pukulan benda tumpul itu masih berada
di "lokasi pembuangan", sekitar 57 km dari Meulaboh. "Kita sudah
mengirimkan ambulan untuk mengambil kedua mayat itu," kata sumber di
RSU Cut Nyak Dhein Meulaboh tadi malam.
Masih menurut sumber masyarakat, kedua mayat itu baru diketahui
indentitasnya menjelang tengah hari kemarin meski masyarakat setempat
sudah melihat kedua korban yang diletakan di atas badan jalan sejak
pagi hari.
Kedua korban itu masing-masing bernama Jarimin penduduk Desa Gleung
Kecamatan Sungai Mas dan Buyong warga Desa Seumeleng Kecamatan
Samatiga. Diperkirakan, mereka dibunuh karena tertangkap tangan saat
sedang melakukan pencurian kerbau milik penduduk di sekitar perbatasan
Kecamatan Woyla - Sungai Mas, Minggu (3/10) malam.
Di sekitar lokasi temuan kedua mayat itu, masyarakat juga menemukan
dua ekor ternak kerbau yang diikatkan di semak belukar. Diduga kedua
ekor kerbau itu merupakan hasil jarahan korban ketika melakukan
aksinya di sekitar desa yang berlokasi di perbatasan Kecamatan Woyla -
Sungai Minggu (3/4) malam.
Pemilik kerbau di Kecamatan Woyla, Sungai Mas dan Kaway XVI
menyatakan, kedua korban itu sudah cukup dikenal masyarakat setempat
berprofesi sebagai pencuri ternak. Sehingga sudah cukup banyak ternak
kerbau piaraan masyarakat dijarahnya. Meski sudah sering melakukan
aksi pencurian, ketika masyarakat ingin melakukan penangkapan kedua
korban selalu berhasil meloloskan diri. Tapi nahas, Minggu (3/10)
malam, keduanya ketangkap tangan sewaktu melakukan aksinya di sekitar
perbatasan Kecamatan Sungai Mas - Woyla.
Meski masyarakat tidak tahu siapa yang membunuh, namun diyakini
keduanya dihabisi berkaitan dengan kasus pencurian kerbau milik
penduduk. "Pembunuhan itu murni karena kedua korban ketangkap tangan
sewaktu melakukan pencurian kerbau," kata sumber masyarakat.
Belum ada pihak yang mengaku menghabisi kedua korban. Berat dugaan,
korban dikeroyok. Belum didapat keterangan pihak kepolisian tentang
kasus ini.(tim)
_________________________________________________________________
PPD I Menyempal Lagi
* Caleglih tak Diakui
Serambi-Banda Aceh
Unsur partai politik di Panitia Pemilihan Daerah kembali menyempal.
Kali ini dilakukan 12 parpol yang tak memperoleh kursi di DPRD Tk I.
Mereka tak mengakui calon legislatif terpilih (caleglih) yang disusun
Drs Irama Bukit Putra cs.
"Kami protes bukan untuk mendapatkan kursi. Tapi tersinggung karena
dikucilkan. Caleglih yang disusun itu tak pernah diplenokan di PPD dan
langsung dibawa ke KPU/PPI," kata T Zainuddin Sabil, anggota PPD I
dari unsur Partai Serikat Pekerja (PSP) kepada Serambi, Senin (4/10)
Ke-12 parpol yang memprotes cara kerja Jeffrey Yus HKM (wakil Ketua
PPD) dan Irama Bukit Putra (wakil sekretaris) dalam menyusun caleglih
Aceh itu adalah PADI, Pilar, Pari, PSP, PID, PBN, SPSI, PBI, PUMI,
PNI-FM, Murba, dan PND. Kecuali tiga parpol yang disebutkan terakhir,
unsur sembilan parpol lainnya telah membubuhkan tandatangan dalam
sebuah pernyataan sikap yang akan disampaikan kepada pihak-pihak
berkompeten.
Peristiwa terakhir di PPD I ini adalah kali kedua di lembaga pemilu
tingkat propinsi itu terjadi penyempalan. Peristiwa pertama adalah
yang dimotori Jeffrey-Irama cs yang menuntut pembagian kursi di DPRD
Tk I dibagi merata kepada 28 parpol. Selain, PPP, PAN, Golkar, PDI-P,
dan PBB, maka 26 parpol lainnya masing-masing mendapat 1 kursi.
Kelompok Jeffrey-Irama juga memecat DR A Farhan Hamid dan Bustami
Usman dari jabatannya sebagai ketua dan sekretaris PPD Tk I Aceh.
Tindakan Jeffrey-Irama cs ditentang oleh tujuh pimpinan parpol yang
meraih suara terbesar di Aceh (PPP, PAN, Golkar, PDI-P, PBB, PK, dan
PUI). Tapi, dalam "pertarungan" selanjutnya, kelompok Jeffrey- Irama
cs mendulang sukses setelah PPI menetapkan pembagian kursi yang
seperti yang diinginkan. Sampai saat ini, kelompok tujuh tidak
mengakui keputusan PPI tersebut, dan tetap berharap presiden
menurunkan keppres pembagian kursi DPRD Tk I seperti yang pernah
dijanjikan BJ Habibie saat menerima kelompok tujuh, pertengahan bulan
lalu.
Tak tahu
Menurut Zainuddin Sabil, kelompok 12 partai gurem ini akan mengutus
dua wakilnya ke Jakarta untuk menemui pimpinan KPU/PPI agar tak segera
mengesahkan caleglih yang "dibundel" Jeffrey-Irama. Yang dipercayakan
sebagai Ketika ditanya, Zainuddin mengaku tidak tahu- menahu tentang
nama-nama caleglih yang dibawa ke PPI. Karena, ketika nama itu dibawa,
ia bersama 11 anggota PPD lainnya sedang berada di daerah.
Kedua belas anggota ini, kisah T Zainuddin, diperintahkan oleh PPD- I
yang dinakhodai Jefrey Yus HkM Cs untuk meluruskan persoalan DPRD-II
Aceh Utara dan Pidie. "Tapi setelah persoalan di kedua daerah itu
selesai, wakil ketua dan wakil sekretaris sudah berangkat ke Jakarta
membawa bundel itu," katanya.
Akhirnya, kata Zainuddin, tugas yang dibebankan kepada mereka
dilaporkan kepada Drs Wijaya Kesuma (Wakil ketua PPD-I dari unsur
pemerintah). Terkesan, wakil ketua dan sekretaris PPD sengaja
menghindari nama-nama caleglih itu diplenokan.
Sementara itu, Ridwan MR (PID) yang akan berangkat ke Jakarta Selasa
(5/10), mengaku berniat baik. Kelompok 12 ingin meluruskan persoalan
di PPD-I Aceh yang hancur-hancuran. "Bagaimana tidak, PPD-menjadi
pecah berkelompok-kelompok. Ada yang bekerja di barat, timur, dan di
tengah. Maunya semua kumpul lagi di Aceh, lalu duduk untuk mencari
jalan keluar," katanya.
Jika bisa, kata Ridwan, kelompoknya akan berupaya menjadi penengah
antara kelompok-kelompok yang yang sedang berseteru (kelompok tujuh vs
kelompok Jeffrey-Irama, red.). "Jadi, kami yang di luar pagar (tak
mendapat kursi) biar jadi penengah saja. Tidak mau lebih. Kita
inginkan kebenaran. Dalam niat tidak sedikitpun ingin menghancurkan
orang lain," ujar Ridwan.
Sementara itu, Drs Irama Bukit Putra ketika dihubungi melalui telepon
selularnya, tadi malam, menyebutkan, PPD-I telah bekerja sesuai tugas
yang diperintahkan PPI beberapa waktu lalu. Katanya, dalam sebuah
rapat, PPD-I telah meminta partai-partai untuk mengajukan caleglih,
dan membentuk tim verifikasi.
Tim dimaksud, kata Irama, telah bekerja menyeleksi nama-nama Caleglih
DPRD-I Aceh. Hasil itu yang kini dibawa untuk di-SK-kan Mendagri.
Menurut Irama, persoalan nama caleglih itu tidak perlu dipleno lagi.
Sebab menyangkut hal-hal yang rutin. Pleno akan diadakan lagi setelah
SK pengesahan dibawa pulang. "Jika ada yang ingin protes silakan saja.
Itu kan hak azasi di alam demokrasi. Tapi sebaiknya lihat kepentingan
yang lebih besar," ujarnya.
Selain itu, kata Irama, saat ini PPD-I Aceh sedang menunggu
penyelesaian SK anggota DPRD-I Aceh yang dibawanya. Sedangkan yang
belum diajukan oleh partai besar akan ditunggu.(ed)
_________________________________________________________________
228 Rumah Trans Dibakar
Serambi-Lhokseumawe
Sebanyak 228 rumah warga transmigrasi di Lhok Tanoh dan Buket Ceurana
Kecamatan Samalanga, Aceh Utara, musnah dibakar orang tak dikenal,
Minggu (3/10) malam. Sejauh ini belum ada laporan tentang korban jiwa,
karena rumah tersebut sudah lama ditinggalkan penghuninya.
Kapolres Aceh Utara Letkol Pol Drs Syafei Aksal dan Dandim 0103 Letkol
Inf Suyatno, mengaku sedang menangani kasus pembakaran itu. Menurut
Dandim, aksi tersebut diketahui aparat pukul 19.30 WIB. Namun hingga
pukul 23.00 WIB, api masih menyala menghanguskan rumah demi rumah.
Dandim yang dikonfirmasi Senin (4/10), merincikan rumah trans di Lhok
Tanoh yang terbakar mencapai 140 unit dari 150 unit yang ada.
Sedangkan di Buket Ceurana, rumah yang dibakar sebanyak 88 unit dari
98 unit. "Jadi mereka menyisakan masing-masing 10 unit," kata Dandim.
Menurutnya, rumah trans tersebut sudah lama ditinggalkan penghuninya.
Begitu pun, ia menyesalkan peristiwa itu terjadi karena menimbulkan
ketakutan dan keresahan masyarakat. "Kalaupun rumah itu sudah tidak
dihuni lagi, tapi suatu saat kan masih bisa dimanfaatkan," ujarnya.
Lebih jauh, ia mengajak semua pihak untuk meninggalkan aksi-aksi yang
bisa menimbulkan keresahan. Suasana yang sudah relatif aman, katanya,
harus kita jaga bersama demi ketenangan hidup bersama.
Sumber Serambi di Samalanga menyebutkan, rumah di dua lokasi itu--
ketika masih ditempati warga trans--juga dihuni sejumlah anggota TNI
untuk pengamanan daerah tersebut.
Membantah
Kemarin, seseorang yang bernama Abu Marwan, mengaku dari biro
penerangan GAM Wilayah Batee Iliek, membantah jika dituduh pihaknya
sebagai pelaku pembakaran rumah warga trans tersebut. "Ini (bantahan,
red.) perlu saya jelaskan agar jangan nanti ada yang menuding GAM
membakar perumahan trans yang telah kosong itu dan rakyat di sekitar
yang dijadikan korban," katanya.
Marwan yang menyatakan dirinya sebagai juru bicara panglima GAM Batee
Iliek, Darwis Djeunieb, mengakui bahwa lokasi pemukiman transmigrasi
itu sudah tak berpenghuni lagi sejak terjadi peristiwa penembakan
terhadap rombangan paramedis Puskesmas Peudada, beberapa bulan lalu.
"Sejak ditinggalkan warga trans, praktis tidak ada masyarakat yang
mendatangi wilayah itu, apalagi anggota GAM yang jelas-jelas tidak ada
kepentingannya," ujar Marwan seraya menambah bahwa pihaknya tak tahu
secara pasti siapa yang membakar rumah- rumah tersebut.(tim)
|