Suara Hidayatullah : Edisi Khusus Pertengahan September 1999  

Rusyad Nurdin, Dai Pejuang
Membubarkan itu mudah, kata KH Rusyad Nurdin menjawab usul penuh semangat dari seorang anak muda untuk membubarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tetapi harap diperhatikan, ulama lima zaman ini wanti-wanti, sekarang kita sedang berusaha keras mempersatukan umat. Yang salah kita perbaiki, insya Allah bisa berubah, lanjutnya.

Sikap tidak radikal dari ulama yang dilahirkan pada 17 April 1918 ini bukan berarti mentolerir kesalahan. Ketegasannya telah dibuktikan ketika menegur Ali Sadikin yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. KH Rusyad Nurdin menyatakan, RRC dan Soviet yang komunis pun belum pernah menjadikan judi sebagai income negara. Kita yang Pancasila kok menjadikan judi sebagai biaya membangun Jakarta, gugatnya kesal.

Harap dimaklumi, ketika itu Ali Sadikin secara jumawa bahkan menantang Pak Natsir agar jangan melewati Jakarta karena semua aspalnya adalah aspal judi.

Sikap konsisten ulama mantan anggota Konstituante ini akan lebih mudah kita baca nanti, jika buku riwayat hidupnya berjudul Rusyad Nurdin, Dai Pejuang Pejuang Dai sudah diterbitkan. Buku yang telah disiapkan Prof Mansur Suryanegara sejak 1997 itu sedang dalam penyelesaian. Salah satu yang belum diungkapkan, jelas Prof Mansur, adalah peran Pak Rusyad &emdash;yang dulunya amat gagah&emdash; dalam Hizbullah.

Ulama yang pernah bertetangga dengan anak Snouck Horgronye ini, hanya manggut-manggut mendengarkan rencana Prof Mansur &emdash;rekannya yang lebih muda&emdash; untuk menerbitkan riwayat hidupnya.

Ulama yang pernah aktif di Persatuan Islam (persis) ini malah sempat menceritakan cucu Snouck Horgronye, bernama Dedi Yusuf, yang menjadi pemain bulutangkis. Semoga panjang umur, Pak Rusyad.

Jusuf Amir Feisal, Sakit
Ketua Partai Bulan Bintang Jawa Barat ini masih tampak lemah, setelah seminggu dirawat di rumah sakit Advent Bandung. Ia baru saja menjalani operasi empedu.

Sebelum dirawat di rumah sakit, ayah tujuh anak ini diserang flu berat. Kepalanya pusing dan badannya panas dingin. Tapi, karena dianggap penyakit biasa, ia abaikan saja. Terus saja menjalani aktivitas sebagai wakil rakyat di DPRD Jawa Barat. Ternyata tambah parah. Setelah diperiksa dokter, eh penyakitnya ternyata cukup lumayan. Ia disarankan tinggal di rumah sakit. Mengapa tak memilih rumah sakit Islam? Tak tahu lah. Mungkin, itulah rumah sakit terbaik di sana.

Tiga hari istirahat sambil minum obat, eh malah parah. Setelah diperiksa lagi, barulah ketahuan di empedunya bersarang tiga batu kecil. "Tapi walau kondisinya lemah, ia masih semangat kalau menerima tamu dan telepon," ujar Lia Meilani yang setia mendampingi.

Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar. Kini ia istirahat di rumah menantunya, Barry Prima &emdash;aktor laga yang terkenal itu&emdash; di Bandung. "Alhamdulillah, sekarang sudah lumayan, banyak perubahan. Doakan saja supaya lekas sembuh dan bekerja kembali," ujarnya ramah kepada Sahid.

Prof DR Jusuf Amir Feisal, lahir di kota 'pabrik' artis dangdut, Tasikmalaya, 30 Oktober 1934. Alumni IKIP Bandung ini adalah adik almarhum KH Abdul Latief Muchtar, Ketua Umum Persis.

Selain namanya masih terdaftar sebagai dosen pascasarjana dan guru besar IKIP Bandung, ia juga masih menjabat sebagai Direktur LBIB (Lembaga Bahasa Inggris Bandung). Juga, kakek dari lima cucu ini masih terdaftar di organisasi yang didirikan pada Desember 1990 di Malang, ICMI, sebagai dewan pakar. Semoga cepat sembuh, Pak!

Ekky Syachrudin, Perseteruan
'Perseteruan' Golkar dengan PDI-Perjuangan (PDIP) rupanya tidak hanya di Jakarta, tapi juga di Surabaya. Itu berlangsung beberapa waktu lalu dalam sebuah seminar.

PDIP diwakili politisi senior Sabam Sirait, sedangkan Golkar diwakili tokoh vokal Ekky Syachrudin. Entah karena 'dendam' sejarah atau apa, Sabam sejak awal 'menyerang' dengan pernyataan-pernyataan tajam yang memojokkan Golkar. Pada masa Orde Baru, PDI memang pernah diobok-obok pemerintah, yang notabene Golkar.

Celakanya, judul seminarnya pun &emdash;Membedah Perekonomian Pasca-Habibie&emdash; ikut menohok partai beringin itu. Seakan-akan judul itu memastikan Habibie bakal tak jadi presiden lagi.

Namun, Ekky tampak tenang saja. Ia hanya memaparkan visi Golkar barunya. Dan akhirnya mantan aktivis HMI ini beraksi juga, ketika Sabam tiba-tiba memotong pembicaraan moderator. Pada akhir acara, Krisnayana, sang moderator, mengatakan, "Dengan adanya berbagai peristiwa kelabu yang dialami negara kita, maka diharapkan tidak ada lagi perpecahan di seluruh komponen bangsa. Terutama partai-partai politiknya, tidak jegal-menjegal, sehingga perekonomian kita jadi stabil."

Tiba-tiba sambil melirik Ekky, Sabam angkat bicara, "Kita tidak pernah menjegal, tapi dijegal terus."

Tak kalah sengit Ekky pun menangkis, "Yang saling jegal itu kan orang PDI sendiri."

"Iya, tapi kan campur tangan Golkar juga," sahut Sabam tak mau kalah.

"Salah sendiri, kenapa PDI mau," balas Ekky.

Entah karena tidak menemukan jawaban, Sabam akhirnya 'menyerah', "Ya itu, kenapa kita mau."

Hadirin tertawa saja melihat tingkah dua politisi itu. "Ternyata seru juga mengundang mereka dalam satu meja," celetuk Krisnayana sambali menahan tawa.

Hadad Alwi, Cinta Rasul
Para pecinta tembang shalawat tentu kenal suara lembut pria keturanan Arab ini. Soalnya, kasetnya berjudul Cinta Rasul laris manis di pasaran. Dalam waktu dua setengah bulan, katanya, sudah terjual 300 ribu kopi. "Ini menunjukkan gelora yang begitu besar dari umat untuk mencintai Rasulullah," katanya kepada koresponden Sahid, Ichwan Prasetyo, di sela-sela melatih menyanyi anak-anak TPA Al-Ihya, Solo.

Pria kelahiran Solo 13 Maret l966 ini mengaku hobi membaca shalawat sejak kecil. Ibunyalah yang pertama kali mengajari. Lalu memperdalam kepada Haji bin Ahmad, seorang ustadz di Kota Batik itu, ketika di SMP. Saat itulah ia mulai diminta melantunkan shalawat di berbagai masjid.

Tahun l995, karena menikah ia hijrah ke ibukota. Muncul dalam benaknya untuk merekam suaranya yang memang merdu itu. Keinginannya itu baru terkabul saat ia bertemu dengan Haidar Yahya, musikus yang menggarap album A Ba Ta Tsa milik Neno Warisman. Meluncurlah album pertama berjudul Nur Muhammad. Sambutan pasar cukup bagus. Dalam tempo satu setengah tahun terjual 300 ribu keping. Disusul album Ziarah Rasul, terjual 200 ribu dalam waktu setengah tahun. Kini ayah dua anak ini sedang mempersiapkan album keempat, Cinta Rasul II.

Bukan semata kaset-kasetnya laris yang membuatnya gembira, melainkan juga karena keinginannya berdakwah. "Itu tujuan utama saya," tegas protolan Universitas Gajah Mada dan Universitas Padjajaran Bandung ini.

Pernah ada sepucuk surat yang diterimanya dari seorang pemuda asal pulau Halmahera, MAluku. Anak muda ini mulanya brandalan. Anehnya, saat mendengarkan kaset shalawat Hadad Alwi, ia menangis. "Tangisnya adalah tangis penyesalan," cerita Hadad. Kini, pemuda itu berubah menjadi pemuda yang taat agama. "Inilah yang membuat saya terharu," katanya.