| ||||||||
Suara Hidayatullah : April 2000/Dzulhijjah-Muharram 1421 | ||||||||
Hartanya paling berharga adalah pustaka. Dengan keliling kota Yogya, ia meminjamkan buku-buku dan majalah-majalah secara cuma-cuma. Sayang, kini usianya sudah renta.
Memang, harta yang tersimpan di rumah itu ya hanya buku dan majalah itu. Tak ada perabotan mewah. Di ruang tamu, kamar makan, kamar tidur, bahkan dapur, penuh buku. Badannya yang kurus-keriput dan tinggal dihuni nafas satu-satu itu pun seolah tergencet tumpukan buku dan majalah. Di sisa-sisa hidupnya, kakek 24 cucu ini terobsesi berjuang menegakkan agama-Nya, dengan cara yang unik. “Orang yang berjuang tanpa pamrih, selama ini hanya saya ketahui dalam cerita sahabat Nabi. Eh, ternyata ada betulan, ya Pak Dauzan itu,” tutur Muhtasib, anak muda yang dengan sukarela membantu Dauzan. Keuletan, kesabaran, dan keikhlasannya memang mengagumkan. Saban hari lelaki kurus ini rela jalan kaki atau bergelantungan di bus kota yang selalu penuh sesak, sembari menenteng tas berisi bendelan buku dan majalah. Ia bukan hendak berjualan. Tapi seperti layaknya pedagang makanan, Dauzan rajin `menjajakan' barangnya kepada setiap orang. Mulai tukang becak, pedagang kakilima, pegawai negeri dan swasta, sampai orang-orang kaya yang biasanya tak sempat menyediakan bacaan untuk anak dan keluarganya. Buku-buku dan majalah-majalah itu dipinjamkan secara gratis. Hebatnya, itu sudah dilakukannya selama 20 tahun! Untuk kalangan bawah seperti tukang becak, Dauzan menyediakan buku-buku tuntunan ibadah praktis seperti shalat, puasa, zakat, wudhu, syurga dan neraka, cerita nabi, dsb. Dauzan biasanya menemui mereka di masjid-masjid. “Tukang becak yang masih sempat shalat berarti keislamannya cukup kuat,” alasannya. Banyak yang menyambut gembira, meski ada pula yang menolak secara halus, misalnya dengan alasan tak punya waktu untuk membaca. Maklum, tiap guliran waktu hanya terlewat dengan menarik becak. “Berikan saja kepada anak-anak, biar dibaca. Itu merupakan tanggung jawab bapak untuk membina mereka,” Dauzan terus mendesak. Nah, bila sudah mampir di keluarga tukang becak, koleksi Mabulir (Majalah dan Buku Bergilir) biasanya tak diambil alias dihibahkan. Kalangan menengah ke atas juga lumayan antusias. Pelajar dan mahasiswa misalnya, menganggap Dauzan layaknya tukang pos yang selalu dirindukan anak-anak kos. Meski, pada awalnya mereka bertanya-tanya, jangan-jangan harus bayar. Dauzan dianggap sebagai tukang sewa buku. “O, ini semua gratis. Asal dibaca, itu sudah cukup. Malah, kalau Anda bisa mengajak orang lain membaca, ada bonus dari BCA.” “Wah, hebat dong Pak,” mereka terheran-heran. “Iya, Bank Central Akhirat,” Dauzan terkekeh. Agar tak lagi dipusingkan dengan `tuduhan' sebagai tukang sewa atau makelar buku, di tiap koleksi Mabulir ditempeli label dengan keterangan sbb: Majalah/buku ini tidak dijual/disewakan, hanya dipinjamkan, khusus disajikan untuk kepentingan masyarakat dengan maksud:
Yang agak repot adalah menghadapi anak muda atau kalangan atas yang biasa hidup enak. Nggaya, banyak tingkah! Mereka malas menerima majalah-majalah Islam yang dianggap monoton dan kurang bergengsi. Mereka lebih tertarik majalah sekuler atau mode seperti Tempo, Gatra, Kartini, Femina, Hai, dan semacamnya. Di mata Dauzan, pemikiran mereka memang sudah terbalik, terkontaminasi media-media sekuler. “Baiklah, tunggu besok ya!” Dauzan segera memburu majalah-majalah itu. Sewaktu diserahkan kepada si pemesan, Dauzan tak lupa menyertakan media Islam, Lembar Jumat, cuplikan ayat al-Qur'an atau Hadits, di sela-sela halaman buku atau majalah. Jitu juga, sebab otomatis mereka tak hanya membaca majalah kegemarannya, tapi juga siraman dakwah lewat tulisan yang terselip itu. Dauzan bukannya tak menyadari bahwa buku-buku dan majalah-majalah itu belum tentu dibaca. Bagi Dauzan sudah cukup puas bila melihat majalah Mabulir terpajang di ruang tamu atau rak baca. Sebab eksistensi buku Islam dihargai dengan ditempatkan di tempat yang semestinya. Ia yakin lambat laun kecintaan terhadap media Islam mulai tumbuh di kalangan ini. Dan memang, banyak di antaranya kemudian menjadi `jamaah' aktif Mabulir. “Mereka memang manja sekali, harus dilayani terus. Pesan lewat telepon, harus diantar. Persis majikan,” Dauzan geleng-geleng kepala. Para tokoh pun didatangi. Sebelumnya Dauzan berusaha mempelajari betul dunia atau kegemaran sehari-hari si tokoh, termasuk istri atau suaminya, anak-anak, dan seluruh penghuni keluarga itu. Misalnya, bila datang ke rumah orang yang gemar beladiri, dicarilah buku-buku tentang beladiri. Tentu, diselipi media Islam. Sampai saat ini banyak yang antusias berkat kelihaian Dauzan menyelusup dunia mereka. Kantor dan instansi tak ketinggalan. Banyak yang masih aktif hingga kini, seperti kantor Askes, Bank BNI, Benteng Vredeburg, beberapa restoran, toko, wartel, apotek, salon, dan banyak tempat umum lain. Sampai-sampai Dauzan kewalahan karena kerap terlambat menggilir atau mengganti koleksi pinjaman itu. Tiap hari, minimal 5 tempat harus didatangi. Bila Ramadhan tiba, makin sibuklah Dauzan melayani para pemesan. Bahkan saat ini Mabulir harus memasok 200 eks buku sekolah dan majalah tiap bulannya pada sebuah yayasan sosial yang tengah merintis perpustakaan untuk daerah kumuh di Jakarta. Akibat ulah misionaris Dauzan lahir di Kauman, sebuah kampung religius dan bersejarah di dekat Kraton Yogyakarta. Ayah 8 anak ini termasuk pribumi yang mujur sehingga berkesempatan menuntut ilmu di sekolah produk Belanda. Pertama di Hollands Inlandsche School (HIS), lantas ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Berlanjut kemudian ke Algemene Middelbare School (AMS). Nah, ketika akrab dengan meneer dan noni Belanda itu, Dauzan menangkap fenomena unik. Pria berkacamata ini sering melihat ada orang begitu rajin mendatangi wong-wong Londo, bagi-bagi buku. Dauzan tak pernah tahu itu buku apa, sebab mereka selalu menghindar. “Ini untuk kalangan terbatas,” katanya. Usut punya usut, ternyata itu buku-buku agama Kristen. Dauzan remaja yang waktu itu aktif di Hizbul Wathan akhirnya tahu bahwa orang itu adalah misionaris. “Tentu kita bisa juga melakukan hal yang sama, untuk mempertahankan aqidah saudara sesama Muslim,” pikir Dauzan saat itu. Ia segera terpacu mengumpulkan koran, majalah, dan buku, khusus yang berkaitan dengan agama Islam. Kebetulan ia memang seorang kutu buku, sehingga aktivitas ini mengalir tanpa kendala. Kebetulan pula ayahnya menjadi pegawai perpustakaan Gedung Muhammadiyah, yang bisa menjadi pembimbing hal ihwal perbukuan. Klop. Sayang, baru bisa sebatas koleksi. Keinginan menjadi `misionaris' yang gemar bagi-bagi buku kepada orang lain tampaknya harus tertunda. Kondisi keamanan kota Yogya saat itu dalam keadaan darurat. Ini pula yang memanggil Dauzan untuk turut serta terjun di medan laga, pada pertempuran Serangan Oemoem 1 Maret l949 atau dikenal pula dengan peristiwa Yogya Kembali. Tahun 1950 ia mundur dari dinas ketentaraan. Suami Ny Darinah (alm) ini alih profesi sebagai pedagang batik. Alhamdulillah, penghasilannya lumayan, cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sederhana. Kenapa sederhana? Sebab sebagian rezekinya dialokasikan untuk untuk hobinya sudah lama ditinggalkan, yakni mengkoleksi majalah dan buku. Perhatian yang serius terhadap perbukuan membuat panca inderanya mampu menangkap betapa masih rendahnya minat baca masyarakat. Dauzan juga melihat media Islam biasanya kurang laku di pasar, padahal pemeluk agama Islam adalah komunitas mayoritas negeri ini. Aneh sekali rasanya. Hati pun terasa amat tersayat tatkala melihat majalah-majalah Islam bekas akhirnya cuma menjadi pembungkus tempe atau ikan asin. “Majalah Islam seolah kehilangan eksistensi, mubadzir, hanya tertumpuk sebagai kertas kiloan,” Dauzan setengah meratap. Di sisi lain, majalah-majalah sekuler, mistik, syirik, bahkan porno, begitu membanjir. Masyarakat telah terkepung media yang jauh dari nilai-nilai agama. “Apalagi di era yang katanya reformasi ini. Masya Allah!” ujarnya kepada Sahid, masih dengan nada masygul. Tentu `bencana' itu bukan semata disebabkan rendahnya minat baca ummat Islam. Di mata Dauzan, ada faktor lain, di antaranya karena banyak kalangan yang memang tak mampu beli buku. Karena itulah Dauzan berinisiatif meminjamkan buku. Bahkan pada pertengahan 1980 rumahnya dijadikan perpustakaan Majalah dan Buku Keliling Bergilir (Mabulir). Perpustakaan ini melayani peminjaman dan pemesanan buku dan majalah bekas secara bergilir. Gratis. Kepada si A dipinjamkan selama sebulan, diambil, lalu dipinjamkan kepada si B, juga sebulan, lantas si C, demikian seterusnya. “Kalau di RT atau RW ada piring dan gelas yang dipakai bergiliran, kenapa buku tidak?” Dauzan beranalogi. Ia lakukan itu semua karena selalu teringat sabda Rasulullah. “Seorang Muslim yang tidur nyenyak sementara tetangganya kelaparan, maka dia bukanlah termasuk golongan ummat Muhammad.” Rumahnya penuh buku, maka tetangganya harus turut `memakan' berbagai menu yang tersaji dalam buku-buku itu. “Sekarang, informasi kan sudah termasuk kebutuhan vital manusia seperti makanan. Jadi hadits itu berlaku. Apalagi doktrin Allah yang pertama kepada Muhammad adalah iqra'.” Berbekal uang pensiun Untuk mengoleksi buku atau majalah, Dauzan dengan telaten menyisiri pasar-pasar loak seperti shoping centre Yogya. Juga menjalin kerjasama dengan beberapa penerbit. Kadang ada pula bantuan dari instansi atau tokoh masyarakat yang simpati. Yang membuat susah, banyak pula pelanggan Mabulir yang ingin baca buku-buku baru. Apa boleh buat, ia harus rela merogoh kocek demi melayani kebutuhan pembaca. Dauzan ikhlas. Dengan adanya permintaan itu berarti ia berhasil menumbuhkan minat baca saudaranya sesama Muslim. Tak lupa wanti-wanti agar si pemesan benar-benar membaca, merawat, serta meminjamkannya kepada orang lain. Bagi si penyumbang akan menjadi amal jariyah yang tak putus sampai akhirat. Bagi pengarang akan menjadi ilmu yang bermanfaat. Bagi masyarakat/pembaca bisa menjadi wahana pembinaan ketaqwaan. Guna mempertahankan penampilan fisik koleksi Mabulir, perlu biaya dan energi tersendiri. Dauzan harus kerja keras untuk merawatnya. Maklum, para pembaca kebanyakan kurang peduli dalam hal perawatan. Bila buku itu kembali, ada saja yang rusak, sobek, tergunting, jilidan lepas, dsb. Kadang membuat jengkel juga. Untuk perawatan fisik itu, Dauzan dibantu 3 orang `santri' yang kerja sukarela, diberi sekadar uang lelah dan fasilitas makan serta tidur di rumah. Kebetulan Dauzan tinggal sendirian setelah sang istri (yang dulu begitu tekun membantu mengelola Mabulir) wafat setengah tahun lalu. Dulu, sempat menggaji 4 orang karyawan, tetapi kini tak mampu lagi. “Ongkosnya terlalu mahal, biaya tidak ada,” ujarnya sembari membetulkan letak kacamatanya yang telah pecah sebelah. Bisa dimengerti, sebab Dauzan memang hanya mengandalkan uang pensiun dan sesekali kiriman wesel anak-anaknya. Pangkat terakhir sebagai Pembantu Letnan Dua (Pelda) memberi uang pensiun sebesar Rp 350.000,- tiap bulan. Semuanya untuk menghidupi perpustakaan, beli buku/majalah, jilid, foto kopi, kliping, membuat label, dsb. Padahal rata-rata pengeluaran nominalnya 400-500 ribu/bulan. Kekurangannya? “Disiasati. Saya beli beberapa buku ke penerbit secara kontan, maka akan dapat potongan atau bonus. Jadi 350 ribu itu cukup untuk membeli buku senilai 500...,” ucapannya terpotong batuk yang tiba-tiba nyelonong. Bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari? “Disokong anak-anak.” Kedelapan anaknya memang mendukung aktivitas Dauzan. Bahkan putri keduanya, Hj Erni Pratiwi —bekerja di sebuah stasiun TV swasta— tengah merintis perpustakaan ala Dauzan di Jakarta. Meski mendukung, anak-anak khawatir juga mengingat usia Dauzan sudah larut senja. Mereka selalu melarang berbagai keinginan Dauzan yang diperkirakan akan semakin memperberat kegiatannya. Mendirikan yayasan misalnya. “Nggak usah. Apa yang dilakukan Bapak sudah cukup, sebagai langkah awal. Biarlah orang lain yang meneruskan,” demikian Erni mencegah. Ada pula yang berinisiatif membelikan komputer. Sayang, Dauzan dan santrinya tak bisa mengoperasikan. Sebenarnya ia ingin merekrut karyawan lagi, tapi “Apa ada orang yang mau kerja tapi tidak mau digaji, ikhlas untuk ibadah?” tanya Dauzan setengah berharap. “Mau pasang iklan di media massa, mencari sukarelawan, malu-maluin. Tunggu dewa penyelamat saja.” Akibatnya, komputer yang semestinya bisa membantu itu masih saja dongkrok di sela-sela onggokan buku. Dengan kondisi pas-pasan itu Dauzan masih harus menanggung risiko, misalnya buku hilang atau rusak. Bila ini terjadi, Dauzan hanya bisa berharap agar buku yang hilang itu tetap dibaca, entah oleh siapa. Petugas perpustakaan konvensional biasanya heran dengan model Mabulir yang mengikhlaskan koleksinya hilang. Di perpustakaan umum, meski didukung birokrasi yang ketat dan anggaran yang kuat, hal ini masih menjadi ancaman paling menakutkan. Karena itulah sejak awal Dauzan menerapkan manajemen ikhlas, koleksi Mabulir memang hendak dihibahkan kepada ummat. Tujuannya, agar tidak terlalu kecewa kalau benar-benar hilang atau rusak. Bila mengadu ke orang lain malah disalahkan. “Salahnya sendiri, punya perpustakaan kok tidak menerapkan aturan yang ketat,” begitu kritikan yang kerap hinggap di telinga. Sayang, usia senja memaksa Dauzan banyak mengurangi aktivitas mulia itu. Ia tak lagi sigap dan lincah naik turun atau bergelantungan di bus kota, menawarkan buku dan majalah dari pintu ke pintu, kampung ke kampung, kantor-kantor, atau becak-becak. Bulan lalu saja ia sempat mondok di rumah sakit 4 hari gara-gara kecapaian. “Pak Dauzan jarang menemui kami lagi. Mungkin karena sudah terlalu sepuh (tua),” tutur Mudakir, tukang becak yang biasa mangkal di sekitar kraton Yogyakarta. Dalam setiap doa, Dauzan memang selalu berharap agar ada orang yang meneruskan perjuangannya. Semoga.
|