Suara Hidayatullah : Mei 2000/Muharram-Shafar 1421  

H Afandi Ridhwan

Nakhoda Baru Dewan Dakwah

Siapa yang tidak kenal dengan Dewan Dakwah, organisasi yang didirikan mantan Perdana Menteri RI, Mohammad Natsir? Lembaga yang lengkapnya bernama Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) itu adalah penerbit majalah Media Dakwah yang pernah heboh lantaran berkonfrontasi dengan Nurcholis Madjid. Lembaga itu juga dikenal sebagai gudang da`i, karena memiliki ribuan da'i militan yang berjuang tak kenal lelah di berbagai pelosok tanah air.

Belakangan, nama Dewan Dakwah juga melambung dengan program kemanusiaannya lewat Komite Kemanusiaan untuk Penanggulangan Krisis (Kompak). Tapi siapa yang kenal dengan pimpinan lembaga itu?

Jawabnya, mungkin belum banyak yang tahu. Selama ini, yang diketahui publik, Dewan Dakwah dipimpin oleh Anwar Harjono, setelah wafatnya Natsir. Tapi sesudah wafatnya Anwar, siapa yang mengomandani lembaga yang bermarkas di Jl Kramat No 45, Jakarta itu?

Sepeninggal Anwar pada 16 Februari 1999 lalu, warga Dewan Dakwah memang sempat gundah karena saat itu mereka tak memiliki nakhoda. Pertanyaan yang selalu menggelayuti pikiran mereka adalah, siapa kader Dewan Dakwah yang layak memegang kemudi organisasi itu selanjutnya? Maka semua unsur organisasi itu, baik di pusat dan daerah-daerah, ramai membicarakan masalah suksesi kepemimpinan itu.

Beberapa nama kemudian muncul dalam berbagai wacana informal di kalangan keluarga besar Dewan Dakwah. Ada KH Rusyad Nurdin dan Prof Dr HM Rasjidi yang merupakan kader senior. Kemudian ada Husein Umar yang terkenal dengan pengalaman dakwah dan politiknya di pentas nasional, serta KH Soleman, salah satu senior Dewan Dakwah yang kini menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Bulan Bintang (PBB).

Tapi wacana itu berakhir setelah 24 Februari 1999 para pengurus Dewan Dakwah pusat dan daerah menggelar pleno untuk menetapkan pengganti almarhum. Hasilnya, tidak ada dari nama-nama itu yang bisa duduk di kursi bekas Perdana Menteri Mohammad Natsir itu. “Kiai Rusyad dan Profesor Rasjidi sudah terlalu sepuh untuk memimpin, sementara Husein Umar masih muda,” jelas salah seorang sekretaris Dewan Dakwah, Mas'adi Sulthoni.

Di tengah syura tersebut kemudian muncul nama Afandi Ridhwan. Sebelumnya, wakil ketua Dewan Dakwah Pusat itu memang tidak terlalu banyak disebut. Maklum, Afandi memang lebih banyak di Bandung, bukan di Jakarta. Akibatnya, namanya jarang terdengar di pentas nasional. Tapi karena menimbang faktor senioritas dan pengalamannya yang memadai, para pengurus organisasi yang berdiri 26 Februari 1967 itu cenderung untuk menunjuknya sebagai pengganti mendiang Anwar Harjono.

Akhirnya secara aklamasi ia ditetapkan oleh forum syura itu sebagai pejabat ketua Dewan Dakwah, meneruskan masa jabatan Anwar yang semestinya berlangsung hingga tahun 2000. Palu pun diketuk. Sejak itu ia resmi menjadi orang ketiga yang pernah memimpin Dewan Dakwah setelah Natsir dan Anwar, meskipun statusnya hanya sebagai pejabat pengganti. “Di antara kader Dewan Dakwah lainnya yang masih berpeluang memimpin, beliaulah yang paling senior dan sangat berpengalaman,” ujar Mas'adi.

Pada awalnya, Afandi sempat menolak hasil syura itu dengan alasan domisilinya yang jauh dari Jakarta. Tapi setelah dimusyawarahkan bahwa ia bisa datang minimal sepekan sekali ke Jakarta, akhirnya bersedia juga menempati amanah tersebut. Konsekuensinya, setiap pekan pria berbadan subur itu mesti bolak-balik Bandung-Jakarta. “Kalau mau ketemu ya di sini (kantor Dewan Dakwah Pusat-red). Saya ada hanya setiap hari Rabu, kecuali kalau lagi banyak tugas saya bisa tiga hari di Jakarta,” ujarnya dengan logat Sunda yang halus.

PR Besar

Pilihan syura untuk mengangkat Afandi ternyata tidak keliru. Beberapa saat setelah terpilih, putra asli Jawa Barat yang lahir di Majalengka 26 Juni 1922 itu langsung melakukan terobosan-terobosan. Yang pertama dilakukan adalah melakukan konsolidasi ke dalam dengan menata komitmen dan mekanisme kerja organisasi baik di pusat maupun di daerah-daerah.

Saat amanah itu dipegang Afandi, kondisi Dewan Dakwah kebetulan memang tengah bermasalah. Hal itu terjadi seiring dengan munculnya era partai, di mana banyak sumber daya Dewan Dakwah yang tersedot ke dunia politik.

Misalnya KH Soleman dan Hartono Mardjono yang `lari' ke PBB. Atau AM Luthfi yang masuk PAN, KH Didin Hafiduddin yang berkiprah di PK, serta yang masih berjuang di PPP seperti AM Saefuddin dan Husein Umar.

Dalam pandangan Afandi, tersebarnya kader-kader Dewan Dakwah di banyak partai itu, terutama partai-partai Islam, sebetulnya merupakan hal yang patut disyukuri. “Dengan demikian jaringan perjuangan Dewan Dakwah di pentas politik semakin luas,” jelas Afandi. Tapi menurutnya hal itu juga paling tidak akan mempengaruhi soliditas dan kinerja organisasi Dewan Dakwah sendiri. Inilah PR pertama yang mesti diselesaikan Afandi di awal kepemimpinannya. “Itu sudah risiko. Jika konsentrasi dakwah terbagi kepada aspek politik, maka dakwah pada aspek kultural akan sedikit mengalami masalah,” katanya.

Terobosan kedua yang dilakukan Afandi adalah mengupayakan konsolidasi di luar Dewan Dakwah yakni dengan menyatukan visi perjuangan partai-partai Islam. Seperti terobosan pertama, ini juga masih dalam kerangka keprihatinan Afandi sehubungan dengan munculnya era kepartaian. Artinya, era tersebut dalam pandangan Afandi bukan hanya berdampak secara internal kepada Dewan Dakwah sendiri, tapi secara eksternal juga mempengaruhi soliditas ummat Islam. Untuk itulah Afandi kemudian melakukan safari rutin ke setiap partai Islam dalam rangka menyamakan visi perjuangan.

Dalam pertemuan-pertemuan dengan para elite partai Islam tersebut Afandi tak henti-hentinya menyampaikan semangat ukhuwah yang harus terus dikobarkan di antara partai-partai Islam. Hampir tidak ada tokoh Islam yang tak didatangi Afandi dalam safari itu. “Sejak awal, Dewan Dakwah memang konsisten untuk menempatkan diri sebagai wadah perekat ummat Islam,” tutur pria yang selalu tampil bersahaja itu.

Begitulah Afandi mengawali baktinya sebagai ketua Dewan Dakwah. Sekalipun sudah cukup sepuh ia tak sungkan untuk bersilaturahim kepada para elite politik di partai-partai Islam. “Cuma PK yang tidak mau saya datangi karena katanya terbalik, yang muda harus mendatangi yang tua. Akhirnya mereka yang menemui saya di Dewan Dakwah,” cerita Afandi.

`Dipelototi' Natsir

Tampaknya, sikap politik Afandi yang tidak mau berpolitik itulah yang membuatnya dipercaya untuk menakhodai organisasi yang cukup disegani di dunia internasional itu. Sikap tersebut pun tidak begitu saja diambil tanpa alasan kuat yang diyakininya, yakni doktrin Islam sendiri.

Dalam Islam memang ada tuntunan untuk tidak menerjunkan semua potensi dan SDM ummat ke dalam sebuah proyek jihad. Harus ada di antara ummat Islam yang ditugaskan untuk memelihara dien. Kalau aktivitas kepartaian dianggap sebagai manifestasi dari jihad dan perjuangan dakwah juga, maka dalam keyakinan Afandi, harus ada orang yang tidak ikut terlibat dalam partai alias nonpartisan. “Masak mesti terjun semua ke politik? Ya harus ada pembagian tugas dong,” tegas Afandi.

Sikap nonpartisan itu ternyata cukup konsisten dipegang Afandi, bagaimanapun kondisinya. Sebagai contoh, ketika Natsir dalam suatu forum ingin mengeluarkan imbauan kepada ummat Islam untuk mendukung PPP pada Pemilu 1982, Afandi justru tidak mau mendukungnya. Lantaran itu, Natsir sampai menatapnya dalam-dalam, tanda terkejut dengan sikap tersebut. “Beliau heran, saya kan orang dekatnya, tapi tidak mendukung kebijakan itu,” kenang Afandi.

Sebetulnya, sikap nonpartisan itu baru berlangsung sejak Orde Baru karena pada masa Orde Lama Afandi adalah partisan tulen di Partai Masyumi, sebelum diberangus Soekarno. Makanya, jangan dikira ia buta politik sama sekali. Sejak muda sebetulnya ia sudah bersentuhan dengan dunia politik, khususnya selama menjadi pegawai Penerangan Jepang (Sendenbu) setelah tamat dari Madrasah Mu'alimin Darul Ulum Majalengka tahun 1941. “Dari sana saya mulai berkenalan dengan banyak orang termasuk Pak Natsir,” cerita Afandi yang mengaku satu kampung dan berteman akrab dengan sastrawan Ajip Rosjidi itu.

Ketika terjadi revolusi tahun 1945, Afandi, yang pernah masuk di Kepanduan Islam Persatuan Umat Islam (PUI), ikut turun memanggul senjata. Setelah itu ia masuk Batalyon Hizbullah yang berada di bawah TNI dengan pangkat terakhir letnan satu. Pada saat yang sama ia aktif di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) sebelum dibubarkan juga oleh Soekarno.

Tidak cuma itu. Pada tahun 1952 Afandi juga sempat mencicipi terali besi selama hampir empat tahun di LP Suka Miskin dan Cipinang. Ia dituduh membantu pemberontakan Darul Islam (DI) di Jawa Barat. Padahal, sebagai anggota Dewan Pimpinan Daerah Eksekutif Jawa Barat, ia hanya melaksanakan aspirasi DPR Provinsi Jabar untuk menyelesaikan kasus DI dengan cara damai. “Kebetulan saya memang berteman dekat dengan tokoh-tokoh DI, termasuk Kartosuwiryo,” tutur penggemar sepak bola ini.

Ia juga pernah mengambil alih kepemimpinan Masyumi sebagai sekretaris, bersama Tabrani sebagai ketuanya, ketika para pimpinan Masyumi ditangkapi Soekarno. “Waktu itu saya sempat dikejar-kejar juga, malah setiap hari disuruh lapor segala ke polisi.” Dan setelah Masyumi dan GPII dibubarkan, Afandi mengaku sering mengalami teror.

Sebetulnya, sejak kecil Afandi bercita-cita ingin menjadi guru. Itulah sebabnya ia mengambil pendidikan di Darul Ulum. Ia bahkan nyaris belajar di Mesir kalau tidak terjadi ketegangan internasional pasca Perang Dunia I.

Tapi karena kondisi saat itu menuntut untuk konsentrasi di bidang politik, maka ia lebih banyak terjun di politik. Meski begitu alumnus Universitas Padjajaran ini pernah juga mengajar di sejumlah lembaga pendidikan serta aktif dalam berbagai kegiatan dakwah.

Dengan segudang pengalaman itulah sepertinya Afandi memperoleh kelayakan menakhodai Dewan Dakwah, walaupun jabatan itu sebelumnya tidak pernah terlintas di benaknya. Lantaran itu, kepada syura ia minta hanya menjabat sampai tahun 2000 saja, untuk kemudian dipilih imam yang baru. “Saya ingin yang memimpin lembaga ini orang-orang muda saja,” kata ustadz yang menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Prancis itu.

Sekarang, selain sibuk untuk Dewan Dakwah, bapak 12 anak dan kakek 25 cucu itu masih aktif sebagai Anggota Majelis Pembina Masjid Salman ITB serta Wakil Ketua Yayasan Universitas Islam Bandung (Unisba). Afandi juga masih tercatat sebagai anggota MPR mewakili Dewan Dakwah.

Kini, di hari tuanya, suami Hj Unayah yang dinikahinya tahun 1944 itu, menyimpan kebanggaan tersendiri. Semua anaknya telah `menjadi orang'. Enam orang di antaranya lulus dari ITB, dua dari Unpad, satu dari IPB, satu dari Akademi Tekstil, dan dua dari Unisba. “Hanya saja saya kecewa dengan anak saya yang kesebelas. Dia telah hilang dari kehidupan saya seperti hilangnya Hindun di mata Nabi setelah ia masuk Islam,” tuturnya sedih.