KOBARKAN SEMANGAT BERKORBAN
Begitu cepat rasa kebersamaan luntur dari masyarakat kita. Digantikan sikap individualis yang sangat egois.

Siang itu Jakarta panas. Di perempatan lampu merah bilangan Blok M, Jakarta Selatan, seorang Ibu muda dengan wajah kuyu berjalan perlahan. Sambil menggendong bayi dengan kain yang lusuh ia menadahkan tangan pada setiap pengemudi mobil mewah yang berhenti di depannya. Setengah demonstratif ia menonjolkan bayi yang tertidur di gendongan. Di pinggiran jalan, nampak seorang lelaki kurus dengan topi menutupi wajah. Kaki kirinya buntung, entah karena apa. Ia menggoncang-goncangkan kaleng susu bekas yang berisi uang recehan di tangannya.
         Dari hasil berjemur seharian, terkadang keduanya membawa uang tak lebih hanya untuk sekali makan. Karenanya kadang mereka terpaksa melanjutkan "kerja lembur" sampai larut malam. Mereka masih harus bersaing dengan anak-anak, dengan kecrekan seadanya, atau tukang lap dengan modal kain seadanya.
        Pemandangan yang sedikit berbeda tampak di tempat pembuangan akhir sampah Bantar Gebang, Bekasi. Beratus anak berebut sampah yang baru diturunkan dari truk. Kaki mereka telanjang. Sesekali tangan kelam mereka mengusap ingus. Setelah keranjang di atas punggung mereka penuh dengan sampah, mereka berlomba menimbang dan menjual sampah pada seorang penadah yang sudah menunggu dengan alat timbangnya. Di tempat penimbangan sampah itu terlihat spanduk cukup besar, mengajak masyarakat peduli pada nasib ratusan anak pemulung dan keluarga terlantar. Anehnya, spanduk itu mengatas namakan agama Nasrani.
        Sementara itu, beberapa waktu lalu, di Nehemia Center, Jakarta Pusat pernah dipasang spanduk cukup menyolok, “Hari ini ada makan siang dari Tuhan.” Tak bisa dipungkiri, kefakiran kadang memang bisa dekat kepada kekufuran. Seperti juga kekayaaan yang juga bisa membuat orang kufur, kufur nikmat khususnya. Beberapa anak jalanan yang sempat ditemui SABILI banyak yang menyatakan mereka sering diajak ke gereja. Ini bukan hal aneh, tak perlu ditutup-tutupi. Iman (10) pengamen yang cacat polio itu berujar, “Pernah diajak makan sama teman di gereja. Lumayan, sebelum makan berdo’a bersama. Jadi rasanya lebih enak. Saya muslim, tapi kata teman saya tidak apa-apa makan di situ. Yang penting enggak diracunin, gratis lagi.”
        Memang, problema di atas sangat sistemik. Terkait erat dengan hukum dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang ada. Namun, setidaknya secara moral, mereka adalah tanggung jawab kita umat Islam. Apalagi, penguasa belum lagi bisa maksimal melayani rakyat, sudah banyak carut-marut kebijakan politis yang membingungkan. Apapun, kondisi di atas memiliki dampak buruk bagi kualitas keislaman umat.
        Di samping, ketimpangan yang terjadi pada masyarakat kita tidak saja pada soal kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Tapi juga pada tingkat kepedulian sesama mereka. Banyak orang yang gaya hidupnya semakin hedonis, egois, permissive, individualis, vandalalis, bengis, acuh, dan masa bodoh. Sungguh pemandangan yang sangat kontras. Di satu sisi banyak orang yang menghabiskan puluhan ribu untuk sekadar mengeyangkan syahwatnya. Sementara ribuan orang kesulitan sekadar untuk mengisi perutnya. Hal ini dibenarkan oleh Ahmad Bagja. Salah satu Ketua PBNU itu menyatakan, “Hampir orang tidak peduli kalau tidak menyangkut dirinya sendiri.”
       Dalam ilustrasi KH. Ali Yafie, umat ini “Sudah dalam keadaan gawat.tapi kebanyakan umat kita tenang-tenang saja. Seakan-akan tidak ada bahaya yang mengepung, karena mereka tidak sadar,” kata ulama yang pernah menjabat Ketua MUI Pusat itu.
       Lalu, mengapa kondisi ini terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya muslim? Banyak faktor yang menyebabkan jiwa berkorban dan semangat soli-daritas umat ini secara umum memprihatinkan. Ahmad Bagja lebih melihat krisis pengorbanan karena pemahaman yang kurang terhadap agama. “Penghayatan agama yang baik melahirkan perilaku yang baik,” sementara itu, masih menurutnya, “Masyarakat Indonesia meski mayoritas Islam tapi secara kualitas belum menjalankan agama Islam.” Karenanya, “Ketidakpedulian pada lingkungan pada hubungan sosial itu karena rendahnya penghayatan nilai-nilai agama.”
        Tak jauh berbeda dengan Ahmad Bagja, Habib Rizieq, Ketua Umum FPI mengembalikan kepada cinta dunia dan takut mati. Menyitir hadits Rosulullah, lulusan Universitas King of Saud menjelaskan, “Nabi sudah kasih kabar 14 abad lalu. Akan ada suatu zaman di mana musuh-musuh Islam akan mengerubuti umat Islam bagaikan makanan yang ada di piring hidangan.” Ia mengilustrasikan, “Menyantap makanan biasanya dengan pisaunya, garpunya, sendoknya, kemudian makanan itu diacak-acak.”
Ia menambahkan, “Kalau kondisi sudah seperti itu, akhirnya, Allah akan cabut perasaan segan atau takut dari musuh-musuh Islam terhadap umat Islam. Walaupun umat Islam banyak jumlahnya, tapi mereka tak takut kepada umat Islam.
        Lain halnya dengan Prof. Dr. Nurcholis Madjid. Ia tak sepenuhnya setuju bila dikatakan pengorbanan umat Islam itu tipis. “Tipis dan tebal masih dalam penilaian belum tentu semua orang setuju,” katanya. Tapi ia tak mengingkari bila saat ini memang masih perlu pengorbanan umat yang lebih besar lagi. Namun, ia lebih mengembalikan soal ini kepada kesiapan jiwa umat Islam sendiri. “Pengorbanan itu pada saat ini agak susah dirumuskan karena pengorbanan itu pengingakaran diri sendiri. Seperti, untuk tegaknya hukum dan moral setiap orang harus mampu mengingkari diri sendiri. Artinya, tidak mementingkan diri sendiri dan sebagainya,” tambahnya.
Rusydi Hamka, salah satu anggota Pengurus Pusat Muhammadiyah sependapat bahwa semangat berkorban umat Islam dengan arti yang lebih luas memang sedang menurun. Menurutnya, hal itu disebabkan karena, “Kehidupan yang sudah cenderung materialistik di kalangan umat Islam,” jelas anak Buya Hamka itu.
        Di sisi lain, Dr. Imam Prasojo mensinyalir, semangat berkorban yang belum maksimal itu disebabkan cara umat Islam memahami bentuk-bentuk pengorbanan yang salah. Menurutnya, pengorbanan umat ini banyak yang “Lebih cenderung menjadi sekadar ritualistik. Akhirnya, ibadah pun lebih dirasakan sebagai beban daripada kebutuhan.”
        Dalam skala yang lebih luas, KH. Ali Yafie melihat pengorbanan umat ini masih belum memadai. “Semangat pengorbanan umat kita masih rendah. Katakan misalnya umat Islam yang membanggakan dirinya mayoritas. Tapi mana proyek-proyek yang menonjol dari umat Islam.” Ia menambahkan, “Seandainya umat Islam memahami makna pengorbanan, maka tentu bisa kelihatan syiar-syiarnya. Bukan saja dalam bentuk ibadat, tapi juga dalam bentuk bangunan. Orang berlomba-lomba membuat bermacam tower. Tapi mana tower dakwah untuk syiarnya umat Islam?
      Selain itu, perilaku-perilaku yang semrawut seperti itu menjadikan masyarakat sangat toleran dengan keburukan. Mata buta, kuping pun tuli, padahal kemungkaran meledak-ledak di sekitarnya. Kejahatan dan kriminalitas terjadi di depan hidungnya. Tapi banyak masyarakat yang tak punya nyali untuk membela mereka yang terdzalimi. Untuk kasus ini Dr. Salim Segaf Al-Jufri berpendapat, “Masyarakat kita mempunyai sikap acuh tak acuh. Ini sangat menggejala. merka tidak mau tau penderitaan saudaranya. Lebih-lebih, mereka yang hidup di kota-kota besar yang memang sangat individualistik. Sikap seperti ini sangat dikecam dalam Islam.”
       Padahal, seperti dijelaskan Habib Rizieq, “Berbicara tentang Idul Qurban, kalau dikaitkan dengan nahi mungkar, pengorbanan itu adalah satu konsekuensi dalam perjuangan.” Lebih lanjut ia menambahkan, “Omong kosong perjuangan apapun tanpa adanya pengorbanan. Lebih-lebih dalam nahyul mungkar. Karena perjuangan nahyul mungkar tantangannya sangat besar.”
       Kondisi ini sungguh sangat memprihatinkan. Terlebih bila kita simak kisah yang pernah disampaikan Rosulullah, bahwa Malaikat pernah diutus Allah untuk menghancurkan sebuah umat padahal di dalamnya ada orang shalih. Malah dari orang shalih itu penghancuran diawali. Alasannya, karena orang shalih itu tak pernah marah bila kehormatan dan hukum-hukum Allah dilanggar.
       Kini, tugas setiap kita untuk membangun kembali puing-puing kehidupan yang berserakan. Masih banyak optimisme. “Justru, kondisi yang carut marut ini bisa menjadi media bagi kita untuk bertekad saling bahu membahu,” kata Imam Prasojo. Kongkritnya? “Orang yang kebetulan berada, harus mengorganisasikan diri menghimpun seluruh kemakmuran untuk menunjukkan kepdulian kepada mereka. Kerja-kerja seperti itu secara sistematik bisa menjadi perekat,” tambahnya.
       Habib Rizieq juga berpendapat demikian. Menurutnya, “Yang mempunyai kedudukan dan jabatan mestinya mau berkorban dan berjuang untuk Allah. Yang memiliki uang mau berkorban untuk Allah dan lain sebagainya, sesuai kedudukan dan tempatnya.” Tapi, menurut Dr. Salim, “Masyarakat kita haus figur. Sehingga harus ada yang memulali. Dalam istilah arabnya harus ada man yu’alliqul jaros (yang memukul loncengnya).” Namun, bukan berarti semangat berkorban itu harus mati bila figur itu tak ada. “Tidak perlu menunggu pemimpin yang berskala nasional. Karena memerlukan waktu yang sangat panjang sekali. Karena itu kita mulai dari lingkup yang lebih kecil, seperti keluarga, kampung, kelurahan, tempat kerja dan sebagainya,” tambah Dr. Salim.
        Apapun yang terjadi, semangat berkorban harus terus dikobarkan. Dalam makna dan ruang lingkup yang seluas-luasnya. Jangan sampai ia mati, apalagi dalam kondisi umat Islam yang tak henti-henti terdzalimi.Wallahu a’lam bishawab.