Korban Telah Jatuh, Lantas?
Usaha pemurtadan dengan tindak kriminal jelas salah. Benarkah kita bersih sama sekali dari ‘dosa’ ini?

Di Jakarta Timur, seorang Muslimah anak Ketua Masjid telah melangsungkan pernikahan di gereja. Di Tambun, seorang Muslimah anak Mubaligh minum racun serangga hingga mati gara-gara diajak nikah di gereja. Di Pekayon, seorang Muslimah anak aktivis Islam diculik aktivis gereja hingga tak tentu rimbanya. Di Cicurug Sukabumi, beberapa waktu silam, kristenisasi menyelusup ke pesantren. 
        Di Grogol, Jakarta Barat, seorang ibu mengadukan keganjilan yang menimpa anaknya pada KH. Dalari Umar. Anak lelaki ibu tersebut yang nyantri di Pesantren Muhamadiyah Semarang diculik dan diberi narkoba.   Ketika ditemukan, anak lelakinya sudah mengenakan anting-anting salib dan juga kalung salib. Dan banyak lagi kasus bermotif serupa.
          Ketua MUI KH. Prof. Dr. Muwardi Chotib mengamini hal tersebut. “Beberapa hari lalu (wawancara tgl.13/5) saya ke Medan, itu lebih banyak lagi yang demikian,” ujarnya. Sekjen FAKTA (Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan) Drs. Abu Deedat Syihabuddin, MH, mengatakan, “Kasus-kasus serupa kelihatannya masih kecil, padahal itu hanya puncak dari gunung es.”
         Ditambahkan oleh Abu Deedat, “Di lapangan, kami merasakan adanya suatu kecenderungan baru dari strategi pemurtadan ini. Dari kasus-kasus yang terjadi belakangan, nyaris banyak menimpa para Muslimah yang punya hubungan dengan tokoh. Apakah itu anak Ketua Masjid, anak Aktivis Islam, anak Mubaligh, dan lainnya. Ini ada dasar pijakannya. Yakni tulisan Dr. H. Berkhof.”
        Dalam buku ‘Sejarah Gereja’ hal. 321, Berkhof menulis: “Boleh kita simpulkan bahwa Indonesia adalah suatu daerah pekabaran Injil yang diberkati Tuhan dengan hasil yang indah dan besar atas penaburan bibit firman Tuhan. Jumlah orang Kristen Protestan sudah 13 juta lebih. Akan tetapi jangan lupa, kita di tengah-tengah 150 juta penduduk!
        Jadi tugas zending gereja-gereja muda di benua ini masih amat luas dan berat. Bukan saja sisa kaum kafir yang tidak seberapa banyak itu, perlu mendengar kabar kesukaan, tetapi juga kaum muslimin yang besar yang merupakan benteng agama yang sukar sekali dikalahkan oleh pahlawan-pahlawan Injil. Apalagi bukan saja rakyat jelata, lapisan bawah yang harus ditaklukkan oleh Kristus, terutama para pemimpin masyarakat, kaum cendekiawan, golongan atas dan tengah.” 
        Dengan timbulnya kasus-kasus pemurtadan dengan cara-cara seperti yang telah disebutkan di muka, banyak kalangan bertanya-tanya: adakah itu semua memang program resmi Kristen atau hanya sekte-sekte tertentu yang berpandangan fundamentalis? 
        Saat dikonfirmasi SABILI sehubungan hal tersebut, Pdt. Dr. Weinata Sairin, M.Th, Wakil Sekum PGI periode 1994-1999 menyatakan, “Kekristenan di Indonesia ini sangat majemuk. Ada kelompok-kelompok Kristen yang fundamentalis.” Ketika ditanya apakah yang dimaksud seperti Yayasan Doulos, Pdt. Weinata Sairin mengatakan, “Bisa jadi. Doulos juga Protestan, tapi tidak berada di bawah PGI.”
         Soal cara-cara yang sangat tidak simpatik yang dilakukan aktivis Kristen dalam menjalankan misi Kristenisasinya, Weinata menegaskan, “Kalau cara-cara mengabarkan Injil dilakukan dengan cara-cara yang tidak simpatik, maka cara itu kan tidak akan bertahan lama. Protestan sendiri mempunyai banyak sekali aliran dan cabang. Kami tidak mengenal cara-cara pengkristenan pakai cara-cara hipnotis atau jebakan-jebakan seperti itu.” Apakah mereka yang melakukan itu termasuk aliran sesat? “Ya!” jawab Weinata tegas.
         Dalam kasus Fatma (lihat box: Kesaksian Fatma), Muslimah tersebut telah diperdaya oleh seorang Sarjana Teologi dari STT Nehemia Jakarta. Pdt. Suradi Ben Abraham sebagai pimpinan Nehemia memang dengan sangat gencar memakai strategi ‘Kristenisasi Berkedok Islam’. Buletin Kristen ‘Dakwah Ukhuwah’ adalah salah satu produknya. 
         Soal sosok Pdt. Suradi ini, Weinata malah mengatakan bahwa PGI tidak sejalan dengannya, “Kami juga mengalami kesukaran dalam memahami jalan pikiran Pak Suradi itu. Dia anggota Gereja Kristen Jawa. Di kalangan intern kami juga sekarang dia bermasalah. Dia menginterpretasi bahwa pemahaman kami tentang Allah selama ini salah, sehingga menurutnya Alkitab kami harus diganti. Kami melihat cara-cara seperti itu kurang simpatik dan tidak produktif.”
         Namun soal istilah kristenisasi, baik Weinata Sairin maupun Dirjen Bimas Kristen Depag RI Pdt. Drs. P. Siahaan sama-sama menolaknya. “Istilah kristenisasi itu tidak dikenal dalam istilah kami (PGI),” tegas Weinata. Pdt. P. Siahaan mengamininya, “Saya tidak tahu darimana istilah itu datang. Siapa yang memunculkan itu. Jangan sebut kristenisasi, apalagi gerakan. Mungkin coba diganti dengan (istilah) dinamika hidup beriman walau pun bentuknya sama, tapi ya begitu-begitu juga.”
         Namun ketika ditanya soal misi Kristen, Weinata tidak membantahnya, “Saya pikir, baik Islam sebagai agama dakwah maupun Kristen sebagai agama misi sama-sama memberikan perintah kepada umatnya untuk menyebarkan agama kepada semua orang. Prinsip ini tidak bisa ditawar-tawar lagi.”
         “PGI secara standar memberikan pemahaman bahwa menyebarkan agama adalah wajib, tapi tidak boleh dengan dengan rayuan, ancaman, paksaan, intimidasi, dan cara-cara lain yang bertentangan diametral dengan ajaran agama itu sendiri,” lanjut Weinata. Namun ketika usaha penyebaran agama yang memang seharusnya dilakukan dengan penuh etika dan moral telah berubah menjadi ajang paksaan, intimidasi, penipuan, ancaman pembunuhan, hingga tindak pemerkosaan, maka hal tersebut mau tidak mau akan merusak citra agama itu sendiri. 
         Korban memang telah berjatuhan. Pahit, memang. Namun adakah kita bersih sama sekali dari kasus-kasus yang menyakitkan ini? Jelas tidak. Masih teramat banyak umat kita yang jauh dari kesadaran tentang Islam. Ust. Syuhada Bachri mengakui hal ini. “Kristen itu lebih banyak memanfaatkan kondisi umat kita yang bodoh, miskin, dan sebagainya. “Kita harus lebih konsern pada umat dari golongan ini. Bagaimana kita kita mengubah mereka, yang tadinya tidak paham Islam kemudian berubah pelan-pelan. Tentu saja dengan sebuah perencanaan,” ujar Syuhada. KH. Dalari Umar malah menekankan perlunya umat diberi pemahaman yang baik dan benar tentang strategi dan metode kristenisasi agar tidak terjerumus menggadaikan akidah tauhidnya. 
        “Khusus terhadap para Muslimah, mulai sekarang berhati-hatilah memilih teman. Sudah banyak saudari kita yang jadi korban. Jangan sampai bertambah lagi. Jika ada yang mengalami atau menemukan kasus serupa, tolong hubungi FAKTA,” tegas Abu Deedat. Ya, semoga korban tidak bertambah banyak.

Rizki Ridyasmara
Laporan: Eman, Mia, Wasilah, Misbah, Widowati.