|
|
|
|
TELAAH
KHUSUS
|
Detik-detik
Terakhir Muslim Galela
Buka isolasi Galela. Segera evakuasi orang-orang
muslim yang masih berada di hutan-hutan. Selamatkan mereka.
Bila sudah meninggal, evakuasi mayatnya.
|
“Galela
seperti kota mati,” ujar dr. Joserizal. Dokter muda
lulusan kedokteran UI itu mengaku stress melihat kondisi
Galela. Galela, adalah benteng terakhir milik muslim di
pesisir Halmahera utara. Sejak tragedi pembantaian muslim
(27/12/99) di Halmahera, suasana desa pesisir berubah
mencekam. Suplai bahan pokok bagi penduduk Galela yang
sebelumnya ditopang Tobelo, terputus. Seluruh jalan menuju
Galela dari arah Tobelo dikendalikan pasukan merah. Hubungan
komunikasi telepon atau alat komunikasi lainnya juga terputus.
Pembicaraan lewat HT, bisa dilakukan, tapi tak bisa diandalkan
lantaran rawan disadap kelompok merah.
Menurut
informasi terakhir dari KOMPAK (Komite Penanggulangan Krisis),
aparat yang berada di lokasi hanya 50 personil, jauh berkurang
dari sekitar 300 orang sebelumnya. “Untuk ke daerah pantai
kita tetap harus melewati kawasan merah, jadi kalau tanpa
kawalan, riskan sekali. Kalau kita masuk ke sana jelas kita
akan diserang, mereka bisa menembak kita,” ujar wakil ketua
KOMPAK, Hafizh.
Celakanya, terisolirnya Galela, tidak berarti umat Islam aman
dari serangan pasukan Salib. Joserizal bercerita, di Galela
sejumlah desa diserang minimal 1 kali seminggu. Bahkan ada
yang dua kali diserang dalam satu minggu. “Penyerangan
terbesar tanggal 11 dan 27
Januari.
Tanggal 27 itu Galela diserang dari lima penjuru, termasuk
dari laut.” Sebelumnya, waktu tanggal 10 Januari, pasukan
merah mengeluarkan ultimatum agar muslim Galela keluar dengan
damai tanpa perlawanan. “Pasukan merah memberi batas waktu
sampai tanggal 24 Januari. Jika tidak, akan diserang. Nah,
tanggal 27 itu penyerangan besar-besaran. Hampir saja Galela
jebol,” urai dokter yang tergabung dalam tim medis Mer-C itu.
Sangat beralasan bila banyak tokoh Islam Maluku yang khawatir
terhadap nasib 5000 warga muslim di Galela. Apa jadinya bila
terjadi pembantaian terhadap mereka, sementara Galela
benar-benar terisolir. Terlebih lagi, sepanjang pantai utara
Halmahera Utara, satu-satunya desa muslim yang masih bertahan
adalah Galela. Umat Islam punya komitmen untuk
mempertahankannya.
Kondisi
Galela mencuatkan tanda tanya besar. Mungkinkah ini sengaja
diciptakan? Bukan tidak mungkin. Banyak faktor yang
mendukungnya. Sebut saja, hanya kapal perang saja yang bisa ke
sana. Sedangkan kapal perang tak mungkin digerakkan tanpa
perintah Pangdam. Sementara kapal swasta pun tidak berani
masuk ke sana lantaran takut dihadang pasukan merah. Hal
lainnya, orang Galela yang ada di Ternate juga dilarang untuk
pulang ke Galela. Joserizal mengatakan, “Jalur telepon
diputus, sarana logistik tidak bisa, minyak tidak ada, solar
tidak ada, akhirnya diesel tidak bisa berfungsi. Karena
semuanya itu ada di Tobelo. Telepon dari Tobelo, air dari
Tobelo, Pertamina juga di Tobelo. Dan itu tidak disuplai ke
Galela, sehingga Galela itu seperti kota mati. Dan makin lama
makin redup cahaya
kehidupannya.”
Kondisi ini, bila dibiarkan, bisa menjadi alat untuk mencekik
dan membunuh muslim Galela. Sekarang saja, di Galela sudah ada
yang berantem, berebut makanan. Dan itu bukan hanya menimpa
pengungsi saja, juga penduduk, dari desa-desa pesisir, yang
(desanya) rata dengan
tanah.
Wakil ketua KOMPAK, Hafidz menambahkan tentang dampak isolasi
Galela. “Karena kekurangan logistik, kondisi kesehatan mereka
terganggu. Banyak terserang diare, infeksi dan lain. Dari
kekurangan makanan itu juga menimbulkan beberapa macam akibat,
belum lagi mereka terancam dari serangan pihak merah. Efek
sosialnya juga ada, banyak dari mereka yang dihantui
ketakutan. Meski mereka juga punya kesiapan untuk menghadapi
berbagai kondisi terjelek sekalipun, tetapi bagaimana dengan
anak-anak kecil wanita, orang tua, serta kondisi kekurangan
makanan, obat-obatan.”
Menurut
Hafidz, aparat melakukan diskriminasi terhadap umat muslim
Galela. Sementara muslim Galela diisolir dari segala penjuru,
mereka juga tidak dievakuasi. Tapi anehnya dari pulau Bacan,
menurut informasi yang diterima KOMPAK, pengungsi Salib
dipindahkan ke pulau Seram menggunakan kapal perang. “Kapal
perang bisa digunakan untuk mengangkut pengungsi oleh kelompok
merah, pada waktu yang sama kita tidak bisa menggunakan
fasilitas militer itu untuk mengevakuasi umat Islam yang
terisolir atau juga untuk mengirim logistik. Jadi ini tidak
fair,” ujar Hafidz.
Pihak
Pelni yang pernah melakukan evakuasi pada kerusuhan sebelumnya
dengan kapal Lambelu, kini tak bisa lagi melakukan hal sama.
“Informasinya belum sampai ke kita. Baru dari Sabili saja.
Bila ada permintaan dan jaminan keamanan, kami akan melakukan
evakuasi seperti dulu,” kata petugas Humas Pelni. “Itupun
harus ada izin dari Menhub dan jaminan keamanan dari aparat,”
tambahnya. Tapi menurut Hafidz, “Apakah benar kita belum
meminta kepada Pelni untuk mengevakuasi para pengungsi di
Galela? Permintaan itu sudah ada, tapi kemudian ada reaksi
dari Pangdam, mereka boleh saja dievakuasi, tapi mujahidin
tidak boleh ikut. Itulah jawaban dari
panglima.”
Dengan begitu, diduga kuat, proyek isolasi Galela juga
disebabkan oleh kekhawatiran masuknya mujahidin Ternate ke
Galela. Sisi lainnya, bisa saja kelompok merah memang ingin
menguasai Galela, karena daerah itu strategis. Di Galela ada
lapangan udara yang bila berhasil dikuasai maka, dari Manado,
Sulawesi Utara kemudian Galela sampai ke Irian akan mereka
kuasai.
Kalau begitu, siapa yang bermain di belakang semuanya? Ketika
ditanya soal itu, Hafidz balik bertanya, “Memangnya pangdamnya
siapa?” Selama ini, netralitas pangdam Pattimura Max Tamaela
memang banyak dipertanyakan.
Geregetan
dengan kinerja Max Tamaela, tokoh Maluku Yusuf Rahimi
menyatakan Max Tamaela gagal menjalankan fungsinya. “Sejak
awal saya melihat Pangdam Max gagal menjalankan fungsinya. Max
adalah anggota Tim 19 yang diketuai Suadi Marasabesi. Ketika
Tim 19 selesai Max kemudian ditunjuk menjadi Pangdam, kemudian
bulan Juli meletus jilid kedua. Di sini saya melihat kegagalan
dari Pangdam karena apa yang sudah dicapai oleh Tim 19 tidak
bisa difollow-up oleh Pangdam.”
Kondisi mencekam tidak hanya milik muslim Galela. Di sejumlah
daerah, terutama Ternate, pengungsi muslim masih hidup dalam
keadaan yang sangat memprihatinkan. Joserizal menyebutkan
bagaimana para pengungsi ditempatkan di pasar-pasar.
“Sanitasinya jelek lantaran tidak ada saluran air, dan
menjadikan air tergenang di mana-mana, lalat bertebaran.
Kemudian mereka buang air besar di pantai, sehingga kasus
diare meningkat,” ujarnya.
Di
tengah keprihatinan itu, mereka harus menanggung kesulitan
makanan, obat-obatan, dan menderita tekanan psikologis yang
cukup kuat. Ini diakui oleh ketua koordinator Pos Keadilan
Peduli Umat (PKPU), dr. Naharus Surur. “Bayangkan di
Ternate, pulau sekecil itu, sekarang hampir ada 70.000-an
pengungsi. Pasti ada akibatnya. Salah satunya, muncul
kasus-kasus penjarahan yang dilakukan oleh penduduk sendiri.
Itu terjadi, menurut Naharus, “Karena mereka mau tidak
mau terpengaruh oleh bayangan masa depan yang tak menentu,
apalagi ketika menghadapi tuntutan hidup yang sangat
mendesak.” Itu sebabnya PKPU sudah empat gelombang mengirimkan
tenaga da’i untuk pengungsi Maluku.
Drg. Hardiono, Divisi Kesehatan PKPU Pusat (Tim Kesehatan PKPU
Pusat menyebutkan, “Di Ternate, ada lebih dari 76.000
pengungsi. Mereka jarang mengunjungi Puskesmas. Karena
dokternya sudah tidak ada, yang ada cuma perawat. Lalu Rumah
Sakit Umum Ternate, dokternya dahulu ada 21 personil, tapi
kini tinggal lima. Ada bantuan Depkes 10 orang, tapi para
dokter Depkes itu juga sangat dibutuhkan untuk bantuan di
daerah-daerah yang bergejolak.” Sayangnya, dalam
kondisi seperti itu, pemerintah terkesan kurang serius
membantu kondisi pengungsi. Memang, pihak Depkes telah
mengirimkan empat paket bantuan obat dan alat kesehatan
senilai 650 juta lebih. Tapi, menurut Hafidz, bantuan dari
pemerintah itu sulit dikontrol, apakah sudah sampai atau
belum. Yang lebih terasa di lapangan, seperti diungkapkan
Hasan Kiat, umumnya hanya LSM-LSM, seperti MUI, PKPU, Badan
Koordinasi Umat Islam Maluku Utara serta Kompak DDII.
Hasan menceritakan bagaimana penderitaan anak-anak. “Mereka
tidak sekolah lagi. Di samping perut mereka lapar, masa depan
mereka pun terancam. Bahkan anak-anak setempat pun terganggu
karena sekolah mereka dijadikan tempat penampungan. Memang
para pengungsi ditampung di sekolah-sekolah, gudang-gudang dan
rumah-rumah Kristen yang ditinggalkan. Mereka banyak yang
menderita penyakit muntaber dan diare serta gangguan saluran
pernapasan akibat kondisi lingkungan dan sanitasi yang sangat
buruk. Di
kodya Ambon dan Maluku Tengah juga tidak berbeda. Di Maluku
Tengah ada sekitar 11.300 pengungsi yang hidupnya sangat
tergantung dengan bantuan sukarela. Ketua tim investigasi PKPU
Maluku Abdur Rasyid menyebutkan, “Susana di sana untuk
mencari sesuap nasi pun tidak memungkinkan. Pengingsi Muslim
di Maluku Tengah sekitar 11.300 orang. MUI Malteng setiap hari
setidaknya menyiapkan satu ton beras untuk konsumsi para
pengungsi.”
Kenapa pemerintah tidak mencoba untuk melakukan pembukaan
isolasi Galela? Itu yang jadi pertanyaan bagi kita. Kalau
aparat tidak mampu menyelesaikan masalah Galela, jangan
salahkan bila mujahidin yang membuka isolasi itu. Memperlambat
bantuan bagi muslim Galela, sama dengan membunuh mereka
perlahan-lahan.
M. Lili
NA
|
HAK CIPTA ©
PT. BINA MEDIA SABILI
1999 JL.
Cipinang Cempedak II/16 Polonia, Jakarta Timur 13340 INDONESIA
| |
|