WB01042_.GIF (955 bytes) TELAAH KHUSUS


Detik-detik Terakhir Muslim Galela
    Buka isolasi Galela. Segera evakuasi orang-orang muslim yang masih berada di hutan-hutan. Selamatkan mereka. Bila sudah meninggal, evakuasi mayatnya.



“Galela seperti kota mati,”  ujar dr. Joserizal. Dokter muda lulusan kedokteran UI itu mengaku stress melihat kondisi Galela. Galela, adalah benteng terakhir milik muslim di pesisir Halmahera utara. Sejak tragedi pembantaian muslim (27/12/99) di Halmahera, suasana desa pesisir berubah mencekam. Suplai bahan pokok bagi penduduk Galela yang sebelumnya ditopang Tobelo, terputus. Seluruh jalan menuju Galela dari arah Tobelo dikendalikan pasukan merah. Hubungan komunikasi telepon atau alat komunikasi lainnya juga terputus. Pembicaraan lewat HT, bisa dilakukan, tapi tak bisa diandalkan lantaran rawan disadap kelompok merah.
         Menurut informasi terakhir dari KOMPAK (Komite Penanggulangan Krisis), aparat yang berada di lokasi hanya 50 personil, jauh berkurang dari sekitar 300 orang sebelumnya. “Untuk ke daerah pantai kita tetap harus melewati kawasan merah, jadi kalau tanpa kawalan, riskan sekali. Kalau kita masuk ke sana jelas kita akan diserang, mereka bisa menembak kita,” ujar wakil ketua KOMPAK, Hafizh.
        Celakanya, terisolirnya Galela, tidak berarti umat Islam aman dari serangan pasukan Salib. Joserizal bercerita, di Galela sejumlah desa diserang minimal 1 kali seminggu. Bahkan ada yang dua kali diserang dalam satu minggu. “Penyerangan terbesar tanggal 11 dan 27 Januari.

        Tanggal 27 itu Galela diserang dari lima penjuru, termasuk dari laut.” Sebelumnya, waktu tanggal 10 Januari, pasukan merah mengeluarkan ultimatum agar muslim Galela keluar dengan damai tanpa perlawanan. “Pasukan merah memberi batas waktu sampai tanggal 24 Januari. Jika tidak, akan diserang. Nah, tanggal 27 itu penyerangan besar-besaran. Hampir saja Galela jebol,” urai dokter yang tergabung dalam tim medis Mer-C itu. Sangat beralasan bila banyak tokoh Islam Maluku yang khawatir terhadap nasib 5000 warga muslim di Galela. Apa jadinya bila terjadi pembantaian terhadap mereka, sementara Galela benar-benar terisolir. Terlebih lagi, sepanjang pantai utara Halmahera Utara, satu-satunya desa muslim yang masih bertahan adalah Galela. Umat Islam punya komitmen untuk mempertahankannya.
         Kondisi Galela mencuatkan tanda tanya besar. Mungkinkah ini sengaja diciptakan? Bukan tidak mungkin. Banyak faktor yang mendukungnya. Sebut saja, hanya kapal perang saja yang bisa ke sana. Sedangkan kapal perang tak mungkin digerakkan tanpa perintah Pangdam. Sementara kapal swasta pun tidak berani masuk ke sana lantaran takut dihadang pasukan merah. Hal lainnya, orang Galela yang ada di Ternate juga dilarang untuk pulang ke Galela. Joserizal mengatakan, “Jalur telepon diputus, sarana logistik tidak bisa, minyak tidak ada, solar tidak ada, akhirnya diesel tidak bisa berfungsi. Karena semuanya itu ada di Tobelo. Telepon dari Tobelo, air dari Tobelo, Pertamina juga di Tobelo. Dan itu tidak disuplai ke Galela, sehingga Galela itu seperti kota mati. Dan makin lama makin redup cahaya kehidupannya.”
         Kondisi ini, bila dibiarkan, bisa menjadi alat untuk mencekik dan membunuh muslim Galela. Sekarang saja, di Galela sudah ada yang berantem, berebut makanan. Dan itu bukan hanya menimpa pengungsi saja, juga penduduk, dari desa-desa pesisir, yang (desanya) rata dengan tanah.
         Wakil ketua KOMPAK, Hafidz menambahkan tentang dampak isolasi Galela. “Karena kekurangan logistik, kondisi kesehatan mereka terganggu. Banyak terserang diare, infeksi dan lain. Dari kekurangan makanan itu juga menimbulkan beberapa macam akibat, belum lagi mereka terancam dari serangan pihak merah. Efek sosialnya juga ada, banyak dari mereka yang dihantui ketakutan. Meski mereka juga punya kesiapan untuk menghadapi berbagai kondisi terjelek sekalipun, tetapi bagaimana dengan anak-anak kecil wanita, orang tua, serta kondisi kekurangan makanan, obat-obatan.”
         Menurut Hafidz, aparat melakukan diskriminasi terhadap umat muslim Galela. Sementara muslim Galela diisolir dari segala penjuru, mereka juga tidak dievakuasi. Tapi anehnya dari pulau Bacan, menurut informasi yang diterima KOMPAK, pengungsi Salib dipindahkan ke pulau Seram menggunakan kapal perang. “Kapal perang bisa digunakan untuk mengangkut pengungsi oleh kelompok merah, pada waktu yang sama kita tidak bisa menggunakan fasilitas militer itu untuk mengevakuasi umat Islam yang terisolir atau juga untuk mengirim logistik. Jadi ini tidak fair,” ujar Hafidz.
         Pihak Pelni yang pernah melakukan evakuasi pada kerusuhan sebelumnya dengan kapal Lambelu, kini tak bisa lagi melakukan hal sama. “Informasinya belum sampai ke kita. Baru dari Sabili saja. Bila ada permintaan dan jaminan keamanan, kami akan melakukan evakuasi seperti dulu,” kata petugas Humas Pelni. “Itupun harus ada izin dari Menhub dan jaminan keamanan dari aparat,” tambahnya.
Tapi menurut Hafidz, “Apakah benar kita belum meminta kepada Pelni untuk mengevakuasi para pengungsi di Galela? Permintaan itu sudah ada, tapi kemudian ada reaksi dari Pangdam, mereka boleh saja dievakuasi, tapi mujahidin tidak boleh ikut. Itulah jawaban dari panglima.”
         Dengan begitu, diduga kuat, proyek isolasi Galela juga disebabkan oleh kekhawatiran masuknya mujahidin Ternate ke Galela. Sisi lainnya, bisa saja kelompok merah memang ingin menguasai Galela, karena daerah itu strategis. Di Galela ada lapangan udara yang bila berhasil dikuasai maka, dari Manado, Sulawesi Utara kemudian Galela sampai ke Irian akan mereka kuasai.
         Kalau begitu, siapa yang bermain di belakang semuanya? Ketika ditanya soal itu, Hafidz balik bertanya, “Memangnya pangdamnya siapa?” Selama ini, netralitas pangdam Pattimura Max Tamaela memang banyak dipertanyakan.
         Geregetan dengan kinerja Max Tamaela, tokoh Maluku Yusuf Rahimi menyatakan Max Tamaela gagal menjalankan fungsinya. “Sejak awal saya melihat Pangdam Max gagal menjalankan fungsinya. Max adalah anggota Tim 19 yang diketuai Suadi Marasabesi. Ketika Tim 19 selesai Max kemudian ditunjuk menjadi Pangdam, kemudian bulan Juli meletus jilid kedua. Di sini saya melihat kegagalan dari Pangdam karena apa yang sudah dicapai oleh Tim 19 tidak bisa difollow-up oleh Pangdam.”
          Kondisi mencekam tidak hanya milik muslim Galela. Di sejumlah daerah, terutama Ternate, pengungsi muslim masih hidup dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Joserizal menyebutkan bagaimana para pengungsi ditempatkan di pasar-pasar. “Sanitasinya jelek lantaran tidak ada saluran air, dan menjadikan air tergenang di mana-mana, lalat bertebaran. Kemudian mereka buang air besar di pantai, sehingga kasus diare meningkat,” ujarnya.
          Di tengah keprihatinan itu, mereka harus menanggung kesulitan makanan, obat-obatan, dan menderita tekanan psikologis yang cukup kuat. Ini diakui oleh ketua koordinator Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), dr. Naharus Surur. “Bayangkan di Ternate, pulau sekecil itu, sekarang hampir ada 70.000-an pengungsi. Pasti ada akibatnya. Salah satunya, muncul kasus-kasus penjarahan yang dilakukan oleh penduduk sendiri. Itu terjadi, menurut Naharus, “Karena mereka mau tidak mau terpengaruh oleh bayangan masa depan yang tak menentu, apalagi ketika menghadapi tuntutan hidup yang sangat mendesak.” Itu sebabnya PKPU sudah empat gelombang mengirimkan tenaga da’i untuk pengungsi Maluku.
          Drg. Hardiono, Divisi Kesehatan PKPU Pusat (Tim Kesehatan PKPU Pusat menyebutkan, “Di Ternate, ada lebih dari 76.000 pengungsi. Mereka jarang mengunjungi Puskesmas. Karena dokternya sudah tidak ada, yang ada cuma perawat. Lalu Rumah Sakit Umum Ternate, dokternya dahulu ada 21 personil, tapi kini tinggal lima. Ada bantuan Depkes 10 orang, tapi para dokter Depkes itu juga sangat dibutuhkan untuk bantuan di daerah-daerah yang bergejolak.”
Sayangnya, dalam kondisi seperti itu, pemerintah terkesan kurang serius membantu kondisi pengungsi. Memang, pihak Depkes telah mengirimkan empat paket bantuan obat dan alat kesehatan senilai 650 juta lebih. Tapi, menurut Hafidz, bantuan dari pemerintah itu sulit dikontrol, apakah sudah sampai atau belum. Yang lebih terasa di lapangan, seperti diungkapkan Hasan Kiat, umumnya hanya LSM-LSM, seperti MUI, PKPU, Badan Koordinasi Umat Islam Maluku Utara serta Kompak DDII.
          Hasan menceritakan bagaimana penderitaan anak-anak. “Mereka tidak sekolah lagi. Di samping perut mereka lapar, masa depan mereka pun terancam. Bahkan anak-anak setempat pun terganggu karena sekolah mereka dijadikan tempat penampungan. Memang para pengungsi ditampung di sekolah-sekolah, gudang-gudang dan rumah-rumah Kristen yang ditinggalkan. Mereka banyak yang menderita penyakit muntaber dan diare serta gangguan saluran pernapasan akibat kondisi lingkungan dan sanitasi yang sangat buruk.
         Di kodya Ambon dan Maluku Tengah juga tidak berbeda. Di Maluku Tengah ada sekitar 11.300 pengungsi yang hidupnya sangat tergantung dengan bantuan sukarela. Ketua tim investigasi PKPU Maluku Abdur Rasyid menyebutkan, “Susana di sana untuk mencari sesuap nasi pun tidak memungkinkan. Pengingsi Muslim di Maluku Tengah sekitar 11.300 orang. MUI Malteng setiap hari setidaknya menyiapkan satu ton beras untuk konsumsi para pengungsi.”
         Kenapa pemerintah tidak mencoba untuk melakukan pembukaan isolasi Galela? Itu yang jadi pertanyaan bagi kita. Kalau aparat tidak mampu menyelesaikan masalah Galela, jangan salahkan bila mujahidin yang membuka isolasi itu. Memperlambat bantuan bagi muslim Galela, sama dengan membunuh mereka perlahan-lahan.


M. Lili NA


HAK CIPTA © PT. BINA MEDIA SABILI 1999
JL. Cipinang Cempedak II/16 Polonia, Jakarta Timur 13340 INDONESIA