Aneh. Kerusuhan demi
kerusuhan bisa berjalan sukses di Indonesia tanpa ada pihak
yang mampu mencegah atau menghentikannya: dari Banyuwangi,
Ketapang, Kupang, hingga tragedi Maluku. Untuk kasus Maluku,
malah sudah berjalan lebih dari setahun tanpa proses
penyelesaian yang pasti. Otomatis, banyak kalangan menyimpan
dugaan macam-macam tentang negara dan terlebih pada TNI. Salah
satu isu yang beredar mengatakan bahwa TNI malah berada
dibelakang semua kerusuhan yang tak terselesaikan itu. Ini
segera dibantah Mayjen Sudrajat yang kala itu masih menjabat
Kapuspen TNI. “Tidak benar itu, jika TNI mau bikin rusuh
maka bisa jauh lebih dahsyat. Sebab TNI punya segala perangkat
untuk itu,” tegas Sudrajat.
Sah-sah saja
Sudrajat membela diri, namun melihat kenyataan yang ada,
terasa aneh jika tragedi Maluku bisa melenggang bebas hingga
berusia setahun lebih. Dugaan bahwa TNI terlibat secara
institusionil mungkin terasa agak berlebihan, namun siapa yang
bisa mengelak jika yang ikut bermain adalah oknum-oknum TNI
yang juga punya kekuatan? Dalam tragedi Maluku, sudah jadi
pengetahuan umum bahwa antar oknum TNI dan Polisi yang ada di
sana juga saling bertikai.
Hal serupa juga
terjadi saat kerusuhan Mei 1998, dimana koordinir antar satuan
jadi amburadul karena adanya friksi diantara sebagian perwira
tinggi TNI. Kontroversi sikap Pangdam Wirabuana Mayjen TNI
Agus Wirahadikusumah dengan beberapa seniornya mungkin juga
bisa menguatkan dugaan
ini. Menilai itu
semua, maka tudingan Sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola yang
mengatakan Wiranto sebagai titik simpul tragedi Maluku agaknya
cukup beralasan. Bukankah tragedi Ambon meletus saat Wiranto
masih sebagai Panglima TNI? Dan ketika Wiranto bergeser jadi
Menkopolkam, tragedi Ambon bukannya mereda malah meluas ke
Halmahera. Padahal sulit dicerna akal jika Wiranto tidak tahu
siapa yang berada di belakang itu. Bukankah
Wiranto memiliki segala perangkat untuk tahu sekaligus untuk
menghentikannya? Jika tahu mengapa ia tidak
menghentikannya?
Selain Wiranto, Thamrin menyebut nama-nama: Sultan Ternate
Mudaffar Sjah, Kolonel CPM (Pur) Dicky Watimena, Yorris
Raweyai, dan Buce Sarpara. Mereka berempat disebutnya sebagai
tersangka provokator Maluku. Belakangan, dua nama
terakhir—Buce dan Yorris—diralatnya lantaran tidak ada bukti
kuat. Dengan peta
tersangka provokator seperti itu, ungkapan Thamrin bahwa
Wiranto titik simpul kasus Maluku bisa jadi logis. Dicky
Wattimena adalah mantan Komandan Pasukan Pengawal Presiden
Suharto. Yorris Raweyai punya hubungan dekat dengan Soeharto.
Dalam posisi ini, mereka boleh jadi sama dengan Wiranto yang
juga memiliki pengalaman sebagai ajudan pribadi
Suharto. “Dari Wiranto,
kita bisa mengurai semua tali-temali jaringan kerusuhan
Maluku,” tegas Thamrin. Benar tidaknya tuduhan itu memang
perlu bukti kuat, namun melihat berbagai sisi yang dimiliki
Wiranto, agaknya sulit juga untuk menafikkan perannya dalam
masalah tersebut. Kini tinggal kita tungu nyali Gus Dur untuk
mengurai itu semua.
Alim
Bathoro
|