ALAM ISLAMI

 

Kudeta “Damai” Militer Pakistan

Khawatir terhadap bangkitnya kekuatan
militer di Pakistan,AS melakukan
campur tangan. Yang penting,
tidak mendukung Islam.

wpe1.jpg (6689 bytes)

 

WB01419_.gif (1881 bytes)

Sebuah kudeta militer  layaknya berdarah-darah atau menelan korban jiwa. Tapi itu tidak berlaku di Pakistan. Kudeta militer mendepak PM Nawaz Sharif dilakukan dengan damai , tak ada korban jiwa. Bahkan, keesokan harinya kegiatan di seluruh kota Pakistan dari Karachi, Lahore dan Islamabad, Peshawar tetap bergairah. Nyaris seperti tak ada peristiwa besar yang terjadi.
         Saat menduduki PTV (Pakistan TV) di Islamabad, tempat pertama yang dikuasai militer dalam kudeta itu. Terjadi sedikit bentrokan antara polisi penjaga di situ dengan tentara. Namun tak ada pertumpahan darah. Siang harinya tempat itu sudah bisa dikunjungi wartawan yang sibuk menguber berita bersejarah tersebut.
         Televisi pemerintah, dalam pernyataannya yang dikeluarkan beberapa jam setelah militer mengepung kediaman Sharif dan para pejabat pemerintah lain, memberitakan bahwa pemerintahan Sharif yang baru berusia dua setengah tahun telah disingkirkan. Sharif dikenakan tahanan rumah. “Pemerintah Sharif telah dibubarkan,” demikian tulisan dalam bahasa Inggris yang muncul di layar televisi pemerintah. Setelah peristiwa ini, Bank Sentral Pakistan memerintahkan seluruh bank ditutup hari Rabu karena khawatir akan terjadi rush besar-besaran. Dari jam 7.30 hingga 10.30 pagi jaringan telpon ditutup sementara.
         Kudeta militer ini menjadikan Pakistan berada di bawah kekuasan militer untuk keempat kalinya setelah 1979 hingga 1988 berada di tangan Jenderal Zia ul-Haq yang mengambil alih kekuasaan dari tangan Perdana Menteri Pakistan Zulfikar Ali Bhuto, pimpinan Partai Rakyat Pakistan. Zia sendiri meninggal dalam sebuah “kecelakaan” pesawat di Bawahalpur. Kuat dugaan, kecelakaan pesawat itu memang hasil sabotase pihak AS yang memendam kekhawatiran besar atas kebangkitan militer Islam di Pakistan.
         Nawaz Sharif, mantan Perdana Menteri Pakistan yang disingkirkan militer (13/10) dalam kudeta damai harus menelan pil pahit atas tindakan-tindakannya yang ceroboh dan permainan kartu politik yang terlalu kasar.
         Sebenarnya kudeta militer ini tidak terlalu mengagetkan. Banyak faktor yang melatarbelakangi meruncingnya penolakan terhadap kekuasaan Nawaz Sharif. Dari melorotnya kondisi ekonomi Pakistan, ketidakmampuan Sharif menumpas korupsi dan menekan kemiskinan serta angka pengangguran. Sharif juga dicap gagal memberantas aksi terorisme yang merebak belakangan ini dengan mengatasnamakan kelompok aliran agama. Tak hanya itu, prestasi Sharif makin carut marut dengan membengkaknya hutang luar negeri yang kini mencapai jumlah 32 milyar dolar AS. Popularitas pemerintahan Sharif pun turun drastis dalam beberapa bulan terakhir.
         Puncaknya ketika Sharif menghentikan dukungannya terhadap masalah Kashmir dan meminta agar pasukan Pakistan mundur dari Kashmir. Kebijakan aneh ini, diduga kuat merupakan salah satu bentuk konsesi politik Sharif dengan Washington. Kebijakan itu kontan mempermalukan para petinggi angkatan bersenjata Pakistan, yang telah bertekad untuk berjuang hingga titik darah penghabisan demi kemerdekaan Kashmir.
         Bukan hanya itu, kebijakan Sharif melakukan resufle di jajaran militer. Terjadilah pemecatan dan penggantian secara semena-mena terhadap sejumlah pejabat tinggi militer, termasuk Musharraf, ketua angkatan bersenjata Pakistan. Situasi pun makin memanas. Sudah begitu, Sharif juga melakukan aksi membungkam semua suara kritis terhadap pemerintahannya. Awal September lalu, Sharif melakukan penangkapan terhadap sejumlah aktivis yang menggelar aksi memprotes pemerintah. Ia bahkan mengeluarkan undang-undang yang menyamakan aksi itu dengan aktivitas terorisme.
         Citra Sharif makin terjepit di dalam negeri, tapi ia mendapat support dari Washington. Washington kabarnya meminta pemerintahan Sharif agar bersikap kooperatif dalam krisis Kashmir bila ingin terus mendapat dukungan dari AS. Di tengah ketidakpopuleran pemerintahannya, Sharif dijanjikan mendapatkan suntikan dana dari Dana Moneter Internasional (IMF). Kontak antara AS dan Pakistan pun sering dilakukan. Dalam tiga bulan terakhir, Sharif setidaknya sudah dua kali sowan ke Washington. Pertama, di tengah bergolaknya krisis Kashmir dan kedua pertengahan September lalu, ketika terjadi perbedaan pendapat antara Sharif dan Musharraf tentang isu Kashmir makin meruyak.
         Apa yang ada di balik “kepedulian” AS? Sudah dapat diduga. Seperti yang dikhawatirkan AS pada masa kekuasaan Zia ul-Haq, AS khawatir dengan berkuasanya kekuatan militer Islam di Pakistan. Untuk menekan ancaman itu, pemerintahan Sharif juga didesak untuk menandatangani kesepakatan pelarangan senjata nuklir demi stabilitas di kawasan Asia.
Intervensi AS seperti biasa, menggunakan kedok demokrasi untuk tetap melanggengkan kursi kekuasaan partnernya di Pakistan. Washington bahkan, perlu-perlunya mengeluarkan pernyataan resmi (20/9) yang isinya menentang keras setiap upaya untuk mengganti pemerintahan Sharif dengan cara-cara konstitusional. Alhasil, Sharif sepertinya berada di atas angin oleh dukungan Barat. Tapi di dalam negerinya sendiri, ia terjepit. Sebab kedekatan Nawaz dengan AS mendapat kecaman habis dari berbagai kalangan. Masyarakat Pakistan, memang sejak dulu memiliki sikap keras terhadap campur tangan Barat.
         Yang jelas, AS takkan tinggal diam terhadap aksi militer Pakistan itu. Apalagi pengaruh Islam di kalangan militer Pakistan masih sangat kuat. Beberapa waktu lalu, pihak IMF sudah menyatakan menunda pencairan dana bantuan untuk Pakistan selama proses demokratisasi ala mereka belum terwujud. Selanjutnya, bukan mustahil AS merancang paket membenturkan kekuasaan militer itu dengan berbagai kekuatan luar, seperti India. Atau, skenario seperti dialami pemimpin Pakistan Zia ul-Haq yang terbunuh secara tragis, bakal menimpa para pemimpin militer Pakistan.
n

M. Lili NA
Kontributor data : Samson Rahman, Islamabad


WB01419_.gif (1881 bytes)