Kudeta “Damai” Militer
Pakistan
Khawatir
terhadap bangkitnya kekuatan militer
di Pakistan,AS melakukan campur
tangan. Yang penting, tidak mendukung
Islam. |
|
 |
Sebuah
kudeta militer layaknya berdarah-darah atau menelan
korban jiwa. Tapi itu tidak berlaku di Pakistan. Kudeta
militer mendepak PM Nawaz Sharif dilakukan dengan damai , tak
ada korban jiwa. Bahkan, keesokan harinya kegiatan di seluruh
kota Pakistan dari Karachi, Lahore dan Islamabad, Peshawar
tetap bergairah. Nyaris seperti tak ada peristiwa besar yang
terjadi.
Saat menduduki PTV (Pakistan TV) di Islamabad, tempat pertama
yang dikuasai militer dalam kudeta itu. Terjadi sedikit
bentrokan antara polisi penjaga di situ dengan tentara. Namun
tak ada pertumpahan darah. Siang harinya tempat itu sudah bisa
dikunjungi wartawan yang sibuk menguber berita bersejarah
tersebut.
Televisi pemerintah, dalam pernyataannya yang dikeluarkan
beberapa jam setelah militer mengepung kediaman Sharif dan
para pejabat pemerintah lain, memberitakan bahwa pemerintahan
Sharif yang baru berusia dua setengah tahun telah
disingkirkan. Sharif dikenakan tahanan rumah. “Pemerintah
Sharif telah dibubarkan,” demikian tulisan dalam bahasa
Inggris yang muncul di layar televisi pemerintah. Setelah
peristiwa ini, Bank Sentral Pakistan memerintahkan seluruh
bank ditutup hari Rabu karena khawatir akan terjadi rush
besar-besaran. Dari jam 7.30 hingga 10.30 pagi jaringan telpon
ditutup
sementara.
Kudeta militer ini menjadikan Pakistan berada di bawah
kekuasan militer untuk keempat kalinya setelah 1979 hingga
1988 berada di tangan Jenderal Zia ul-Haq yang mengambil alih
kekuasaan dari tangan Perdana Menteri Pakistan Zulfikar Ali
Bhuto, pimpinan Partai Rakyat Pakistan. Zia sendiri meninggal
dalam sebuah “kecelakaan” pesawat di Bawahalpur. Kuat dugaan,
kecelakaan pesawat itu memang hasil sabotase pihak AS yang
memendam kekhawatiran besar atas kebangkitan militer Islam di
Pakistan.
Nawaz Sharif, mantan Perdana Menteri Pakistan yang
disingkirkan militer (13/10) dalam kudeta damai harus menelan
pil pahit atas tindakan-tindakannya yang ceroboh dan permainan
kartu politik yang terlalu
kasar.
Sebenarnya kudeta militer ini tidak terlalu mengagetkan.
Banyak faktor yang melatarbelakangi meruncingnya penolakan
terhadap kekuasaan Nawaz Sharif. Dari melorotnya kondisi
ekonomi Pakistan, ketidakmampuan Sharif menumpas korupsi dan
menekan kemiskinan serta angka pengangguran. Sharif juga dicap
gagal memberantas aksi terorisme yang merebak belakangan ini
dengan mengatasnamakan kelompok aliran agama. Tak hanya itu,
prestasi Sharif makin carut marut dengan membengkaknya hutang
luar negeri yang kini mencapai jumlah 32 milyar dolar AS.
Popularitas pemerintahan Sharif pun turun drastis dalam
beberapa bulan
terakhir.
Puncaknya ketika Sharif menghentikan dukungannya terhadap
masalah Kashmir dan meminta agar pasukan Pakistan mundur dari
Kashmir. Kebijakan aneh ini, diduga kuat merupakan salah satu
bentuk konsesi politik Sharif dengan Washington. Kebijakan itu
kontan mempermalukan para petinggi angkatan bersenjata
Pakistan, yang telah bertekad untuk berjuang hingga titik
darah penghabisan demi kemerdekaan Kashmir.
Bukan
hanya itu, kebijakan Sharif melakukan resufle di jajaran
militer. Terjadilah pemecatan dan penggantian secara
semena-mena terhadap sejumlah pejabat tinggi militer, termasuk
Musharraf, ketua angkatan bersenjata Pakistan. Situasi pun
makin memanas. Sudah begitu, Sharif juga melakukan aksi
membungkam semua suara kritis terhadap pemerintahannya. Awal
September lalu, Sharif melakukan penangkapan terhadap sejumlah
aktivis yang menggelar aksi memprotes pemerintah. Ia bahkan
mengeluarkan undang-undang yang menyamakan aksi itu dengan
aktivitas
terorisme.
Citra Sharif makin terjepit di dalam negeri, tapi ia mendapat
support dari Washington. Washington kabarnya meminta
pemerintahan Sharif agar bersikap kooperatif dalam krisis
Kashmir bila ingin terus mendapat dukungan dari AS. Di tengah
ketidakpopuleran pemerintahannya, Sharif dijanjikan
mendapatkan suntikan dana dari Dana Moneter Internasional
(IMF). Kontak antara AS dan Pakistan pun sering dilakukan.
Dalam tiga bulan terakhir, Sharif setidaknya sudah dua kali
sowan ke Washington. Pertama, di tengah bergolaknya krisis
Kashmir dan kedua pertengahan September lalu, ketika terjadi
perbedaan pendapat antara Sharif dan Musharraf tentang isu
Kashmir makin
meruyak.
Apa yang ada di balik “kepedulian” AS? Sudah dapat diduga.
Seperti yang dikhawatirkan AS pada masa kekuasaan Zia ul-Haq,
AS khawatir dengan berkuasanya kekuatan militer Islam di
Pakistan. Untuk menekan ancaman itu, pemerintahan Sharif juga
didesak untuk menandatangani kesepakatan pelarangan senjata
nuklir demi stabilitas di kawasan Asia. Intervensi AS
seperti biasa, menggunakan kedok demokrasi untuk tetap
melanggengkan kursi kekuasaan partnernya di Pakistan.
Washington bahkan, perlu-perlunya mengeluarkan pernyataan
resmi (20/9) yang isinya menentang keras setiap upaya untuk
mengganti pemerintahan Sharif dengan cara-cara konstitusional.
Alhasil, Sharif sepertinya berada di atas angin oleh dukungan
Barat. Tapi di dalam negerinya sendiri, ia terjepit. Sebab
kedekatan Nawaz dengan AS mendapat kecaman habis dari berbagai
kalangan. Masyarakat Pakistan, memang sejak dulu memiliki
sikap keras terhadap campur tangan
Barat.
Yang jelas, AS takkan tinggal diam terhadap aksi militer
Pakistan itu. Apalagi pengaruh Islam di kalangan militer
Pakistan masih sangat kuat. Beberapa waktu lalu, pihak IMF
sudah menyatakan menunda pencairan dana bantuan untuk Pakistan
selama proses demokratisasi ala mereka belum terwujud.
Selanjutnya, bukan mustahil AS merancang paket membenturkan
kekuasaan militer itu dengan berbagai kekuatan luar, seperti
India. Atau, skenario seperti dialami pemimpin Pakistan Zia
ul-Haq yang terbunuh secara tragis, bakal menimpa para
pemimpin militer Pakistan. n
M. Lili
NA Kontributor data : Samson Rahman,
Islamabad

|