Suara Hidayatullah:
Oktober 1999/Jumadil Akhir-Rajab 1420
Saingi Preman, Bina Anak Jalanan
Ternyata, tidak hanya mahasiswa yang rajin turun ke jalan-jalan ibukota. Di antara riuhnya gelora demonstrasi kalangan mahasiswa, ada ribuan atau ratusan ribu bocah cilik yang tak kalah rajin menyusuri jalanan ibukota.
Bedanya, kalau mahasiswa hanya semalam-dua malam tidur beratapkan langit, anak-anak remaja kecil itu ratusan atau ribuan malam senantiasa dihabiskan di luar rumah, tidur di bawah taburan kelap-kelip bintang di langit. Seruannya pun berbeda; mahasiswa menuntut reformasi, para anak ingusan ini hanya menuntut sesuap nasi. Yang dewasa membuat parlemen jalanan, yang kecil jadi anak jalanan (street children).
Sayangnya, meski mereka ini sering bersua, tak banyak interaksi yang terjadi di antara kedua komunitas itu. Masing-masing asyik dengan agendanya sendiri. Si mahasiswa cuek saja melihat saudara kecilnya yang berbaju kumal melintas di sekelilingnya. Si anak jalanan pun cuek saja mengasong dan mengamen berkeliling kota.
Untunglah tidak semua mahasiswa bersikap masa bodoh seperti itu. Siswandi adalah satu di antara mahasiswa ingin lebih dekat dengan anak-anak jalanan itu. Bersama kawan-kawannya dari Institut Agama Islam (IAI) Al-Ghuraba Jakarta, Siswandi bahu membahu menyantuni dan membina anak-anak bernasib malang itu. Mereka beryakinan, kegiatan mahasiswa selayaknya tidak hanya berkutat pada permasalahan politik saja, tetapi juga harus bisa menyentuh berbagai problema masyarakat dari berbagai lapisan. "Kita juga perlu menggarap bidang pendidikan, antara lain dengan memberi pemahaman kepada masyarakat tentang makna sesungguhnya dari seruan reformasi," jelas Siswandi. "Sebab jika tidak, mereka akan rentan dimanipulasi oleh kelompok tertentu yang sebenarnya tidak reformis."
Aktivis mahasiswa perguruan tinggi yang didirikan oleh tokoh Masyumi Mohammad Natsir ini menjadikan Kelurahan Rawa Badak Selatan Jakarta Utara ini sebagai daerah garapan. Di dalamnya kawasan ini terdapat sebuah kawasan kumuh (slump area) yang sangat memprihatinkan. Tepatnya di wilayah Tanah Merah. Di sinilah mereka mendirikan Yayasan Amanah (YA), lembaga yang mewadahi aktivitas mereka.
Tanah Merah itu mulanya kosong berawa-rawa milik Pertamina. Tapi sejak 1983 korban gusuran dari berbagai daerah, satu per satu mulai menempati lahan 'nganggur' ini. Tentu saja sebagai pemukim liar. Sebagian ada yang menguruk tanah rawa itu terlebih dulu lalu membangun rumah di atasnya. Sebagian lain membangun rumah dengan menggunakan 'teknologi' rumah panggung, membiarkan air tetap menggenang di bawah rumahnya. Jika ingin membuang sampah, tinggal melempar saja ke bawah rumahnya. Praktis, tapi akibatnya sampah terserak-serak di mana-mana, menyebarkan aroma tak sedap bercampur dengan bau air comberan (got) yang menggenang di sekelilingnya.
Bahan bangunan yang dipilih beraneka ragam. Ada yang sudah mampu membangun dengan batu bata, tapi kebanyakan hanya berupa rumah-rumah papan, bambu dan seng butut, selaras dengan pakaian mereka yang kumal. Bagi orang yang terbiasa hidup bersih di lingkungan sehat, sulit untuk betah berada di daerah Tanah Merah ini. Tapi bagi pasukan Ghuraba, justru itulah tantangan dakwah yang harus mereka hadapi.
Wirausaha
Di tempat inilah --ketika krismon menerpa-- mereka menerapkan ilmu dakwahnya. Mereka mendirikan dua lembaga di bawah naungan YA, yakni rumah singgah anak jalanan yang terletak di Gang Mandiri Kelurahan Rawa Badak Selatan dan sanggar belajar Al Quran (termasuk TPA) di Tanah Merah, di kelurahan yang sama.
YA juga sudah dapat menyekolahkan anak-anak binaannya sesuai jenjang SD, SMP, SMU. Targetnya semua bisa disekolahkan, tapi kemampuan saat itu baru menjangkau 17 orang dari 317 anak yang dibina.
Alhamdulillah, sambutan masyarakat lumayan baik. Meski sarananya sangat terbatas, cukup banyak para ibu dan remaja aktif mengikuti pengajian halaqah setiap malam. Begitu pula anak-anak di Tanah Merah, berbondong-bondong belajar di TPA itu. Yang membuat mereka tertarik antara lain lantaran gratisnya biaya pendidikannya. Di sanggar belajar ini, Siswandi dan kawan-kawan menyampaikan pelajaran membaca Al Quran, ibadah shalat serta pengetahuan diniyah lainnya.
Sayangnya untuk kegiatan remaja tidak berlangsung terlalu lama. Baru berjalan setahun pesertanya mulai surut. "Kebanyakan karena mereka mulai sibuk mencari kerja," jelas Asrori, Ketua Litbang YA. Padahal, rencana pengurus, setelah menamatkan pelajarannya, mereka justru sedang disiapkan untuk menjadi asisten pengajar.
Bermacam pekerjaan mereka coba. Ada di antaranya mencoba menjadi penyanyi dangdut amatir di wilayah setempat. Lumayan berhasil. Sebagian mereka ditanggap di berbagai perhelatan di sekitar kampung tersebut. Tapi masalahnya, di dalam pesta itu acap kali ada saja ekses negatifnya. Namanya saja hiburan malam, kerap tak jauh dari dunia maksiat.
Tentu saja itu menjadi keprihatinan para pengasuh YA. Tapi mau bilang apa, mereka memang butuh penghasilan untuk menyambung hidup, sedangkan LSM Muslim ini belum bisa memberikan jalan keluarnya yang kongkrit. "Di masa depan, kami berharap bisa menyediakan tempat magang kerja buat para remaja yang mulai mencari penghasilan," tambah Siswandi. Syukur-syukur bisa menyalurkan ke perusahaan-perusahaan yang baik.
Harapan itu bukan sekedar angan-angan semata. Belakangan ini aktivis YA sedang merintis usaha agribisnis, berupa peternakan cacing, itik dan lele. Seorang mantan wartawan sebuah media mingguan yang kini banting setir menjadi usahawan, menawarkan kerjasama bisnis ternak tersebut. "Sekarang kami sedang mengikuti pelatihan. Setelah itu akan kami coba terapkan dengan menyertakan para remaja itu," jelas Asrori. Hasilnya diharapkan bisa sedikit menutupi kebutuhan hidup mereka, hingga tak perlu lagi jadi anak jalanan atau artis malam kagetan itu.
Diharapkan, bisnis-bisnis seperti itu akan dapat menutupi problema uang transport para pengajar. Sebab, selama ini uang transport dari tempat tinggal pengajar ke sanggar belajar ditanggung masing-masing pengajar. "Sekali berangkat, pulang pergi plus makan habis sekitar Rp 7-10 ribu," ujar Nur Aini dan Rundi, mahasiswa semester IX IAI Al Ghuraba yang sudah mengajar sejak awal yayasan berdiri. Artinya, kalau mereka mengajar seminggu dua kali, maka dalam sebulan harus merogoh koceknya sekitar Rp 56-80 ribu. Suatu jumlah yang lumayan besar untuk ukuran seorang mahasiswa yang kantongnya pas-pasan.
Jalan keluarnya, sementara YA hanya bisa mengharapkan rekan-rekan yang tinggalnya lebih dekat untuk lebih aktif ketimbang yang lebih jauh. "Mudah-mudahan nanti, ada dana uang saku untuk teman-teman, minimal sebagai pengganti uang transpor," harap Siswandi. "Doakan ya." Amien.
Tapi keinginan itu semua bukanlah hal yang gratis. Perlu biaya tambahan lagi untuk pengembangan usaha demikian. Sementara untuk dana operasional sehari-hari saja sudah terasa pas-pasan sekali. Biaya makan anak-anak dan berbagai tagihan listrik dan PAM, mencapai sekitar Rp 700 ribu per bulan. Sedangkan pemasukannya masih tak menentu, sehingga kadang surplus dan kadang defisit. "Masalahnya kami belum memiliki donatur tetap," jelas Asrori asal Pemalang ini.
Dicurigai
Masalah lain, pendekatan kepada masyarakat pun sempat jadi problem, terutama saat perintisan. Kebetulan para mahasiswa ini memulai kegiatan bertepatan dengan masa maraknya reformasi dan Soeharto saat itu sedang berada di ujung tampuk kekuasaannya. Akibatnya, para aparat kelurahan setempat sempat mencurigai keberadaan YA. Dikiranya hendak membuat aksi-aksi politik di kawasan marjinal itu. Bahkan anak-anak muda aktivis ini pernah mendapat 'undangan' dari pihak Koramil, mempertanyakan missi lembaga tersebut.
Para pamong sipil pun tak mau kalah curiga. "Kegiatan Anda senantiasa kami pantau," kata seorang pengurus RW beberapa kali. Tak jelas apa maksudnya, tapi yang pasti ada kecurigaan kuat dari mereka. "Mungkin dikiranya kami ada maksud-maksud politis," kata Siswandi sambil tersenyum.
Untunglah, setelah ada dialog kini sudah ada semacam kesamaan pandangan. "Bahkan mereka menyatakan mendukung kegiatan-kegiatan kami," kata Asrori bangga. "Dan kemudian mereka juga menawarkan lahan dakwah baru lagi."
Tantangan lain datang pula dari masyarakat setempat. Pemicunya kadang hanya masalah sepele, kesalahpahaman semata. Misalnya, masalah pembinaan masyarakat. Kebetulan lokasi sanggar belajar TPA tempatnya agak jauh dari kantor sekretariat Yayasan yang juga berfungsi sebagai rumah singgah anak jalanan, sekitar satu kilometer. Melihat keaktifan pengurus mengajar di sanggar belajar, masyarakat sekitar sekretariat merasa agak cemburu. Mereka ingin pengurus juga menyelenggarakan sanggar belajar TPA di sekitar sekretariat. Padahal tempat dan tenaga pengajarnya masih sangat terbatas. "Sebenarnya kami sudah berusaha mencari tempat di sekitar sini, tapi masih belum dapat," jelas Asrori. Soal dana, kabarnya sudah ada simpatisan yang bersedia menyediakan uang sewa rumahnya. Alhasil sampai sekarang masyarakat masih terus menunggu-nunggu.
Disatroni Preman
Soal suka duka, banyak. Pertama, tabiat anak-anak itu sendiri yang memang sulit diatur, karena terbiasa dengan adat di jalanan yang keras dan bebas. Dari 50-an anak yang dibina, hanya belasan saja yang mau rutin tidur di rumah singgah. Yang lainnya lebih sering tidur bebas di mana saja. Sebabnya, memang ada yang malas pulang, tetapi ada juga yang ditahan oleh para preman. Asep dan Tarmuji, dua pengurus YA yang kebetulan wartawan dan anggota kepolisian, kerap melakukan sweeping ke sejumlah terminal bus, pelabuhan dan stasiun kereta api serta kolong-kolong jembatan, mencari para anak asuhnya yang belum pulang. Bila berjumpa dengan pengurus barulah mereka mau pulang ke rumah singgah.
Dalam dunia jalanan berlaku seperti hukum rimba. Siapa yang kuat dan berotot dialah yang berkuasa. Yang jadi korban, siapa lagi kalau bukan pihak yang lemah seperti anak jalanan yang masih ingusan ini. Ada adat rimba di mana si anak jalanan harus setor upeti yang besarnya terserah si preman. Kerap seluruh hasil jerih payah sehari penuh dirampas semuanya, dan ada pula yang disisakan sedikit. Menolak setor upeti, pukulan dan tusukan balasannya.
"Kalau sedang mengamen, kami sering dipalak (diambil uangnya) para preman, Pak," ungkap Iwan dan Junaidi, dua pengamen cilik asuhan YA saat ditemui Sahid di rumah singgah.
"Uang yang saya dapat Rp 5 ribu, diambil semua," tambah Seti. "Kalau melawan, kami ditonjok. Dan mereka sering bawa pisau," tambah Joko.
Kalau sudah begitu biasanya mereka menangis saja, lalu pulang dengan tangan hampa, lantas mengadu pada Hulaili, salah seorang pengurus YA yang disegani preman. Hulaili inilah yang kemudian menegur dan mengajak kompromi para preman agar tak mengganggu anak asuhnya lagi.
Adakalanya anak-anak itu enggan menyetor. Habis cari duit, langsung pulang ke rumah singgah. Tentu saja si preman tak rela. Sehari kemudian 5-10 orang datang menyusul ke rumah singgah. Maksudnya tak lain untuk menagih upeti. Situasi tegang pun tak terhindarkan. Tapi dengan pendekatan simpatik pengurus YA, akhirnya para preman mengurungkan niatnya. Kejadian seperti ini sempat berulang sekitar tiga kali.
Pernah juga para preman itu menantang duel. Tapi tak dilayani. Sekalipun preman, dia tetap saudara juga. Perlu disikapi dengan pendekatan yang bijak (bil hikmah).
Menghindar tekanan para preman itu, sebagian anak jalanan memilih beroperasi di luar Jakarta. Syahrudin, salah seorang anak asuh YA, enggan berprofesi sebagai pengamen sebagaimana kebanyakan teman-temannya. Bersama dua kawannya, Syahrudin lebih senang berprofesi sebagai peniris bensin. Lokasinya pun dipilih di kota Bandung. "Di sana enak, nggak banyak preman yang mengganggu," kata bocah asal Lampung ini saat ditemui Sahid di rumah singgah.
Meniris adalah menampung sisa bensin atau minyak dari truk tangki yang baru memasok bensin ke pompa bensin. Ketika truk berhenti di lampu lalu lintas, Mulyono beraksi dengan menyorongkan jerigennya ke mulut kran sambil memutar tuasnya.
Dari satu truk tangki, biasanya Mulyono mendapatkan sekitar dua liter minyak/bensin. "Sehari saya dapat sekitar 30-50 liter dari 25-35 truk tangki," ungkap Mulyono. Bensin hasil tirisan itu kemudian dijualnya kepada agen minyak seharga Rp 300 per liternya. Berarti ia memperoleh sekitar Rp 9-15 ribu per harinya.
* Penyair, tinggal di Madura
Copyright© Suara Hidayatullah, 1999
|