Update: 00.30 Wib Selasa,  9  November 1999

Dua Juta Umat Gelorakan Referendum

Serambi-Banda Aceh
Perhelatan kolosal Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh, Senin kemarin, berlangsung sukses, damai, dan nyaris tanpa insiden berarti. Massa yang disebut panitia 2 juta orang dari seluruh tingkat II di Aceh itu, memadati kawasan Masjid Raya Baiturrahman dan sebagian lagi berkonvoi dalam Kota Banda Aceh.
Kata pengamat, dalam sejarah daerah ini, belum pernah terjadi 'penumpukan' manusia sebanyak peristiwa kemarin. "Seumur hidup saya tak pernah melihat orang sebanyak ini," kata M Kasim (45) yang datang yang mengaku datang dari Kabupaten Aceh Timur.
Dinilai luar biasa, terutama karena konsentrasi manusia sebanyak itu ternyata bisa terkendali. Yang berada di kawasan Masjid Raya Baiturrahman untuk mengikuti sidang umum, mereka bisa duduk secara rapi dan tertib.
Hampir tak ada sudut dalam komplek masjid kebanggaan rakyat Aceh itu yang tanpa diisi manusia. Sebagian lagi memadati jalan-jalan di pinggiran masjid. Bahkan, karena tak kebagian tempat, sebagian massa terpaksa menaiki sejumlah bangunan, seperti atap tempat parkir dan bangunan tempat berwudhuk, bangunan Pasar Aceh, pertokoan-pertokoan, pohon-pohon kecil, dan bahkan bangunan seperti pintu gerbang masjid di atasnya juga turut berjejal manusia.
Pagi kemarin, penumpukan manusia di kawasan Masjid Raya Baiturrahman berlangsung cepat. Sehingga menjelang pukul 08.00 WIB kemarin, massa yang terus mengalir dari berbagai sudut dalam Kota Banda Aceh, tidak bisa lagi masuk ke kawasan masjid. Massa yang tidak bisa lagi masuk ke kawasan masjid ini jumlahnya dilaporkan jauh lebih banyak, mencapai empat kali dari yang ada di kawasan masjid. Sebagiannya kemudian mengisi berbagai sudut kota dan sebagian melakukan konvoi secara berpencar-pencar.
Massa yang umumnya menggunakan ikat kepala bertuliskan "Referendum" ini benar-benar larut dan histeris. Pekikan Allahu Akbar, alunan Shalawat Nabi, hikayat Prang Sabi, ataupun zikir, sebentar-bentar bergema yang dipandu sejumlah tokoh referendum dari mimbar, Akmal Aksal (pemandu acara), Muhammad Nazar (SIRA), Faisal Ridha (ketua panitia), Tgk Nuruzzahri (ulama), Tgk Bulqaini (pimpinan Thaliban), Fajri M Kasim (mahasiswa), Cut Nurasikin (tokoh wanita), maupun Muhammad Yus dan Nasir Jamil (pimpinan DPRD Aceh).
Dari atas mimbar yang terletak di depan teras utama Masjid Raya Baiturrahman, para pemandu dan orator seringkali menasihati massa agar tetap bersikap tertib. Ini terutama di saat sesekali massa histeris karena isi pidato ataupun insiden-insiden kecil di tengah massa. Sehingga terkadang massa berdiri, namun kemudian mereka segera ditenangkan dan diingatkan tidak terprovokasi.
Massa yang menyemut di masjid itu bisa dengan mudah dikendalikan dari mimbar. Bila massa mulai berdiri misalnya, dengan cepat para pemandu mengajak massa untuk bershalawat atau memekikkan Allah Akbar. Mereka patuh saat diminta untuk duduk kembali. Selain dari mimbar, di antara sesama massa pun terkadang mereka saling mengingatkan untuk bersikap tertib. Mereka tampak sangat menyadari sedang memperjuangkan referendum secara damai. "Hari ini dunia menyaksikan bahwa masyarakat Aceh cinta damai," teriak seorang orator dari mimbar.
Sekitar pukul 09.30 WIB sempat terjadi insiden kecil yang memancing perhatian massa di sisi utara masjid. Rupanya sebagian atap bangunan parkir masjid sempat patah karena tidak mampu menyanggah banyaknya jumlah massa yang naik. Namun, massa lagi-lagi dengan cepat bisa ditenangkan. Bersamaan dengan insiden kecil ini hujan rintik-rintikpun turun, seakan memberikan siraman kepada massa yang mulai kegerahan.
Cuaca yang menyelimuti Kota Banda Aceh kemarin memang tampak sangat bersahabat dan menguntungkan. Terik matahari tidak terlalu panas. Bahkan massa di komplek masjid sempat beberapa kali disiram hujan rintik-rintik yang sangat menolong mereka dari kegerahan. "Kita ternyata tidak memerlukan mobil penyemprot air. Allah telah menyirami kita. Namun kita jangan sombong," teriak pemandu acara, Akmal Absal.
Secara resmi acara kemarin dimulai sekitar pukul 08.15 WIB yang diawali dengan mengumandangkan ayat-ayat suci al-Quran oleh Fadliana. Baru kemudian pada sekitar pukul 08.50 WIB bendera referendum berukuran 4x8 meter dengan sangat hikmat perlahan-lahan dinaikkan ke tiang beton yang terletak di sisi selatan halaman masjid.
Bendera referendum ini dinaikan oleh sebuah pasukan berseragam berjumlah 24 orang yang dipimpin Adista. Mereka bergerak dengan formasi 4:2:9:9. Formasi ini sesuai dengan waktu pelaksanaan Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau pada tanggal 4 Februari 1999. Bendera ini perlahan-lahan dinaikkan dengan iringan hikayat Prang Sabi.
Setelah sejumlah tokoh menyampaikan orasi, barulah pada sekitar pukul 10.50 WIB, Ketua terpilih DPRD Aceh, Drs Muhammad Yus diminta tampil berbicara. Di depan massa, Muhammad Yus antara lain berjanji akan meneruskan perjuangan yang dikehendaki masyarakat Aceh.
Muhammad Yus juga menjelaskan bahwa kedudukannya saat ini hanya baru sebatas sebagai ketua DPRD Aceh yang baru dipilih beberapa hari lalu dan sampai kemarin belum mendapat pengesahan. Karena itu, Muhammad Yus saat itu memanggil pimpinan sementara DPRD Aceh, Drs Nasir Djamil (anggota termuda) untuk bersama-sama dengannya menyampaikan serta membaca janji/komitmen DPRD Aceh dan Pemda Aceh sebagai berikut.
Kami lembaga Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemerintah daerah Istimewa Aceh menyatakan komitmen dan menuntut hal-hal sebagai berikut.
þ Mengakui bahwa tuntutan dan perjuangan untuk mendaptkan hak penentuan nasib sendiri (self determination) rakyat Aceh melalui sebuah Referendum Damai dan Demokratis merupakan tuntutan dan perjuangan rakyat Aceh secara keseluruhan, serta mesti ditanggapi secara positif oleh semua pihak di tingkat nasional dan internasional secara positif.
þ Berjanji memperjuangkan terwujudnya pelaksanaan referendum di Aceh secara transparan, damai, dan demokratis.
þ Berjanji menolak segela bentuk militerisme di Aceh.
þ Apabila kami mengingkari janji-janji/komitmen-komitmen tersebut, maka kami berhak diberikan hukuman sosial oleh seluruh rakyat Aceh.

Setelah dibaca, Muhammad Yus dan Nasir Djamil membubuhkan tandatangan mereka. Saat menandatangani janji, seorang panitia memegang sebuah al-Quran di atas kepala Muhammad Yus. Prosesi ini berlangsung sangat hikmat. Sesaat kemudian massa tampak histeris. Namun lagi-lagi mereka bisa ditenangkan dengan tampilnya seorang 'tokoh tua' yang melantunkan lagu Jak keuno rakan ta dukung referendum dengan irama lumayan bagus, sehingga sebagian massa tampak ikut berjoget ria, lalu mereka duduk kembali secara tertib.
Sedangkan atas nama Pemda Aceh, janji/komitmen tersebut ditandatangani Wagub Bustari Mansyur karena Gubernur Syamsuddin Mahmud hingga kemarin masih di Jakarta. Panitia menjelaskan kepada massa bahwa Syamsuddin Mahmud juga akan ikut menandatangani naskah janji tersebut setelah ia kembali ke Banda Aceh beberapa hari mendatang. Kata Nasir Djamil, naskah janji/komitmen tersebut akan dikirim kepada presiden, MPR, DPR, dan Sekjen PBB.
Barulah sekitar pukul 11.45 acara diakhiri secara resmi dengan pembacaan doa. Namun, setelah itu, massa belum juga beranjak karena kemudian masih dilanjutkan dengan acara pembukaan selubung tulisan referendum yang dipancangkan di sisi masjid sebelah timur. Huruf tulisan pada billboard itu terbuat dari besi, dipancangkan di dekat billboard referendum lama yang selubungnya beberapa waktu lalu turut ditarik Gus Dur (kini presiden) dan Amin Rais (kini Ketua MPR). Billboard baru ini, ukurannya jauh lebih besar dan lebih tinggi dibanding dengan billboard lama.
Sekitar pukul 12.00 massa kemudian mulai berangsur-angsur bergerak meninggalkan halaman masjid.
Dari berbagai daerah tadi malam dilaporkan, iring-iringan kendaraan rombongan yang kembali dari Banda Aceh mendapat sambutan antusias dari masyarakat di sepanjang jalan yang dilalui hingga mencapai tujuan.
Ketua Panitia Pelaksana Faisal Ridha dan Koordinator Presidium Pusat Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) Muhammad Nazar, seusai acara kepada Serambi, menyatakan bahwa massa yang terlibat dalam aksi kemarin lebih dari 1,5 juta orang. Karena, menurut Nazar dan Faisal Ridha, sejumlah daerah tingkat II ternyata mengirim peserta jauh lebih banyak dari yang direncanakan.
Melalui Serambi, Nazar dan Faisal Ridha menyampaikan terima kasih kepada rakyat Aceh atas suksesnya acara tersebut. "Ini perjuangan kita yang tidak mungkin bisa dibendung lagi. Melalui acara ini telah membuktikan bahwa masyarakat Aceh bersatu dalam perjuangan ini," kata Muhammad Nazar. (rul/ism/kan/ham/ed)




Luar Biasa!

HAMPIR sepanjang hari kemarin, Banda Aceh mengukir sejarah yang benar-benar spektakuler. Konon menurut pengakuan beberapa orang tua berusia 50-an tahun, seingat mereka belum pernah melihat orang sebanyak itu membanjiri ibukota Propinsi Aceh. Luar biasa!
Memang luar biasa. Namun nilai luar biasanya bukan hanya karena jumlah manusia yang menurut taksiran beberapa pihak mencapai 2 juta orang. Lebih dari itu, selama berlangsungnya aksi pengerahan massa, nyaris tak terjadi insiden berarti. Sulit dipercaya memang. Tapi begitulah kenyataannya.
Dalam sejarah perjalanan masyarakat Aceh ke depan, apa yang terjadi kemarin diyakini akan tercatat dengan tinta emas. Masjid Raya Baiturrahman menjadi saksi suksesnya acara kolosal yang "berlabel" Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR) tersebut.
Sepanjang perhelatan akbar itu, seluruh rutinitas di perkantoran pemerintah/swasta, sekolah, perbankan, perdagangan, dan berbagai usaha jasa lainnya terhenti total. Yang terlihat hampir di setiap jengkal kota berpenduduk 260.000 jiwa itu hanya kesibukan massa. Seluruhnya bergerak ke satu titik. Masjid Raya Baiturrahman, tempat SU-MPR itu digelar.
Sesak hingga ke lorong
Komplek Masjid Raya Baiturrahman -- termasuk pelataran parkir -- yang luasnya sekitar sembilan hektar ternyata tak mampu menampung ledakan peserta SU-MPR yang menyesaki lokasi itu sejak pukul 07.00. Selebihnya -- diperkirakan jumlahnya mencapai empat kali lipat dari yang terkonsentrasi di komplek masjid -- tersebar di setiap jengkal kota.
Bagi massa yang berada di luar komplek SU MPR tersebut, selain tekun mendengarkan orasi dari mimbar utama melalui sound system masjid berkekuatan puluhan ribu watt, juga melakukan pawai refer- endum.
Iringan pawai yang terpecah dalam beberapa kelompok besar itu "merayap" ke berbagai pelosok kota. Tim Serambi yang menyertai iringan pawai menyaksikan langsung bagaimana sesaknya seluruh ruas jalan kota, termasuk lorong-lorong desa/kelurahan.
Meski kendaraan harus tertatih-tatih, namun tak terlihat wajah kesal. Semua larut dalam teriakan referendum, kumandang takbir, shalawat badar, dan hikayat prang sabi melalui pengeras suara yang dibawa oleh sebagian besar peserta pawai.
Nuansa haru yang sulit dilukiskan dengan kata-kata terlihat ketika iringan pawai melintas di lorong-lorong desa/kelurahan. Hampir setiap rumah penduduk di sepanjang lorong yang dilewati menyediakan air putih pelepas dahaga untuk peserta pawai. Bagi penduduk yang berkemampuan di atas rata-rata, tampak membagi-bagikan es dan air mineral. Kesan senasib-sepenanggungan terlihat kental sekali.
Jalur sungai padat
Pergerakan massa ke pusat Kota Banda Aceh kemarin bukan hanya melewati jalan darat. Malah jalur sungai pun tak kalah padatnya. Puluhan kapal motor berbagai ukuran, sejak pagi hingga siang kemarin terlihat memobilisasi massa melalui jalur Krueng Aceh. Massa yang menggunakan angkutan sungai itu, antara lain dari kawasan Lampulo, dan desa-desa lainnya di sepanjang aliran sungai tersebut.
Setiap boat pengangkut massa, selain dihiasi dengan spanduk referendum, juga menabuh rapaie, mengumandangkan shalawat, dan bertakbir. Setelah menurunkan penumpang di dermaga jembatan Pante Pirak dan Peunayong, armada boat itu "berkonvoi" hilir mudik di jalur Krueng Aceh.
Menurut data yang diperoleh Serambi, tidak kurang 20 boat terlibat dalam mobilisasi massa sejak pagi hingga siang kemarin. Partisipasi awak boat tersebut mendapat sambutan positif dari peserta pawai yang lalu-lalang di atas jembatan. Teriakan "hidup referendum" disertai acungan jempol antara peserta di darat dengan yang di dalam boat saling bersahut-sahutan.
Semangat memperjuangkan referendum ternyata bukan hanya bergelora di kalangan peserta yang berkumpul di sekitar komplek Masjid Raya Baiturrahman. Semangat yang sama juga ada di seluruh pojok Banda Aceh. Karena tidak sedikit orang yang menyetel siaran langsung kegiatan itu melalui radio mereka.
Seperti di persimpangan Keudah misalnya -- entah dari mana sumbernya -- suara radio yang sedang menyiarkan siaran langsung SU- MPR sengaja dihubungkan ke pengeras suara. Sehingga masyarakat yang berada dalam radius 100 meter dari sumber suara itu dengan mudah mendengarkannya. Begitu pun radio mobil yang sedang berpawai, sengaja disetel "meledak-ledak" sehingga gema referendum semakin meluas.
Barangkali panitia pantas berlapang dada, karena SU-MPR berlangsung damai. Sukses itu tak lepas dari kuatnya semangat kebersamaan.
Di hampir seluruh persimpangan, berdiri petugas penertiban (polisinya panitia) untuk mengatur lalulintas. Tak terkesan angkuh atau tanda-tanda sombong. "Sang polisi" bentukan panitia SU-MPR bekerja sangat ikhlas. Masyarakat yang dilayani tampak cukup puas, meski harus antri belasan menit di setiap persimpangan.
Tanpa korban
Meskipun peserta SU-MPR kemarin diperkirakan mencapai 2 juta orang, tapi terjadi kejutan karena tak sempat jatuh korban. Kalaupun ada yang terpaksa masuk rumah sakit, hanya karena luka-luka lecet akibat jatuh dari kendaraan atau pingsan karena tidak sarapan pagi.
Data yang diperoleh Serambi dari kalangan medis dan perawat di UGD RSU Zainoel Abidin Banda Aceh, jumlah korban yang membutuhkan perawatan sementara hanya 12 orang. "Seluruhnya mengalami keluhan sakit perut karena tidak sarapan pagi. Sebagian lainnya luka-luka lecet karena kecelakaan ringan," kata seorang dokter UGD.
Kalangan medis dan perawat di UGD kepada Serambi mengatakan, mereka tak menyangka sama sekali jika jumlah korban yang masuk rumah sakit hanya sebanyak itu. Padahal seluruh dokter ahli dan perawat senior dikerahkan ke UGD untuk memberikan pertolongan terhadap "korban SU- MPR".
"Luar biasa sekali. Orang sebanyak itu ternyata tak terjadi insiden berarti. Ini patut kita syukuri," kata seorang perawat senior di UGD RSU Zainoel Abidin.
Di RS Fakinah, tercatat hanya satu orang "korban" yang sempat dirawat akibat keluhan keram dan kejang-kejang. Sedangkan di RS Malahayati empat orang yang dirawat akibat luka-luka ringan karena kecelakaan. Dengan demikian, total korban yang dirawat diketiga rumah sakit itu hanya 17 orang. (nan/n/mis/y/rs/asi/ism)



Surat dari Emha Ainun Nadjib

Serambi-Banda Aceh
Sejumlah tokoh nasional dan lokal, sejak kemarin hingga tadi malam mengirim tanggapannya tentang pelaksanaan SU-MPR di Banda Aceh, kemarin. Di antaranya, dari seorang kiai muda, Emha Ainun Nadjib. Setelah dikonfirmasi ulang, Emha mengaku khusus mengirim surat itu kepada Serambi untuk masyarakat Aceh. Berikut salinan lengkap surat tersebut.

Assalamu'alaikum Wr.Wb
Kepada Yth. Saudara-saudaraku Rakyat Aceh yang dibimbing Allah SWT.
Sungguh bahagia menyaksikan dua juta saudara-saudaraku berkumpul di Banda Aceh siang tadi (kemarin-red) untuk bergolak menentukan hari depan. Jutaan saudara-saudaraku rakyat Aceh berkumpul untuk menunjukan kedaulatan mereka dan ketidakpercayaan kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia yang menganiaya mereka terlalu lama.
Saya mohon diperkenankan untuk bertanya:
* Apakah itu berarti saudara-saudaraku rakyat Aceh juga tidak percaya kepada kami-kami rakyat di berbagai wilayah lain di Nusantara, yang juga dianiaya, yang juga harus membayar penganiayaan itu dengan kematian, kemiskinan dan ketidaktentraman, meskipun jumlah korban dan penderitaan kami sama sekali tidak sebanding dengan derita-derita saudara-saudaraku rakyat Aceh.
* Apakah saudara-saudaraku rakyat Aceh juga akan menghukum kami yang sama-sama menderita sebagaimana saudara-saudaraku rakyat Aceh menghukum Pemerintah Republik Indonesia?
* Apakah gerakan saudara-saudaraku rakyat Aceh ini adalah gerbang perpisahan diantara kita sesama rakyat yang sama-sama menderita, sama-sama ditipu harapan demi harapan, dan lebih dari itu sama-sama saling mencintai satu sama lain?
Melalui siaran televisi siang tadi juga saya mendengar seorang tokoh masyakat Aceh mengemukakan bahwa 99,9% rakyat Aceh menghendaki kemerdekaan, karena dianiaya yang terlalu lama.
Juga saya mohon bertanya:
* Jika memang benar demikian, untuk apa saudara-saudaraku rakyat Aceh masih merasa perlu melakukan unjukrasa, kemudian merasa perlu menyelenggarakan referendum, apalagi referendum itu dimintakan kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia?
* Jika memang benar demikian, kenapa tidak langsung saja memproklamasikan Negara Islam Aceh, menyusun Pemerintahannya, memanggil semua warga Aceh di wilayah RI untuk kembali ke kampung halaman, baru kemudian bernegosiasi dengan Pemerintah Republik Indonesia?
* Kenapa untuk bersikap merdeka kita perlu berurusan dengan pihak lain? Kenapa tidak langsung saja merdeka dan kalau ada yang menghalangi baru kita pertahankan kemerdekaan kita.
Yang membuat saya kurang mantap adalah dipakainya jargon 'demokrasi', hak asasi manusia dll dalam perjuangan rakyat Aceh. Seandainya saya warga Aceh, saya usulkan penggunaan wacana Islam: Aceh Mengakhiri Kedhaliman' Aceh berhijrah Minadl-dlulumati ilan- Nur'- yang subtansinya toh sama. Saya memilih idiomatik Islam untuk menunjukan kepada dunia bahwa kalau saya membebaskan diri dari Indonesia, itu tidak berarti saya boleh dicaplok oleh Amerika Serikat, diliciki PBB dan direnten oleh IMF.

Wassalamu'alaikum WR.WB. Hormat saya :
Muhammad Ainun Nadjib, Padang Bulan, Menturo Sumubito, Jombang
0816-4250033,0816-1975511,0816-453266




Pulang Seperti Pahlawan

Serambi-Banda Aceh
Jutaaan warga, sejak sore hingga tadi malam memadati jalan-jalan raya di Propinsi Aceh yang dilewati konvoi referendum yang baru pulang dari Banda Aceh mengikuti Sidang Umum Majelis Perjuangan Referendum (SU-MPR).
Berbagai makanan dan minuman yang sudah disiapkan di pinggir jalan diberikan kepada penumpang kendaraan secara cuma-cuma. Rakyat yang berdiri di sepanjang jalan, sambil menggemakan yel referendum, juga menyalami anggota konvoi, layaknya menyambut pahlawan yang baru pulang dari medan juang.
Dari Bireuen dan Matanggeulumpang Dua, sejak rombongan pawai referendum dari Aceh Timur dan Aceh Utara memasuki kota Bireuen dan Matanggeulumpangdua, masyarakat terus berjejer di jalan yang dilalui rombongan tersebut.
Yel-yel "Hidup Referendum" maupun "Aceh Merdeka" terdengar tidak putus-putusnya yang saling bersahutan antara peserta pawai dan masyarakat setempat. Kemeriahan di Bireuen dan Matang tak kalah dengan di Banda Aceh. Kalau di ibukota propinsi ada hampir dua juta massa, maka di Bireuen dan Matang mencapai ratusan ribu orang.
Kehadiran rombongan Aceh Timur mempunyai arti tersendiri bagi warga Bireuen, karena sejak keberangkatan ke Banda Aceh, Minggu (7/11) diklaim sebagai rombongan terbesar. "Aceh Timur memang fantastis," sebut seorang warga Bireuen.
Masyarakat Bireuen meluapkan kegembiraannya dengan membagi-bagikan minuman mineral, keripik. Di Matanggeulumpangdua, rombongan mendapatkan pisang dari para pemuda setempat, sebagai ungkapan kebersamaan dalam perjuangan.
Masyarakat yang tidak kenal lelah tidak henti-hentinya menyalami anggota rombongan. Sehingga setiap kendaraan yang melintasi kota tersebut, memperlambat kendaraan untuk memberikan ucapan selamat kepada peserta pawai, yang seakan-akan baru saja memenangkan peperangan. Rombongan pun begitu gembira memasuki ke dua kota tersebut, bahkan bersedia berbasah-basahan dengan siraman air dari pemadam di Bireuen.
Di Lhokseumawe dan Panton Labu, sambutan warga tak kalah gemanya. Ratusan ribu orang berjejer di pinggir jalan menyambut konvoi. Warga Panton Labu menyambut peserta dengan memberikan makanan dan minuman yang langsung dilemparkan ke kendaraan. Jeruk bali, pisang salee, pisang, tebu, dan berbagai minuman ringan diberikan secara cuma-cuma.
Suasana kemeriahan juga terlihat di sepanjang jalan Aceh Timur. Konvoi kendaraan yang masih cukup panjang, menjelang magrib kemarin sudah memasuki kota Peureulak, sekitar 40 km sebelah barat Langsa.
Dari Pidie juga dilaporkan masyarakat setempat sangat antusias menyambut kedatangan rombongan. Ratusan ribu warga yang kebanyakan wanita, orang tua, dan anak-anak meninggalkan desa khusus untuk memberikan aplus kepada konvoi referendum.
Dipeusijuek
Massa dari Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Singkil, sejak petang sudah tiba kembali di Meulaboh. Mereka disambut meriah oleh masyarakat di sepanjang lintasan Meulaboh - Banda Aceh dan Meulaboh Tapaktuan. Konvoi massa yang datang bergelombang itu, mulai memasuki Kota Meulaboh sekitar pukul 17.00 WIB.
Seluruh rambongan yang berasal dari Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Selatan setiba di kawasan Titi Mirik --menjelang masuk kota Meulaboh -- berhenti sejenak untuk mengambil minuman dan makanan ringan yang disediakan Pemda Aceh Barat. Rombongan kemudian kembali melanjutkan perjalanan ke daerahnya masing-masing.
Ketua DPRD Aceh Barat Drs Sofyan S Sawang kepada Serambi mengatakan, berdasarkan laporan yang dia terima seluruh rambongan Aceh Barat sudah tiba kembali ke daerahnya dengan selamat Minggu petang dan mendapat sambutan meriah dari masyarakat. Malah, rambongan pawai referendum dari Seunagan Raya setiba di kawasan Simpang Peut Kuala dipeusijuk oleh masyarakat setempat.
Sementara di Aceh Selatan, sepanjang hari kemarin sampai tadi malam lumpuh total. Bukan hanya itu, semua aktivitas masyarakat di wilayah Blangpidie terhenti, kantor-kantor pemerintah ditutup dan sekolah diliburkan, kalaupun ada murid yang datang, lalu disuruh pulang. Kondisi tersebut merupakan penghormatan masyarakat terhadap warga yang memperjuangkan referendum di Banda Aceh. (tim)




New York: GAM tidak Mengorganisir Perjuangan Referendum

Serambi-New York
Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh di Banda Aceh kemarin tidak diorganisir Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Kami meminta referendum, sedang GAM jelas-jelas mau merdeka. Bagi kami, apapun hasil referendum akan diterima: apakah tetap bersama Republik Indonesia atau Aceh bisa merdeka seperti Timtim," kata Ketua Forum Internasional untuk Aceh (IFA) Jafar Siddiq Hamzah kepada wartawan Serambi Nurdin Hasan di New York, Minggu malam (Senin pagi WIB).
Sementara itu, Sekjen Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) Aceh, Aguswandi, mengatakan sekarang ini ada dua gerakan yang berbeda di Serambi Mekkah, yaitu Gerakan Aceh Merdeka dan gerakan masyarakat sipil yang menuntut referendum.
GAM, kata Aguswandi, dari dulu telah mengangkat senjata untuk memperjuangkan kemerdekaan Aceh. GAM yang dipimpin Hasan Tiro adalah sebuah gerakan perlawanan bersenjata.
Sedangkan gerakan sipil yang meminta referendum adalah gerakan non-bersenjata dan memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh melalui cara-cara damai. Mulanya dimotori oleh mahasiswa dan mendapat sambutan dari kalangan ulama, santri dan cendikiawan.
Gerakan ini makin mendapat dukungan dari masyarakat umum menyusul keruntuhan Orde Baru dan aksi militer yang dinilai melanggar hak asasi manusia, terutama serangan atas Tengku Bantaqiah dan pengikutnya di desa Beutong Ateuh.
"Gerakan sipil inilah yang mengorganisasikan aksi damai ratusan ribu warga Aceh di Pidie dan kemudian disusul Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum di Banda Aceh yang dihadiri sekitar sejuta orang dari seluruh wilayah Aceh," kata Aguswandi.
Menurut Jafar, referendum adalah cara yang paling baik untuk menyelesaikan masalah Aceh. Sebab, melalui referendum itu akan bisa diketahui apa keinginan sekitar 4 juta rakyat Aceh, apakah mau tetap bersama Indonesia atau melepaskan diri setelah lebih dari 54 tahun bersama Indonesia. "Kami akan terima dan hormati apapun hasilnya," kata Jafar.
Terhadap kemungkinan terjadinya perang saudara jika diadakan referendum sebagai halnya yang terjadi di Timtim, Jafar yang mengaku tahu betul karakter rakyat Aceh menegaskan bahwa hal itu tidak akan terjadi. Kecuali kalau memang ada yang merekayasanya.
Untuk menjaga agar proses referendum itu berjalan dengan bebas, jujur, aman dan lancar, Jafar mengatakan sebaiknya referendum itu dilaksanakan PBB sebagaimana yang terjadi di Timtim. "Idealnya sih begitu," katanya.
Namun, jika PBB tidak dimungkinkan untuk menjadi pelaksana, proses referendum itu bisa juga dilakukan lembaga khusus untuk itu dengan mengikutsertakan lembaga-lembaga internasional, badan-badan PBB dan LSM semacam Carter Center.
Baik Jafar maupun Aguswandi tidak mau berspekulasi mengenai apakah pihak yang ingin Aceh merdeka akan memenangi referendum itu sebagaimana jajak pendapat di Timtim.
"Kita lihat saja nanti. Yang jelas orang Aceh umumnya hanya mengetahui bahwa referendum itu berarti merdeka," kata Aguswandi.
Tak ada dukungan
Direktur Eksekutif Human Right Watch Asia, Sidney Jones, menjawab pertanyaan ANTARA dalam sebuah diskusi di New York, mengatakan mungkin saja hasil jajak pendapat di Timtim memberi inspirasi dan semangat bagi rakyat Aceh, namun sampai saat ini tidak ada dukungan internasional bagi "Serambi Mekkah" itu untuk merdeka.
"Aceh tidak punya semacam Portugal bagi Timtim yang begitu giatnya memperjuangkan bekas wilayah jajahannya itu. Aceh juga tidak punya tokoh-tokoh macam Ramos Horta yang aktif melakukan kampanye Timtim di luar negeri," kata Sydney.
Portugal, katanya, begitu kerasnya menekan Indonesia soal Timtim di forum-forum seperti Uni Eropa dan PBB. Sedangkan untuk Aceh, tidak ada negara yang memperjuangkan kepentingan Aceh di forum internasional, termasuk misalnya di Organisasi Konferensi Islam (OKI). Apalagi di PBB dan Uni Eropa.
Menurut Sydney Jones, tidak adanya dukungan internasional bagi Aceh juga disebabkan dasar legitimasi tuntutan Aceh yang tidak sekuat Timtim. Ada sejumlah resolusi PBB yang tidak mengakui integrasi Timtim ke dalam Indonesia, sedangkan dasar hukum internasional itu tidak dimiliki Aceh.
"Mungkin ada surat-surat Aceh di PBB, tetapi tidak sekuat resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB," kata Sydney.
Belum lagi, katanya, peran Gereja Katolik Internasional yang sangat besar bagi perjuangan Timtim. "Peran gereja ini yang tidak dimiliki Aceh," ujar Sydney Jones.
Namun, Jafar Siddik mengatakan, tidak sepenuhnya pendapat Sydney Jones benar. Aceh punya dasar-dasar yang cukup kuat untuk meminta referendum bagi hak menentukan nasib sendiri. Jafar mengacu pada sejarah Aceh yang tak pernah bisa ditaklukan penjajah Belanda.
Selama penjajahan Belanda, katanya, Kerajaan Aceh tidak bisa dikalahkan. Pada tahun 1942, Jepang masuk dan Belanda meninggalkan Indonesia. Pada tahun 1945 Indonesia merdeka. Pada tahun 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan bekas wilayah jajahannya kepada pemerintah Indonesia.
"Lha bagaimana Belanda bisa menyerahkan Aceh kepada kedaulatan Indonesia sementara Aceh tidak pernah menjadi wilayah jajahannya," begitu Jafar mempertanyakan. (*)



Massa Referendum "Lumpuhkan" Banda Aceh

Serambi-Banda Aceh
Kota Banda Aceh sepanjang hari kemarin praktis dikuasai peserta Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR). Seluruh aktivitas di luar kegiatan itu terhenti total. Malah untuk mencari nasi bungkus pun sulit, karena tak ada warung atau rumah makan yang membuka usahanya.
Ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh, sepanjang hari kemarin benar-benar lumpuh. Seluruh pertokoan dan usaha dagang di pusat kota, termasuk wilayah pinggiran hingga ke kawasan Aceh Besar tak ada yang buka.
Yang terhenti bukan hanya kegiatan bisnis. Aktivitas kantor pemerintah/swasta, sekolah, usaha angkutan, dan beberapa sektor jasa lainnya terlihat tutup. Satu-satunya kesibukan hanya terlihat di rumah sakit, seperti UGD RSU Zainoel Abidin.
Di Pasar Aceh dan Peunayong, pemilik toko yang biasanya membuka usaha dagang terlihat duduk-duduk di depan tempat usahanya. Sesekali mereka -- umumnya WNI turunan -- tampak membagi-bagikan air mineral untuk peserta SU-MPR yang lalu-lalang di depan tokonya.
Terminal labi-labi Jalan Diponegoro, hingga sore kemarin terlihat kosong. Sedangkan ketika SU-MPR itu berlangsung, ruas Jalan Diponegoro tersebut dijejali ribuan warga. Begitu pun terminal bus Setuy, dan terminal bus Beurawe, tak ada aktivitas apa pun.
Pelayanan jasa lainnya yang tutup total adalah warung teleko- munikasi (wartel). Beberapa peserta SU-MPR yang bermaksud mengguna- kan fasilitas telepon interlokal di wartel, ternyata tak menemukan satu pun tempat usaha itu yang beroperasi.
Pasar Sayur bertingkat di pusat kota Banda Aceh, tampak bagai lapangan bola. Kalau pada hari-hari biasanya aktivitas di pasar bertingkat itu super sibuk, sepanjang hari kemarin lengang. Kondisi serupa juga terlihat di Pasar Sayur Peunayong, Pasar Ikan, Pasar Daging, serta Pasar Kampung Baru.
Meskipun seluruh aktivitas perdagangan terhenti, namun tak ada indikasi kepanikan di kalangan masyarakat. Karena sejak dua hari sebelum SU-MPR itu digelar, masyarakat sudah mengantisipasi dengan membeli stok untuk kebutuhan satu hari. "Tak ada masalah, walau pun hari ini tidak bisa belanja," kata seorang ibu rumah tangga di kawasan Kampung Baru.
Sekolah tutup
Proses belajar-mengajar di lembaga pendidikan mulai TK sampai perguruan tinggi di Kotamadya Banda Aceh, termasuk Aceh Besar, Senin kemarin -- meski tidak diliburkan secara resmi --tapi tutup total. "Tak ada siswa yang datang ke sekolah," kata seorang guru SLTP Negeri 1 Banda Aceh.
Di komplek kampus Unsyiah, sepanjang hari kemarin hanya terlihat akstivitas mahasiswa di luar kampus, terutama mahasiswa yang menjadi peserta atau panitia SU-MPR. Kegiatan kuliah, sebagaimana pantauan Serambi ke sejumlah fakultas tidak berjalan sama sekali. Selain tak ada mahasiswa yang masuk, dosen pun tidak terlihat.
Tidak berlangsungnya aktivitas belajar-mengajar di lembaga pendidikan kemarin merupakan inisiatif dari masing-masing peserta didik. Karena sebagaimana pengamatan Serambi, para orangtua murid terkesan was-was melepaskan anak-anaknya ke sekolah.
Sumbangan nasi
Dampak tidak bukanya warung nasi sepanjang hari kemarin menimbulkan masalah bagi masyarakat yang menghadiri perhelatan SU-MPR, terutama untuk makan siang. Namun kendala ini sedikit terbantu dengan partisipasi warga kota, terutama kalangan ibu-ibu yang mengantar nasi bungkus atau bu kulah untuk masyarakat yang menghadiri kegiatan kolosal tersebut.
Keikutsertaan kaum ibu terlihat ketika menjelang waktu makan siang kemarin. Hampir dari setiap rumah ada yang menjinjing nasi bungkus untuk peserta sidang.
Jumlah makanan itu, menurut Koordinator Presidium Pusat SIRA, Muhammad Nazar SAg yang dihubungi Serambi tadi malam, tidak dihitung secara rinci. Namun, jumlahnya secara umum bisa ditaksir.
Sebab, katanya, Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) telah meminta bantuan kepada warga Kota Banda Aceh agar menyediakan bantuan seperti itu untuk para tamu. Bantuan sukarela ini, ternyata direalisir sebagian besar warga di setiap kelurahan di kota maupun desa-desa di Banda Aceh, termasuk Aceh Besar.
Rata-rata, katanya, setiap kepala keluarga (KK) membantu sebanyak lima bungkus nasi plus makanan ringan. Setiap bungkusnya sudah dicampur dengan lauk-pauk dengan porsi bervariasi.
Makanan itu, katanya, diserahkan dengan cara yang berbeda. Ada yang langsung mengantarkan ke tempat-tempat penampungan para tamu, dan ada pula yang dijemput dari rumah ke rumah.
Sementara itu, sejumlah karyawan Pasar Swalayan di Banda Aceh mengungkapkan, pihak pengelola terpaksa menutup kegiatannya karena kuatir terhadap hal-hal yang tidak diharapkan.
Di perbankan, hingga siang kemarin tak ada kegiatan kliring maupun transaksi dana untuk masyarakat umum. Operasional bank tutup akibat macetnya tranportasi kota.
"Tutupnya bank, karena sejak pukul 06.00 jalan di kota sudah macet, akibat dipenuhi masyarakat yang akan menghadiri pelaksanaan SU- MPR," ujar Kabid Ekonomi Moneter dan Perbankan Bank Indonesia Banda Aceh, Abdul Wahab Sjachroni SE kepada Serambi kemarin.
Hal senada juga diungkapkan petugas penjaga BII dan BCA. Mereka menjelaskan, banknya ditutup, di samping faktor pelaksaan sidang umum tersebut, juga karena banyak karyawan yang tidak hadir, akibat macetnya transportasi.(asi/y/mis/ed/her/n)