:
01.40 Wib Minggu,
07 Oktober 1999
Gus Dur akan Dialog dengan Hasan Tiro
Serambi-Singapura
Presiden KH Abdurrahman Wahid, Sabtu
(13/11), menyatakan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Teuku Hasan Tiro, telah
setuju mengadakan pembicaraan dengannya untuk mencari solusi tentang masalah
Aceh. Tapi, keterangan itu dibantah Hasan Tiro yang kini bermarkas di Swedia
itu.
Tentang adanya pembicaraan awal dengan tokoh kunci Aceh Merdeka itu,
diungkapkan Gus Dur ketika bertemu dengan sejumlah pelaku bisnis di Singapura.
Sebagaimana dikutip kantor berita AFP, Gus mengatakan dia dan Teuku Hasan Tiro,
telah berbicara lewat telepon kemarin pagi, dan setuju mengadakan pembicaraan
lanjutan.
Tapi, kepada AFP di Stockholm beberapa saat kemudian, Hasan Tiro
menyangkal telah mengadakan kontak dengan Presiden Indonesia. "Saya tak pernah
menerima telepon maupun surat dari Presiden Wahid," kata Hasan pada
AFP.
"Saya tidak melakukan apapun dengan Wahid, yang tidak punya kekuatan
disana, atau dengan militer Indonesia. Kami menginginkan kemerdekaan sepihak
untuk Aceh, tanpa adanya referendum," katanya. "Ini hanya propaganda untuk
menenangkan rakyat Aceh sebelum hari ulang tahun pada 4 Desember, perayaan
deklarasi kemerdekaan di Aceh."
Dalam sebuah pertemuan dengan sejumlah pelaku
bisnis di Singapura, Gus Dur mengatakan bahwa Hasan menangis setelah dia membaca
sebuah surat yang dikirimkannya. Namun, ia tidak merinci lebih jauh tentang isi
surat tersebut. "Hari ini (kemarin-red), saya telah menerima telepon dari
Stockholm dari seseorang yang saya yakini, Teuku Hassan Tiro, dan, tentu,
kepadanya surat itu saya tujukan," kata Presiden.
"Untuk orang seperti Hasan
Tiro, surat dari presiden RI sesuatu yang bermakna dan karenanya dia menangis
dan berkata kami harus bertemu sesegera mungkin. Saya kira ini akan menjadi
bagian solusi bagi masalah Aceh," tambah Gus Dur sebagaimana dikutif
AFP.
Dalam beberapa kali pertemuannya dengan tokoh-tokoh Aceh, baik yang ada
di daerah maupun di Jakarta, Gus Dur menyatakan akan berupaya menemui Hasan Tiro
dan akan berbicara mengenai solusi terbaik buat tanah Serambi Mekkah.
Mendagri Suryadi Sudirja mengatakan Jumat (5/11) bahwa Jakarta akan
mengupayakan sebuah otonomi luas sebagai kompromi penyelesaian dari keinginan
untuk merdeka.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang selama 23 tahun untuk
mendirikan negara Islam merdeka di Propinsi Aceh. Sebagian anggota kelompok ini
telah diterima Gus Dur di istana kepresidenan untuk pertama kalinya, akhir pekan
lalu.
Selama pemberlakuan DOM dan masa sesudahnya, banyak terjadi pelanggaran
HAM yang dilakukan aparat keamanan. Menurut AFP, masyarakat Aceh telah lama
mengeluh karena tidak menerima keadilan dari penghasilan minyak dan gas yang
terbesar terdapat di propinsi itu.
Pemerintahan Indonesia sebelumnya dengan
tegas mengenyampingkan tuntutan kemerdekaan di Aceh, namun pemerintahan Gus Dur
telah berjanji meningkatkan otonomi daerah yang khusus. Bahkan, peningkatan
status ini telah tertuang dalam GBHN 1999.
Presiden Gus Dur mengatakan
karena "kesalahan" dibuat oknum militer di masa lalu, ia telah memutuskan
menarik pasukan nonorganik di Aceh, sehingga tinggal hanya pasukan
setempat.(afp/r)
SIRA Gelar SU-Masyarakat Pejuang
Referendum
Serambi-Banda Aceh
Sentral Informasi Referendum Aceh
(SIRA), Senin (8/11), akan menggelar Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum
(SU-MPR) Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Diperkirakan massa dari
seluruh tingkat II akan menghadiri acara tersebut.
Acara yang akan dimulai
pukul 09.00 WIB itu dihadiri oleh aktivis LSM, taliban, ulama, dan masyarakat
Aceh lainnya. "SU-MPR ini merupakan puncak dari semua kegiatan pawai referendum
yang pernah dilaksanakan di seluruh daerah tingkat II," kata Muhammad Nazar SAg,
Koordinator Presidium Pusat SIRA kepada Serambi, Sabtu (6/11) kemarin.
Ia
mengatakan, selain diisi dengan orasi-orasi dari berbagai kalangan, pada acara
itu juga akan dinaikkan bendera dan baliho referendum berukuran besar. "Juga
dibacakan petisi dari utusan daerah oleh Ketua DPRD. Dan Muhammad Yus (Ketua
DPRD Tk I Aceh, red) harus siap," kata presidium SIRA ini.
Disebutkan, SU-MPR
ada wujud pembuktian komitmen para pembela hak azasi manusia dan demokrasi,
bahwa referendum bukan pemaksaan tapi keinginan rakyat Aceh.
Dalam jumpa pers
Muhammad Nazar yang didampingi dua rekannya Aidi Kamal dan Islamuddin
mengharapkan pihak aparat keamanan agar tidak "mengusik" selama berlangsungnya
rapat ini. Berilah peluang pada rakyat Aceh untuk merundingkan bagaimana
penentuan nasibnya sendiri tanpa ada campur tangan pihak lain. "Sehingga tidak
menimbulkan sikap anarkis yang dapat merugikan kita semua. Bentuk anarkis adalah
kegiatan yang sangat tidak sesuai dengan budaya dan moralitas rakyat Aceh,"
katanya.
Ia mengharapkan, setiap rombongan menunjuk salah seorang
koordinatornya untuk mengawasi dan mengontrol mulai dari kebe- rangkatan sampai
acara selesai. "Tidak dibenarkan membawa senjata tajam, sedangkan segala
akomodasi dan transportasi ditanggung oleh rombongannya sendiri," jelas Nazar.
Katanya, rombongan yang datang dari luar daerah akan disediakan panitia
tempat untuk bermalam atara lain, kampus Universitas Syiah Kuala Darussalam
Banda Aceh, IAIN Ar-Raniry, dan ada beberapa tempat lainnya.
Wartawan
Serambi di sejumlah kabupaten melaporkan bahwa masyarakat akan "turun" ke Banda
Aceh untuk mengikuti acara tersebut. Mereka ada yang menumpang dengan bis umum,
kendaraan pribadi, pikap, bahkan truk. Beberapa biro Serambi di ibukota
kabupaten melaporkan bahwa panitia lokal akan mengerahkan massa yang jumlahnya
mencapai ribuan. "Bahkan ada masyarakat yang telah berangkat ke Banda Aceh sejak
Sabtu siang," kata seorang panitia lokal kepada wartawan
Serambi.
Penginapan
Menurut M Iqbal Selian yang didampingi Ona Delvi yang
juga kordinator unit massa Aceh Besar kepada Serambi menjelaskan, semua peserta
akan disediakan penginapan. Untuk massa dari Aceh Singkil dan Aceh Selatan,
disediakan penginapan di Masjid Baitul Musyahadah, Gedung SGO Setui, Taman
Budaya, Masjid Kampus Unida di Surien, dan Aula MUI Aceh. Sementara untuk
peserta Aceh Barat dan Simeulue di Gedung BKOW, Masjid Ateuk Pahlawan, Masjid
Peuniti, Masjid Seulawah, dan Masjid Muhammadiyah. Untuk kendaraan peng- angkut
massa dari Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat, dan Simeulue disediakan
tempat parkir di sebelah barat Lapangan Blangpadang.
Sedangkan massa Aceh
Timur, menginap di Auditorium IAIN Ar-Raniry, Masjid IAIN, Masjid YAMP Askopma
Unsyiah, dan Masjid dan Meunasah di sekitar Kopelma. Kendaraan parkir di
lapangan Tugu Darussalam. Peserta Aceh Utara disediakan penginapan di Gelanggang
Mahasiswa Unsyiah, Masjid Kampus, dan Masjid Lamnyong Banda Aceh. Kendaraan
parkir di Lapangan Unsyiah. Aceh Tengah disediakan tempat di Masjid Jeulingke,
Masjid Perumnas Jeulingke, dan Masjid Lampineung. Sedangkan lokasi parkir
disediakan di Lapangan Jeulingke. Aceh Jeumpa menginap di Masjid Lampriek, GOR,
Masjid Beurawe. Lokasi parkir kendaraan di Lapangan Rumkit Kesdam. Sedangkan
untuk masa dari Pidie disediakan tempat di Gedung Teuku Chik Ditiro, Masjid
Keuangan, Masjid Cut Mutia, Masjid Ulee Kareng, dan Masjid Luengbata. Parkir
disediakan di Lapangan Luengbata. Sementara peserta dari Sabang disediakan di
Masjid Kelurahan Laksana, dan Kelurahan Keuramat. Parkir disediakan di Lapangan
terbuka Peunayong.
Awas provokator
Sementara itu, T Hafid, Presedium
Badan Pimpinan Front Aksi Mahasiswa Pejuang Referendum (Famfer) kepada Serambi
tadi malam mengingatkan semua peserta agar tidak sekali-kali berbuat anarkis.
Karena itu, kepada peserta juga diingatkan agar berhati-hati terhadap provokator
yang, kata Hafid, dikabarkan telah menyusup ke Banda Aceh.
Hafid juga
mengingatkan agar perjuangan referendum ini tidak dicemari dengan perbuatan yang
merugikan orang lain. Sebab, perjuangan referendum ini sangat murni. "Kita
ingatkan agar tidak memberi celah kepada provokator untuk memprovokasi massa.
Karena itu mari sama-sama menjaga keamanan, sehingga perjuangan referendum ini
benar-benar damai," kata Hafid.((n/mis)
Komite Nasional Rakyat Aceh
Dideklarasikan
Serambi-Jakarta
Lebih dari 30 organisasi dan LSM
yang bergerak di Aceh, Sabtu (6/11) kemarin, mendeklarasikan berdirinya Komite
Nasional Rakyat Aceh (Kenira) di Hotel Indonesia, Jakarta.
Sekjen Kenira Ir
Teuku Muda Yusuf mengatakan komite ini dibentuk untuk membantu penyelesaian
masalah Aceh secara damai, adil, dan demokratis guna mencapai Aceh Darussalam.
"Tujuan Kenira ialah mempersatukan berbagai aspirasi masyarakat Aceh dan
menggalangnya untuk menjadi suatu potensi bagi tercapainya Aceh Darussalam,
mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur yang diridhai Allah
SWT," kata Teuku Muda Yusuf.
Kenira dalam kesempatan itu juga mengeluarkan
pernyataan sikap yang antara lain mendesak segera diadilinya pelaku-pelaku
pelanggaran HAM tanpa pilih kasih selama DOM dan pasca DOM. "Tanpa diajukannya
pelaku-pelaku itu ke pengadilan, kami meragukan itikad baik pemerintah RI untuk
menyelesaikan masalah Aceh," demikian Teuku Muda Yusuf.
Kenira juga
menyatakan, apapun aspirasi masyarakat Aceh hendaknya ditentukan sendiri oleh
masyarakat, tanpa ada rekayasa dari pihak manapun, apakah itu otonomi
seluas-luasnya, otonomi khusus, merdeka atau referendum.
Lebih lanjut, Kenira
meminta segenap lapisan masyarakat Aceh baik perorangan maupun
organisasi/lembaga untuk menyatukan visi dan misi dalam perjuangan menuju Aceh
Darussalam.
"Kami secara terbuka menyatakan tidak menghendaki Aceh dan
rakyatnya menjadi ajang pertarungan elit politik untuk kepentingan suatu
golongan," kata Teuku Muda Yusuf yang kemarin mengenakan pakaian adat Aceh
lengkap dengan rencong dan "kupiah meukeutob."
32 organisasi
Organisasi
dan kelompok yang menyatakan diri bergabung dalam wadah Kenira itu berjumlah 32
lembaga lebih, termasuk Yayasan LBH Iskandar Muda Lhokseumawe, Yayasan LBH
Indonesia Cabang Medan Pos Aceh Utara, Yayasan LBH Adyaksa, Yayasan LBH Syiah
Kuala. PWI Perwakilan Aceh Utara, Forum HAM Lhokseumawe, Taman Iskandar Muda
(TIM) Cabang Jakarta Utara, Thaliban Aceh, Himpunan Mahasiswa Alwasyliah.
Organisasi lainnya adalah Ikatan Pemuda Pembaharuan Aceh, Masyumi Aceh,
masyarakat Aceh Pasar Minggu, Pemuda Aceh Depok, Ikatan Keluarga Julok, Yayasan
Musyawarah Bakongan Sekitarnya, Forum Perjuangan Pemuda Aceh Timur, Kepedulian
Rakyat Semesta, Barisan Islam Aceh, Ikatan Keluarga Alumni Unsyiah, Forum
Perjuangan, dan Keadilan Rakyat Aceh, dan lain-lain.
Jumlah dukungan itu
masih terus mengalir dan pihak Kenira menyatakan terbuka kepada organisasi dan
kelompok lainnya yang berminat bergabung dalam wadah yang dibentuk pada bulan
Agustus silam itu.
Upacara Deklarasi Kenira diisi dengan pidato dari Tuha
Peut dan dilanjutkan dengan pembacaan deklarasi oleh Sekjen Teuku Mudaya Yusuf.
Dilanjutkan dengan Shalawat Badar dan ditutup dengan do'a.
Upacara tersebut
dihadiri oleh ratusan undangan dan wartawan. Suasana pelantikan menjadi lebih
khas karena deklarator dari masing-masing lembaga dan organisasi pendukung
mengenakan pakaian adat Aceh warna hitam.
Sekjen Kenira Teuku Muda Yusuf
menyatakan pihaknya tidak menyatakan setuju atau tidak setuju dengan rencana
pemerintah untuk melakukan dialog dalam upaya penyelesaian Aceh. Yang diharapkan
saat ini bukan lagi omongan melainkan tindakan nyata dan konkret. "Yang paling
penting hukumlah pelanggaran HAM di Aceh. Ajukan kepengadilan. Buat rakyat Aceh
sekarang, tunjukkan bukti nyata," kata Teuku Muda Yusuf.
Menanggapi tentang
aksi referendum yang marak dilakukan di Aceh, menurut Teuku Muda Yusuf, bagi
Kenira tidak ada masalah. Silakan saja, kita tidak menghalang-halangi aspirasi
dari organisasi- organisasi yang ada dalam Kenira, katanya. Disebutkan pihaknya
berikut komisi-komisi tinggi yang ada dalam Kenira hanya menyerap aspirasi dan
melakukan kajian-kajian. Misalnya otonomi, lalu otonomi yang bagaimana yang
masih diterima rakyat Aceh. Atau referendum, lalu platformnya bagaimana, itu
yang kita susun," ujar Teuku Muda Yusuf yang dikenal sebagai wiraswasta yang
berhasil ini.(fik)
Dua Sipil Bersenjata
Tewas
Serambi-Simpang Ulim
Dua sipil bersenjata, Tgk Ahmad
Gapi (62) dan Hamdani A Gani (25), penduduk Desa Bintah, Kecamatan Simpang Ulim,
Aceh Timur, tewas dengan luka tembakan di tubuhnya.
Menurut Letkol Pol Drs
Priyatna, Komandan Sektor C Aceh Timur, kepada wartawan, Sabtu (6/11), dua orang
itu tewas dalam kontak senjata antara satuan Brimob dengan sekelompok sipil
bersenjata di Desa Tanjung Menje, Sp Leung Sa, Simpang Ulim, Jumat malam.
Sekitar pukul 20.00 WIB, katanya, delapan anggota Brimob Sub Sektor I Simpang
Ulim yang sedang melakukan patroli dihadang oleh enam sipil bersenjata. "Warga
sipil yang menghadang itu mengendarai tiga unit sepeda motor," katanya.
Tapi,
beberapa warga di Desa Tanjung Menje, kepada Serambi, menyatakan tak ada
peristiwa tembak-menembak malam itu. Yang sesungguhnya, kata warga yang mengaku
melihat kejadian, Ahmad Gapi dan Hamdani yang sedang mengendarai sepada motor
Astrea Grand ditangkap aparat Brimob yang sedang patroli sekitar pukul 21.30
WIB.
"Ketika itu, kendaraan korban dipepet oleh aparat. Kemudian mereka
disergap oleh empat orang Brimob. Yang kami dengar, ada letusan senjata ke udara
sebanyak enam kali," kata seorang warga yang diiyakan beberapa orang
lainnya.
Dugaan masyarakat Tanjung Menje, ketika ditangkap dan dinaikkan ke
truk aparat, kedua warga sipil itu masih hidup. "Baru pada hari Sabtu sekitar
pukul 10.00 keluarga korban diberi tahu bahwa keduanya telah meninggal di RSU
Langsa," kata warga.
Saksi-saksi itu membenarkan bahwa korban membawa senjata
laras panjang dan radio komunikasi. Senjata itu diselipkan di bahu dan
"bersembunyi" di balik jaket hitam. Masyarakat setempat mengatakan, mereka
sangat mengenal Tgk Ahmad Gapi, karena yang bersangkutan adalah tokoh GAM. Tapi,
kata mereka, Tgk Ahmad sudah lama tak "menghilang", dan barulah pada malam
kejadian, mereka melihatnya kembali. "Bahkan, keluarganya sendiri nggak tahu
kemana Tgk Ahmad selama ini. Baru setelah dikabarkan dia meninggal, keluarganya
tahu bahwa Tgk Ahmad ada di Simpang Ulim," kata salah seorang keluarga
korban.
Menurut penduduk Tanjung Menje, ketika ditangkap, Ahmad Gapi coba
melawan. Tapi aparat lebih cepat menyergapnya. Tgk Ahmad dan Hamdani, menurut
masyarakat, dilumpuhkan dengan tangan kosong. "Kami melihat kedua yang ditangkap
itu berjalan santai menuju truk aparat. Senjata mereka tetap tersandang di
bahu," kata masyarakat.
Seorang warga menceritakan kronologis kesaksiannya
melihat Tgk Ahmad Gapi. Sekitar pukul 20.00 WIB, Ahmad melintas di kawasan Blang
Awe. Terlihat ada senjata dibawanya. Pukul 20.30, Ahmad melintasi Desa Bintah
menuju jalan raya. Ada warga yang memanggilnya, tak dipedulikan. Pukul 21.00
Ahmad dan Hamdani shalat Isya di Masjid Bintah. Kemudian, keduanya berangkat
menuju Sp Ulim. Sekitar pukul 21.30, truk aparat memepet dan kemudian aparat
menangkap dan membawa keduanya. Pukul 10.00 hari Sabtu, keluarga korban dikabari
bahwa dua sipil bersenjata itu telah meninggal di RSU Langsa.
20
menit
Meskipun masyarakat bersikeras bahwa malam itu tak ada kontak senjata,
tapi Komandan Sektor C menyatakan keyakinannya bahwa anak buahnya yang sedang
berpatroli terpaksa melepaskan tembakan karena mendapat
penghadangan.
Menurutnya, ketika dihadang, anak buahnya melompat dari truk.
Sejurus kemudian terjadi tembak-menembak. Kata Letkol Priyatna, baku tembak
berlangsung sekitar 20 menit. "Dua kawanan bersenjata itu tewas, sedang empat
lainnya berhasil kabur dengan sepeda motornya. Tak ada korban di pihak aparat,"
kata Priyatna.
Di tempat kejadian, aparat berhasil menyita sejumlah barang
bukti antara lain, satu pucuk senjata laras panjang jenis matsen, dua buah
magazin berisikan peluru matsen, 15 dan 17 butir, satu buah HT, satu buah
borgol, sejumlah uang dan dokumen lainnya. (tim)
Alwi Shihab Sangkal Gus Dur Dukung
Referendum
Serambi-Jakarta
Menteri Luar Negeri RI Alwi Shihab
menyangkal bahwa Presiden Abdurrahman Wahid mendukung pelaksanaan referendum di
Aceh, melainkan hanya menyatakan, dalam semangat demokrasi, referendum bisa
terjadi dimana saja.
"Gus Dur tidak mendukung adanya referendum, ditanya
apakah referendum di Aceh bisa terjadi, ya..jawabannya bahwa semangat demokrasi
ini membolehkan referendum," katanya, setelah menemui 16 Duta Besar
Negara-negara Arab di Jakarta, Jumat.
Meskipun referendum mungkin
dilaksanakan, tuturnya mengutip pernyataan Gus Dur, implementasinya tidak akan
semudah yang diperkirakan. "Implementasinya tidak semudah itu, harus mendapat
persetujuan dari pemuka agama, mahasiswa, birokrat, dan sebagainya," katanya.
Namun, kemudian ia menegaskan keyakinannya bahwa secara implementasi,
referendum di Aceh tidak akan terjadi, meskipun dari segi spirit dan konsep, hal
itu sangat mungkin.
Bentuk referendum, menurut Alwi, belum tentu berupa
pemisahan wilayah, namun bisa saja berisi otonomi daerah secara luas atau secara
terbatas.
Menjawab pertanyaan, kapan Presiden Gus Dur berkunjung ke wilayah
yang tengah dalam situasi kurang menguntungkan tersebut, Alwi menjawab,
kemungkinan setelah Presiden melakukan lawatan ke luar negeri.
Di tempat
terpisah, Wakil Ketua MPR H Matori Abdul Djalil juga menyatakan hal yang sama.
"Sebab, Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa bangsa kita tidak mengubah negara
kesatuan yang melindungi segenap tumpah darah dan anggota masyarakat. Karena
itu, upaya untuk mempertahankan persatuan kesatuan menjadi program utama di era
reformasi saat ini, dengan pendekatan demokratis, tidak dengan menggunakan
kekerasan," katanya, Jumat.
Ia menyatakan sependapat dengan pernyataan
Presiden berupaya mempertahankan persatuan dengan pendekatan demokratis yang
lebih manusiawi.
Matori mengatakan, Pimpinan MPR maupun DPR memahami
kekecewaan masyarakat Aceh terhadap keadaan yang mereka terima kini. "Tapi kalau
kita langsung menerima permintaan mereka akan referendum, itu kan tidak cukup
bijak," ucapnya.
Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membedakan
penanganan masalah Aceh dengan Timor Timur, tidak bisa disamakan. "Kalau memang
ide referendum itu keinginan segelintir orang, sebaiknya dirembuk. Jangan atas
kemauan segelintir orang atau sekelompok orang, lalu ditanggapi sebagai
keinginan keseluruhan, pernyataan itu akan membuat kita terlalu jauh," katanya.
Sementara itu Ketua MPR HM Amien Rais mengimbau para elit politik untuk
segera menuntaskan kasus-kasus kerusuhan di daerah yang hingga kini masih terus
berlangsung. "Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di daerah akan dapat dituntaskan
apabila para elit politik sepakat untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut,"
katanya atas pertanyaan pers.
Ia mengatakan, kerusuhan masih terjadi di
Ambon karena di sana masih ada banyak kecurigaan antar agama dan antar etnik.
"Padahal, kini adalah saat yang tepat untuk bagaimana mengembalikan rasa saling
percaya, saling menghormati dan saling menghargai," demikian Amien
Rais.(ant)
10 Nelayan Idi Hilang
Serambi-Idi
Sepuluh nelayan Idi Rayeuk, Aceh Timur, yang
melaut sejak pekan hilang. Rombongan nelayan ini menggunakan boat Perdana I.
Sementara itu, ada nelayan lain menemukan seperangkat jaring pukat di tengah
laut yang diduga milik ABK boat Perdana I.
Menurut Dan Pos Keamanan Laut
(Kamla) Idi Rayeuk, Aceh Timur, Koptu Sulih, kepada Serambi, Sabtu (6/11), 10
nelayan yang menggunakan boat Perdana I itu dipawangi Hasbi (39), warga Desa
Tanjung Kapai, Idi Rayeuk. Mereka berangkat Sabtu (30/10) pekan lalu, dan hingga
kemarin belum kembali.
Dikatakan, biasanya sekitar tiga hari para nelayan
yang pergi melaut sudah kembali. Tapi kali ini, rombongan nelayan boat Perdana
I, sudah sepekan belum juga kembali. Hal ini membuat toke boat Perdana I,
Alamsyah, melapor kepada pihak Kamla Idi. Selanjutnya, Jumat (5/11), nelayan
lainnya yang pergi melaut, ketika pulang menemukan seperangkat jaring pukat.
Setelah diindentifikasi, jaring pukat tersebut milik rombongan nelayan yang
menggunakan boat Perdana I.
Anehnya, cuma jaring pukat itu saja yang
ditemukan. Padahal, jaring pukat, biasanya terikat dengan boat. Jika putus
diterjang ombak, pasti ada bagian dari boat yang terbawa. Sedangkan tanda-tanda
lain seperti adanya mayat yang terapung, puing-puing papan boat, jerigen
plastik, dan tong ikan tidak ditemukan.
Toke boat Perdana I, Alamsyah,
secara terpisah, kepada Serambi mengatakan hilangnya boat beserta 10 ABK-nya,
telah dilaporkan kepada pihak Kamla dan pihak Pos Marinir Idi Rayeuk. Menurut
Dan Pos Marinir, Idi Rayeuk, Lettu Mar Abdul Hanan, pihaknya telah melakukan
koordinasi dengan sejumlah Komandan Pos Marinir yang ada di jajaran pantai Aceh
Timur maupun Aceh Utara, untuk mencari informasi tentang hilangnya sepuluh
nelayan asal Idi Rayeuk itu.
Tapi, hingga Sabtu (6/11) belum diterima
laporan ditemukannya para nelayan yang hilang itu. Begitupun, menurut Pjs
Panglima Laot, Idi Rayeuk, Tahiruddin, kepada Serambi, upaya pencarian terus
dilakukan pihak nelayan setempat, hingga ke perairan laut Thailand.
Bahkan
Panglima Laot (sebutan pimpinan nelayan tradisional) telah meminta kepada
seluruh nelayan setempat, untuk tidak pergi melaut mulai kemarin, sampai
ditemuinya tanda yang jelas keberadaan ke sepuluh nelayan yang hilang itu.
Nama-nama nelayan yang hilang tersebut, Hasbi (pawang), Tadin, Siki, Sofyan,
Adhar, Bachtiar, Adek, Am, (9 orang warga Desa Tanjung Kapai), satu orangnya
lagi Adnan warga Desa Keude Blang. Diperkirakan, rombongan nelayan boat Perdana
I, pergi melaut sampai ke perairan Thailand.
Perkiraan itu disebutkan oleh
Dan Pos Kamla, Koptu Sulih, karena jaring pukat yang ditemukan terapung-apung di
antara perairan Thailand, sekitar 14 jam pelayaran menggunakan boat pukat dari
Kuala Idi Rayeuk.
Perkiraan pihak Kamla Idi itu diperkuat pula oleh Pjs
Panglima Laot Idi. Sehingga mereka berharap pencarian sampai ke perairan
Thailand. "Kita akan kerahkan sejumlah boat nelayan untuk mencari sampai ke
Thailand," kata Panglima Laot.
Menurut Panglima Laot, nelayan Idi Rayeuk,
memang tidak pergi melaut beberapa hari ini. Selain upaya pencarian nelayan yang
hilang, juga karena pelaksanaan program pawai akbar referendum yang berlangsung
di Banda Aceh. "Nelayan Idi, juga ambil bagian pawai referendum di Banda Aceh,"
katanya.(an)