Republik Islam Aceh (RIA) dengan ini menyatakan bahwa kami menyambut Nota
Kesepahaman (NK) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Acheh Sumatra
National Liberation Front/Gerakan Aceh Merdeka (ASNLF/GAM) dengan penuh rasa
keprihatinan. Perlu kami tegaskan bahwa kami menyambut baik setiap usaha
yang bertujuan untuk mengembalikan kedamaian dalam kehidupan masyarakat
Aceh. Namun ada beberapa hal yang perlu dicatat mengenai NK tersebut, dan
hal-hal inilah yang menimbulkan keprihatinan kami.
Pertama, NK itu tidak memuat kesepakatan apapun mengenai target-target apa
yang akan dicapai dalam "jeda kemanusiaan" ini, serta tidak ada kerangka
waktu yang harus dikejar dalam mencapai target itu. Kami memandang perlu
agar target-target itu seharusnya tercantum dengan jelas dalam NK, dan
disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat Aceh. Hal ini disebabkan
karena tanpa adanya target dan kerangka waktu yang jelas, maka NK ini hanya
akan menjadi akrobat politik, sementara korban dari kalangan sipil terus
berjatuhan di Aceh. Kami perlu sekali mengingatkan bahwa kedua belah pihak
yang menandatangani NK inilah yang justru sedang menjadi "mesin pembunuh"
yang mengakibatkan masyarakat sipil terkorbankan. Tanpa adanya target yang
jelas dan kerangka waktu yang tegas, NK ini hanya akan menjadi saksi bagi
kelanjutan pertumpahan darah di kalangan sipil.
Kedua, NK ini dibuat oleh dua pihak selama ini dikenal memiliki senjata,
yaitu Pemerintah RI dan ASNLF/GAM. Korban-korban di kalangan masyarakat
sipil, boleh dikatakan, hanya disebabkan oleh salah satu dari kedua pihak
ini. Kami ingin mengungkapkan kekhawatiran kami bila NK ini nantinya juga
menjadi awal bagi dilupakannya pengusutan terhadap praktek-praktek kekejaman
terhadap warga sipil yang telah dilakukan oleh anggota militer kedua belah
pihak. Kedua belah pihak TELAH melakukan kekejaman militer terhadap warga
sipil di Aceh. Dan kami ingin mengingatkan kepada semua kalangan terutama
kepada seluruh masyarakat Aceh agar tetap menuntut pengusutan terhadap
kekejaman-kekejaman tersebut.
Ketiga, NK ini ditandatangani bersama oleh Duta Besar RI dan Zaini Abdullah.
Kami menyatakan keraguan kami apakah kedua tokoh yang menandatangani NK ini
benar-benar mewakili kalangan militer yang berkonflik di Aceh. Sekalipun
Presiden RI tampaknya telah dapat menguasai semua kelompok yang ada di dalam
tubuh Tentara Nasional Indonesia, masih tetap tidak ada jaminan bahwa tidak
ada petinggi militer yang "bermain sendiri" di Aceh. Keadaan yang lebih
parah terjadi di tubuh ASNLF/GAM. Sejauh mana komando dari pimpinan
tertinggi ASNLF/GAM akan ditaati oleh prajurit mereka di hutan masih menjadi
tanda tanya besar.
Dalam hal ini kami ingin mengingatkan apa yang telah terjadi di Filipina
Selatan, ketika Nur Misuari (mewakili MNLF) mengadakan perjanjian damai
dengan Pemerintah Filipina. Salah satu butir perjanjian itu adalah bahwa
seluruh pasukan MNLF diminta menyerahkan senjatanya kepada Nur Misuari untuk
diteruskan kepada pemerintah Filipina. Sebagian besar pasukan MNLF menolak
menyerahkan senjatanya kepada Nur Misuari karena senjata itu bukan milik
MNLF. Nur Misuari dan MNLF tidak pernah membawa pulang senjata ke Filipina
Selatan. Senjata yang ada di tangan mujahidin Mindanao adalah hasil jerih
payah mereka sendiri, bekerja mengumpulkan uang di luar negeri, kemudian
dibelikan senjata di pasar gelap. Satu pucuk senjata itulah yang mereka beli
sendiri, kemudian mereka pakai sendiri dalam perjuangan menegakkan Islam di
Mindanao. Ketika Nur Misuari memerintahkan agar senjata itu diserahkan,
sudah pasti mereka tidak mau.
Hasan Tiro sebagai pucuk pimpinan ASNLF/GAM boleh dibilang tidak pernah
membawa pulang senjata ke Aceh, apalagi Zaini Abdullah. Sebagian terbesar
dari senjata yang dipegang oleh prajurit GAM adalah hasil jerih payah mereka
sendiri, dibeli dengan uang mereka sendiri, baik itu dari pasar gelap di
luar negeri, ataupun dari kalangan TNI sendiri. Kami ingin mengungkapkan
kekhawatiran kami bahwa tingkat terbawah dari struktur militer kedua belah
pihak tidak mentaati jeda kemanusiaan ini.
Kekhawatiran kami sedikit banyak sudah terbukti dengan adanya sedikitnya dua
peristiwa kekerasan yang terjadi sehari setelah penandatanganan NK. Kejadian
pertama adalah kontak senjata antara GAM dan TNI di Geudumbak Kecamatan
Jambo Aye Aceh Utara yang menyebabkan beberapa warga sipil cedera. Insiden
kedua adalah pelemparan granat di pusat kota di dekat Hotel Kartika Banda
Aceh. Kami berharap agar kedua insiden ini hanyalah ekses dari keterlambatan
kedua belah pihak dalam mensosialisasikan jeda kemanusiaan ini ke tingkat
paling bawah dalam hirarki militer masing-masing, agar tidak ada lagi korban
yang jatuh di kalangan warga sipil.
Dalam kesempatan ini kami ingin menyerukan kepada semua pihak, terutama
kepada pemerintah RI, agar penyelesaian permasalahan yang ada di Aceh
diserahkan sepenuhnya kepada rakyat Aceh. Kami menyerukan kepada semua
komponen masyarakat Aceh untuk duduk bermufakat, untuk menentukan sendiri
masa depan Aceh. Kami menyatakan dukungan kami, dan meminta seluruh komponen
masyarakat Aceh untuk ikut mendukung dan menyukseskan Kongres Rakyat Aceh
(KRA). Kami juga mengutuk bentuk-bentuk intimidasi yang dilakukan oleh semua
pihak - di antaranya adalah pembakaran rumah Tgk. Syech Syamaun Risyad -
yang berupaya menggagalkan KRA.
Kami juga ingin mengingatkan kepada seluruh komponen masyarakat Aceh untuk
selalu berpegang teguh kepada risalah Islam. Janganlah kita melupakan
sejarah kita, bahwa Bangsa Aceh tampil sebagai bangsa pejuang adalah karena
mereka selalu berpegang teguh kepada jalan jihad sebagai garis perjuangan.
Setiap penyimpangan dari kesucian jalan jihad hanya akan membawa kehinaan
kepada kita, baik di dunia maupun di akhirat.
Semoga Allah menurunkan pertolongannya kepada bangsa Aceh.
Wallaahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq.
Demi tegaknya kalimat Allah di bumi Aceh,
Biro Informasi dan Komunikasi
REPUBLIK ISLAM ACEH
ttd
Abu Geudong
geudong@yahoo.com
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokaatuh