Pelawak
yang satu ini sudah sangat berumur, tetapi penampilannya tetap segar. Ia pernah
bergabung dengan grup lawak “D’Bodor” bersama Us Us. Sup Yusup, komedian
yang malang-melintang di dalam dan
di luar negeri, mengaku sangat mensyukuri nikmat Allah. Bisa melawak saja sudah
merupakan satu kenikmatan, apalagi hasilnya bisa didermakan. Hal ini menjadi
kenikmatan tambahan buat ayah satu anak ini. Refleksinya tentang profesi dan
religiusitasnya, diungkapkannya kepada wartawan Panji di Bandung, Suryana. Berikut
petikannya.
Suatu
hari pada 1992 saya terserang sakit perut hebat. Saya segera ke dokter. Selama
meminum obat itu sakit perut saya memang tak terasa. Ketika obatnya habis,
penyakit datang lagi. Saya ke dokter lagi. Sama saja, obat habis, penyakit
datang lagi. Akhirnya saya diminta menjalani rawat inap. Setelah diperiksa,
ketahuan bahwa saya menderita kencing manis. Kadar gula saya di atas normal.
Setelah dirawat tiga bulan baru boleh pulang, dirawat di rumah. Meski begitu,
saya tetap harus berdisiplin dalam soal makanan.
Sesampai
di rumah, saya bertemu teman yang sudah menjadi kiai. Ahmad namanya. Ia
menasihati agar saya melakukan tiga hal: pasrah kepada Allah; gula amis dahar papaitan, maksudnya
penyakit gula harus dilawan oleh pahit-pahitan, sering makan ramuan pahit; dan
rajin olahraga. Saya mulai berdisiplin menjalankan saran dan nasihatnya. Saya
berusaha pasrah kepada Allah. Penyakit ini buatan Allah, pasti kalau diminta
akan dikembalikan kepada-Nya. Hanya Allah yang bisa mencabut penyakit ini. Jadi
saya serahkan kepada-Nya segenap derita ini.
Saya
tak pandai membaca Al-Quran, tetapi senang membaca terjemahannya. Saya lihat
banyak ayat-ayat Allah yang tak kuasa lagi saya ungkapkan kedalaman maknanya.
Al-Quran menemani saya selama sakit. Doa saya, “Ya Allah, jika Engkau bisa
menciptakan segalanya berarti Engkau bisa mencabut segalanya.” Doa ini muncul
ketika saya baru mengerti betapa Allah itu sangat hebat.
Apa
kehebatan kita dibanding Allah? Saya yang bodoh agama ini jadi makin mengerti,
betapa makhluk seperti kita jika tak dekat dengan-Nya makin goblok saja, kenapa
tetap ingkar kepada Dia yang telah memberi kita segalanya.
Saya
sudah pasrah. Sebagai makhluk Allah, niat saya ingin mati dalam keadaan Islam,
walaupun saya sedang ngabodor
(melawak). Mati ngabodor buat saya
sama saja dengan mati saat beribadah. Melawak itu ibadah, banyak orang tertawa
dan sadar bahwa ia menertawakan dirinya sendiri.
Selain
bersikap pasrah, saya juga minum ramuan pahit seperti rebusan kulit pohon
mahoni, sambiloto, patrawali, kulit jamblang, daun salam, dan lain-lain. Umumnya
bahannya dari akar-akaran, daun, dan batang pohon. Allahu Akbar. Setelah
beberapa lama saya jalani terapi ini, ramuan “yang dirancang Allah” itu menjadi
perantara kesembuhan saya. Kadar gula dalam tubuh saya berangsur normal. Sejak
1992 sampai sekarang saya tak pernah lagi “disapa” kencing manis.
Mengislamkan
Pacar. Lie
Ye Ing nama gadis manis itu. Saya jatuh hati padanya dan tak peduli ia keturunan
Tionghoa. Saya tak tahu bagaimana bisa nekad mau mempersunting seorang gadis
bermata sipit ini di tengah kultur Sunda yang kental. Mungkin di seluruh
Tasikmalaya, sayalah lelaki satu-satunya yang terang-terangan menikahi keturunan
Tionghoa.
Belakangan
saya tahu, orangtua kami kurang setuju. Tapi mereka diam saja. Orangtua pacar
saya yang Tionghoa tulen itu mungkin kewalahan karena saya dan anak gadisnya
sudah saling cinta. Sampailah pada kearifan mereka, mau kompromi. Orangtua pacar
saya menemui orangtua saya untuk membahas bagaimana baiknya. Hasilnya, orangtua
saya meminta saya menemui orangtua pacar saya. Sampai akhirnya kami direstui
menikah.
Menjelang
pernikahan saya membujuk sang pacar agar mau masuk Islam dulu. Ah, mungkin
kekuatan cinta memuluskan permintaan saya. Tanpa kesulitan, Lie Ye Ing mau
menjadi muslimah. Betapa bahagia hati saya, kendati bukan seorang ahli agama,
bisa mengislamkan seorang nonmuslim. Ini hidayah dan berkat ridha Allah, saya
sendirilah yang mengislamkan pacar saya yang akhirnya menjadi istri sampai saat
ini.
Alhamdulillah
isteri saya langsung memahami pentingnya berislam dalam membangun mahligai rumah
tangga. Kami menikah di rumah kakek setelah magrib pada bulan Safar. Kata orang,
bulan Safar tak baik untuk menikah. Ah, tapi tak ada dalil yang mengharamkan,
kecuali sekadar tradisi.
Perkawinan
kami sudah berjalan 30 tahun secara damai. Sejak resmi sebagai suami istri, saya
mengajarinya cara melakukan salat. Bukankah dia masuk Islam gara-gara saya? Jadi
saya wajib mengajarinya. Alhamdulillah Iing, panggilan sayang istri saya,
konsisten menjalankan salat lima waktu. Pendekatan saya tanpa sedikit pun nada
paksa. Saya menegaskan saat mengajaknya masuk Islam agar ia jangan mempermainkan
agama. Isteri saya pun ikhlas masuk Islam.
Keluarga
saya amat bangga saya berhasil mengislamkan orang Tionghoa. Ini sudah
anugerah-Nya. Pengislamkan pacar yang kemudian sah menjadi istri itu menjadi
pendorong saya mendalami Islam lebih lanjut.
Berdoa
Sebelum Melawak.
Saya ingat ayat-ayat Allah dan hadis Nabi bahwa hamparan langit dan bumi ini
adalah ciptaan Allah. Dan Allahlah yang menciptakan semuanya. Merenungi ayat
ini, kerap kali saya sampai meneteskan air mata, betapa Mahaagung Gusti Allah
itu. Saya tak ada apa-apanya. Makin yakin saya bahwa hidup saya selalu
dipelototi Allah. Ini membuat
pikiran saya selalu diingatkan. “Ah, saya mah tak mau berbuat yang tidak diridhai
Allah.”
Suatu
ketika, tatkala sedang melawak di satu tempat, melawak dengan bodoran segar, tiba-tiba terbersit dalam
kalbu supaya bicara agak agamis. Hasilnya, eh, ada orang yang nangis. Lalu dia
bilang, “Mang Ucup mah cocok jadi
penceramah.”
Saya
tidak bisa ceramah agama. Saya tidak ahli agama. Kalau mau diceramahi, minta
saja Kang Ibing yang ceramah. Pernah Kang Ibing menyuruh seseorang yang
membutuhkan penceramah mendatangi saya. Saya nggak tahu agama kok disuruh ceramah! Undangan itu tidak
saya penuhi. Saya menganggap hal itu cuma main-mainan Kang Ibing
saja.
Sejak
itu saya merenungi, orang itu membutuhkan saya. Saya jadi terdorong belajar
agama. Meski begitu, sampai sekarang saya tak mau ceramah. Lebih yahud mah ngabodor aja. Saya cukup belajar agama
dan mengamalkannya, tak usah diceramahkan. Toh banyak yang mau menjadi penceramah.
Kebiasaan
saya kalau mau manggung (melawak) adalah berdoa dulu. Saya selalu bersyukur atas
bakat melawak yang diberikan-Nya. Saya minta kepada Allah supaya saya tidak
kaku. Saya juga mengingat jasa orangtua saya dan mendoakan mereka. Saya
bersyukur Allah melahirkan diri saya dengan wajah lucu. Doa itu selalu
dikabulkan-Nya, setiap manggung saya tak pernah grogi apalagi salah.
Sebagai
muslim saya terus tergerak untuk menunaikan rukun Islam kelima. Tapi niat itu
selalu terganjal ketiadaan modal. Biar saja, yang penting saya punya niat kuat.
Ajaib buat aya, setiap niat berhaji itu lahir di hati, saya selalu mendapat
rezeki lumayan, banyak undangan melawak, syuting, dan lain-lain.
Ketika
akan menjelmakan niat itu, saya malah kedatangan orang yang kesusahan. Akhirnya
saya mendahulukan membantu orang yang kesusahan sehingga sampai sekarang tidak
juga berhaji. Mungkin Allah belum mengizinkan saya menunaikan ibadah haji. Niat
ini sampai sekarang masih sangat kuat. Cuma uangnya belum ada. Apalagi kini
biayanya makin mahal, saya kian tak kuat duitnya tapi niatnya makin kuat
melebihi jumlah duitnya.
Rahasia
Awet Muda.
Usia saya sudah 60 tahun, tetapi orang bilang saya masih energik. Mungkin ini
karena saya memegang filosofi air. Air bila dipakai mandi harus diawali dari
lutut ke bawah kemudian kalau sudah terasa reaksinya ke tubuh bagian atas
barulah bagian atas itu disiram. Kebanyakan orang kalau mandi langsung brus saja tanpa ada aturan
pokoknya.
Sejak
kanak-kanak saya dibiasakan mandi dengan cara begitu. Itu rahasia orangtua dulu.
Resep awet segar yang kami terima turun-temurun. Ada yang sampai seratus tahun
lebih masih sanggup jalan-jalan. Begitu juga saya.
Air
adalah karunia Allah. Air yang cuma benda mencair itu rasa-rasanya harus
diperlakukan dengan baik. Kenapa orang harus berwudhu, kenapa orang harus mandi,
kenapa orang harus minum? Itu karena supaya tubuh kita selalu segar. Allah-lah
yang menciptakan air.
Saya
memedomani kisah Nabi Ibrahim. Waktu itu Nabi Ibrahim sedang sakit, minta kepada
Allah supaya disembuhkan. Nabi Ibrahim disuruh mandi di telaga, sesudah itu
beliau sembuh seperti sediakala. Sebenarnya saya tahu kalau air itu sangatlah
bermanfaat. Air bisa membuat orang energik dan awet muda, asal kita
memperlakukannya seperti memperlakukan makhluk Allah lainnya. Kita menghargai
dan kita menghormati air secara wajar, sama dengan kita menghargai Allah yang
telah menciptakannya.
Bukan
Orangtua Kandung.
Telah bertahun-tahun saya tak tahu bahwa dua orang yang mengasuh saya dengan
baik sebagaimana layaknya orangtua itu sebenarnya bukanlah orangtua kandung.
Mereka berdua ternyata kakek dan nenek saya yang tinggal di
Tasik.
Saya
tahu itu lantaran suatu ketika saya diajak “orangtua saya” nandran, ziarah ke pekuburan. Saat itu
saya masih SMP. Di depan dua kuburan itu, “ibu” saya berdoa, "Semoga anak kamu
ini jadi orang". “Ibu” menyebut doa itu sambil melirik saya.
Saya
heran. Ketika saya tanyakan, mereka menjelaskan, dua jenazah yang terbujur dalam
makam itu adalah orangtua saya yang sebenarnya. Betapa kagetnya saya. Saat
itulah saya baru tahu bahwa orangtua saya memang sudah meninggal. Saya yatim
piatu sedari kecil. Nama bapak saya Ucum, ibu saya namanya Asmanah.
Panggilan
Hati.
Selama hidup saya bekerja tanpa punya bos. Hidup paling enak itu menurut saya,
ya seperti ini. Sampai saya pernah pergi ke Australia, Jepang, Malaysia, Asia
semuanya, dengan kepercayaan diri seperti ini. Saya melawak sampai “terlempar”
ke luar negeri, karena saya punya keyakinan bahwa yang saya cari itu adalah uang
halal.
Dulu
pernah ada yang menyebutkan, penghasilan dari melawak itu uang haram. Lalu saya
berusaha meyakinkan mereka, uang melawak itu tidak haram. Orang kampung saya kan
Islamnya fanatik dan mereka semua famili, bukan orang lain. Seniman di mata
mereka selalu dianggap negatif, kelakuan pemain sandiwara juga dianggap jelek.
Famili
saya yang mengatakan uang melawak itu haram malah akhirnya ikut mencicipi. “Eh,
ternyata uang melawak itu enak,” katanya suatu ketika. Ia malah menyuruh anaknya
melawak, tetapi gagal. Lawakannya tidak laku. Melawak pun harus panggilan hati,
tak bisa begitu saja. Kemampuan melawak adalah karunia Allah.
Saat
saya melawak, yang terlintas di pikiran, saya sedang menghibur makhluk Allah
yang terancam stres. Saat itu seolah-olah Allah ada pada diri saya. Saya ingin
semua orang segar terus, tidak pernah ruwet hidupnya. Saya memperlihatkan
gerak-gerik dan kata-kata yang mengundang mereka tertawa sehingga darahnya segar
lagi.
Penyadaran.
Sejak pertama melawak bersama Bing Slamet, Ateng, Iskak, Mang Us Us, dan
lain-lain, saya merasa ada sesuatu yang membawa saya. Entah apa, saya tak
sanggup menjelaskannya. Saat itu saya masih belang-bentong salatnya. Lagi pula, saya
bukan ahli agama. Tapi saya masih merasa, Allah sayang sama hamba-Nya ini. Saya
ingin apa yang saya lakukan menjadi jalan kebaikan buat saya. Kendatipun ini
dunia yang masih baru buat saya. Apalagi dunia lawak belum menjadi sesuatu yang
diperhitungkan orang.
Saya
harus meminta kepada Allah agar terjadi kemantapan dalam pilihan saya. Saya lalu
bermunajat. “Ya Allah, apa yang saya miliki sebenarnya tidak saya mengerti. Saya
tidak mengetahuinya, tetapi saya merasa bahagia dengan bakat saya. Saya tidak
punya keahlian lain selain melawak, tetapi berilah kepada saya rezeki dari
melawak.”
Allah
mengabulkan permohonan saya. Apa yang saya jalani mendatangkan hasil yang nyata.
Sejak itulah saya menjadi rajin beribadah. Makin rajin orang mengundang saya,
makin rajin saya melaksanakan ibadah yang lima waktu, yang saya iringi dengan
salat sunnah. Selain hal yang memang sudah menjadi sesuatu yang sangat rutin,
yakni memberi sedekah kepada orang kecil setiap saya punya kelebihan harta.
Alhamdulillah, dengan menjadi pelawak saja saya merasakan nikmat Allah dan
nikmat itu ditambah lagi dengan nikmatnya menjadi penderma. Rasanya tak ada
orang yang sebahagia saya dalam hidup ini.
Entah
apa yang terjadi dengan diri saya ketika Allah menurunkan kebiasaan melawak
dalam diri saya. Dari melawak saya banyak menemukan “wajah-wajah” Allah dalam
diri saya. Tidak terkecuali pada alam yang saya lihat. Bahkan saat saya memenuhi
undangan melawak ke Australia atas undangan masyarakat Indonesia di
sana.
Sulit
saya jelaskan, apa dan bagaimana “wajah-wajah Allah” itu. Mungkin gambarannya
begini. Saya dalam perjalanan ke Australia mengendarai pesawat terbang. Ketika
pesawat berada di atas awan, saya melihat ke bumi yang sungguh sangat jauh, saya
merasa seperti sedang berada di satu tempat di mana Allah mengundang saya masuk
ke alam-Nya. Entah karena saya terlalu enjoy dengan pikiran dan lamunan melihat
pemandangan begitu indah, seolah-olah saya diberi petunjuk bahwa alam yang
begitu luas inilah yang diciptakan Allah. Saya melihat titik-titik terang di
awan membentuk lafadz “Allah”. semacam itulah “wajah” yang diperlihatkan-Nya.
Saya kerap menyaksikan apa yang saya anggap “wajah” Allah dalam mimpi dan
sesekali dalam kenyataan, saat memandangi ciptaan-Nya yang membuat saya memahami
kebesaran-Nya.
IS
Biodata
Nama:
Yusup, alias Sup Yusup, Mang Odon (dalam serial Si Kabayan),
Si
Jebleh, dll
Lahir:
Tasikmalaya,13 Desember 1939
Isteri:
Lie Ye Ing
Anak:
Jaka Sutiasa
Alamat:
Jl.Sukaasih I No. 5 Ujungberung, Bandung
Sekolah:
SD, SMP, SMA di Tasikmalaya mulai 1950-an. Ujian
pelengkap
SMA pada 1957.
Pengalaman:
1959
pertama kali hijrah ke Bandung, mendirikan Grup Lawak 4S.
1971
pindah ke Jakarta bergabung dengan Ateng Iskak Grup.
1980-an
mendirikan grup lawak D'Bodor bersama Us Us.
1991
pindah lagi ke Bandung bergabung dengan D'Kabayan (Kang
Ibing).
1991
sampai sekarang bekerja di dunia lawak lintas sektoral, tak terikat
grup
lawak tertentu. Sering diundang menjadi MC dalam dan luar
negeri.