PENGALAMAN RELIGIUS / PANJI NO. 30 TH III. 10 NOVEMBER 1999

 

Sup Yusup

Pasrah Itu Menyembuhkan

 

Pelawak yang satu ini sudah sangat berumur, tetapi penampilannya tetap segar. Ia pernah bergabung dengan grup lawak “D’Bodor” bersama Us Us. Sup Yusup, komedian yang  malang-melintang di dalam dan di luar negeri, mengaku sangat mensyukuri nikmat Allah. Bisa melawak saja sudah merupakan satu kenikmatan, apalagi hasilnya bisa didermakan. Hal ini menjadi kenikmatan tambahan buat ayah satu anak ini. Refleksinya tentang profesi dan religiusitasnya, diungkapkannya kepada wartawan Panji di Bandung, Suryana. Berikut petikannya.

 

Suatu hari pada 1992 saya terserang sakit perut hebat. Saya segera ke dokter. Selama meminum obat itu sakit perut saya memang tak terasa. Ketika obatnya habis, penyakit datang lagi. Saya ke dokter lagi. Sama saja, obat habis, penyakit datang lagi. Akhirnya saya diminta menjalani rawat inap. Setelah diperiksa, ketahuan bahwa saya menderita kencing manis. Kadar gula saya di atas normal. Setelah dirawat tiga bulan baru boleh pulang, dirawat di rumah. Meski begitu, saya tetap harus berdisiplin dalam soal makanan.

Sesampai di rumah, saya bertemu teman yang sudah menjadi kiai. Ahmad namanya. Ia menasihati agar saya melakukan tiga hal: pasrah kepada Allah; gula amis dahar papaitan, maksudnya penyakit gula harus dilawan oleh pahit-pahitan, sering makan ramuan pahit; dan rajin olahraga. Saya mulai berdisiplin menjalankan saran dan nasihatnya. Saya berusaha pasrah kepada Allah. Penyakit ini buatan Allah, pasti kalau diminta akan dikembalikan kepada-Nya. Hanya Allah yang bisa mencabut penyakit ini. Jadi saya serahkan kepada-Nya segenap derita ini.

Saya tak pandai membaca Al-Quran, tetapi senang membaca terjemahannya. Saya lihat banyak ayat-ayat Allah yang tak kuasa lagi saya ungkapkan kedalaman maknanya. Al-Quran menemani saya selama sakit. Doa saya, “Ya Allah, jika Engkau bisa menciptakan segalanya berarti Engkau bisa mencabut segalanya.” Doa ini muncul ketika saya baru mengerti betapa Allah itu sangat hebat.

Apa kehebatan kita dibanding Allah? Saya yang bodoh agama ini jadi makin mengerti, betapa makhluk seperti kita jika tak dekat dengan-Nya makin goblok saja, kenapa tetap ingkar kepada Dia yang telah memberi kita segalanya.

Saya sudah pasrah. Sebagai makhluk Allah, niat saya ingin mati dalam keadaan Islam, walaupun saya sedang ngabodor (melawak). Mati ngabodor buat saya sama saja dengan mati saat beribadah. Melawak itu ibadah, banyak orang tertawa dan sadar bahwa ia menertawakan dirinya sendiri.

Selain bersikap pasrah, saya juga minum ramuan pahit seperti rebusan kulit pohon mahoni, sambiloto, patrawali, kulit jamblang, daun salam, dan lain-lain. Umumnya bahannya dari akar-akaran, daun, dan batang pohon. Allahu Akbar. Setelah beberapa lama saya jalani terapi ini, ramuan “yang dirancang Allah” itu menjadi perantara kesembuhan saya. Kadar gula dalam tubuh saya berangsur normal. Sejak 1992 sampai sekarang saya tak pernah lagi “disapa” kencing manis.

 

Mengislamkan Pacar. Lie Ye Ing nama gadis manis itu. Saya jatuh hati padanya dan tak peduli ia keturunan Tionghoa. Saya tak tahu bagaimana bisa nekad mau mempersunting seorang gadis bermata sipit ini di tengah kultur Sunda yang kental. Mungkin di seluruh Tasikmalaya, sayalah lelaki satu-satunya yang terang-terangan menikahi keturunan Tionghoa.

Belakangan saya tahu, orangtua kami kurang setuju. Tapi mereka diam saja. Orangtua pacar saya yang Tionghoa tulen itu mungkin kewalahan karena saya dan anak gadisnya sudah saling cinta. Sampailah pada kearifan mereka, mau kompromi. Orangtua pacar saya menemui orangtua saya untuk membahas bagaimana baiknya. Hasilnya, orangtua saya meminta saya menemui orangtua pacar saya. Sampai akhirnya kami direstui menikah.

Menjelang pernikahan saya membujuk sang pacar agar mau masuk Islam dulu. Ah, mungkin kekuatan cinta memuluskan permintaan saya. Tanpa kesulitan, Lie Ye Ing mau menjadi muslimah. Betapa bahagia hati saya, kendati bukan seorang ahli agama, bisa mengislamkan seorang nonmuslim. Ini hidayah dan berkat ridha Allah, saya sendirilah yang mengislamkan pacar saya yang akhirnya menjadi istri sampai saat ini.

Alhamdulillah isteri saya langsung memahami pentingnya berislam dalam membangun mahligai rumah tangga. Kami menikah di rumah kakek setelah magrib pada bulan Safar. Kata orang, bulan Safar tak baik untuk menikah. Ah, tapi tak ada dalil yang mengharamkan, kecuali sekadar tradisi.

Perkawinan kami sudah berjalan 30 tahun secara damai. Sejak resmi sebagai suami istri, saya mengajarinya cara melakukan salat. Bukankah dia masuk Islam gara-gara saya? Jadi saya wajib mengajarinya. Alhamdulillah Iing, panggilan sayang istri saya, konsisten menjalankan salat lima waktu. Pendekatan saya tanpa sedikit pun nada paksa. Saya menegaskan saat mengajaknya masuk Islam agar ia jangan mempermainkan agama. Isteri saya pun ikhlas masuk Islam.

Keluarga saya amat bangga saya berhasil mengislamkan orang Tionghoa. Ini sudah anugerah-Nya. Pengislamkan pacar yang kemudian sah menjadi istri itu menjadi pendorong saya mendalami Islam lebih lanjut.

 

Berdoa Sebelum Melawak. Saya ingat ayat-ayat Allah dan hadis Nabi bahwa hamparan langit dan bumi ini adalah ciptaan Allah. Dan Allahlah yang menciptakan semuanya. Merenungi ayat ini, kerap kali saya sampai meneteskan air mata, betapa Mahaagung Gusti Allah itu. Saya tak ada apa-apanya. Makin yakin saya bahwa hidup saya selalu dipelototi Allah. Ini  membuat pikiran saya selalu diingatkan. “Ah, saya mah tak mau berbuat yang tidak diridhai Allah.”

Suatu ketika, tatkala sedang melawak di satu tempat, melawak dengan bodoran segar, tiba-tiba terbersit dalam kalbu supaya bicara agak agamis. Hasilnya, eh, ada orang yang nangis. Lalu dia bilang, “Mang Ucup mah cocok jadi penceramah.”

Saya tidak bisa ceramah agama. Saya tidak ahli agama. Kalau mau diceramahi, minta saja Kang Ibing yang ceramah. Pernah Kang Ibing menyuruh seseorang yang membutuhkan penceramah mendatangi saya. Saya nggak tahu agama kok disuruh ceramah! Undangan itu tidak saya penuhi. Saya menganggap hal itu cuma main-mainan Kang Ibing saja.

Sejak itu saya merenungi, orang itu membutuhkan saya. Saya jadi terdorong belajar agama. Meski begitu, sampai sekarang saya tak mau ceramah. Lebih yahud mah ngabodor aja. Saya cukup belajar agama dan mengamalkannya, tak usah diceramahkan. Toh banyak yang mau menjadi penceramah.

Kebiasaan saya kalau mau manggung (melawak) adalah berdoa dulu. Saya selalu bersyukur atas bakat melawak yang diberikan-Nya. Saya minta kepada Allah supaya saya tidak kaku. Saya juga mengingat jasa orangtua saya dan mendoakan mereka. Saya bersyukur Allah melahirkan diri saya dengan wajah lucu. Doa itu selalu dikabulkan-Nya, setiap manggung saya tak pernah grogi apalagi salah.

Sebagai muslim saya terus tergerak untuk menunaikan rukun Islam kelima. Tapi niat itu selalu terganjal ketiadaan modal. Biar saja, yang penting saya punya niat kuat. Ajaib buat aya, setiap niat berhaji itu lahir di hati, saya selalu mendapat rezeki lumayan, banyak undangan melawak, syuting, dan lain-lain.

Ketika akan menjelmakan niat itu, saya malah kedatangan orang yang kesusahan. Akhirnya saya mendahulukan membantu orang yang kesusahan sehingga sampai sekarang tidak juga berhaji. Mungkin Allah belum mengizinkan saya menunaikan ibadah haji. Niat ini sampai sekarang masih sangat kuat. Cuma uangnya belum ada. Apalagi kini biayanya makin mahal, saya kian tak kuat duitnya tapi niatnya makin kuat melebihi jumlah duitnya.

 

Rahasia Awet Muda. Usia saya sudah 60 tahun, tetapi orang bilang saya masih energik. Mungkin ini karena saya memegang filosofi air. Air bila dipakai mandi harus diawali dari lutut ke bawah kemudian kalau sudah terasa reaksinya ke tubuh bagian atas barulah bagian atas itu disiram. Kebanyakan orang kalau mandi langsung brus saja tanpa ada aturan pokoknya.

Sejak kanak-kanak saya dibiasakan mandi dengan cara begitu. Itu rahasia orangtua dulu. Resep awet segar yang kami terima turun-temurun. Ada yang sampai seratus tahun lebih masih sanggup jalan-jalan. Begitu juga saya.

Air adalah karunia Allah. Air yang cuma benda mencair itu rasa-rasanya harus diperlakukan dengan baik. Kenapa orang harus berwudhu, kenapa orang harus mandi, kenapa orang harus minum? Itu karena supaya tubuh kita selalu segar. Allah-lah yang menciptakan air.

Saya memedomani kisah Nabi Ibrahim. Waktu itu Nabi Ibrahim sedang sakit, minta kepada Allah supaya disembuhkan. Nabi Ibrahim disuruh mandi di telaga, sesudah itu beliau sembuh seperti sediakala. Sebenarnya saya tahu kalau air itu sangatlah bermanfaat. Air bisa membuat orang energik dan awet muda, asal kita memperlakukannya seperti memperlakukan makhluk Allah lainnya. Kita menghargai dan kita menghormati air secara wajar, sama dengan kita menghargai Allah yang telah menciptakannya.

 

Bukan Orangtua Kandung. Telah bertahun-tahun saya tak tahu bahwa dua orang yang mengasuh saya dengan baik sebagaimana layaknya orangtua itu sebenarnya bukanlah orangtua kandung. Mereka berdua ternyata kakek dan nenek saya yang tinggal di Tasik.

Saya tahu itu lantaran suatu ketika saya diajak “orangtua saya” nandran, ziarah ke pekuburan. Saat itu saya masih SMP. Di depan dua kuburan itu, “ibu” saya berdoa, "Semoga anak kamu ini jadi orang". “Ibu” menyebut doa itu sambil melirik saya.

Saya heran. Ketika saya tanyakan, mereka menjelaskan, dua jenazah yang terbujur dalam makam itu adalah orangtua saya yang sebenarnya. Betapa kagetnya saya. Saat itulah saya baru tahu bahwa orangtua saya memang sudah meninggal. Saya yatim piatu sedari kecil. Nama bapak saya Ucum, ibu saya namanya Asmanah.

 

Panggilan Hati. Selama hidup saya bekerja tanpa punya bos. Hidup paling enak itu menurut saya, ya seperti ini. Sampai saya pernah pergi ke Australia, Jepang, Malaysia, Asia semuanya, dengan kepercayaan diri seperti ini. Saya melawak sampai “terlempar” ke luar negeri, karena saya punya keyakinan bahwa yang saya cari itu adalah uang halal.

Dulu pernah ada yang menyebutkan, penghasilan dari melawak itu uang haram. Lalu saya berusaha meyakinkan mereka, uang melawak itu tidak haram. Orang kampung saya kan Islamnya fanatik dan mereka semua famili, bukan orang lain. Seniman di mata mereka selalu dianggap negatif, kelakuan pemain sandiwara juga dianggap jelek.

Famili saya yang mengatakan uang melawak itu haram malah akhirnya ikut mencicipi. “Eh, ternyata uang melawak itu enak,” katanya suatu ketika. Ia malah menyuruh anaknya melawak, tetapi gagal. Lawakannya tidak laku. Melawak pun harus panggilan hati, tak bisa begitu saja. Kemampuan melawak adalah karunia Allah.

Saat saya melawak, yang terlintas di pikiran, saya sedang menghibur makhluk Allah yang terancam stres. Saat itu seolah-olah Allah ada pada diri saya. Saya ingin semua orang segar terus, tidak pernah ruwet hidupnya. Saya memperlihatkan gerak-gerik dan kata-kata yang mengundang mereka tertawa sehingga darahnya segar lagi.

 

Penyadaran. Sejak pertama melawak bersama Bing Slamet, Ateng, Iskak, Mang Us Us, dan lain-lain, saya merasa ada sesuatu yang membawa saya. Entah apa, saya tak sanggup menjelaskannya. Saat itu saya masih belang-bentong salatnya. Lagi pula, saya bukan ahli agama. Tapi saya masih merasa, Allah sayang sama hamba-Nya ini. Saya ingin apa yang saya lakukan menjadi jalan kebaikan buat saya. Kendatipun ini dunia yang masih baru buat saya. Apalagi dunia lawak belum menjadi sesuatu yang diperhitungkan orang.

Saya harus meminta kepada Allah agar terjadi kemantapan dalam pilihan saya. Saya lalu bermunajat. “Ya Allah, apa yang saya miliki sebenarnya tidak saya mengerti. Saya tidak mengetahuinya, tetapi saya merasa bahagia dengan bakat saya. Saya tidak punya keahlian lain selain melawak, tetapi berilah kepada saya rezeki dari melawak.”

Allah mengabulkan permohonan saya. Apa yang saya jalani mendatangkan hasil yang nyata. Sejak itulah saya menjadi rajin beribadah. Makin rajin orang mengundang saya, makin rajin saya melaksanakan ibadah yang lima waktu, yang saya iringi dengan salat sunnah. Selain hal yang memang sudah menjadi sesuatu yang sangat rutin, yakni memberi sedekah kepada orang kecil setiap saya punya kelebihan harta. Alhamdulillah, dengan menjadi pelawak saja saya merasakan nikmat Allah dan nikmat itu ditambah lagi dengan nikmatnya menjadi penderma. Rasanya tak ada orang yang sebahagia saya dalam hidup ini.

Entah apa yang terjadi dengan diri saya ketika Allah menurunkan kebiasaan melawak dalam diri saya. Dari melawak saya banyak menemukan “wajah-wajah” Allah dalam diri saya. Tidak terkecuali pada alam yang saya lihat. Bahkan saat saya memenuhi undangan melawak ke Australia atas undangan masyarakat Indonesia di sana.

Sulit saya jelaskan, apa dan bagaimana “wajah-wajah Allah” itu. Mungkin gambarannya begini. Saya dalam perjalanan ke Australia mengendarai pesawat terbang. Ketika pesawat berada di atas awan, saya melihat ke bumi yang sungguh sangat jauh, saya merasa seperti sedang berada di satu tempat di mana Allah mengundang saya masuk ke alam-Nya. Entah karena saya terlalu enjoy dengan pikiran dan lamunan melihat pemandangan begitu indah, seolah-olah saya diberi petunjuk bahwa alam yang begitu luas inilah yang diciptakan Allah. Saya melihat titik-titik terang di awan membentuk lafadz “Allah”. semacam itulah “wajah” yang diperlihatkan-Nya. Saya kerap menyaksikan apa yang saya anggap “wajah” Allah dalam mimpi dan sesekali dalam kenyataan, saat memandangi ciptaan-Nya yang membuat saya memahami kebesaran-Nya.

 

IS

 

Biodata

Nama: Yusup, alias Sup Yusup, Mang Odon (dalam serial Si Kabayan),

Si Jebleh, dll

Lahir: Tasikmalaya,13 Desember 1939

Isteri: Lie Ye Ing

Anak: Jaka Sutiasa

Alamat: Jl.Sukaasih I No. 5 Ujungberung, Bandung

Sekolah: SD, SMP, SMA di Tasikmalaya mulai 1950-an. Ujian

pelengkap SMA pada 1957.

Pengalaman:

1959 pertama kali hijrah ke Bandung, mendirikan Grup Lawak 4S.

1971 pindah ke Jakarta bergabung dengan Ateng Iskak Grup.

1980-an mendirikan grup lawak D'Bodor bersama Us Us.

1991 pindah lagi ke Bandung bergabung dengan D'Kabayan (Kang

Ibing).

1991 sampai sekarang bekerja di dunia lawak lintas sektoral, tak terikat

grup lawak tertentu. Sering diundang menjadi MC dalam dan luar

negeri.