Penerapan Syariat Islam Bukan Akhir Penyelesaian Kasus Aceh

CONTENTS

BERITA UTAMA WASPADA
KAMIS, 30 SEPTEMBER 1999
_______________________________________________________________________

Penerapan Syariat Islam Bukan Akhir Penyelesaian Kasus Aceh


JAKARTA (Waspada): Penerapan syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh sesuai dengan UU Keistimewaan Aceh, menurut beberapa pembicara pada sebuah dialog, bukanlah merupakan akhir penyelesaian berbagai masalah yang menimpa daerah tersebut.

"Karena bagi masyarakat Aceh, keadilan terhadap mereka, seperti keadilan ekonomi, hukum dan perlakuan kemanusiaan justru merupakan hal yang penting," kata Koordinator Kontras Munir SH dalam Dialog Nasional bertajuk "Membincang Implementasi Syariat Islam untuk DI Aceh" di Auditorium Adhyana Wisma Antara Jakarta, Rabu (29/9).

Syariat Islam bagi masyarakat Aceh, katanya, sejak dulu sudah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan mereka, sehingga kalaupun dipaksakan untuk menerapkan syariat Islam, maka mesti diikuti kebijakan lain yang merupakan rangkaian untuk menyelesaikan masalah Aceh.

Munir menyarankan, sebelum penerapan syariat Islam itu diberlakukan, pemerintah perlu membuka dialog dengan berbagai elemen masyarakat Aceh guna memberi jawaban atas berbagai problem ketidakadilan yang selam ini terjadi seperti meliputi korban Daerah Operasi Militer (DOM), tindak kekerasan, dan ketidakadilan ekonomi.

"Selain itu, hukum nasional mesti bersifat akomodatif, negara harus mengakui bahwa masyarakat Aceh itu berbeda karena hampir seluruhnya muslim, baru kemudian bisa diterapkan syariat Islam," katanya. Selain Munir, SH dalam sesi pertama dialog yang diselenggarakan Senat Mahasiswa IAIN Jakarta itu tampil juga fungsionaris DPP PBB Rifyal Ka'bah dan Staf Ahli Menkeh HM Zein. Senada dengan Munir, Rifyal Ka'bah mengatakan implementasi syariat Islam di Aceh sebenarnya hanya menunggu waktu saja mengingat selama ini masyarakat Aceh yang mayoritas Islam sejak Islam masuk ke Indonesia telah menerapkan syariat Islam.

"Justru kalau aspirasi tersebut tidak tersalurkan maka dikhawatirkan akan menimbulkan protes dan hal-hal lain yang tidak diinginkan," katanya. Sementara itu, Staf Ahli Menkeh HM Zein mengatakan pensahan UU Keistimewaan Aceh yang memungkinkan penerapan syariat Islam merupakan momen penting bagi umat Islam agar dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Meski perlu penelaahan lebih dalam, katanya, implementasi syariat Islam di Aceh sekarang sudah memiliki landasan formal, karena selain ada UU Keistimewaan Aceh, juga ada UU No 22/1999 tentang pemerintahan daerah yang memungkinkan semakin terbukanya penerapan otonomi yang lebih luas di setiap daerah.(ant)

----------end----------


Tugas Utama GAM
Merdekakan Negeri

BANDA ACEH (Waspada): Tugas utama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memperjuangkan kemerdekaan negeri Aceh, kata Abu Tausi, biro penerangan GAM wilayah Meureuhom Daya kepada Waspada, Rabu (29/9) malam. "Tugas memberantas maksiat, tidak termasuk dalam agenda tugas operasional GAM, melainkan tugas para alim ulama" lanjut juru bicara wilayah ini kepada Waspada via SLJJ dari tempat persembunyiannya.

Abu Tausi menjelaskan bahwa dia bukan panglima wilayah Meureuhom Daya, Aceh Barat sebagaimana diberitakan harian ini Rabu (29/9) dengan Judul 'GAM Lancarkan Operasi Pembersihan Maksiat'. "Saya hanya sebagai biro penerangan GAM wilayah Meureuhom Daya," kata Abu Tausi.

Upaya pembersihan tempat-tempat maksiat adalah tugas ulama semata, bila negeri ini sudah merdeka. Dia juga menjelaskan wilayah operasional Meureuhom Daya dengan panglima wilayahnya Abu Arafah, meliputi kawasan Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, hingga Arongan, Kecamatan Samatiga, Aceh Besar. (cta)

----------end----------


Pengungsi Di Pidie 10.000 Jiwa:
Seorang Wanita Melahirkan Di Kamp

SIGLI (Waspada): Arus pengungsian dari Kecamatan Pegunungan Geumpang Kabupaten Pidie, terus bertambah hingga telah mencapai 10.000 jiwa. Kondisi mereka dilaporkan semakin memprihatinkan. Di samping arus pengungsi yang terus bertambah mengakibatkan persediaan pangan mulai menipis, juga puluhan di antaranya terserang mencret dan berbagai jenis penyakit lainnya. Juga dilaporkan seorang wanita melahirkan bayinya tanpa bidan di kamp pengungsian, Rabu (29/9).

Warga kecamatan pegunungan paling ujung Kabupaten Pidie itu setiap hari mengungsi ke komplek masjid ulama kharismatik Abu Di Beureueh, Beureunuen, Kecamatan Mutiara. Mereka dengan menempuh jarak 86 kilometer menumpangi sejumlah truk, pick up, dan bus umum terus melakukan eksodus karena khawatir akan terjadi kontak senjata antara kelompok sipil bersenjata dengan aparat keamanan yang sering melakukan operasi pada malam hari, kata seorang pengungsi.

Arus pengungsi yang terus bertambah itu, sebagian besar dari warga Geumpang sudah melakukan eksodus sejak sebulan lalu. "Mereka umumnya sangat trauma semasa DOM maupun pasca DOM," kata koordinator pengungsi Beureunuen, Rusli. Selain warga Geumpang, yang mengungsi juga warga Tangse, Titeu Keumala dan Tiro Truseb. Mereka sejak mengungsi belum pernah pulang, karena dihantui kecemasan dan ketakutan. Sebagian juga beralasan belum pulang karena rumah mereka sudah dibakar ketika mengungsi.

Menurut Rusli, karena pengungsi yang terus bertambah menyebabkan komplek Masjid Abu Di Beureueh menjadi sempit sehingga sebagian mereka terpaksa dipindah atau ditampung di Meunasah Baro Barat Jaman. Tak tertampung di sejumlah bangunan yang ada, kini terpaksa tidur di tenda darurat. "Kami prihatin dengan kondisi mereka, bila musim hujan seperti sekarang lingkungannya menjadi sangat becek," tambah Rusli.

Selain lokasi pengungsi menjadi becek di saat hujan sehingga mudah terserang penyakit, kini persediaan pangan mulai menipis. Akibatnya panitia telah tertunggak utang puluhan juta rupiah. Persediaan beras yang sangat menipis, perlu perhatian semua pihak, katanya.

Kepala Puskesmas Mutiara dr. Abd. Hamid, M.Si mengakui, puluhan pengungsi terserang berbagai penyakit seperti ispa, batuk, dan demam. Sedangkan puluhan yang terserang mencret.

Seorang aktivis Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Ir. Nurtini mengatakan, seorang wanita pengungsi terpaksa melahirkan bayinya di kamp pengungsian Rabu pagi dalam keadaan sangat darurat. "Alhamdulillah, ibu dan bayi yang dilahirkan itu, kedua-duanya selamat," kata Noni, panggilan akrab Ir. Nurtini yang juga ikut membantu proses kelahiran bayi tersebut, tanpa menyebutkan siapa nama wanita yang baru saja melahirkan bayinya itu. (b18)

----------end----------


Korem 012 Gelar Parade Hukum
Untuk Anggota Yang Salah

BANDA ACEH (Waspada): Danrem 012/Teuku Umar Kolonel Czi Syarifuddin Tippe, SIP, M.Si mengatakan, pihaknya akan menggelar parade hukum terhadap setiap anggota TNI yang melakukan kesalahan di lapangan. Kesalahan dimaksud tidak saja untuk prajurit yang melanggar hukum, tapi juga atasannya yang salah dalam melakukan tugas teritorial, agar mereka tahu persis tugas dan fungsi sebenarnya sesuai garis sapta marga dalam mengabdi diri untuk negara dan bangsa.

Danrem 012/TU didampingi kandidat Kasdam I/Iskandarmuda Kolonel Zulkarnaen Usman mengungkapkan pada penjelasan pers yang dilanjutkan dengan dialog panjang hampir lima jam Rabu (29/9) petang. Pada sisi lain Danrem mengutarakan, sejak ditariknya TNI dari desa desa, telah membuka peluang bagi anak bangsa yang mempunyai kepentingan lain untuk mengembangkan misinya, berupa operasi simpatik dan kampanye GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

Sejak penarikan itu, memang kontak senjata langsung antara aparat dengan GBPK (Gerakan Bersenjata Pengacau Keamanan) cenderung menurun, tapi dalam segi tataran politik justru memperlihatkan gejala peningkatan cukup tajam. Karena itu katanya, Aceh belum dapat dikategorikan sebagai daerah yang aman, melainkan kalah populer dengan Timor Timur.

Keberadaan GAM di daerah ini terbagi dua fraksi dan keduanya ingin mendirikan negara merdeka. Bedanya GAM pengikut Hasan Tiro lebih radikal dan menghalalkan segala cara. GAM pengikut Dr. Hoesaini Hasan lebih diplomatis. Selain itu ada kelompok kriminal bersenjata yang melakukan perampokan dan pengompasan dengan cara menempel diri di balik dan mengatasnamakan GAM. GAM ini tidak mau tahu dengan tujuan mereka atau tidak, yang penting meraup keuntungan pribadi dan kelompoknya semata.

Semua rakyat Aceh perlu mewaspadai setiap gerakan yang muncul, tidak lain kecuali ingin mengobok-obok Aceh yang agamais, mereka silau melihat pilar aqidah yang begitu kokoh. Boleh jadi, praktek mengoyang aqidah secara nasional dimulai di Serambi Mekkah. Karena itu hati-hati, apalagi selain ada organisasi massa yang tak sesuai dengan bingkai Pancasila juga ada mahasiswa radikal muncul di bumi kita ini, tandasnya.

Danrem yang sempat mengantongi dua SK yaitu SK Danrem 012 Bukit Barisan dan Iskandar Muda ini mensyilir kelompok antipancasila ini sudah mencoba memanfaatkan para ulama untuk tujuan misi politiknya. Tak heran mereka menggunakan public figurensional seperti Amin Rais dan Gus Dur untuk mengakui legitimasinya. Untuk menghadapi dan memberikan penjelasan terhadap mahasiswa radikal ini, tambah kandidat Kasdan Iskandar Muda, jangan kita, orang tuanya sendiri sudah tak didengar lagi, meskipun jumlahnya minor. Mahasiswa Unsyiah sekitar 15.000 orang, kelompok ini hanya seribu orang saja tuturnya. (tim)

----------end----------


Delegasi Kemanusiaan Trisakti Di Aceh

BANDA ACEH (Waspada) : Delegasi Kemanusiaan Universitas Trisakti Jakarta yang berada di Aceh sejak 17 September lalu, akan membawa berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di daerah ini ke Jakarta dan berupaya memasukkannya dalam salah satu agenda Sidang Umum MPR.

Masukan-masukan yang kami peroleh selama melakukan investigasi di Aceh, bersama-sama mahasiswa universitas lainnya di Jakarta akan kami jadikan pressure untuk menekan pemerintah, tegas Koordinator Delegasi Kemanusiaan Trisakti, John Muhammad, kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (29/9).

Delegasi Kemanusiaan terdiri dari lima ketua Senat Mahasiswa Fakultas SMF di Universitas Trisakit Jakarta, masing-masing John Muhammad, (Teknik Sipil), Usman Hamid (Hukum), Ivan Haeqal (Teknik Pertambangan), Lukman Sungkar (Ekonomi) dan Reby Kusumajaya (Kedokteran). Selama di lapangan, mereka didampingi Mukminan, Ketua Umum BEMA Unsyiah. Menurut dia, tragedi Aceh dan seperti juga tragedi kemanu-siaan lainnya seperti tragedi 12 Mei 1998 di Trisakti, tragedi Tanjung Priok, Lampung, Semanggi, penculikan aktivis, Timor Timur serta Ambon, jelas-jelas merupakan pencerminan tidak adanya penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

Kedatangan delegasi kemanusiaan ini ke Aceh, kata dia, selain merupakan perjalanan silaturrahmi sesama korban kekerasan negara, juga dalam rangka untuk mengingatkan kembali kepada pemerintah bahwa kasus-kasus tragedi kemanusian di Indonsia khususnya di Aceh, hingga kini masih belum terselesaikan, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali terus menerus menggemakan dan melakukan perlawanan perjuangan menegakkan HAM.

Pernyataan Sikap
Dalam kesempatan itu, Delegasi Kemanusiaan Trisakti juga menyampaikan enam butir pernyataan sikap yang dibacakan Usman Hamid, Ketua SMF Hukum Univesitas Trisakti. Pertama, menuntut segera pertanggungjawaban negara atas seluruh pelanggaran hukum dan HAM yang terjadi di Aceh, sekaligus mengungkapkan dan menindak seluruh pelaku kekerasan oleh TNI di Aceh, baik semasa maupun pasca DOM. Kedua, menuntut pemulihan lembaga penegakan hukum dan HAM di Aceh. Ketiga, meminta pertanggungjawaban pemerintah dalam pemulihan jaminan keselamatan, kepercayaan dan kesejahteraan serta pengembalian mata pencaharian rakyat Aceh. Keempat, demi tercapainya penyelesaian yang terbaik untuk Aceh dan Indonesia, maka kami mendukung terlaksananya Musyawarah Masyarakat Aceh yang melibatkan semua komponen masyarakat di Aceh serta pihak-pihak terkait. Kelima, tuntutan referendum adalah tuntutan yang benar-benar nyata dan merupakan suatu keharusan untuk segera dilaksanakan agar tragedi Aceh tidak berlarut-larut. Keenam, berkaitan dengan agenda nasional Sidang Umum MPR, maka kami menuntut agar penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia, terutama tragedi Aceh, segera diagendakan dan ditetapkan dalam suatu ketetapan khusus. (b08/b07)

----------end----------


Ribuan Korban DOM Di Aceh
Utara Belum Peroleh Banpres

KRUENG GEUKUEH (Waspada): Ribuan korban DOM di Aceh Utara hingga saat ini belum mendapat dana bantuan Presiden. Para korban yang belum mendapat Banpres itu terdiri dari kasus perkosaan, penjarahan harta benda, pemerasan uang tebus nyawa, penyiksaan dan anak yatim.

Sedangkan Banpres yang sudah disalurkan sebesar Rp1.026 miliar hanya kepada korban DOM yang mengalami cacat, rumah dibakar atau dirusak aparat keamanan, kata Koordinator TPF Aceh Utara TS Sani menjawab pertanyaan Waspada Selasa (28/9).

Menurut TS Sani, TPF Aceh Utara sudah bekerja keras dalam mengumpulkan data korban DOM dimulai sejak Agustus hingga Desember 1998. Namun berhubung masih banyaknya para korban DOM di 26 Kecamatan yang belum terdata, Tim Pencari Fakta (TPF) membuka kembali pendataan tahap kedua hingga 30 April 1999.

TS Sani belum dapat memberikan data yang pasti berapa jumlah korban DOM yang tewas, hilang, perkosaan, penjarahan, pembakaran maupun penyiksaan. Sebenarnya semua data korban DOM di Aceh Utara sudah lengkap. Hanya saja dalam pendataan tahap kedua Desember 1998 - 30 April 1999 sedang diproses, namun Ketua TPF Drs H Sulaiman Abbas minta dipending dulu. Sehingga proses berbagai kasus tersebut terpaksa kami tunda dulu. Padahal Bupati Aceh Utara Ir H Tarmizi Karim sudah setuju agar proses data korban DOM di Aceh Utara dituntaskan, ujarnya.

2.155 Yatim DOM

Begitupun TS Sani memberikan angka sementara anak yatim korban DOM Aceh Utara yang dinilai masih terlunta-lunta sebanyak 2.155 orang. Dirincikan, 946 orang masih duduk dibangku SD/MIN, 390 orang siswa SLTP, 117 siswa SLTA, 2 orang Akademi (D3), 16 Perguruan Tinggi, 184 santri Pesantren dan 501 orang anak korban DOM Drop Out (putus sekolah). TS Sani tampak sangat kesal terhadap sikap Ketua TPF yang meminta proses pendataan korban DOM tahap kedua itu ditunda dulu. Kami tidak ingin kerja setengah-setengah. Sistem seperti itu tergolong pekerjaan sia-sia mengurus tenaga dan pikiran yang sangat melelahkan. (char).