UNIVERSITAS TRI SAKTI INVESTIGASI KASUS ACEH
BANDA ACEH, Radio Nikoya-FM (Kamis, 30/9). Melihat persoalan Aceh yang tidak
terselesaikan dan dalam rangka kembali mengingatkan kepada Pemerintah Pusat
bahwa kasus-kasus tragedi kemanusiaan belum diselesaikan,Tim delegasi
kemanusiaan dari Universitas Tri Sakti Jakarta yang beranggotakan 6 orang
yang kesemuanya adalah mahasiswa datang ke Aceh melakukan perjalanan
silaturrahmi sesama korban kekerasan negara,Tim yang berada di Aceh sejak
tanggal 17 - 29 September 1999 selain mengadakan silaturrahmi mereka juga
memberikan bantuan berupa sembako dan obat-obatan. Menurut ketua tim
delegasi kemanusiaan John Muhammad yang di temui oleh reporter Nikoya FM,
mengatakan, selama di Aceh mereka juga mendapat banyak informasi dan
fakta-fakta yang dapat membantu menyelesaikan tragedi Aceh ini.
Dari hasil investigasi di lapangan tim delegasi kemanusiaan Universitas Tri
Sakti mengeluarkan menyatakan sikapnya, antara lain, menuntut segera
pertanggungjawaban negara atas seluruh pelanggaran hukum dan HAM yang
terjadi, menuntut pemulihan lembaga penegakkan hukum terutama di Aceh,
meminta pertanggungjawaban pemerintah dalam pemulihan jaminan keselamatan,
kepercayaan dan kesejahteraan mata pencaharian rakyat Aceh, mendukung
terlaksananya musyawarah masyarakat Aceh, tuntutan referendum adalah
tuntutan yang benar-benar nyata, menuntut supaya mengangendakan tragedi Aceh
dalam sidang umum MPR.
Mereka juga menyatakan bahwa sesampainya di Jakarta, akan berusaha
mensosialisasikan masalah Aceh dalam bentuk konferensi pers dan memanfaatkan
momentum-momentum nasional untuk dapat digunakan dalam mengangkat opini
Aceh. Demikian, John Muhammad selaku ketua tim delegasi kemanusiaan dari
Universitas Tri Sakti dalam jumpa pers di Senat Universitas Syiah Kuala
Darussalam Banda Aceh Rabu (29/9), ia juga berharap supaya seluruh elemen
gerakan mahasiswa untuk terus melakukan perlawanan dan menjaga solidaritas
perjuangan perubahan menuju tegaknya kemerdekaan HAM yang berkeadilan serta
beradab. (Andria.S)
________________________________________________________
PAKAI JILBAB KARENA TAKUT PADA MANUSIA
SYARIAT ISLAM UNTUK ACEH CHECK KOSONG
BANDA ACEH, Radio Nikoya-FM (Kamis, 30/9) Perkembangan di Daerah Istimewa
Aceh, sepertinya tidak pernah habis dengan berbagai rentetan permasalahan,
belum selesai kasus pelanggaran HAM semasa DOM, kali ini Aceh muncul pro dan
kontra atas pemaksaan menggunakan Jilbab (kerudung), berbagai opini muncul
dari kalangan masyarakat khusus kaum perempuan, diantaranya ada yang
mengatakan bahwa hal demikian merupakan kekerasan terhadap perempuan,
dikarenakan kaum hawa yang menggunakan Jilbab sekarang mengaku lantaran
adanya pemaksaan, Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kejadian untuk
memaksakan perempuan untuk menggunakan Jilbab dengan pengguntingan rambut
atau merobek pakaian, hingga timbul pertanyaan, apakah jika tidak
menggunakan Jilbab lalu mereka merobek rok perempuan, hal itu cara yang
Islami ? Apakah system ajaran agama Islam itu dengan cara kekerasan seperti
itu?
Pimpinan LSM Flower Aceh, Soraya, kepada reporter Radio Nikoya FM, Rabu
(29/9) mengatakan, hal seperti itu merupakan sebuah kekerasan terhadap
perempuan. Memaksakan perempuan untuk memakai Jilbab dengan cara menggunduli
rambut dan memotong pakaian yang dipakai, sudah bisa disebut kekerasan.
Untuk membuat suasana lebih Islami, apakah kalau alasannya perempuan tidak
menggunakan rok panjangan lalu harus dipotong, apakah memang system dalam
Islam itu menggunakan bentuk kekerasan. Menurut Soraya, jika ada upaya
mengajak perempuan di Aceh memakai Jilbab, hal itu oke saja, tetapi
bagaimana cara melakukannya, hal itu yang harus dipertanyakan dengan jelas,
kemudian harus ada hukum yang jelas, siapa yang harus bertanggung jawab atau
siapa yang berperan untuk mensosialisasikannya, dan lembaga mana yang
berperan, yang bertanggung jawab, yang ditunjuk, yang disepakati, untuk
mengatur hal ini dengan jelas, misalnya systemnya seperti apa,
sosialisasinya bagaimana, pelaksanaan dilapangan kayak apa, karena menurut
Soraya, kebanyakan perempuan memakai Jilbab di Aceh bukan karena Syariat
Islam, tetapi karena takut kepada manusia.
Dari berbagai opini yang dihimpun dari kalangan masyarakat di Banda Aceh,
khususnya kaum perempuan, ternyata tidak sedikit pula yang menyetujui sikap
pemaksaan menggunakan Jilbab dengan ancaman penggundulan rambut atau
perobekan pakaian , seorang Ibu rumah tangga yang ditemui di pusat keramaian
kota Banda Aceh, kepada reporter Radio Nikoya FM, menuturkan, bahwa ia
senang dan membiarkan saja jika ada anjuran penggunaan Jilbab dengan
kekerasan, menurutnya, lebih baik pakai Jilbab, lebih bagus orang pakai
Jilbab semuanya di Aceh. Ibu rumah tangga lainnya juga berpendapat yang
sama.
Lain halnya lagi apabila kaum perempuan diberikan peraturan menggunakan
Jilbab, tetapi bukan menganjurkan dengan cara pemaksaan dan kekerasan,
karena cara seperti itu justru mengarah ke pelanggaran HAM. Apalagi Aceh
saat ini sedang memperjuangkan HAM, hal itu seperti yang di ungkapkan oleh
seorang Ibu yang tidak ingin disebutkan namanya, kini bekerja sebagai PNS di
Aceh, menurutnya, ia tak setuju, karena cara seperti itu melanggar Hak Asasi
Manusia, itu adalah cara pemaksaan, sedangkan kita di Aceh sedang menegakkan
HAM, kalau sampai menggunduli atau memotong rambut perempuan yang tak
ber-Jilbab, berarti itu melanggar HAM dan tak ada gunanya menggunakan Jilbab
itu, karena menurutnya, dengan Jilbab itu mencerminkan tatacara kita
berbicara dan kerjakan.
Perkembangan terakhir di Aceh, yang ingin menonjolkan Syariat Islam,
ternyata masih belum terlalu jelas dilaksanakan, pekan lalu seorang Ulama
Dayah dari Aceh Selatan, bernama Teungku ZamZam, mengatakan bahwa penawaran
Syariat Islam untuk Aceh oleh pemerintah pusat, hanyalah check kosong,
karena menurutnya bagaimana mungkin UU Keistimewaan Aceh itu yang didalamnya
terdapat juga pemberlakuan Syariat Islam di Aceh diterima oleh masyarakat,
sementara para ulama di Aceh tidak diajak membidani RUU itu.
News Division
RADIO NIKOYA 106.15 FM
Banda Aceh Hit Radio Station
URL http://come.to/nikoyafm
|