NU-Muhammadiyah:
Saatnya Umat Bersatu!
Persatuan umat Islam bukan
mimpi.
NU-Muhammadiyah telah memulai.
Kapan lagi umat bersatu kalau bukan sekarang?
|

|
Pengajian
akbar yang dilaksanakan NU dan Muhammadiyah beberapa waktu lalu sungguh luar biasa. Meski
tak terlalu mendapat tanggapan dari sebagian media massa, tetapi acara itu telah
menorehkan tinta emas dalam lembaran sejarah umat Islam Indonesia. Betapa tidak, dua ormas
besar yang dikenal punya banyak perbedaan itu bisa kumpul bersama. Maka, seperti dikatakan
Prof. DR. Azyumardi Azra, Acara itu bisa diyakini baru pertama kali terjadi sejak
kedua organisasi itu berdiri.
Seolah mimpi, acara istimewa itu tak urung membuat mata yang menyaksikannya berkaca-kaca
karena haru dan bahagia. Setelah berpuluh tahun, semua bayangan perpecahan dan kesenjangan
yang pernah terjadi menjadi tak berarti. Bak panas setahun dihapus hujan se hari.
Pekan berikutnya, kemesraan
NU-Muhammadiyah hangat kembali. Setelah Amien Rais terpilih sebagai ketua MPR RI, bersama
Gus Dur serta sejumlah tokoh lainnya, pergi ke Muara Angke. Dalam suasana penuh
kebahagiaan itu Gus Dur mengatakan bahwa setelah SU MPR, NU dan Muhammadiyah akan
bergandeng tangan menggarap sumber daya manusia (SDM) NU yang tertinggal dari
Muhammadiyah. NU akan dibimbing Muhammadiyah. MPR itu soal kecil dibanding soal SDM
ini. Kalau NU sudah bergandeng tangan dengan Muhammadiyah, Indonesia akan menjadi jaya di
kemudian hari, ujar Gus Dur.
Pernyataan Gus Dur tidak
berlebihan. Langkah kebersamaan yang sudah dimulai oleh dua organisasi terbesar Islam itu,
dapat menjadi gerbang besar bagi lahirnya era baru umat Islam Indonesia. Apalagi, masih
kata Azyumardi, konflik yang selama ini terjadi antara NU dan Muhammadiyah lebih bersifat
psikologis yang Terbentuk karena pengalaman di masa silam, tulis Rektor IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta itu. Khususnya terkait dengan kiprah keduanya dalam politik.
Misalnya, NU pernah merasa disingkirkan Muhammadiyah ketika keduanya sama-sama
bergabung dalam Masyumi. Sementara Muhammadiyah dikhianati NU ketika NU ikut
duduk dalam Nasakom-nya Soekarno. Pada saat yang sama Muhammadiyah mengalami tindakan
represif Soekarno.
Soal kendala psikologis itu juga
dibenarkan Ahmad Bagja, Sekjen PBNU. Baginya, acara itu sangat menggembirakan. Namun,
Memang tidak bisa sedrastis yang kita inginkan, katanya. Sebab, Ada
beban psikologis yang sifatnya historis, sehingga bagaimanapun juga upaya menggolkan
ukhuwah Islamiyah itu harus pelan-pelan. (Lihat: Perjalanan Panjang Menyatukan Umat)
Menurut KH. Nur Iskandar SQ,
gagasan itu berasal dari dirinya. Ketika itu muncul gagasan melakukan kegiatan
bersama. Tepatnya bulan Ramadhan lalu. Kumpulnya di pesantren saya. Saya isyaratkan untuk
melakukan doa bersama, menjemput lailatul qadar, melalui pemuda Anshar dan
Muhammadiyah.
Lalu? Dari situ nampaknya kemudian mereka mengembangkan untuk mencoba satu ide
gila yaitu mengadakan pengajian Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah ini,
tutur Kyai Nur Iskandar.
Menurut Kiai yang punya pesantren
di Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu, hikmah menarik dari kegiatan tersebut antara
lain bisa menampik image yang selama ini berkembang tentang kedua ormas besar itu.
Ternyata tokoh Muhammadiyah itu tidak seperti yang selama ini kita duga. Ternyata
tokoh NU juga tidak seperti kita duga selama ini, tegasnya.
Apalagi, seperti dijelaskan Ahmad Bagja,
sebelum acara itu, pada bulan Syawal kedua ormas ini juga telah melakukan kerjasama.
Bulan Syawal lalu, telah bersama-sama mendirikan Forum Silaturahmi Organisasi Massa
Islam. Anggotanya: NU, Muhammadiyah, Jamiatul Wasliyah, Persis, dan Al-Irsyad, jelas
Bagja.
Memang, ada juga yang menduga acara itu hanya
demi kepentingan politik semata. Prof. Dr. Deliar Noer, misalnya, berpendapat, Kalau
saya melihat itu kepentingan politik. Pengajian itu tidak akan mempersatukan mereka. Faham
agama mereka kan berbeda. Kebiasaan (perbedaan) dalam beragama itu akan dilanjutkan.
Deliar Noer beralasan, Kenapa sesudah ada pernyataan antara Amien Rais dan Gus Dur
baru diadakan pengajian. Pernyataan untuk dukung mendukung dalam rangka politik.
Lain halnya dengan KH. Rusyad Nurdin.
Menurutnya, Kalau tujuan politik yang berdasar pada Islam dan dapat dimengerti oleh
akal sehat, itu baik. Atau misalnya karena menyadari bahwa kita selama ini seringkali
berbeda faham, sekarang ini mari kita bersatu. Kalau tidak seperti itu ya
sebaliknya.
Karenanya, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Jawa
Barat itu menasehati, Itu harus dikerjakan dengan ikhlas. Seperti yang dilakukan
Muhammadiyah dan NU kemarin, itu dianjurkan Al-Quran. Bekerjasamalah dalam
kebaikan dan taqwa dan janganlah bekerjasama dalam kejahatan dan permusuhan. Masalah
niatan, yang paling tahu ya mereka, NU dan Muhammadiyah. Apakah itu kebaikan atau tujuan
lain, misalnya semata-mata tujuan politik.
Sejalan dengan pandangan Kiai Rusyad, Prof. Dr.
Syafii Maarif juga menegaskan, yang paling penting dalam persatuan adalah masalah hati.
Yang pertama hatinya dulu. Walaupun cara berpikirnya beda tapi hati kita harus
selalu bersama. Kan kita mulai dengan ukhuwah imaniyah, itu penting, ujar Ketua
Muhammadiyah itu.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah
bagaimana kemesraan NU-Muhammadiyah itu dapat menjadi lokomotif bagi persatuan ormas-ormas
lainnya. Apalagi, seperti kata Ketua MUI Pusat, KH. Ali Yafie, Alhamdulillah kita
bisa katakan 10 tahun terakhir ini pembinaannya cukup baik. Terakhir ada tabligh bersama
NU-Muhammadiyah, ini kan suatu lambang ukhuwah yang sangat meyakinkan.
Banyak pihak menaruh harapan dari momentum
penting itu. Setidaknya, sebagai langkah awal yang baik menuju persatuan umat yang lebih
riil. Habib Syaikh bin Ali Al-Jufri, misalnya, menyatakan bahwa acara itu sangat bagus.
Tetapi ia ingin semua tak berhenti sampai di situ. Yang penting realisasinya.
Bertemunya itu bagus. Tapi kalau cuma hangat-hangat tahi ayam, percuma. Jadi itu supaya
dikembangkan dan supaya merata ke daerah-daerah.
Senada dengan Habib Al-Jufri, Drs. Zarkasih
Nur. Ketua PPP menegaskan, Saya berharap kegiatan semacam ini tidak saja pada saat
menjelang Sidang Umum. Agar bisa dijadikan suatu perkembangan terus-menerus, bukan saja di
tingkat pusat atau nasional, tapi sampai ke tingkat bawah. Kalau kekuatan ini bisa
digalang, itu potensi yang sangat menguntungkan bagi umat.
Karenanya, lebih jauh Zarkasih memandang
bahwa persatuan itu tak saja demi kepentingan NU dan Muhammadiyah saja. Tapi untuk umat
Islam. Justru saya katakan tadi, umat, jadi bukan hanya pada NU-Muhammadiyah.
Kenapa? Karena, Efek atau imbasnya itu bagus sekali. Kesatuan umat, yang kebetulan
disponsori oleh Muhammadiyah dan NU, itu bagus sekali, tambah Zarkasih.
Lalu, dari mana memulainya? Agaknya, segalanya
harus dimulai dari para pemimpinnya. Artinya, bila para pemimpin umat ini bersatu, Insya
Allah yang di bawah akan mengikuti saja. Menurut Habib Al-Jufri, sebenarnya umat di bawah
itu baik-baik saja. Kita lihat sendiri, bagaimana pemimpin-pemimpin kita. Saya
katakan almuslimun alal khair, umat Islam dalam keadaan baik, kelemahannya justru di
pimpinannya. Dalam istilah dia, kalau pimpinannya akur, ibarat mengucapkan
waladdhalin, umat tinggal menyahut, Amin.
Ketergantungan umat di bawah kepada sikap
pemimpin di atas itu tak dipungkiri Ahmad Bagja. Itulah, memang di masyarakat selalu
muncul anggapan bila di kalangan elite terjadi perbedaan, maka di kalangan menengah
terjadi konflik, dan di bawah terjadi tawuran. Untuk itu, tambahnya, Ke depan,
perlu menghilangkan suudzon. Dengan momentum reformasi ini maka penting sekali
hal-hal itu dihilangkan, karena sekarang apa-apa terbuka.
Bila ini beres, masalahnya belum selesai.
Sebab, ormas-ormas Islam itu rata-rata telah memiliki juga wadah politik. Muhammadiyah
punya PAN. NU punya PKB, PKU, PNU, dan SUNI. Masyumi ada PBB dan Partai Masyumi. Selain
itu, masih ada sejumlah partai Islam lain di luar induk ormas Islam itu, seperti PK, PUI,
PSII, dan PSII 1905. Inilah mungkin pekerjaan rumah yang harus dipecahkan. Sebab,
seringkali kepentingan politik partai bertabrakan dengan kepentingan ormas-ormas itu.
Karena memang politik mempunyai koridor yang kadang membuat kaku dengan ormas,
kata Bagja.
Tapi, jalan keluar belumlah buntu. Adanya forum
silaturrahmi partai Islam barangkali bisa ditindaklanjuti lebih jauh. Tidak saja selama
pemilu, tapi seterusnya. Apalagi, para tokoh partai-partai itu adalah juga kawan dan
sahabat dalam ormas-ormas mereka. Karena kita-kita sudah kenal sebelumnya, sehingga
relatif mudah, sambung Ahmad Bagja.
Kedua, kedekatan Amien dan Gus Dur dalam
bingkai poros tengah seharusnya menular kepada orang-orang di bawah mereka. Seperti
diharapkan Nur Iskandar, Ya, dan saya berharap, justru pada elemen kedua setelah Gus
Dur, setelah Mas Amien, baik di lingkungan organisasi massanya ataupun di lingkungan
organisasi politiknya itu mampu mengerti. Setidaknya ada tujuh organisasi pemuda
Islam yang berafiliasi pada NU dan Muhammadiyah. Sebut saja, Ikatan Pelajar Muhammadiyah
(IPM), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Pemuda Muhammadiyah,
Nasiyatul Aisyah (NA).
Sudah saatnya mereka melepas baju kelompok dan
menghilangkan pandangan organisasi yang sempit. Persatuan barisan tidak menafikan
keberadaan kelompok atau organisasi. Tapi visi perjuangan Islam tak boleh dikalahkan oleh
kecenderungan apalagi sikap egois dan fanatik kelompok. Alhamdulillah, koordinasi antar
ormas pemuda itu juga sudah dimulai. Seperti diungkapkan Nur Iskandar, Saya sudah
mendorong dari elemen pemudanya, maju dengan langkah yang demikian cepatnya. Untuk
kemudian mereka melakukan gerakan-gerakan di daerah-daerah.
Tentu masih ada sederet ormas pemuda lain yang
membawa aspirasi Islam, selain tujuh ormas pemuda itu. Ada Himpunan Aktivis Mahasiswa
Muslim antar Kampus (HAMMAS), laskar Jundullah, laskar Bulan Sabit, laskar Front Pembela
Islam (FPI), Garda Keadilan, HMI, PII, KAMMI dan sederet nama lain. Masih ada Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII), Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad dan sebagainya.
Ketiga, harus dijauhkan budaya saling curiga. Sebab, dari sanalah kemudian bibit
perseteruan itu akan terus membara dikipas syetan. Makanya, menurut Nur Iskandar,
Jangan dikembangkan kecurigaan terus. Sebab kalau dikembangkan kecurigaan terus,
cita-cita dua orang ini tidak akan tercapai. Namun, tambah Iskandar, Di sektor
politik ini penuh dengan kepentingan kan. Jadi sekarang menurut saya yang terpenting
adalah sikap istiqomah dari rencana besar Gus Dur dan Pak Amien.
Pada akhirnya, segalanya tinggal menunggu
keseriusan semua pihak. Baik para pemimpin umat ini maupun umat Islam sendiri. Yang
sudah-sudahlah. Sudah cukup kita ini menjadi korban. Karena tidak ada kesadaran dari diri
kita sendiri. Jika jiwa ukhuwah ini betul-betul kita pertahankan, kita wujudkan membentuk
suatu jamaah, kita ini tidak usah macam-macam, semua itu takut. Karena kekuatan kita ini
tidak tanggung-tanggung di Indonesia, kata Habib Al-Jufri.
Harapan itu, menurutnya, tidak saja berpulang
kepada NU dan Muhammadiyah saja. Tetapi, Umat Islam seluruhnya. Biarpun yang di PDI
P, yang di Golkar, semua harus bersatu, selaku Islamnya. Sebab organisasi cuma ada di
sini, tapi Islam ada di kubur, di akhirat. Di kubur kan kita ditanya wamaa dienuka (apa
agamamu), bukan apa partai atau golonganmu. Ini yang harus kita upayakan, tandas
Habib Al-Jufri.
Kepada para pemimpin umat ini, Habib
Al-Jufri punya saran khusus, Yang terpenting kita ikutilah apa yang sudah diamalkan
oleh Nabi. Juga para sahabatnya. Selain itu, ia mengharapkan agar para pemimpin umat
ini banyak bersilaturrahmi Agar selalu berkumpul dan musyawarah. tegasnya.
Harapan itu juga disampaikan H. Hussein
Umar. Fenomena Amien Rais dan Gus Dur diharapkan tidak cuma untuk
kepentingan-kepentingan sesaat. Jadi harus terus digalang. Alangkah baiknya kalau diikuti
dengan program-program kegiatan bersama yang nyata dengan melibatkan komponen umat
lainnya, dengan Al Irsyad, Persis, Tazkiyah, Dewan Dakwah. Banyak kan lembaga-lembaga
umat. Selama ini ukhuwah Islamiyah itu diaktualisasikan dalam bentuk menghadapi
tantangan-tantangan sesaat dan itu pun dalam bentuk statemen-statemen. Seharusnya lebih
dari itu.
Semua jerih payah itu semoga tak layu
sebelum berkembang. Apalagi, seperti ditegaskan Prof Ali Yafie, Umat Islam selalu
baik harapan, karena itulah, petunjuk agama kita penuh optimisme. Tidak dari awal apriori.
Kita buka diri untuk bisa berdialog dengan sebaik-baiknya untuk mencari
kemaslahatan. n
Zairofi AM.
Laporan: Alim, Eman, Mia, Wasilah.
Merajut
Pilar Ukhuwah
Menyatukan umat tak sekadar membuat
acara bersama, atau membentuk lembaga. Intinya ada
pada kebersihan hati.
|

|
|
|
|
|
Suatu saat umat Islam akan jadi santapan lezat yang siap dilahap
musuh-musuhnya. Mereka dikerumuni oleh kaum kuffar dalam keadaan tak berdaya. Begitu
kurang lebih sabda Rosulullah yang disampaikan di hadapan para sahabat. Mendengar
pernyataan itu, para sahabat bertanya, Apakah ketika itu jumlah kaum muslimin
sedikit, ya Rosulullah? Tidak, bahkan jumlah kalian pada waktu itu banyak.
Tapi bagai busa yang berada di samudera. Sekali tiup habis tak bersisa. Itu, lantaran pada
diri kalian dihinggapi satu penyakit al-wahn, jawab Rosulullah. Para sahabat kian
penasaran, Apa yang dimaksud dengan al-wahn itu ya Rosulullah? tanya mereka.
Nabi menjawab, Cinta dunia, dan takut mati!
Dialog Rasul dan para sahabat di
atas barangkali merupakan jawaban mengapa kita selalu diperdaya dan jadi bahan permainan
lawan? Kalau kita perluas makna al-wahn dalam konteks kekinian, sungguh sangat relevan.
Umat Islam sulit bersatu karena banyak yang lebih mementingkan hawa nafsu duniawi. Merasa
benar sendiri dan orang lain salah terus, hanya kelompoknya saja yang benar, rakus harta,
gandrung kekuasaan, tapi takut risiko. Semua ini jelas merupakan penghalang persatuan.
Dalam Islam, persatuan adalah
kewajiban sedang perpecahan itu dosa. Allah swt berfirman, Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah
kamu sekali-kali mati melainkan dalam keadaan Islam. Dan berpegang teguhlah kamu ke dalam
tali Allah dan jangan bercerai berai ... (QS. Ali Imron: 103-104). Lalu ayat
selanjutnya, Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah yang munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai
dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah
orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran: 105-106)
Rangkaian ayat di atas menegaskan,
kebaikan seseorang secara pribadi maupun secara kolektif sama-sama memerlukan ukhuwah.
Pada ayat pertama, setelah diperintahkan untuk bertaqwa dengan sebenar-benar taqwa, umat
Islam diperintahkan untuk berpegang teguh dengan tali Allah dan jangan bercerai-berai.
Lalu pada ayat kedua, setelah berbicara tentang tugas berdakwah secara kolektif, maka
larangan untuk bercerai berai itu lebih ditegaskan lagi.
Sunnah Rosulullah juga banyak
berbicara tentang urgensi persatuan dan kesatuan itu. Misalnya hadits yang diriwayakan
oleh Imam Bukhari, Janganlah saling membenci, saling iri hati saling membuat makar.
Tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Tidak boleh seorang muslim
menghindari saudaranya di atas tiga hari.
Persatuan umat, tidak berarti
menghapuskan perbedaan pendapat. Karena perbedaan termasuk bagian dari sunnatullah yang
tak mungkin berubah. Dalam istilah DR. Yusuf Qardhawi, perbedaan dalam Islam itu hanya
merupakan ikhtilafutanawwu (perbedaan variatif) dan bukan ikhtilafut tadhadh
(perbedaan yang bersifat pertentangan). Ia menambahkan, perbedaan yang bersifat variatif
ini senantiasa merupakan sumber kekayaan, bahkan menjadi salah satu ayat Allah
menunjukkan keagungan kekuasaan-Nya dan keindanan kebijaksanan-Nya.
Lalu, bagaimana cara menggalang
persatuan umat? Ada beberapa sikap dasar yang harus dimiliki kaum muslimin. Pertama, perlu
adanya keikhlasan hati. Tanpa itu, persatuan umat secara organisasi atau lembaga hanya
semu belaka. Allah swt: Andai kau infakkan semua apa yang ada di muka bumi
(untuk mempersatukan mereka), niscaya kalian tidak akan mampu untuk mengikat hati mereka.
Allah lah yang menyatukan hati mereka. (QS.Al-Anfal:63)
Banyak kasus perpecahan yang
terjadi, secara lahir terlihat sebagai dampak perselisihan pendapat. Padahal sebenarnya
perselisihan itu muncul karena faktor egois dan memperturutkan hawa nafsu. Akibatnya,
dalam mempertahankan suatu pendapat, orang bisa melakukan kecaman yang pedas dan
berlebihan terhadap yang tidak sependapat.
Kedua, meninggalkan fanatisme baik
bersifat individu, mazhab atau golongan. Sikap fanatik buta itu dikecam oleh Allah.
Seperti dalam firman-Nya, Dan apabila dikatakan kepada mereka, Ikutilah
apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab, (Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami, (Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk? (QS. Al-Baqarah: 170)
Dalam masalah Fiqh, para ulama dan
salafushalih berusaha untuk menjauhkan diri dari sikap fanatik. Mereka lebih mengutamakan
kebenaran, meski kebenaran itu tidak datang dari dirinya. Imam Syafii, misalnya,
mengatakan, Demi Allah, aku tidak peduli apakah kebenaran itu nampak melalui lidahku
atau melalui lidah orang lain.
Ketiga, menumbuhkan prasangka baik
kepada orang lain. Allah melarang hamba-Nya untuk merasa suci sementara orang lain selalu
keliru dan kotor. Dalam firman-Nya, Allah swt menjelaskan,Dan Dia lebih
mengetahui tentang kamu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin
dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling
mengetahui tentang orang yang bertaqwa (QS. An-Najm: 32) Karenanya, menurut
para salafusshalih, berprasangka baik kepada Allah dan kepada manusia merupakan cabang
keimanan yang terbesar.
Keempat, tidak menyakiti dan
mencela pihak lain. Banyak contoh dari ulama dahulu bagaimana mereka meretas persatuan dan
persaudaraan. Salah satunya, surat ilmiah yang mengagumkan yang pernah dikirimkan oleh
seorang ulama fiqih besar dari Mesir, Al-Laits bin Saad kepada Imam Malik. Dalam
surat itu ia mengemukakan pandangannya dengan bahasa yang sopan dan halus tentang berbagai
masalah yang diperselisihkannya dengan Imam Malik. Di antara isi surat itu, Amma
badu. semoga Allah memaafkan kami dan Anda serta memberikan balasan yang baik di
dunia dan akhirat. Saya bergembira telah menerima surat Anda yang mengabarkan bahwa Anda
dalam keadaan baik. Semoga Allah senantiasa mengaruniakan kesejahteraan tersebut kepada
Anda dan menyempurnakannya dengan memberikan pertolongan untuk mensyukurinya. Sesungguhnya
telah sampai berita kepada Anda bahwa saya telah berfatwa kepada masyarakat dengan
beberapa fatwa yang bertentangan dengan yang dianut oleh masyarakat di tempat Anda. Saya
merasa takut pada diri saya sendiri dengan adanya orang-orang yang berpegang kepada apa
yang saya fatwakan, karena masyarakat telah mengikuti para penduduk Madinah yang sama-sama
kita ketahui bahwa di sanalah tempat hijrah dan turunnya Al-Quran. Apa yang telah
Anda tulis tentang hal tersebut insya Allah benar dan saya sangat menghargainya. Tidak ada
seorang ulama yang lebih membenci fatwa yang ganjil (menyalahi jumhur). Tidak ada orang
yang lebih mendukung fatwa-fatwa mereka apabila mereka telah bersepakat, selain
daripadaku. Segala puji bagi Allah. Penguasa Alam semesta, tidak sekutu bagi-Nya.
Setelah itu Al-Laits melanjutkan suratnya dengan mengemukakan sebab-sebab perbedaan
pendapat antara dirinya dan Imam Malik.n
Zairofi
|