TELAAH KHUSUS

 

NU-Muhammadiyah:
Saatnya Umat Bersatu!
Persatuan umat Islam bukan mimpi.
NU-Muhammadiyah telah memulai.
Kapan lagi umat bersatu kalau bukan sekarang?

 

wpe13.jpg (7571 bytes)

Pengajian akbar yang dilaksanakan NU dan Muhammadiyah beberapa waktu lalu sungguh luar biasa. Meski tak terlalu mendapat tanggapan dari sebagian media massa, tetapi acara itu telah menorehkan tinta emas dalam lembaran sejarah umat Islam Indonesia. Betapa tidak, dua ormas besar yang dikenal punya banyak perbedaan itu bisa kumpul bersama. Maka, seperti dikatakan Prof. DR. Azyumardi Azra, “Acara itu bisa diyakini baru pertama kali terjadi sejak kedua organisasi itu berdiri.”
Seolah mimpi, acara istimewa itu tak urung membuat mata yang menyaksikannya berkaca-kaca karena haru dan bahagia. Setelah berpuluh tahun, semua bayangan perpecahan dan kesenjangan yang pernah terjadi menjadi tak berarti. Bak panas setahun dihapus hujan se hari.
          Pekan berikutnya, kemesraan NU-Muhammadiyah hangat kembali. Setelah Amien Rais terpilih sebagai ketua MPR RI, bersama Gus Dur serta sejumlah tokoh lainnya, pergi ke Muara Angke. Dalam suasana penuh kebahagiaan itu Gus Dur mengatakan bahwa setelah SU MPR, NU dan Muhammadiyah akan bergandeng tangan menggarap sumber daya manusia (SDM) NU yang tertinggal dari Muhammadiyah. “NU akan dibimbing Muhammadiyah. MPR itu soal kecil dibanding soal SDM ini. Kalau NU sudah bergandeng tangan dengan Muhammadiyah, Indonesia akan menjadi jaya di kemudian hari,” ujar Gus Dur.
          Pernyataan Gus Dur tidak berlebihan. Langkah kebersamaan yang sudah dimulai oleh dua organisasi terbesar Islam itu, dapat menjadi gerbang besar bagi lahirnya era baru umat Islam Indonesia. Apalagi, masih kata Azyumardi, konflik yang selama ini terjadi antara NU dan Muhammadiyah lebih bersifat psikologis yang “Terbentuk karena pengalaman di masa silam,” tulis Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. Khususnya terkait dengan kiprah keduanya dalam politik. Misalnya, NU pernah merasa “disingkirkan” Muhammadiyah ketika keduanya sama-sama bergabung dalam Masyumi. Sementara Muhammadiyah “dikhianati” NU ketika NU ikut duduk dalam Nasakom-nya Soekarno. Pada saat yang sama Muhammadiyah mengalami tindakan represif Soekarno.
          Soal kendala psikologis itu juga dibenarkan Ahmad Bagja, Sekjen PBNU. Baginya, acara itu sangat menggembirakan. Namun, “Memang tidak bisa sedrastis yang kita inginkan,” katanya. Sebab, “Ada beban psikologis yang sifatnya historis, sehingga bagaimanapun juga upaya menggolkan ukhuwah Islamiyah itu harus pelan-pelan.” (Lihat: Perjalanan Panjang Menyatukan Umat)
          Menurut KH. Nur Iskandar SQ, gagasan itu berasal dari dirinya. “Ketika itu muncul gagasan melakukan kegiatan bersama. Tepatnya bulan Ramadhan lalu. Kumpulnya di pesantren saya. Saya isyaratkan untuk melakukan doa bersama, menjemput lailatul qadar, melalui pemuda Anshar dan Muhammadiyah.”
Lalu? “Dari situ nampaknya kemudian mereka mengembangkan untuk mencoba satu ide “gila” yaitu mengadakan pengajian Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah ini, ” tutur Kyai Nur Iskandar.
          Menurut Kiai yang punya pesantren di Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu, hikmah menarik dari kegiatan tersebut antara lain bisa menampik image yang selama ini berkembang tentang kedua ormas besar itu. “Ternyata tokoh Muhammadiyah itu tidak seperti yang selama ini kita duga. Ternyata tokoh NU juga tidak seperti kita duga selama ini,” tegasnya.
         Apalagi, seperti dijelaskan Ahmad Bagja, sebelum acara itu, pada bulan Syawal kedua ormas ini juga telah melakukan kerjasama. “Bulan Syawal lalu, telah bersama-sama mendirikan Forum Silaturahmi Organisasi Massa Islam. Anggotanya: NU, Muhammadiyah, Jamiatul Wasliyah, Persis, dan Al-Irsyad,” jelas Bagja.
        Memang, ada juga yang menduga acara itu hanya demi kepentingan politik semata. Prof. Dr. Deliar Noer, misalnya, berpendapat, “Kalau saya melihat itu kepentingan politik. Pengajian itu tidak akan mempersatukan mereka. Faham agama mereka kan berbeda. Kebiasaan (perbedaan) dalam beragama itu akan dilanjutkan.” Deliar Noer beralasan, “Kenapa sesudah ada pernyataan antara Amien Rais dan Gus Dur baru diadakan pengajian. Pernyataan untuk dukung mendukung dalam rangka politik.”
        Lain halnya dengan KH. Rusyad Nurdin. Menurutnya, “Kalau tujuan politik yang berdasar pada Islam dan dapat dimengerti oleh akal sehat, itu baik. Atau misalnya karena menyadari bahwa kita selama ini seringkali berbeda faham, sekarang ini mari kita bersatu. Kalau tidak seperti itu ya sebaliknya.”
        Karenanya, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Jawa Barat itu menasehati, “Itu harus dikerjakan dengan ikhlas. Seperti yang dilakukan Muhammadiyah dan NU kemarin, itu dianjurkan Al-Qur’an. “Bekerjasamalah dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah bekerjasama dalam kejahatan dan permusuhan.” Masalah niatan, yang paling tahu ya mereka, NU dan Muhammadiyah. Apakah itu kebaikan atau tujuan lain, misalnya semata-mata tujuan politik.”
        Sejalan dengan pandangan Kiai Rusyad, Prof. Dr. Syafii Maarif juga menegaskan, yang paling penting dalam persatuan adalah masalah hati. “Yang pertama hatinya dulu. Walaupun cara berpikirnya beda tapi hati kita harus selalu bersama. Kan kita mulai dengan ukhuwah imaniyah, itu penting,” ujar Ketua Muhammadiyah itu.
        Selain itu, yang tak kalah penting adalah bagaimana kemesraan NU-Muhammadiyah itu dapat menjadi lokomotif bagi persatuan ormas-ormas lainnya. Apalagi, seperti kata Ketua MUI Pusat, KH. Ali Yafie, “Alhamdulillah kita bisa katakan 10 tahun terakhir ini pembinaannya cukup baik. Terakhir ada tabligh bersama NU-Muhammadiyah, ini kan suatu lambang ukhuwah yang sangat meyakinkan.”
        Banyak pihak menaruh harapan dari momentum penting itu. Setidaknya, sebagai langkah awal yang baik menuju persatuan umat yang lebih riil. Habib Syaikh bin Ali Al-Jufri, misalnya, menyatakan bahwa acara itu sangat bagus. Tetapi ia ingin semua tak berhenti sampai di situ. “Yang penting realisasinya. Bertemunya itu bagus. Tapi kalau cuma hangat-hangat tahi ayam, percuma. Jadi itu supaya dikembangkan dan supaya merata ke daerah-daerah.”
        Senada dengan Habib Al-Jufri, Drs. Zarkasih Nur. Ketua PPP menegaskan, “Saya berharap kegiatan semacam ini tidak saja pada saat menjelang Sidang Umum. Agar bisa dijadikan suatu perkembangan terus-menerus, bukan saja di tingkat pusat atau nasional, tapi sampai ke tingkat bawah. Kalau kekuatan ini bisa digalang, itu potensi yang sangat menguntungkan bagi umat.”
         Karenanya, lebih jauh Zarkasih memandang bahwa persatuan itu tak saja demi kepentingan NU dan Muhammadiyah saja. Tapi untuk umat Islam. “Justru saya katakan tadi, umat, jadi bukan hanya pada NU-Muhammadiyah.” Kenapa? Karena, “Efek atau imbasnya itu bagus sekali. Kesatuan umat, yang kebetulan disponsori oleh Muhammadiyah dan NU, itu bagus sekali,” tambah Zarkasih.
        Lalu, dari mana memulainya? Agaknya, segalanya harus dimulai dari para pemimpinnya. Artinya, bila para pemimpin umat ini bersatu, Insya Allah yang di bawah akan mengikuti saja. Menurut Habib Al-Jufri, sebenarnya umat di bawah itu baik-baik saja. “Kita lihat sendiri, bagaimana pemimpin-pemimpin kita. Saya katakan almuslimun alal khair, umat Islam dalam keadaan baik, kelemahannya justru di pimpinannya.” Dalam istilah dia, kalau pimpinannya akur, ibarat mengucapkan “waladdhalin”, umat tinggal menyahut, “Amin.”
         Ketergantungan umat di bawah kepada sikap pemimpin di atas itu tak dipungkiri Ahmad Bagja. “Itulah, memang di masyarakat selalu muncul anggapan bila di kalangan elite terjadi perbedaan, maka di kalangan menengah terjadi konflik, dan di bawah terjadi tawuran.” Untuk itu, tambahnya, “Ke depan, perlu menghilangkan su’udzon. Dengan momentum reformasi ini maka penting sekali hal-hal itu dihilangkan, karena sekarang apa-apa terbuka.”
         Bila ini beres, masalahnya belum selesai. Sebab, ormas-ormas Islam itu rata-rata telah memiliki juga wadah politik. Muhammadiyah punya PAN. NU punya PKB, PKU, PNU, dan SUNI. Masyumi ada PBB dan Partai Masyumi. Selain itu, masih ada sejumlah partai Islam lain di luar induk ormas Islam itu, seperti PK, PUI, PSII, dan PSII 1905. Inilah mungkin pekerjaan rumah yang harus dipecahkan. Sebab, seringkali kepentingan politik partai bertabrakan dengan kepentingan ormas-ormas itu. “Karena memang politik mempunyai koridor yang kadang membuat kaku dengan ormas,” kata Bagja.
        Tapi, jalan keluar belumlah buntu. Adanya forum silaturrahmi partai Islam barangkali bisa ditindaklanjuti lebih jauh. Tidak saja selama pemilu, tapi seterusnya. Apalagi, para tokoh partai-partai itu adalah juga kawan dan sahabat dalam ormas-ormas mereka. “Karena kita-kita sudah kenal sebelumnya, sehingga relatif mudah,” sambung Ahmad Bagja.
        Kedua, kedekatan Amien dan Gus Dur dalam bingkai poros tengah seharusnya menular kepada orang-orang di bawah mereka. Seperti diharapkan Nur Iskandar, “Ya, dan saya berharap, justru pada elemen kedua setelah Gus Dur, setelah Mas Amien, baik di lingkungan organisasi massanya ataupun di lingkungan organisasi politiknya itu mampu mengerti.” Setidaknya ada tujuh organisasi pemuda Islam yang berafiliasi pada NU dan Muhammadiyah. Sebut saja, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Pemuda Muhammadiyah, Nasiyatul Aisyah (NA).
        Sudah saatnya mereka melepas baju kelompok dan menghilangkan pandangan organisasi yang sempit. Persatuan barisan tidak menafikan keberadaan kelompok atau organisasi. Tapi visi perjuangan Islam tak boleh dikalahkan oleh kecenderungan apalagi sikap egois dan fanatik kelompok. Alhamdulillah, koordinasi antar ormas pemuda itu juga sudah dimulai. Seperti diungkapkan Nur Iskandar, “Saya sudah mendorong dari elemen pemudanya, maju dengan langkah yang demikian cepatnya. Untuk kemudian mereka melakukan gerakan-gerakan di daerah-daerah.”
        Tentu masih ada sederet ormas pemuda lain yang membawa aspirasi Islam, selain tujuh ormas pemuda itu. Ada Himpunan Aktivis Mahasiswa Muslim antar Kampus (HAMMAS), laskar Jundullah, laskar Bulan Sabit, laskar Front Pembela Islam (FPI), Garda Keadilan, HMI, PII, KAMMI dan sederet nama lain. Masih ada Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad dan sebagainya.
Ketiga, harus dijauhkan budaya saling curiga. Sebab, dari sanalah kemudian bibit perseteruan itu akan terus membara dikipas syetan. Makanya, menurut Nur Iskandar, “Jangan dikembangkan kecurigaan terus. Sebab kalau dikembangkan kecurigaan terus, cita-cita dua orang ini tidak akan tercapai. Namun, tambah Iskandar, “Di sektor politik ini penuh dengan kepentingan kan. Jadi sekarang menurut saya yang terpenting adalah sikap istiqomah dari rencana besar Gus Dur dan Pak Amien.”
        Pada akhirnya, segalanya tinggal menunggu keseriusan semua pihak. Baik para pemimpin umat ini maupun umat Islam sendiri. “Yang sudah-sudahlah. Sudah cukup kita ini menjadi korban. Karena tidak ada kesadaran dari diri kita sendiri. Jika jiwa ukhuwah ini betul-betul kita pertahankan, kita wujudkan membentuk suatu jamaah, kita ini tidak usah macam-macam, semua itu takut. Karena kekuatan kita ini tidak tanggung-tanggung di Indonesia,” kata Habib Al-Jufri.
        Harapan itu, menurutnya, tidak saja berpulang kepada NU dan Muhammadiyah saja. Tetapi, “Umat Islam seluruhnya. Biarpun yang di PDI P, yang di Golkar, semua harus bersatu, selaku Islamnya. Sebab organisasi cuma ada di sini, tapi Islam ada di kubur, di akhirat. Di kubur kan kita ditanya wamaa dienuka (apa agamamu), bukan apa partai atau golonganmu. Ini yang harus kita upayakan,” tandas Habib Al-Jufri.
         Kepada para pemimpin umat ini, Habib Al-Jufri punya saran khusus, “Yang terpenting kita ikutilah apa yang sudah diamalkan oleh Nabi. Juga para sahabatnya.” Selain itu, ia mengharapkan agar para pemimpin umat ini banyak bersilaturrahmi “Agar selalu berkumpul dan musyawarah. ” tegasnya.
         Harapan itu juga disampaikan H. Hussein Umar. “Fenomena Amien Rais dan Gus Dur diharapkan tidak cuma untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Jadi harus terus digalang. Alangkah baiknya kalau diikuti dengan program-program kegiatan bersama yang nyata dengan melibatkan komponen umat lainnya, dengan Al Irsyad, Persis, Tazkiyah, Dewan Dakwah. Banyak kan lembaga-lembaga umat. Selama ini ukhuwah Islamiyah itu diaktualisasikan dalam bentuk menghadapi tantangan-tantangan sesaat dan itu pun dalam bentuk statemen-statemen. Seharusnya lebih dari itu.”
         Semua jerih payah itu semoga tak layu sebelum berkembang. Apalagi, seperti ditegaskan Prof Ali Yafie, “Umat Islam selalu baik harapan, karena itulah, petunjuk agama kita penuh optimisme. Tidak dari awal apriori. Kita buka diri untuk bisa berdialog dengan sebaik-baiknya untuk mencari kemaslahatan.”
n
Zairofi AM.
Laporan: Alim, Eman, Mia, Wasilah.

 

Merajut Pilar Ukhuwah
Menyatukan umat tak sekadar membuat acara bersama, atau membentuk lembaga. Intinya ada
pada kebersihan hati.

 

wpe1B.jpg (9892 bytes)


“Suatu saat umat Islam  akan jadi santapan lezat yang siap dilahap musuh-musuhnya. Mereka dikerumuni oleh kaum kuffar dalam keadaan tak berdaya.” Begitu kurang lebih sabda Rosulullah yang disampaikan di hadapan para sahabat. Mendengar pernyataan itu, para sahabat bertanya, “Apakah ketika itu jumlah kaum muslimin sedikit, ya Rosulullah?” “Tidak, bahkan jumlah kalian pada waktu itu banyak. Tapi bagai busa yang berada di samudera. Sekali tiup habis tak bersisa. Itu, lantaran pada diri kalian dihinggapi satu penyakit al-wahn,” jawab Rosulullah. Para sahabat kian penasaran, “Apa yang dimaksud dengan al-wahn itu ya Rosulullah?” tanya mereka. Nabi menjawab, “Cinta dunia, dan takut mati!”
          Dialog Rasul dan para sahabat di atas barangkali merupakan jawaban mengapa kita selalu diperdaya dan jadi bahan permainan lawan? Kalau kita perluas makna al-wahn dalam konteks kekinian, sungguh sangat relevan. Umat Islam sulit bersatu karena banyak yang lebih mementingkan hawa nafsu duniawi. Merasa benar sendiri dan orang lain salah terus, hanya kelompoknya saja yang benar, rakus harta, gandrung kekuasaan, tapi takut risiko. Semua ini jelas merupakan penghalang persatuan.
          Dalam Islam, persatuan adalah kewajiban sedang perpecahan itu dosa. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah kamu sekali-kali mati melainkan dalam keadaan Islam. Dan berpegang teguhlah kamu ke dalam tali Allah dan jangan bercerai berai ...” (QS. Ali Imron: 103-104). Lalu ayat selanjutnya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran: 105-106)
          Rangkaian ayat di atas menegaskan, kebaikan seseorang secara pribadi maupun secara kolektif sama-sama memerlukan ukhuwah. Pada ayat pertama, setelah diperintahkan untuk bertaqwa dengan sebenar-benar taqwa, umat Islam diperintahkan untuk berpegang teguh dengan tali Allah dan jangan bercerai-berai. Lalu pada ayat kedua, setelah berbicara tentang tugas berdakwah secara kolektif, maka larangan untuk bercerai berai itu lebih ditegaskan lagi.
          Sunnah Rosulullah juga banyak berbicara tentang urgensi persatuan dan kesatuan itu. Misalnya hadits yang diriwayakan oleh Imam Bukhari, “Janganlah saling membenci, saling iri hati saling membuat makar. Tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Tidak boleh seorang muslim menghindari saudaranya di atas tiga hari.”
          Persatuan umat, tidak berarti menghapuskan perbedaan pendapat. Karena perbedaan termasuk bagian dari sunnatullah yang tak mungkin berubah. Dalam istilah DR. Yusuf Qardhawi, perbedaan dalam Islam itu hanya merupakan ikhtilafutanawwu’ (perbedaan variatif) dan bukan ikhtilafut tadhadh (perbedaan yang bersifat pertentangan). Ia menambahkan, perbedaan yang bersifat variatif ini senantiasa merupakan sumber “kekayaan”, bahkan menjadi salah satu ayat Allah menunjukkan keagungan kekuasaan-Nya dan keindanan kebijaksanan-Nya.
          Lalu, bagaimana cara menggalang persatuan umat? Ada beberapa sikap dasar yang harus dimiliki kaum muslimin. Pertama, perlu adanya keikhlasan hati. Tanpa itu, persatuan umat secara organisasi atau lembaga hanya semu belaka. Allah swt: “Andai kau infakkan semua apa yang ada di muka bumi (untuk mempersatukan mereka), niscaya kalian tidak akan mampu untuk mengikat hati mereka. Allah lah yang menyatukan hati mereka.” (QS.Al-Anfal:63)
          Banyak kasus perpecahan yang terjadi, secara lahir terlihat sebagai dampak perselisihan pendapat. Padahal sebenarnya perselisihan itu muncul karena faktor egois dan memperturutkan hawa nafsu. Akibatnya, dalam mempertahankan suatu pendapat, orang bisa melakukan kecaman yang pedas dan berlebihan terhadap yang tidak sependapat.
          Kedua, meninggalkan fanatisme baik bersifat individu, mazhab atau golongan. Sikap fanatik buta itu dikecam oleh Allah. Seperti dalam firman-Nya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami,” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah: 170)
         Dalam masalah Fiqh, para ulama dan salafushalih berusaha untuk menjauhkan diri dari sikap fanatik. Mereka lebih mengutamakan kebenaran, meski kebenaran itu tidak datang dari dirinya. Imam Syafi’i, misalnya, mengatakan, “Demi Allah, aku tidak peduli apakah kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah orang lain.”
          Ketiga, menumbuhkan prasangka baik kepada orang lain. Allah melarang hamba-Nya untuk merasa suci sementara orang lain selalu keliru dan kotor. Dalam firman-Nya, Allah swt menjelaskan,”Dan Dia lebih mengetahui tentang kamu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa” (QS. An-Najm: 32) Karenanya, menurut para salafusshalih, berprasangka baik kepada Allah dan kepada manusia merupakan cabang keimanan yang terbesar.
          Keempat, tidak menyakiti dan mencela pihak lain. Banyak contoh dari ulama dahulu bagaimana mereka meretas persatuan dan persaudaraan. Salah satunya, surat ilmiah yang mengagumkan yang pernah dikirimkan oleh seorang ulama fiqih besar dari Mesir, Al-Laits bin Sa’ad kepada Imam Malik. Dalam surat itu ia mengemukakan pandangannya dengan bahasa yang sopan dan halus tentang berbagai masalah yang diperselisihkannya dengan Imam Malik. Di antara isi surat itu, “Amma ba’du. semoga Allah memaafkan kami dan Anda serta memberikan balasan yang baik di dunia dan akhirat. Saya bergembira telah menerima surat Anda yang mengabarkan bahwa Anda dalam keadaan baik. Semoga Allah senantiasa mengaruniakan kesejahteraan tersebut kepada Anda dan menyempurnakannya dengan memberikan pertolongan untuk mensyukurinya. Sesungguhnya telah sampai berita kepada Anda bahwa saya telah berfatwa kepada masyarakat dengan beberapa fatwa yang bertentangan dengan yang dianut oleh masyarakat di tempat Anda. Saya merasa takut pada diri saya sendiri dengan adanya orang-orang yang berpegang kepada apa yang saya fatwakan, karena masyarakat telah mengikuti para penduduk Madinah yang sama-sama kita ketahui bahwa di sanalah tempat hijrah dan turunnya Al-Qur’an. Apa yang telah Anda tulis tentang hal tersebut insya Allah benar dan saya sangat menghargainya. Tidak ada seorang ulama yang lebih membenci fatwa yang ganjil (menyalahi jumhur). Tidak ada orang yang lebih mendukung fatwa-fatwa mereka apabila mereka telah bersepakat, selain daripadaku. Segala puji bagi Allah. Penguasa Alam semesta, tidak sekutu bagi-Nya.” Setelah itu Al-Laits melanjutkan suratnya dengan mengemukakan sebab-sebab perbedaan pendapat antara dirinya dan Imam Malik.
n
Zairofi