Suara Hidayatullah : Maret 2000/Dzulqa'dah-Dzulhijjah 1420  

Ust. Abdul Gani Kasuba:
“Terus Jihad, Sampai Hak-Hak Kami Dikembalikan”

Hampir semua pengungsi Muslim di Ternate dan Tidore mengenal Ustadz yang murah senyum ini. Setiap kali ia berkunjung ke kamp pengungsi, selalu disambut dengan wajah berbinar-binar. Kehadirannya seakan mampu menghibur penderitaan mereka yang terlanda musibah.

“Saya ini da'i. Tugas da'i itu memberi pertolongan atau penerangan. Jadi siapapun yang membutuhkan pertolongan, selama dalam perbuatan kebaikan, saya tidak bisa menolaknya,” kata alumnus Universitas Madinah ini dengan rendah hati.

Ustadz Abdul Gani Kasuba memang da'i sejati. Panggilan tugas sebagai da'i telah dimulainya sejak dia duduk di Madrasah Tsanawiyah Al-Khairat. Dalam umur yang belia itu Abdul Gani telah berdakwah ke berbagai pulau terpencil di Maluku. Kini, di usianya yang hampir setengah abad, boleh dibilang hampir seluruh pulau di Kepulauan Maluku, baik yang besar maupun yang kecil, sudah ia jelajahi. Maka tak heran putra Poda Hasan ini sangat dikenal oleh seluruh pengurus masjid dan jamaah pengajian di seantero Maluku. Oleh banyak orang, Abdul Gani kerap dijuluki sebagai `Dai Seribu Pulau'.

Sejak kerusuhan meletus, ayah beranak empat ini selalu berada di barisan depan untuk menyantuni dan menolong para korban. Lantaran ringan tangannya dalam memberi pertolongan dan sikap amanahnya, berbagai lembaga bantuan kemanusiaan sangat sering meminta bantuan dirinya untuk mengantar ke daerah-daerah atau pulau-pulau yang sulit dijangkau.

Karena ketokohannya itu, dalam berbagai upaya perdamaian dengan pihak lawan, Abdul Gani hampir selalu dilibatkan. Da'i kelahiran Tobelo (1951) ini berupaya betul untuk memegang teguh perjanjian yang telah dibuat. “Saya selalu meneguhkan perjanjian itu sesuai dengan perintah Allah,” katanya.

Sayang, beberapa kali dibuat perjanjian, pihak lawan sering sekali mengkhianati. Karena itu ia berkesimpulan, pihak kafir memang harus ditindak lebih tegas. Karena sikapnya ini, tak heran bila kemudian Andul Gani menjadi target pihak lawan. Kabarnya, kepalanya dihargai Rp 500 ribu untuk siapapun yang bisa membunuhnya.

Toh itu tidak membuat surut nyali perjuangannya. Kepada ummat Islam di Maluku, kini Abdul Gani bertekad dan mengajak mereka untuk kembali ke daerah masing-masing dengan terhormat. “Betapa malunya wajah kita di hadapan Allah jika hak hidup dan hak beragama kita terampas. Betapa besar dosa ummat Islam Maluku seperti ummat Islam Tobelo, Kao, dan Malifut, jika tidak bisa kembali ke sana lagi. Karena di daerah itu sudah tidak terdengar lagi orang mengumandangkan adzan, apalagi bacaan-bacaan ayat-ayat suci al-Qur'an,” tegasnya.

Tak mudah menjumpai da'i seribu pulau itu. Sebab, setiap kali terjun ke sebuah pulau bersama para mujahidin atau dengan anggota lembaga bantuan kemanusiaan, Abdul Gani selalu tidak langsung pulang. Biasanya dia melanjutkan perjalanan itu dengan safari dari satu pulau ke pulau lainnya.

Setelah membuat janji dan memantau lama, barulah wartawan Sahid Akbar Muzakki yang dikirim ke Maluku berhasil mencegatnya di Ternate, sebelum ia bertolak ke pulau Bacan yang juga sedang bergolak. “Saya mau melihat kondisi perkampungan Muslim yang porak-poranda di pulau Bacan,” ungkap Abdul Gani dalam wawancara di rumahnya, selepas shalat shubuh. Berikut ini petikannya:

Secara kuantitatif ummat Islam di Maluku Utara mayoritas. Tapi kenapa justru ummat Islam yang terusir?

Karena kita selama ini tidak mempunyai niatan untuk memusuhi golongan agama lain, apalagi memerangi mereka. Jadi kita tidak siap menghadapi serangan. Maka kita yang jadi teraniaya.

Anehnya, ketika ada sebagian di antara ummat Islam yang mengumandangkan jihad, membela orang yang teraniaya, ada di antara ummat Islam yang tidak setuju dan menakut-nakuti. Ada yang menuding bahwa yang berjihad itu adalah kalangan Islam yang ekstrim.

Lantas, apa yang dilakukan Ustadz selama berada di medan jihad?

Sebagai da'i, saya hanya memberi peringatan-peringatan kepada mereka. Jangan melampaui batas dalam berjihad. Saya juga memberi siraman rohani kepada mereka agar terus menegakkan syariat Allah dalam medan apapun, termasuk di medan jihad. Alhamdulillah, sekarang ini jiwa para mujahidin itu sedikit terisi dengan ajaran Islam yang benar.

Bahkan ketika para pasukan Kristen atau penduduk Kristen itu tidak mampu lagi menahan serangan para mujahidin, mereka menyerah dan menjadi tawanan para mujahidin. Mereka (tawanan) itupun diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan aturan Islam. Sehingga ada sebagian di antara mereka yang dulunya bengis terhadap Islam, justru mereka kemudian bersyahadat.

Tapi sebagian mujahid ada juga yang masih ragu-ragu terhadap mereka. Jangan-jangan, karena ketakutan lantas mereka masuk Islam. Maka saya juga katakan kepada para tawanan itu, “Jangan karena merasa takut kemudian kau masuk Islam.” Juga saya katakan, “Sekalipun Anda tidak masuk Islam, insya Allah akan aman dan saya akan menjaminnya.”

Apa jawab mereka? “Tidak Ustadz. Sesungguhnya, selama saya menjadi tawanan orang-orang Islam justru harga diri saya menjadi aman dan tenang.”

Menurut pengakuan mereka, selama ini mereka selalu didoktrin oleh para pendetanya untuk selalu benci dan memusuhi Islam. Padahal, menurut pengakuannya, selama ini mereka tidak pernah mendengar ummat Islam akan melakukan kejahatan dan kebencian terhadap orang Kristen.

Di antara mereka ada yang mengatakan di hadapan saya bahwa ternyata GPM yang kita kenal itu bukan singkatan Gereja Protestan Maluku, tetapi Gereja Pembantai Muslim. Begitu katanya.

Saya mempercayai ungkapan itu karena sebagian di antara mereka yang tertawan itu adalah dari kalangan awam, yang masih lugu dan polos. Saya pun mengetahui keseharian mereka sebelum ada peristiwa ini secara pribadi dengan baik. Jadi itulah ungkapan nurani mereka.

Posisi terakhir ummat Islam bagaimana?

Sejauh ini ummat Islam sudah bisa mulai merebut sebagian kecil daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai Kristen. Dan saya sangat yakin Islam akan memenanginya. Tetapi Allah masih menundanya.

Kenapa?

Saya sering mengatakan, keadaan semacam ini akan lama. Selama di antara ummat Islam dan kaum mujahidin ini jiwanya masih belum bersih dan belum total menjalankan syariat Islam, masih belum ada perubahan dalam menjalankan ibadah maupun hukum-hukum Allah, maka Allah akan menunda kemenangan itu.

Jika kesadaran ummat Islam di Maluku —termasuk di dalamnya para mujahidin— bertekad untuk menegakkan kewajiban syariat Allah dan hukum-hukumnya, mudah bagi Allah untuk memenangkan peperangan dan memudahkannya untuk merebut kembali daerah-daerah Muslim itu ke tangan ummat Islam.

Jadi lamanya perjuangan selama ini harus diambil hikmah dan pelajaran bagi ummat Islam di sini. Sebab selama ini ummat Islam tidak mengenal jihad sesungguhnya. Mereka mengenal jihad itu adalah ekstrim, bengis, dan menakutkan. Sehingga Allah berikan pelajaran tentang jihad kepada ummatnya.

Mudahlah bagi Allah untuk memberikan pelajaran. Tinggal ummatnya mau apa tidak menjalankan jihad. Dan akhirnya Allah sekarang tunjukkan itu makna jihad sesungguhnya di negeri ini.

Di sinilah tugas da'i, memberi penjelasan sesungguhnya tentang jihad. Kini para da'i tidak lagi memikirkan isi ceramah atau amplop yang akan dibawanya pulang. Karena semua ummat Islam terkonsentrasi untuk berjihad dengan harta dan jiwa. Bahkan para da'i harus terjun langsung memimpin mereka agar jihadnya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Selama pertikaian ini, apakah di antara saudara Ustadz ada yang telah menjadi korban?

Sudah banyak korban yang ada di lingkungan keluarga saya, baik dari keluarga yang masih beragama Kristen maupun yang Islam. Bahkan, sekalipun bersaudara, tetap terjadi pertikaian hingga hilangnya nyawa.

Di Tobelo saya punya adik misan yang jadi korban. Dan lima saudara saya yang masih beragama Kristen ada yang tewas di tangan mujahidin. Mudah-mudahan saudara saya yang Muslim di Tobelo itu mati dalam keadaan syahid.

Akibat gigih berjuang bersama mujahidin, kabarnya Ustadz jadi target pencarian pasukan Kristen. Bahkan katanya ada janji hadiah bagi siapa saja yang mendapati Ustad dalam keadaan hidup atau mati. Benar begitu?

Saya tidak bisa memastikan itu. Tetapi ada orang yang pernah mengingatkan saya agar berhati-hati dalam menerima tamu atau dalam berjuang di medan juang. “Karena Ustadz jadi target mereka,” katanya.

Saya sendiri tidak begitu yakin. Tapi kalau toh benar, itu sudah menjadi fitrah mereka, karena saya selalu ada di tengah-tengah para mujahidin, dan mereka ada yang menganggap saya yang mengobarkan perang. Saya juga mereka anggap provokator berbahaya.

Jadi saya berpikir wajar saja kalau saya jadi target mereka, karena saya dianggap musuh. Tetapi sebagai seorang Muslim, kita memang punya keinginan untuk bisa mati dalam keadaan syahid, dan itulah cita-cita ummat Islam yang diridhai Allah.

Banyak versi yang menjelaskan penyebab pertikaian di Maluku Utara. Kalau menurut Ustadz, sebenarnya apa penyebabnya?

Pengalaman saya yang puluhan tahun berkumpul dengan masyarakat, saya merasakan adanya persaudaraan antar saudara dan suku-suku yang ada di Maluku ini. Apalagi saya adalah salah satu dari suku Tobelo di mana keluarga sayalah yang pertama menganut agama Islam dan menjadi orang Islam Tobelo pertama kali yang bisa menikmati pendidikan Islam sampai tingkat tinggi di luar negeri.

Mengingat hubungan antarwarga masyarakat di Maluku yang sebelum ini sangat rukun, kami sangat kesal dengan adanya peristiwa kerusuhan yang tak kunjung selesai itu. Tapi di sisi lain, saya sangat bersyukur dengan adanya kejadian itu karena mengingatkan warga Muslim untuk kembali ke syariat yang benar. Toleransi yang terjalin selama ini telah menyimpang dari syariat Allah, akibatnya Allah memberikan cobaan kepada hamba-Nya agar kembali ke jalan yang benar.

Penyimpangan seperti apa?

Para pendeta Kristen selama ini memanfaatkan makna kata toleransi itu untuk menjerumuskan ummat Islam agar mengikuti sebagian ajaran mereka dengan cara memasukkan dalam konteks toleransi kekeluargaan. Akibatnya batas syariat pun dilanggar. Sebagai contoh, sebagian ummat Islam mau menerima menjadi panitia kegiatan gereja, atau Natalan. Padahal batas syariat telah tegas dalam Islam. Masalah-masalah yang menyangkut ubudiyah dan ritual keagamaan harus ada batas yang tegas, lakum diinukum wa liyadiin (bagimu agamamu, bagiku agamaku).

Bagaimana mulanya sehingga penerapan toleransi itu sampai melanggar batas syariat?

Karena di antara warga masyarakat itu, anggota keluarganya menyatu walaupun beda agama. Bahkan seringkali diterapkan pernikahan beda agama, sekadar untuk menyatukan hubungan keluarga.

Hal seperti ini kan tidak benar. Dalam keluarga kami pun sebelumnya sempat terjadi persoalan perselisihan agama yang selalu dapat diselesaikan dengan perundingan dan kompromi. Bahkan kemudian kadangkala keputusan itu melunturkan batas-batas keagamaan.

Kejadian semacam itu sebelum adanya kerusuhan dapat kita temukan. Bersyukur sekali dengan adanya kerusuhan itu, batas-batas keagamaan yang menyangkut soal syariat sekarang ini mulai ada batas yang tegas. Sekarang ini kita baru mulai menegakkan batas agama yang tegas di antara kita, keluarga, maupun antarsuku.

Bukankah antara kedua belah sudah sering membuat perjanjian, kenapa bertikai juga?

Pengalaman saya selama delapan bulan sebelum pecah kerusuhan setahun yang lalu, pihak GPM selalu mengajak kami melakukan perjanjian kerukunan dan perdamaian. Sementara di belakang perjanjian mereka telah merencanakan strategi besar yang sebelumnya tidak kita ketahui. Strategi buruk itu terbongkar setelah adanya kerusuhan.

Strategi apa?

Selama ini mereka selalu mengajak ummat Islam untuk selalu bertemu dan membuat forum komunikasi antar ummat beragama. Di Maluku Utara saya pun diajak, bahkan saya menjadi ketua forum itu. Ketika pecah perang di Ambon, saya telah berusaha untuk menginformasikan kejadian tersebut kepada kedua belah pihak agar tidak saling menyerang. Tapi dari pihak mereka tidak melakukan apa yang saya perbuat. Pihak Kristen malah selalu menggunakan ayat-ayat Injil yang memprovokasi ummatnya.

Sebenarnya banyak ummat Islam tahu, sebelum pecah kerusuhan di Maluku itu mereka melihat dan menemukan persenjataan dan bom-bom itu didatangkan di gereja. Waktu itu, bila kabar itu sampai pada saya, selalu saja saya mengatakan bahwa itu isu. Karena seringkali saya ketemu dengan para pendeta, pendeta itu pun mengatakan bahwa apa yang dibicarakan masyarakat itu (bahwa di gereja ada senjata dan bom) itu hanyalah isu.

Kenyataannya bagaimana?

Realitasnya adalah ketika pertikaian itu terjadi, memang benar-benar kita bisa buktikan betapa banyak ummat Kristen itu tiba-tiba mempunyai senjata dan bom. Kalau itu tidak dipersiapkan terlebih dahulu, tentu alat yang digunakan untuk membuat kerusuhan adalah sangat sederhana sebagaimana yang dimiliki oleh kalangan Islam. Di Malifut, Tobelo, dan Kao secara mendadak mereka sudah dilengkapi dengan senjata rakitan yang bagus, sedang dari kalangan Islam sebatas parang saja.

Ketika perang berkecamuk di Malifut, saya sudah berusaha menghubungi aparat keamanan. Tetapi sampai tiga hari mereka baru tiba, itupun turun di Ternate. Padahal yang dibutuhkan adalah di Malifut. Setelah warga Muslim di Malifut habis dibunuh, aparat keamanan baru tiba di sana.

Ini seperti ada permainan. Seolah-olah aparat keamanan tidak mempunyai alat transportasi moderen saja. Padahal hercules dan helikopter punya, tapi itu semua baru dikerjakan setelah ummat Islam musnah dari Malifut. Demikian juga di Kao dan Tobelo.

Kejadian seperti di Tobelo itu menjadi sangat sadis dan biadab. Apakah watak masyarakat suku Tobelo memang demikian?

Pada dasarnya orang Tobelo itu memang suka berkelahi dan baku bunuh (saling membunuh). Tapi tidak sebiadab kejadian belakangan ini. Sejak dulu-dulu dalam sejarahnya orang Tobelo memang dikenal sebagai pembunuh dan pemberani, tapi mereka juga mempunyai pantangan-pantangan dalam membunuh, yang menurut adat mereka tidak diperkenankan, seperti mencincang orang yang dibunuh. Mereka juga tidak diperbolehkan membunuh anak-anak dan wanita. Mereka sangat takut dan taat kepada hukum adat sebelum mereka itu beragama.

Adat suku Tobelo itu sesungguhnya sangat dekat dengan akhlaq agama Islam. Di sana itu mereka sangat dibatasi dengan hijab. Sekalipun saudara, juga teman akrab, tidak boleh masuk rumah orang seenaknya sendiri. Bertamu pun dilarang masuk ke dapur, apalagi ke kamar-kamar. Jika hal itu dilanggar, mereka kena sanksi denda. Saya melihat, kalau mereka dapat dididik dengan baik maka mereka akan lebih santun dan akan lebih dekat dengan Islam.

Ustadz sangat gigih melakukan perjanjian dan perdamaian, tetapi kerusuhan akhirnya pecah juga. Bagaimana penilaian masyarakat terhadap Ustadz?

Saya mengadakan sekian kali perdamaian sejak kejadian biadab itu belum meletus hingga saat ini; karena saya berpikiran bahwa apapun yang bakal terjadi pastilah orang kecil awamlah yang jadi korban. Tapi anehnya ada yang mengatakan bahwa saya adalah provokator.

Di tengah masyarakat kita sekarang ini, utamanya di Maluku, sesama saudara bisa saling bunuh karena beda agama. Ini terjadi karena kerusuhan sekarang ini tidak mengenal lagi batas-batas kekeluargaan, bahkan batas-batas diri sebagai manusia. Ayah bisa membunuh anaknya, demikian juga sebaliknya. Karena di antara mereka sudah ada rasa kebencian yang dalam, dan masing-masing ingin menegakkan agamanya.

Kalau sampai sedemikian parah, sulit sekali untuk berdamai ya?

Ya, perdamaian apapun sulit dilakukan. Kecuali apabila ummat Islam Kao, Tobelo, Malifut, dan di mana saja di kepulauan Maluku itu bisa kembali ke daerah asalnya dengan aman. Tetapi jika ummat Islam di daerah tersebut belum bisa kembali ke daerahnya, maka perdamaian belum bisa dilakukan.

Itu bukan sikap balas dendam?

Tidak. Kita ingin kembali merebut daerah itu untuk mengembalikan hak-hak kita sebagai ummat Islam di daerah itu. Mereka telah merampas hak-hak kita dalam beragama. Seperti sekarang ini di Malifut, Tobelo, dan Kao sudah tidak terdengar lagi suara adzan, apalagi orang mengaji. Padahal beberapa ratus tahun mereka ada di sana dan lahir sebagai seorang Muslim di daerah itu. Sebelum kerusuhan, ummat Islam mampu menggemakan suara adzan dan banyak orang mengaji.

Jadi keinginan kita untuk kembali ke daerah tersebut hanya untuk mengembalikan hak-hak ummat Islam yang telah dirampas dan diusir oleh mereka. Kita harus masuk mengambil daerah itu dengan terhormat sebagaimana Rasulullah kembali dari Madinah ke Mekkah. Rasulullah dapat menaklukkan Mekkah dengan terhormat di hadapan Allah dan manusia.

Maksud kembali terhormat itu bagaimana? Apakah cukup dengan menandatangi dan menghadiri perjanjian-perjanjian perdamaian?

Tidak juga. Sudah terlalu banyak perjanjian dan penandatanganan perdamaian dilakukan. Tetapi kenyataannya tidak ada perdamaian dan perjanjian yang abadi. Perdamaian dan perjanjian di atas kertas itu sudah terlalu banyak, tapi hasilnya kemudian dikhianati.

Kita akan kembali merebut daerah ummat Islam dengan terhormat, agar ummat Islam tidak menanggung dosa di hadapan Allah dan para syuhada. Jadi apapun risiko dan korban yang akan berjatuhan, ummat Islam harus tetap berani kembali ke daerah itu dengan aman dan hidup sebagaimana sebelum terjadi kerusuhan di daerah itu.

Saya punya analogi demikian, ada Mansur dan Markus. Mereka bersaudara tapi beda agama. Untuk kembali mengambil hak-hak itu, Mansur dan Markus bertemu. Mungkin mereka saling banting dan baku hantam. Tetapi kemudian menyadari dan saling menanyakan, “Hai Mansur, saya sudah patah tangan,” kata Markus. Mansur menjawab, “Saya juga sudah patah kaki, tapi saudara kita juga ada yang telah meninggal. Kalau begitu kita harus hidup bersama lagi.”

Jadi saya tidak ingin ummat Islam kembali mengambil hak-haknya itu dengan merunduk-runduk di bawah kaki mereka. Tetapi kita harus kembali ke daerah itu dengan berdiri sama tegak.

Hak-hak ummat Islam apa saja yang harus terlebih dahulu direbut?

Pertama adalah untuk bisa hidup di daerah yang telah terusir di seluruh Maluku. Kedua, kembalinya hak ummat Islam menjalankan ibadah dan menegakkan syariatnya. Ketiga adalah kembalinya hak untuk mengelola potensi sumber alam sesuai dengan kemampuan ummat Islam mengelola potensi alam di mana mereka hidup. Keempat, hak ummat Islam untuk tetap mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak di muka bumi sekalipun hanya sejengkal tanah di kepulauan Maluku.

Mengapa Ustadz bertekad untuk mengambil hak-hak ummat Islam?

Sudah terlalu banyak hak-hak ummat Islam di Maluku ini yang telah dirampas oleh orang lain. Mereka memanfaatkan anggapan bahwa Kristen mayoritas di Maluku sebagai alasan untuk merampas hak-hak ummat Islam. Padahal ummat Islam di Maluku ini juga mayoritas.

Nah, ketika saya mendakwahkan kepada seluruh masyarakat Muslim di Maluku —termasuk para pengungsi-- agar mereka kembali merebut hak-haknya, malah saya dituduh provokator. Padahal mengembalikan hak-hak ummat Islam di Maluku sesungguhnya sudah menjadi sebuah kewajiban ummat Islam. Itu harus dilakukan sebelum ditunggangi kepentingan lain yang mengatasnamakan hak asasi manusia.

Selama kerusuhan terjadi di Maluku, saya sudah keliling 600 desa untuk mensosialisasikan tentang hak-hak ummat Islam yang harus diambil. Barangkali belum ada satu pejabat pun di Maluku sampai hari ini yang telah terjun langsung melihat nasib korban kerusuhan di 600 desa itu.

Sudah cukup banyak energi saya untuk memberi motivasi para korban itu agar mereka dapat kembali ke daerahnya masing-masing dengan selamat dan bisa menjalankan lagi hak-hak agamanya untuk dapat menegakkan kalimat Allah di bumi ini.

Memberi pengertian dan semangat hidup kepada para korban itu bukan pekerjaan sepele. Berat dan membutuhkan pengorbanan keras.

Apakah Ustadz melihat bahwa upaya pengusiran ummat Islam itu telah direncanakan dengan rapi?

Tidak hanya direncanakan dengan rapi, tapi sangat rahasia. Betapa mereka telah mempersenjatai dirinya dengan senjata yang terbaik. Sementara ummat Islam terpaksa mempersenjatai diri dengan sangat sederhana, sekadar untuk membela diri agar harga diri dan agama tidak musnah sia-sia.

Semula saya hanya menyangka selebaran-selebaran yang bertebaran sebelum kerusuhan itu terjadi hanyalah isu. Tapi apa yang terjadi di kemudian hari itu benar dan dapat dibuktikan.

Bayangkan, pada waktu Lebaran Idul Fitri setahun yang lalu, saya ke daerah Taliabo. Saya bertemu dengan orang-orang Kristen yang masih bersaudara dengan saya. Waktu itu mereka sudah mengeluhkan bahwa sejak beberapa lama pendeta sudah tidak ada di Taliabo sampai Idul Fitri tiba. Mereka mengatakan, pendeta seluruh Taliabo berangkat ke Ambon. Ternyata beberapa hari kemudian Ambon meletus. Pertanyaan saya, kalau begitu ada apa para pendeta Taliabo pergi ke Ambon? Adakah garis merah hubungan kepergian para pendeta itu dengan kejadian kerusuhan di Ambon?

Menurut Ustadz, sampai kapan konflik ini bisa diredam?

Konflik ini bisa mereda jika Malifut dan Tobelo sudah bisa dikembali ke ummat Islam. Saya kira tinggal ini.

Jadi, konflik tidak akan pernah berakhir dan tidak akan pernah ada perdamaian sampai masyarakat Islam Tobelo dan Malifut bisa kembali ke daerahnya dengan aman dan tenteram. Sebab, di kedua daerah itu ummat Islam mayoritas. Bagaimana wajah kita saat menghadap Allah di kemudian hari jika tidak bisa masuk ke sana?

Ketika serangan pertama dilakukan orang Kristen, saat itu ummat Islam masih kuat bertahan. Tetapi karena dalam serangan kedua orang Kristen mendapat bantuan kecamatan Kao yang terdiri atas 20 desa atau 10 ribu pasukan dengan puluhan ribu bom, mereka tidak bisa dihalau lagi. Apakah dengan demikian ummat Islam menyerahkan begitu saja, sehingga umat Islam mundur dan terusir dari Tobelo?

Menurut Ustadz sejauhmana akan terwujud rekonsiliasi?

Itu akan terwujud setelah ummat Islam bisa kembali ke sana. Sebelum ummat Islam bisa masuk, rekonsiliasi itu susah. MUI Pusat mengajak untuk melakukan perdamaian dan rekonsiliasi. Saya diundang tapi tidak datang. Bukan karena apa. Sebab orang Islam telah banyak melakukan perdamaian dan ikut terjun langsung mengamankan di masyarakat. Tapi apa yang telah terjadi? Ummat Islam selalu dikhianati.

Bayangkan, ketika terjadi pembantaian di Tobelo, dua sampai tiga hari tidak ada bantuan dari pemerintah dan militer untuk meredam peperangan di sana. Saya sudah memberitahukan dan menginformasikan untuk meminta bantuan tapi tak kunjung tiba. Ketika bantuan pemerintah dan militer itu datang, malah tidak di tempat kejadian, seperti pemerintah tidak mempunyai pesawat hercules atau helikopter untuk segera menenangkan situasi di tempat kejadian.

Mereka berada di Ternate untuk membicarakan berbagai persoalan yang terjadi. Begitu mereka tiba di Tobelo, habislah sudah ribuan ummat manusia itu terpanggang api dan mati terbantai dengan sangat sadis.

Jadi saya melihat niat-niat baik (perdamaian -red) itu mudah-mudahan dibalas oleh Allah. Dan saya juga berdoa kepada mereka yang mempunyai niat-niat jahat mudah-mudahan Allah segera lenyapkan mereka dari bumi ini dengan cepat.

Saya punya cerita tentang orang-orang Kristen dan ummat Islam Tobelo yang masih mempunyai nurani. Ketika kejadian itu mereka melarikan diri ke hutan. Mereka tidak saling membantai, mereka justru berpelukan, bahkan mereka saling memberi petunjuk jalan agar selamat. Mereka berkata, “Kita ini jadi korban orang-orang besar di atas sana.” Dan mereka akhirnya selamat.

Katanya, Ustadz tidak mau diajak berdialog, sekalipun dengan presiden?

Saya ini apa, hanya seorang da'i. Presiden atau wakil presiden tidak akan mengenal saya. Saya justru lebih dikenal oleh masyarakat kecil. Dan saya harus tahu diri. Jadi sangat tidak mungkin saya akan bisa bertemu dengan presiden karena saya ini adalah bagian terkecil dari rakyat kecil yang ada di Maluku ini.

Kabarnya Ustadz menolak menjadi pembaca doa ketika Megawati datang ke Maluku?

Ketika Wapres Megawati berkunjung ke sini, saya berpikir buat apa saya datang ke pertemuan itu kalau hanya sebatas membaca doa? Doa yang bagaimana yang akan saya bacakan di hadapan Allah? Saya tak ingin berdoa di hadapan Allah sementara ummat Islam menuntut keadilan dalam keadaan seperti itu.

Saya tidak menolak untuk hadir dalam pertemuan itu. Tapi saya melihat masih ada Ketua MUI, sementara saya hanya wakil ketua. Jadi kenapa harus saya yang ditunjuk untuk membaca doa?

Saya juga tidak ingin mengulang kejadian sekitar tahun 1980-an, ketika presiden Soeharto meresmikan perusahaan di Mangoli-Maluku. Saya tiba-tiba ditunjuk protokoler waktu itu untuk membacakan doa di hadapan presiden dan hadirin. Saya berpikir, doa apa yang harus saya sampaikan di hadapan para pejabat? Dan dalam hati kecil saya pun tidak akan mungkin Allah kabulkan doaku. Sebab doanya lebih banyak menyebut Pancasila daripada menyebut Asma Allah.

Maka sebelum maju membacakan doa, dalam hati saya berdoa mudah-mudahan alat-alat ini (kamera tv atau sound system -red) mati sehingga jamaah atau karib kerabat tidak menertawakan ketika aku berdoa nanti. Begitu saatnya berdiri di podium, alhamdulillah terjadi korsluiting, sehingga doa saya tidak didengar oleh presiden dan hadirin. Begitu juga wajah saya tidak kelihatan di layar teve.

Bekal untuk dakwah diperoleh Abdul Gani sejak kecil. Oleh ayahnya, Poda Hasan, Abdul Gani bersaudara disekolahkan di madrasah dan di Pesantren Al-Khairat. Keinginan ayahnya sederhana saja. “Mudah-mudahan Allah memberikan anak keturunan yang bisa memberi pelajaran shalat kepada masyarakat di sekitarnya. Karena terlalu sedikit orang yang bisa mengajarkan kebenaran,” Abdul Gani menirukan ayahnya.

Rupanya Allah mengabulkan keinginannya, sehingga seluruh anak Poda Hasan kini menjadi ustadz di lingkungan sekitar.

Bagi Abdul Gani, dakwah adalah sebuah kewajiban bagi ummat Islam yang harus dilaksanakan dalam keadaan apapun. “Dakwah harus dilaksanakan dalam kondisi lapang maupun sempit, kapan, dan di mana saja,” katanya kepada Sahid.

Motivasi dakwahnya kian tertempa semenjak ia aktif dalam pergerakan Pelajar Islam Indonesia (PII). Kepada Abdul Gani, para seniornya sering berpesan agar ia rajin menuntut ilmu untuk bekal berdakwah. Mungkin mereka melihat bakat yang besar pada diri Abdul Gani muda.

Selepas dari madrasah dia melanjutkan studinya ke Jami'atul Islamiyyah (Universitas Islam) Madinah, Arab Saudi, sampai mendapat gelar sarjana dakwah. Dengan bekal itu dia kembali ke Maluku, melanjutkan estafet dakwah para pendahulunya.

Seiring dengan gerakan reformasi di tanah air, cakrawala dakwah Abdul Gani jadi kian luas. Ia kini juga menggarap dakwah bidang politik dengan bergabung dalam Partai Keadilan (PK) dan terpilih sebagai salah seorang pimpinan DPW PK Maluku.

Atas jerih payahnya dan kawan-kawan, pada Pemilu 1999 lalu PK mendapatkan jatah satu kursi di parlemen. Tapi Abdul Gani tetap pada posnya sebagai dai keliling. Jatah kursi itu dilimpahkan kepada ikhwan lain yang dianggap lebih cocok. “Biarlah saya tetap menjadi dai,” katanya merendahkan hati.

Sempat tersiar kabar Ustadz urung jadi pimpin jamaah haji dari Maluku Utara, benarkah?

Sebenarnya terlalu berat rasanya batin ini meninggalkan Maluku dalam kondisi seperti ini. Namun di sisi lain ada sekitar 600 jamaah dari Maluku Utara ini yang memerlukan pembimbing.

Selama beribadah haji ini saya berharap pula dapat mengais kesempatan untuk membuat ikrar-ikrar dengan para jamaah dari mana saja. Dan saya akan berusaha untuk menyampaikan cerita yang benar tentang peristiwa di Maluku kepada segenap ummat Islam di dunia yang menjalani ibadah haji saat itu.

Pada akhirnya saya bertekad untuk menunaikan ibadah haji dengan catatan bahwa setelah wukuf saya akan pulang mendahului mereka. Karena sepulang dari pulau Bacan dan pulau Kasiruta, saya teringat terus dan prihatin dengan mujahidin-mujahidin kita.

Prihatin bagaimana?

Keprihatinan itu bukan khawatir mujahidin di sana berkurang keberaniannya ketika saya tidak berada di samping mereka. Tentang keberanian mereka, saya sudah tidak meragukan lagi. Yang saya prihatin, hampir 80 persen mujahidin kita tidak mengerti makna jihad sesungguhnya.

Maksud Ustadz?

Di antara mereka yang berjihad itu ada yang shalat dan ada yang meninggalkannya. Jadi mereka yang di medan jihad pun kadang-kadang lupa menunaikan kewajiban-kewajiban syariat. Itulah yang membuat saya khawatir. Khawatir tidak ada yang mengingatkan lagi. Padahal kita tidak ingin perilaku mujahidin kita seperti pasukan-pasukan musuh (Kristen) yang membunuh orang tua, ibu-ibu, dan anak-anak.

Kenapa Ustadz begitu khawatir?

Suatu saat pernah terjadi mujahidin kita berlaku brutal, karena ingin membalas perilaku pasukan merah yang telah membunuh ummat Islam dengan sangat kejam, brutal, dan tak berperikemanusian. Mujahidin bermaksud menunjukkan bahwa mereka pun bisa melakukan tindakan keras seperti itu.

Tapi sering saya ingatkan kepada mereka, inilah saatnya mujahidin membuktikan bahwa perilaku mujahidin dalam berperang berbeda dengan perilaku pasukan kafir itu. Ingat, dalam Islam itu sampai berjihad pun diatur, sama dengan shalat atau pekerjaan ibadah yang lain. Sehingga akhlaq dan etika dalam berjihad pun harus diutamakan.

Dalam jihad, kita tak boleh melampaui batas dengan membunuh perempuan, anak-anak, dan orang tua. Pihak kafir membunuh musuh dengan mencincang atau merusak tubuh. Itu bukan akhlaq jihad para mujahidin. Kita tidak perlu meniru perilaku orang kafir itu.

Karena itulah saya merasa berat meninggalkan medan perjuangan jihad ini. Jangan sampai jihad kita itu tidak mendapat pertolongan dari Allah.

Ketika saudara-saudara kita di Maluku tengah dicekam ketakutan, kelaparan, dan kehilangan harta-benda, saudara kita yang lain mengeluarkan hartanya untuk pergi berhaji. Apa yang hendak Ustadz sampaikan kepada jamaah haji di sana?

Saya katakan dalam setiap menerima undangan mereka yang hendak pergi haji, bahkan setiap kali ada manasik, telah engkau tinggalkan medan juang untuk menghadap Allah ke Baitullah. Padahal negeri-negeri kita seperti Tobelo, Malifut, maupun Galela dan Sesupu serta daerah-daerah lain telah jatuh ke tangan orang kafir.

Tidak ada lagi suara adzan, tahlil, takbir, tahmid, dan lantunan orang membaca al-Qur'an di sana. Maka kira-kira wajah apa yang hendak kita hadapkan kepada Allah di padang Arafah nanti? (Mata Ustadz Abdul Gani nampak berkaca-kaca dengan air mata yang masih menggenang di pelupuknya).

Dalam negara yang mayoritas penduduknya Islam kini justru ada beberapa daerah di negeri ini tidak terdengar lagi kalimat tauhid itu, karena penduduknya diusir. Beban dosa besar ada di tangan kita.

Oleh karena itu kita harus berjanji dan berikrar bahwa kita tidak akan pernah merasa tidur, sekarang atau nanti, kecuali harus kita tanamkan pada diri kita untuk menegakkan kembali kalimat tauhid di daerah yang kita tinggalkan.

Bahkan saya berniat, setibanya di padang Arofah saya akan sampaikan kepada para jamaah haji, khususnya dari Maluku Utara, bahwa kita harus berikrar untuk berjihad dengan kemampuan kita masing-masing. Yang muda harus turut berjuang ke lapangan, yang punya harta silakan memberikan bantuan dan mengorbankan hartanya untuk perjuangan ummat Islam. Harapan yang kita cita-citakan adalah mudah-mudahan kita bisa merebut daerah itu seperti Rasulullah merebut kembali kota Mekkah.

Tampaknya masih ada beban berat di hati Ustadz?

(Ustadz Abdul Gani kemudian menyeka air mata yang menggenang di pelupuknya). Beban yang terasa berat dalam dada saya, bagaimana agar ummat Islam dapat menang dan kembali terhormat di muka bumi maupun di hadapan Allah. Mudah-mudahan perjuangan ummat Islam dan para syuhada itu diridhai Allah. Semoga pula ummat Islam yang kini mengungsi itu segera bisa kembali ke kampung halamannya dengan terhormat.

Begitu padat jadwal Ustadz. Bagaimana cara Anda untuk membagi waktu dengan keluarga?

Saya meyakinkan kepada keluarga bahwa kehadiran saya di tengah ummat sangat dibutuhkan. Dan mereka maklum, karena sesungguhnya hampir setiap hari ada saja orang yang terus mencari saya di rumah dan tempat-tempat lain. Sebab, saya seringkali harus keluar hingga berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, baru kemudian pulang. Dan setiap hari jadwal untuk ketemu dengan jamaah atau ummat itu semakin padat saja. Ini barangkali karena Allah telah menakdirkan saya sebagai orang yang selalu ada di lapangan. Syukurlah akhirnya banyak teman saya ini yang membantu saya untuk menangani hal-hal lain seperti soal keuangan maupun administrasi.

Saya, juga anak serta istri harus tegar dalam menerima tamu yang tiada henti jika saya ada di rumah. Karena kami tahu, mereka datang jauh atau dekat menuju ke rumah saya telah menyisihkan waktu dan membuang biaya untuk bertemu langsung dengan saya serta untuk mendengarkan ucapan atau fatwa-fatwa tentang Islam yang bisa mereka laksanakan. Jadi kasihan kalau mereka dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, dalam keadaan yang bagaiamanapun mereka datang selalu saya sambut dan saya bukakan pintu.

Masih ada waktu untuk keluarga?

Saya punya keyakinan bahwa begitu banyak persoalan ummat yang harus segera saya diselesaikan. Maka banyak kawan dan keluarga, termasuk istri, membantu mengajar mengaji masyarakat ketika saya tidak ada di rumah.

Bila ada sisa waktu di keluarga biasanya saya lakukan untuk melihat dan berkasih sayang dengan anak dan istri. Saya juga mengontrol kegiatan anak dan istri, yaitu bagaimana ngajinya. Sampai sejauhmana hafal ayat-ayat al-Qur'annya, sudah bertambah atau belum.

Saya pun bersyukur, meski begitu padat jadwal dakwah itu, anak saya yang pertama Mohammad Thoriq (12) sudah khatam al-Qur'an, demikian juga adik-adiknya sebagian masih menghafal surat-surat tertentu.

Saya melihat, meskipun tidak banyak waktu di keluarga saya, tetapi saya punya keyakinan bahwa kita ini bukan penentu. Tetapi dengan jihad di berbagai bidang, pasti Allah akan membantu kesulitan kita, membantu kebaikan anak-anak. Jadi saya tetap punya keyakinan kalau kita keluar karena Allah, pasti Allah akan membantu kita. (amz, shw)