LAPORAN LANGSUNG DARI AMBON
|
Jerit Tangis
Anak
Negeri |
|
 |
Belakangan
ini berita tentang Ambon tak banyak lagi menghiasi media.
Tertutup oleh ramainya SU MPR, juga gejolak Timor-Timur yang
lebih kental bobot politiknya. Namun, itu tak berarti di Ambon
telah ada kedamaian. Justru sebenarnya konflik di sana jauh
lebih dahsyat dari apa yang terjadi di Timor-Timur. Selama
tujuh hari saya berada di kota sagu itu, sekurangnya terjadi
delapan kali pertikaian. Empat warga muslim meninggal dunia.
Salah satunya masih berusia tiga belas tahun. Sementara korban
luka lebih dari dua puluh orang. Satu di antaranya seorang
remaja putri yang ditembak kakinya di kampung Jawa. Dua hari
sebelum kedatangan saya, seorang karyawan PLN yang ingin
mengambil barang-barangnya di wilayah Nasrani tewas dibantai.
Sebenarnya ia telah dikawal oleh aparat. Tapi itu tak ada
artinya. Lelaki malang itu sebenarnya telah lama pindah rumah
ke tengah-tengah wilayah muslim. Tapi hari itu memang ajalnya
telah tiba. Apa hendak dikata.
Begitu
menginjakkan kaki di Bandara Pattimura, suasana mencekam
memang langsung terasa. Beberapa orang berdiri di depan pintu
keluar. Mereka menatap tajam setiap orang yang datang. Mereka
adalah para penjemput yang menanti keluarga atau sahabat.
Muslim dijemput muslim, Nasrani dijemput Nasrani. Puluhan
aparat bersenjata lengkap yang berdiri di setiap sudut kian
menambah seram keadaan.
Begitu
keluar pintu bandara, ada dua orang yang bertatapan mata
dengan saya. Entah bagaimana, tiba-tiba secara spontan kami
berjabat tangan. Padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya.
Tanpa satu katapun saya langsung di bawa ke sebuah taksi.
Beberapa hari kemudian, saya baru tahu bahwa taksi itu adalah
satu dari hanya dua taksi milik muslim yang beroperasi di
bandara. Selebihnya adalah taksi milik orang Nasrani. Sejak
kerusuhan, dua taksi yang angsurannya masih kurang tiga tahun
lagi itu tak bisa beroperasi, kecuali sesekali mondar-mandir
antara Bandara-Wailaha, desa kecil di belakang Bandara. “Biar
saja, perusahaan juga tahu. Kalau narik ke wilayah Nasrani
mobil ini pasti dibakar,” kata Alim, sopir salah satu taksi
itu. Dari
bandara ke kota Ambon, umat Islam tidak bisa melewati jalan
darat. Karena jalan darat dari bandara dikuasai oleh orang
Nasrani. Untuk menggunakan jalan darat dari bandara harus
berjalan melewati jazirah Leihitu menuju Passo, sekitar dua
puluh kilometer ke arah utara.
Passo adalah nama desa yang mempertemukan antara jazirah barat
dan jazirah timur. Barulah dari Passo ada jalan ke arah
selatan yang menuju kota Ambon. Tapi melewati jalur itu tidak
mungkin. Karena dari bandara sampai Passo dikuasai umat
Nasrani. Demikian juga dari Passo sampai perbatasan Batu
Merah. Dan, melewati daerah itu sama saja dengan menyetorkan
nyawa. Karenanya, umat Islam yang ingin memasuki Ambon dari
Bandara harus mengambil jalan belakang, ke desa Wailaha.
Barulah dari sana memotong laut ke arah kota Ambon.
Dari
jazirah timur, di mana kota Ambon berada, nampak jazirah
Leihitu membentang di sebelah barat. Di tengahnya dibelah
teluk yang nyaris tanpa ombak. Sungguh indah sekali. Tapi
begitu membalikkan mata ke timur, keadaannya berbeda 180
derajat. Di sana sini gedung-gedung yang hangus terbakar
nampak berjajar. Puing-puing berserakan. Kota indah itu nyaris
sekarat.
Keamanan yang tidak stabil menjadi wajah utama Ambon yang
carut marut. Segalanya bisa berubah, bahkan dalam hitungan
detik. Hampir setiap hari ada orang yang tewas mengenaskan.
Dengan leher nyaris putus atau putus sama sekali. Dentuman bom
seringkali dengan sangat tiba-tiba memekakkan telinga dan
menggetarkan jantung. Suasananya begitu mencekam. Setiap saat
orang bertanya-tanya (termasuk saya sendiri): “Sudah dekatkah
ajal saya?” Ya, segalanya sungguh sangat kacau. Ambon lebih
mirip negeri mati. Seakan hanya memberi hidup bagi mereka yang
bisa mencari hidup dengan ujung-ujung parang, pedang, panah
beracun, tombak, senapan rakitan, basoka rakitan, bom rakitan,
atau senjata apa saja yang diikhtiarkan bisa memperpanjang
usia. Meski umat Islam di sana yakin, bahwa ajal hanya ada
dalam kuasa Allah. Di kedai-kedai kecil obrolan tentang perang
adalah teman setia bagi malam-malam panjang mereka.
Kadang-kadang diselingi bunyi tiang listrik yang riuh ditabuh.
Itu tandanya keadaan bahaya. Dan, segera semua siaga dengan
senjata masing-masing.
Setiap
orang yang saya tanya selalu pesimis akan penyelesaian krisis
Ambon. Apalagi kerusuhan kedua yang pecah pada awal September
lalu telah melokalisir masyarakat Ambon dalam zona-zona: zona
Muslim dan zona Kristen. Secara umum, untuk jazirah timur,
daerah pesisirnya dikuasai oleh umat Islam. Sementara wilayah
pegunungannya dikuasai Nasrani. Sedangkan di jazirah barat,
pesisirnya dikuasai Nasrani, sedang pegunungannya dikuasai
muslim dari Leihitu.
Di
perbatasan antara wilayah-wilayah itu aparat berjaga. Bila
seorang muslim masuk ke zona Kristen, bisa dipastikan akan
dibunuh dengan kejam oleh orang Nasrani. Kondisi ini
diperburuk dengan tidak berfungsinya beberapa perangkat
kehidupan vital. Instansi-instansi strategis banyak berada di
lokasi orang Nasrani. Seperti Rumah Sakit Umum, Kantor
Telekomunikasi, PLN, Bank, TVRI, Mapolda, Kantor Gubernur,
Kodam, dan beberapa instansi lain, semuanya berada di wilayah
Nasrani. Di kantor-kantor itu kini tak ada lagi karyawan
muslim.
Karenanya, sejak kerusuhan, Rumah sakit Bersalin di Al-Fatah
dialih fungsikan untuk menampung para korban perang. Selain
Al-Fatah, juga ada klinik milik Pos Keadilan yang memberi
pengobatan cuma-cuma. Setiap hari warga muslim memanfaatkan
pelayanan itu. Di Al-Fatah, sekarang sudah ada ruang operasi.
Karenanya, menurut H. Paing Suriaman DSPD, yang memimpin rumah
sakit itu, kini rumah sakit itu lebih siap menerima korban. Di
belakang rumah sakit lama, didirikan bangunan dengan tiga
lokal. Di sanalah puluhan orang terbaring tak berdaya. Ada
yang tangannya putus. Ada yang luka di dada, di kepala, dan
masih banyak lagi tubuh-tubuh lemah yang tergeletak.
Pemandangan lebih miris lagi ada di dalam aula Al-Fatah. Empat
orang yang luka terbakar dikurung dengan kelambu putih.
Dari segi
penguasaan opini, keberadaan stasiun TVRI di wilayah Kristen
dirasakan umat Islam sedikit banyak menguntungkan umat
Nasrani. Hal itu bisa diperhatikan dari berita-beritanya yang
terkesan memihak kepada pihak Nasrani. Selain itu mereka juga
memiliki koran Suara Maluku yang sangat memihak kepada
nasrani. Sementara di kalangan umat Islam tidak ada media.
Memang ada korang milik Dahlan Iskan, Ambon Ekspres, tapi
tidak terbit setiap hari.
Terkonsentrasinya instansi-instansi penting di wilayah Kristen
juga membuat susah para wartawan. Sebab, wartawan muslim tidak
bisa mengakses ke pihak-pihak yang berkompeten mengeluarkan
statemen terkait dengan setiap perubahan yang terjadi di
Ambon. Di
beberapa daerah seperti Sambas, konflik serupa telah selesai.
Tapi entah mengapa, di Ambon, hampir setahun sejak kerusuhan
pertama terjadi, tanda-tanda akan datangnya kedamaian masih
jauh dari harapan. Padahal, sudah sangat mahal risiko sosial
yang harus ditebus. Ribuan pengungsi tersebar di beberapa
tempat. Yang terbanyak ada di THR Waihaong.
Di
gedung yang cukup luas itu tertampung lebih dari 6.600 jiwa.
Mereka datang dari desa Talake Dalam, Waringin, Wainitu,
Pantai, Air Salobar, juga Bentas.
Kondisi yang
buruk itu tidak saja berdampak bagi masyarakat umum tapi juga
kepada para mahasiswa muslim yang selama ini kuliah di
Unpatti. Sebab, lokasi kampus itu berada di wilayah yang
dikuasai Nasrani, demikian juga perjalanan ke kampus itu harus
melewati wilayah Nasrani. Karenanya, pekan lalu, mahasiswa dan
OKP muslim se-Maluku dan Kotamadya Ambon mengeluarkan sembilan
butir pernyataan sikap. Pernyataan yang ditujukan kepada
Gubernur Maluku itu meminta agar aktivitas akademik Unpatti
dialihkan ke wilayah netral. Kalau tidak, berarti pihak
Unpatti telah melakukan tindakan diskriminatif. Sebab, yang
bisa kuliah di sana saat ini hanyalah mahasiswa Kristen.
Apalagi, menurut Abdul Aziz, mahasiswa terakhir Fakultas
Pertanian, rektornya juga kristen. Sedang perbandingan dosen
Nasrani dan muslimnya, kira-kira sepuluh banding satu.
Jaminan
keamanan yang ditawarkan aparat, dengan mengawal para
mahasiswa muslim tidak bisa mereka terima. Karena setiap saat
nyawa mereka bisa melayang. Pada point yang terakhir, para
mahasiswa itu mengancam akan menuntut Rektor Unpatti beserta
seluruh staffnya melalui jalur
hukum. Di tengah
gentingnya situasi di Ambon, alhamdulillah, masih ada
pasukan-pasukan jihad. Keberadaan pasukan jihad yang menempati
pos-pos di beberapa daerah yang rawan itu agaknya sulit
dihindari. Karena aparat sendiri sulit dijamin bisa menjaga
keamanan warga. Mereka kebanyakan berdatangan dari desa-desa
di sektiar Ambon. Bahkan dari pulau-pulau kecil seperti Seram.
Dengan tulus mereka meninggalkan anak-istri dan kampung
halaman. Untuk kemudian dengan ikhlas siap
mengabdikan dirinya untuk membela Islam. Meski dengan
perlengkapan seadanya.
“Ini adalah
tanah leluhur kami. Tanah umat Islam. Saya menjadi khatib di
Leihitu yang kedelapan belas, dari silsilah kakek moyang
saya,” kata seorang tokoh dari Leihitu. Karenanya, “Kami akan
berjuang sampai kapan pun untuk membela tanah Islam,”
tambahnya.
Mereka secara tulus merasa terpanggil untuk membela
saudaranya, juga tanah negerinya. Ada pasukan Geser, pasukan
Sanana, Pasukan Kapaha, Mamalla, Morella, Ambalau, dan
pasukan-pasukan lainnya. Dengan senjata apa adanya mereka siap
berjuang. Dari sanalah agaknya masih ada secercah harapan,
untuk tidak mengubur asa di bumi Ambon, untuk tidak meyakini
bahwa umat Islam Ambon hanya akan jadi legenda. Namun
perjalanan itu masih panjang. Beragam masalah siap
menyerimpung perjuangan itu. Terbatasnya pasokan logistik
untuk para pejuang, minimnya tokoh besar yang bisa menyatukan
mereka hanyalah sebagian contohnya. Ibarat mengurai benang
kusut, tak mudah mencari ujung dari pangkalnya. Tapi
perjuangan itu harus tatap dilakukan, meski entah sampai
kapan.n
Zairofi
AM

|