LAPORAN LANGSUNG DARI AMBON

 

Jerit Tangis
Anak Negeri

wpe29.jpg (9245 bytes)

 

WB01419_.gif (1881 bytes)


Belakangan ini berita tentang Ambon tak banyak lagi menghiasi media. Tertutup oleh ramainya SU MPR, juga gejolak Timor-Timur yang lebih kental bobot politiknya. Namun, itu tak berarti di Ambon telah ada kedamaian. Justru sebenarnya konflik di sana jauh lebih dahsyat dari apa yang terjadi di Timor-Timur. Selama tujuh hari saya berada di kota sagu itu, sekurangnya terjadi delapan kali pertikaian. Empat warga muslim meninggal dunia. Salah satunya masih berusia tiga belas tahun. Sementara korban luka lebih dari dua puluh orang. Satu di antaranya seorang remaja putri yang ditembak kakinya di kampung Jawa. Dua hari sebelum kedatangan saya, seorang karyawan PLN yang ingin mengambil barang-barangnya di wilayah Nasrani tewas dibantai. Sebenarnya ia telah dikawal oleh aparat. Tapi itu tak ada artinya. Lelaki malang itu sebenarnya telah lama pindah rumah ke tengah-tengah wilayah muslim. Tapi hari itu memang ajalnya telah tiba. Apa hendak dikata.
         Begitu menginjakkan kaki di Bandara Pattimura, suasana mencekam memang langsung terasa. Beberapa orang berdiri di depan pintu keluar. Mereka menatap tajam setiap orang yang datang. Mereka adalah para penjemput yang menanti keluarga atau sahabat. Muslim dijemput muslim, Nasrani dijemput Nasrani. Puluhan aparat bersenjata lengkap yang berdiri di setiap sudut kian menambah seram keadaan.
         Begitu keluar pintu bandara, ada dua orang yang bertatapan mata dengan saya. Entah bagaimana, tiba-tiba secara spontan kami berjabat tangan. Padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya. Tanpa satu katapun saya langsung di bawa ke sebuah taksi. Beberapa hari kemudian, saya baru tahu bahwa taksi itu adalah satu dari hanya dua taksi milik muslim yang beroperasi di bandara. Selebihnya adalah taksi milik orang Nasrani. Sejak kerusuhan, dua taksi yang angsurannya masih kurang tiga tahun lagi itu tak bisa beroperasi, kecuali sesekali mondar-mandir antara Bandara-Wailaha, desa kecil di belakang Bandara. “Biar saja, perusahaan juga tahu. Kalau narik ke wilayah Nasrani mobil ini pasti dibakar,” kata Alim, sopir salah satu taksi itu.
         Dari bandara ke kota Ambon, umat Islam tidak bisa melewati jalan darat. Karena jalan darat dari bandara dikuasai oleh orang Nasrani. Untuk menggunakan jalan darat dari bandara harus berjalan melewati jazirah Leihitu menuju Passo, sekitar dua puluh kilometer ke arah utara.            Passo adalah nama desa yang mempertemukan antara jazirah barat dan jazirah timur. Barulah dari Passo ada jalan ke arah selatan yang menuju kota Ambon. Tapi melewati jalur itu tidak mungkin. Karena dari bandara sampai Passo dikuasai umat Nasrani. Demikian juga dari Passo sampai perbatasan Batu Merah. Dan, melewati daerah itu sama saja dengan menyetorkan nyawa. Karenanya, umat Islam yang ingin memasuki Ambon dari Bandara harus mengambil jalan belakang, ke desa Wailaha. Barulah dari sana memotong laut ke arah kota Ambon.
         Dari jazirah timur, di mana kota Ambon berada, nampak jazirah Leihitu membentang di sebelah barat. Di tengahnya dibelah teluk yang nyaris tanpa ombak. Sungguh indah sekali. Tapi begitu membalikkan mata ke timur, keadaannya berbeda 180 derajat. Di sana sini gedung-gedung yang hangus terbakar nampak berjajar. Puing-puing berserakan. Kota indah itu nyaris sekarat.
         Keamanan yang tidak stabil menjadi wajah utama Ambon yang carut marut. Segalanya bisa berubah, bahkan dalam hitungan detik. Hampir setiap hari ada orang yang tewas mengenaskan. Dengan leher nyaris putus atau putus sama sekali. Dentuman bom seringkali dengan sangat tiba-tiba memekakkan telinga dan menggetarkan jantung. Suasananya begitu mencekam. Setiap saat orang bertanya-tanya (termasuk saya sendiri): “Sudah dekatkah ajal saya?” Ya, segalanya sungguh sangat kacau. Ambon lebih mirip negeri mati. Seakan hanya memberi hidup bagi mereka yang bisa mencari hidup dengan ujung-ujung parang, pedang, panah beracun, tombak, senapan rakitan, basoka rakitan, bom rakitan, atau senjata apa saja yang diikhtiarkan bisa memperpanjang usia. Meski umat Islam di sana yakin, bahwa ajal hanya ada dalam kuasa Allah. Di kedai-kedai kecil obrolan tentang perang adalah teman setia bagi malam-malam panjang mereka. Kadang-kadang diselingi bunyi tiang listrik yang riuh ditabuh. Itu tandanya keadaan bahaya. Dan, segera semua siaga dengan senjata masing-masing.
         Setiap orang yang saya tanya selalu pesimis akan penyelesaian krisis Ambon. Apalagi kerusuhan kedua yang pecah pada awal September lalu telah melokalisir masyarakat Ambon dalam zona-zona: zona Muslim dan zona Kristen. Secara umum, untuk jazirah timur, daerah pesisirnya dikuasai oleh umat Islam. Sementara wilayah pegunungannya dikuasai Nasrani. Sedangkan di jazirah barat, pesisirnya dikuasai Nasrani, sedang pegunungannya dikuasai muslim dari Leihitu.
         Di perbatasan antara wilayah-wilayah itu aparat berjaga. Bila seorang muslim masuk ke zona Kristen, bisa dipastikan akan dibunuh dengan kejam oleh orang Nasrani. Kondisi ini diperburuk dengan tidak berfungsinya beberapa perangkat kehidupan vital. Instansi-instansi strategis banyak berada di lokasi orang Nasrani. Seperti Rumah Sakit Umum, Kantor Telekomunikasi, PLN, Bank, TVRI, Mapolda, Kantor Gubernur, Kodam, dan beberapa instansi lain, semuanya berada di wilayah Nasrani. Di kantor-kantor itu kini tak ada lagi karyawan muslim.
        Karenanya, sejak kerusuhan, Rumah sakit Bersalin di Al-Fatah dialih fungsikan untuk menampung para korban perang. Selain Al-Fatah, juga ada klinik milik Pos Keadilan yang memberi pengobatan cuma-cuma. Setiap hari warga muslim memanfaatkan pelayanan itu. Di Al-Fatah, sekarang sudah ada ruang operasi. Karenanya, menurut H. Paing Suriaman DSPD, yang memimpin rumah sakit itu, kini rumah sakit itu lebih siap menerima korban. Di belakang rumah sakit lama, didirikan bangunan dengan tiga lokal. Di sanalah puluhan orang terbaring tak berdaya. Ada yang tangannya putus. Ada yang luka di dada, di kepala, dan masih banyak lagi tubuh-tubuh lemah yang tergeletak. Pemandangan lebih miris lagi ada di dalam aula Al-Fatah. Empat orang yang luka terbakar dikurung dengan kelambu putih.
        Dari segi penguasaan opini, keberadaan stasiun TVRI di wilayah Kristen dirasakan umat Islam sedikit banyak menguntungkan umat Nasrani. Hal itu bisa diperhatikan dari berita-beritanya yang terkesan memihak kepada pihak Nasrani. Selain itu mereka juga memiliki koran Suara Maluku yang sangat memihak kepada nasrani. Sementara di kalangan umat Islam tidak ada media. Memang ada korang milik Dahlan Iskan, Ambon Ekspres, tapi tidak terbit setiap hari.
        Terkonsentrasinya instansi-instansi penting di wilayah Kristen juga membuat susah para wartawan. Sebab, wartawan muslim tidak bisa mengakses ke pihak-pihak yang berkompeten mengeluarkan statemen terkait dengan setiap perubahan yang terjadi di Ambon.
        Di beberapa daerah seperti Sambas, konflik serupa telah selesai. Tapi entah mengapa, di Ambon, hampir setahun sejak kerusuhan pertama terjadi, tanda-tanda akan datangnya kedamaian masih jauh dari harapan. Padahal, sudah sangat mahal risiko sosial yang harus ditebus. Ribuan pengungsi tersebar di beberapa tempat. Yang terbanyak ada di THR Waihaong.           Di gedung yang cukup luas itu tertampung lebih dari 6.600 jiwa. Mereka datang dari desa Talake Dalam, Waringin, Wainitu, Pantai, Air Salobar, juga Bentas.
        Kondisi yang buruk itu tidak saja berdampak bagi masyarakat umum tapi juga kepada para mahasiswa muslim yang selama ini kuliah di Unpatti. Sebab, lokasi kampus itu berada di wilayah yang dikuasai Nasrani, demikian juga perjalanan ke kampus itu harus melewati wilayah Nasrani. Karenanya, pekan lalu, mahasiswa dan OKP muslim se-Maluku dan Kotamadya Ambon mengeluarkan sembilan butir pernyataan sikap. Pernyataan yang ditujukan kepada Gubernur Maluku itu meminta agar aktivitas akademik Unpatti dialihkan ke wilayah netral. Kalau tidak, berarti pihak Unpatti telah melakukan tindakan diskriminatif. Sebab, yang bisa kuliah di sana saat ini hanyalah mahasiswa Kristen. Apalagi, menurut Abdul Aziz, mahasiswa terakhir Fakultas Pertanian, rektornya juga kristen. Sedang perbandingan dosen Nasrani dan muslimnya, kira-kira sepuluh banding satu.
         Jaminan keamanan yang ditawarkan aparat, dengan mengawal para mahasiswa muslim tidak bisa mereka terima. Karena setiap saat nyawa mereka bisa melayang. Pada point yang terakhir, para mahasiswa itu mengancam akan menuntut Rektor Unpatti beserta seluruh staffnya melalui jalur hukum.
        Di tengah gentingnya situasi di Ambon, alhamdulillah, masih ada pasukan-pasukan jihad. Keberadaan pasukan jihad yang menempati pos-pos di beberapa daerah yang rawan itu agaknya sulit dihindari. Karena aparat sendiri sulit dijamin bisa menjaga keamanan warga. Mereka kebanyakan berdatangan dari desa-desa di sektiar Ambon. Bahkan dari pulau-pulau kecil seperti Seram. Dengan tulus mereka meninggalkan anak-istri dan kampung halaman.    Untuk kemudian dengan ikhlas siap mengabdikan dirinya untuk membela Islam. Meski dengan perlengkapan seadanya.
        “Ini adalah tanah leluhur kami. Tanah umat Islam. Saya menjadi khatib di Leihitu yang kedelapan belas, dari silsilah kakek moyang saya,” kata seorang tokoh dari Leihitu. Karenanya, “Kami akan berjuang sampai kapan pun untuk membela tanah Islam,” tambahnya.
         Mereka secara tulus merasa terpanggil untuk membela saudaranya, juga tanah negerinya. Ada pasukan Geser, pasukan Sanana, Pasukan Kapaha, Mamalla, Morella, Ambalau, dan pasukan-pasukan lainnya. Dengan senjata apa adanya mereka siap berjuang. Dari sanalah agaknya masih ada secercah harapan, untuk tidak mengubur asa di bumi Ambon, untuk tidak meyakini bahwa umat Islam Ambon hanya akan jadi legenda. Namun perjalanan itu masih panjang. Beragam masalah siap menyerimpung perjuangan itu. Terbatasnya pasokan logistik untuk para pejuang, minimnya tokoh besar yang bisa menyatukan mereka hanyalah sebagian contohnya. Ibarat mengurai benang kusut, tak mudah mencari ujung dari pangkalnya. Tapi perjuangan itu harus tatap dilakukan, meski entah sampai kapan.
n

Zairofi AM

WB01419_.gif (1881 bytes)