Pembangunan sumberdaya manusia di KTI belum
mencapai "critical mass" yang dapat menggerakkan
pembangunan secara lebih produktif. Mereka tidak memperoleh akses
terhadap pendidikan yang bermutu yang umumnya terletak di KBI.
Sehingga dapat dilihat bahwa struktur ekonomi masih bersifat
tradisional yaitu lebih dari 46% merupakan sektor primer, sedang
sektor industri dan jasa belum banyak berkembang. Jelas bahwa
struktur yang demikian dengan nilai PDRB yang kecil akan sulit
bagi KTI untuk berkembang, apalagi dengan jumlah penduduk yang
relatif kecil.
Pengalaman dari krisis ekonomi pada tahun 1998, menunjukkan
ternyata ekonomi KBI yang turun sebesar 14,74% dan KTI turun 2,64
% telah diselamatkan oleh Irian Jaya yang mengalami pertumbuhan
sebesar 12.62%. Hal ini berarti bahwa KTI ternyata dapat
menyelamatkan ekonomi Indonesia dari keterpurukan. Jadi aksi
pemihakan pada KTI bukan semata-mata karena ketimpangan antara KBI
dan KTI tetapi untuk memperkuat struktur ekonomi Indonesia melalui
pemberdayaan KTI agar dapat berkembang sejajar dan bersinergi
dengan KBI.
Peningkatan pembangunan sumberdaya manusia, sangat diperlukan
untuk meningkatkan produktifitas pengelolaan kekayaan alam yang
dipunyainya. Demikian pula dengan pengembangan investasi terutama
pada sektor industri dan jasa akan sangat menguntungkan Indonesia
secara keseluruhan. Keseimbangan pertumbuhan tersebut akan
meningkatkan secara langsung sektor-sektor industri dan jasa
terutama sektor perhubungan dan perdagangan. Dan pada gilirannya
akan meningkatkan keterkaitan yang lebih erat pada sistem
perekonomian nasional. Ada dua hal yang memerlukan aksi pemihakan
untuk meningkatkan perekonomian KTI.
Pertama, pada peningkatan kualitas SDM, yakni dengan memberikan
akses kepada mereka untuk dapat memperoleh pendidikan yang
bermutu. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan produktifitas dan
kesempatan mereka mengelola sumberdaya alam yang ada. Selama ini
sistem pendidikan serta lingkungan yang ada di KTI tidak
memungkinkan mereka untuk bersaing dengan lulusan yang berasal
dari KBI. Guru maupun fasilitas yang minim dari segi kualitas
serta tidak adanya akses terhadap ilmu pengetahuan, menyebabkan
pendidikan yang ada tidak dapat menghasilkan lulusan sebaik di
KBI. Perkembangan teknologi informasi yang pesat sebenarnya telah
memungkinkan pendidikan dilakukan secara merata di seluruh wilayah
dengan kualitas yang tidak jauh berbeda. Dengan peningkatan sistem
pendidikan ini, diharapkan lulusan terbaik di KTI di masa depan
akan mampu bersaing secara wajar untuk masuk di perguruan terbaik
di Indo-nesia. Tetapi saat ini perlu aksi pemihakan agar mereka
yang terbaik dapat memperoleh kesempatan masuk dan melakukan
penyesuaian-penyesuain di perguruan terbaik. Sehingga pada saatnya
nanti tercapai "critical mass" sumberdaya manusia
berkualitas di KTI yang mampu untuk mengembangkan wilayahnya.
Kedua, kurangnya investasi yang menguntungkan KTI. Selama ini
investasi yang berada di KTI adalah penanaman modal besar yang
mengeksploitasi sumberdaya alam. Keuntungan dari eksploitasinya
tidak dikembalikan sebagai modal bagi pengembangan wilayah
tersebut. Sehingga yang terjadi bukan pemasukan modal melainkan
adanya "pengurasan" kemampuan KTI untuk berkembang. Pada
tahun 1991 pernah dilakukan penelitian tentang "capital
flight" dari KTI, yaitu dana yang masuk ke KTI tetapi
digunakan untuk membeli barang dan jasa dari luar KTI, ternyata
85% dana kembali ke KBI. Hal ini disebabkan oleh kemampuan
menyerap dan memutar dana tersebut di KTI sangat rendah. Kemampuan
ini banyak disebabkan oleh sistem perbankan dan keuangan yang
sangat terpusat di Jakarta. Akses memperoleh modal serta sistem
perbankan yang berpihak ke KTI perlu diterapkan agar potensi yang
sangat besar tersebut dapat berdampak pada pembangunan
sektor-sektor lain di KTI.
Sumber : Indonesiaeast.com - Aunur Rofiq H/PY
Editor : Vis
Hak Cipta © 1999-2003 Badan Pengelola Kapet Mbay - NTT