Ditulis
oleh : Azwir Malaon
Apabila dilihat dari konteks disparitas wilayah antara Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), maka hampir tidak ada
perkembangan yang berarti selama 20 tahun dalam pangsa relatif PDRB regional KBI
terhadap PDB yang tetap dominan sebesar 80% dibanding PDRB regional KTI yang
hanya sebesar 21%.
Untuk mencapai daya saing dan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan hasil pembangunan dan peran serta wilayah secara merata, maka diperlukan perhatian secara khusus terhadap Kawasan Timur Indonesia. Percepatan pembangunan KTI diawali dengan investasi pembangunan infrastruktur yang kemudian diikuti dengan berbagai kebijaksanaan yang diantaranya pemberian kesempatan berdagang yang lebih luas bagi pelaku ekonomi di KTI baik antar wilayah (perdagangan domestik) maupun ekspor (perdagangan internasional). Kesempatan ekspor secara langsung dari KTI dengan berbagai kelengkapan yang menyertainya akan memperluas basis ekspor Indonesia untuk mencapai Kawasan Pasifik serta sekaligus menekan ekonomi biaya tinggi.Penyeimbangan pembangunan antara KTI dan KBI perlu dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
Pembangunan infrastruktur yang membuka aksesibilitas KTI harus diikuti harus diikuti dengan peningkatan kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia masyarakat KTI yang biasanya memerlukan waktu yang lebih panjang.
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)
Pada tahap pertama, 13 pemerintah daerah tingkat I se KTI (termasuk Timor Timur) mengajukan satu paket wilayah geografis untuk masing-masing propinsi untuk dikembangkan dalam suatu sistim pelayanan ekonomi sosial secara terpadu. Wilayah geografis dengan batas-batas tertentu tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan sebagai berikut : (a) Memiliki potensi (sumber daya alam, kelengkapan prasarana dan sarana yang lebih baik dari sekitarnya, memiliki keunggulan lokasi) untuk cepat tumbuh, (b) Memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya, (c) Memiliki potensi pengembalian investasi yang tinggi.
Dalam sidang paripurna Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia tahun 1996, wilayah geografis yang akan dikelola secara terpadu tersebut akhirnya diberi nama Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dan kemudian ditetapkan dengan sejumlah Keputusan Presiden, yaitu : Keputusan Presiden induk (Keppres 89/96 kemudian disempurnakan dengan Keppres 9/98 dan terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 150/2000) dan 14 buah Keputusan Presiden untuk masing-masing KAPET, 4 buah Keputusan Presiden yang menetapkan Ketua dan Wakil Ketua Badan Pengelola KAPET. Sesuai dengan semangat otonomi daerah, dalam Keputusan Presiden 150/2000 Ketua Badan Pengelola KAPET adalah Gubernur setempat. Badan Pengelola ini bertugas untuk mempercepat terwujudnya kegiatan investasi swasta dan mengkoordinasikan dukungan sektor (pusat dan daerah) serta menyederhanakan prosedur investasi melalui pelayanan satu pintu atau satu atap serta mengendalikan dan mengawasi kegiatan pembangunan di wilayah KAPET berdasarkan Rencana Induk Pengembangan KAPET. Disamping itu, Badan Pengelola harus dapat menjamin kepastian usaha dan harus mampu mengelola kawasan secara profesional dan tidak birokratis serta memerlukan entrepreneurial leader dan merupakan institusi yang berorientasi bisnis dalam mengembangkan sektor dan komoditas unggulan yang market driven.
Tujuan Pengembangan KAPET
Pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomu Terpadu ditujukan untuk mempercepat perkembangan kawasan, khususnya yang berada di Kawasan Timur Indonesia, melalui :
Pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada dunia usaha untuk mengembangkan sektor unggulan yang menjadi core bussines kawasan dengan menyediakan sejumlah insentif dan penyederhanaan peraturan/prosedur perijinan dalam investasi.
Pengembangan institusi yang independen dan profesional dalam mengelola dan mempromosikan berbagai peluang investasi kawasan didalam dan diluar negeri serta mengupayakan untuk tidak terkait kepada dana pembangunan yang mesti disediakan pemerintah.
Penyediaan dukungan secara selektif dalam infrastruktur yang betul-betul dapat mempercepat pengembangan kawasan, termasuk pula dorongan yang diberikan bagi pengembangan disekitarnya.
Disamping itu, pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomu Terpadu juga ditujuan untuk dapat menjalin hubungan saling mendukung antara daerah dalam sistim ekonomi nasional dan regional yang bertumpu pada kondisi sosial budaya.
Insentif KAPET
Agar peluang investasi tersebut dapat menarik bagi dunia usaha, Menteri Keuangan menerbitkan sebanyak 14 buah Surat Keputusan (satu keputusan untuk satu KAPET) tentang Perlakuan Perpajakan dan Pembebasan Bea Masuk yang intinya menjabarkan lebih lanjut insentif yang telah dicantumkan dalam pasal 4 dan pasal 5 Keppres no 9 tahun 1999. Namun, sesuai perkembangan kesapakatan bantuan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan IMF, berbagai kemudahan (insentif) yang diterima kawasan (KAPET) tersebut harus disederhanakan untuk mengupayakan terwujudnya pengembangan kawasan yang kompetitif.
Masalah Pengembangan KAPET
Hal-hal yang kiranya turut mempengaruhi kecepatan pencapaian tujuan tersebut antara lain sebagai berikut :
Kemungkinan terjadi kekeliruan penafsiran dalam menetapkan calon lokasi KAPET sedari awal karena berbagai pertimbangan dan termasuk pula kemungkinan adanya hidden agenda. Harapan adanya block grant dari pemerintah pusat untuk mengembangkan kawasan secara besar-besaran tidak pernah menjadi kenyataan. Akibatnya daerah yang kurang potensial dan dikembangkan dengan dana yang terbatas belum mampu mewujudkan visi KAPET yang telah ditetapkan sebelumnya.
Terjadi krisis ekonomi nasional yang menempatkan swasta dan pemerintah harus menghadapi persoalan keuangan yang begitu mendasar, sehingga mempengaruhi kemampuan dalam melakukan investasi dan pembangunan infrastruktur publik untuk memancing investasi sektor swasta. Akibatnya, peluang bisnis yang telah didentifikasi sebelumnya tidak dapat didukung dengan prasarana yang memadai sehingga sekaligus tidak menarik minat unutuk tujuan investasi.
Terjadi perubahan fundamental dalam politik di tanah air menyebabkan calon investor memilih menunggu sampai situasi politik benar-benar kondusif bagi investasi baru.
Dari awal diharapkan agar sektor yang berada di pusat dan di daerah dapat menyerahkan kewenangannya dalam pemberian ijin investasi kepada Badan Pengelola. Namun dalam kenyataannya, pelimpahan kewenangan ini adalah soal yang teramat berat untuk dilakukan, termasuk kewenangan yang berada ditangan Ketua Badan Pengelola, yang notabene adalah Menteri teknis (sektor unggulan KAPET) terkait. Disisi lain, sebagai pemerintah daerah masih beranggapan bahwa Institusi Kapet adalah institusi yang tidak banyak memberikan manfaat karena sesungguhnya bisa dikerjakan oleh pemerintah daerah atau dianggap memiliki potensi konflik kewenangan dengan instansi daerah.
Munculnya semangat desentralisasi yang begitu besar yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menempatkan setiap institusi yang dibentuk pemerintah pusat sebagai institusi dinilai tidak cocok untuk kepentingan daerah, sehingga keberdayaannya perlu dipertanyakan. Disisi lain, karena perimbangan dana yang dapat diserahkan kepada daerah belum dapat terlaksana, maka ketergantungan kepada hibah pusat masih terjadi.
Kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada dunia usaha di KAPET sebagaimana ditetapkan dalam pasal 4 dan pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 tidak dapat dipertahankan pemerintah dalam negosiasi bantuannya dengan pihak IMF. Berbagai kemudahan yang diberikan kepada Kapet tersebut akhirnya disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2000 dan kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 147 tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. Argumen yang menyebutkan perlunya kawasan berkompetisi secara sehat tanpa perlakuan istimewa kepada suatu kawasan dibanding kawasan lainnya agaknya tidak seluruhnya benar, sebab dalam kenyataannya, banyak sekali pusat-pusat ekonomi baru di dunia, selalu menawarkan berbagai kemudahan kepada dunia usaha sebagai daya tarik. Pencabutan kemudahan ini begitu dirasakan dampaknya oleh Badan Pengelola.
Badan Pengelola selain memiliki anggaran yang sangat terbatas dalam melakukan upaya promosi, dalam kenyataannya juga tidak memiliki bargaining power untuk memaksa sektor melakukan perencanaan program, khususnya dukungan prasarana dan sarana sebagai prasyarat masuknya investasi dunia usaha yang menjadi kewenangan sektor tersebut.
Kurangnya koordinasi diantara sesama KAPET, memungkinkan munculnya kompetisi yang tidak perlu diantara KAPET-KAPET yang memiliki sektor unggulan yang sama, misalnya ada kecenderungan untuk mengembangkan potensi perkebunan sebesar-besarnya tanpa perencanaan penanganan pasca produksi secara matang dan terkoordinasi.
Dengan dana yang sangat terbatas dan dalam kondisi resesi ekonomi yang belum pulih total, pemerintah belum mampu mencari sumber pembiayaan pembangunan khususnya pembangunan infrastruktur melalui peran serta dunia usaha dan sebagainya sehingga menjadi kendala bagi investasi baru.
Disisi lain, terjadi berbagai hal yang dapat dianggap sebagai sebuah kontribusi dalam pengembangan kawasan melaui KAPET adalah sebagai berikut :
Kawasan-kawasan yang dipilih secara benar ternyata dapat survive ditengah ketidakmenentuan situasi. Dengan perkataan lain, telah terjadi seleksi alamiah dilapangan. Daerah-daerah yang dipilih secara keliru dalam kenyataannya memang sulit dalam menyerap investasi baru. Artinya diperlukan penilaian ulang terhadap keberadaan lokasi KAPET yang sudah ada saat ini, bila hasilnya kurang tepat, saatnyalah untuk memperbaikinya, sehingga kesalahan tersebut tidak menyita begitu banyak investasi pemerintah.
Kawasan-kawasan yang khususnya unggul dalam lokasi geografis, ternyata dapat melakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam dan luar negeri dalam mengembangkan keunggulan masing-masing (komplementaritas) dalampercaturan ekonomi yang lebih luas.
Terobosan yang dilakukan Badan Pengelola bersama pemerintah daerah keberbagai negara, khususnya dalam mempelajari pengembangan kawasan secara profesional telah membuka wacana dan wawasan baru yang sangat berguna dalam meletakkan fondasi pengembangan kawasan dimasa depan.
Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 juga memberikan peluang kepada KAPET sebagai bridging institution kepentingan daerah dan pusat dalam membentuk struktur ekonomi nasional yang lebih mengakar ke daerah, namun sekaligus menjadi tantangan bagi Badan Pengelola untuk menunjukkan ke profesionalisnya dalam mengelola kawasan.
Prospek
Hasil jajak pendapat kepada 13 Gubernur dimana KAPET berada dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah masih membutuhkan Konsep Pengembangan Kawasan dengan Model Kapet tetapi tidak setuju dengan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah.
Atas masukan tersebut dan disertai pertimbangan diperlukannya mencari formula tugas Badan Pengelola yang tepat ditengah maraknya pelimpahan tugas kepada Pemerintah Daerah dan pertimbangan-pertimbangan strategis kemasa depan, khususnya dalam mencari bentuk perekonomian nasional yang bertumpu pada potensi kawasan, maka diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 150/2000 yang mengatur kembali institusi Kapet dan menyesuaikannya dengan kepentingan Pemerintah Daerah, namun dengan berjalannya otonomi daerah, berbagai penyempurnaan masih perlu dilakukan.
Sumber : ESCOM Monthly Journal, August 2001
Editor : Vis
Hak Cipta © 1999-2003 Badan Pengelola Kapet Mbay - NTT